Buat aku lupa bahwa kita pernah mengukir cerita.
***
Suasana perpustakaan di waktu istirahat terasa hening karena hanya beberapa siswa yang berminat untuk berkunjung. Kebanyakan dari mereka malas jika tidak ada sesuatu yang penting, seperti halnya Maisha. Kalau saja bukan tugas resensinya, mungkin ia takan mau ke sana sendirian. Kebetulan Rana hari ini tidak masuk karena sakit. Pun ketiga sahabat cowoknya yang langsung kabur saat ia meminta ditemani. Dalam kebingungannya Maisha mengarahkan tatapan pada beberapa buku lalu menghela nafasnya.
"Nyari buku apa?" Ia mengusap dadanya kaget, mendapati sosok yang tiba-tiba muncul dari balik rak.
"Sorry, gue ngagetin ya?" tanyanya tak enak. Maisha menggeleng cepat, "Enggak kok, ini salah gue aja yang sambil ngelamun."
Terdengar helaan nafas lega, cowok itu kembali menatapnya, "Nyari apa emang? Kayaknya bingung banget? Kali aja gue bisa bantu."
Tawaran tersebut mengingatkannya pada beberapa bulan lalu saat sosok di depannya membantunya mengerjakan tugas. Maisha tidak tahu mengapa cowok itu bisa bersikap sebaik ini, padahal ia sudah sering menolak keberadaannya, "Em ini gue lagi nyari novel buat-"
"Tugas resensi kan?" Tebaknya cepat.
"Loh kok bisa tau sih, Den?" tanya Maisha bingung. Denis tertawa, "Ya iyalah, kan guru kita sama Sha. Lupa ya?"
Dan baru kali ini Maisha merasa sangat bodoh selain di depan para sahabatnya. Ia meringis malu. "Gue lupa."
"Ya udah gimana kalau ngerjain bareng? Gue juga sama sih mau ngerjain itu."
Seketika Maisha merasakan didatangi malaikat penolong. Anggukannya langsung dibalas senyuman oleh Denis yang berbaik hati membantunya mencarikan rekomendasi novel yang cocok. Setelahnya, mereka memutuskan duduk bersisian. Selain itu, Denis dengan sabar memberinya penjelasan mengenai hal yang tak dimengerti.
Mendengar bel berbunyi mereka sepakat kembali ke kelas dan berencana mengerjakan tugas bersama sepulang sekolah. Maisha rasa tak buruk berteman dengan cowok pintar seperti Denis. Meski kadang merasa canggung mengingat cowok itu dulu pernah menyukainya.
***
Pulang sekolah keduanya langsung berngkat bersama. Ken sempat menanyakan lewat chat setelah mempergokinya berboncengan dengan Denis. Bahkan cowok itu mengira mereka sedang pendekatan. Namun, ia tak menanggapi dengan serius. Baginya Denis sekarang adalah cowok yang enak dijadikan teman belajar.
Mereka memutuskan mengerjakan di Funny Kafe. Sebuah tempat yang banyak dikunjungi para pelajar karena harganya yang sesuai saku serta terdapat ruangan terbuka dengan beberapa pohon rindang di sekelilingnya.
"Udah sampe mana, Sha?" Maisha memperlihatkan hasil kerjanya yang membuat cowok itu mengangguk puas, "Bagus, lo tuh sebenernya bisa kalau mau berusaha."
Mendapat pujian tersebut Maisha tambah semangat untuk menyelesaikan tugasnya. Setelah selesai, Maisha memasukan bukunya ke dalam tas. Mereka yang tadinya berniat hanya membeli cemilan malah merasakan lapar, akhirnya memutuskan memesan makanan berat.
"Loh, itu Dean kan?" Maisha langsung memutar badannya mengikuti arah pandang Denis. Benar saja, tak jauh darinya cowok itu mencari tempat duduk. Akan tetapi yang menjadi perhatiannya adalah sosok cantik yang berjalan di sampingnya.
"Itu Mentari kan?" tanyanya memastikan, menatap Maisha yang memicingkan mata, "mereka pacaran?"
Deg
"P-pacaran?" tanya Maisha tergagu.
"Iya, mereka pacaran ya?" tanyanya ulang. Maisha memperhatikan Dean yang tak menyadari keberadaannya. "Gak tau, dia gak bilang apa-apa."
"Oh, gue kira lo tau. Tapi dia ngapain sama adik kelas di sini?"
Maisha mengedikkan bahu, memilih memakan ayam geprek di depannya. Namun, kunyahannya terhenti. Ia mengambil handphone dari sakunya, mengirim chat untuk memastikan sesuatu.
To: Dean
Lo di mana, Yan?
Lima menit kemudian cowok itu baru membalas disela tawanya dengan adik kelas yang cukup terkenal karena kecantikannya itu.
From: Dean
Kenapa?
Maisha hampir tersendak membaca balasan yang diberikan Dean. Apa cowok itu tidak ingin Maisha tahu apa yang sedang dilakukannya?
To: Dean
Jawab aja apa susahnya sih?
Dean tak tampak menimang-nimang sebelum menyimpan benda pipih di mejanya. Melanjutkan obrolan yang tak bisa ia dengar. Bahkan Dean tak membalas chat-nya meski Maisha yakin cowok itu sudah membaca tanpa perlu membukanya.
Tiba-tiba sesuatu dalam dirinya terasa panas. Dengan menahan sebal Maisha melanjutkan makannya.
"Udah selesai?" Maisha mengangguk setelah makanannya tandas.
"Mau nyamperin sahabat kamu dulu?" Tawaran Denis terdengar menarik. Langsung saja Maisha mengangguk antusias. Ia menyantolkan tasnya kemudian mengaitkan lengannya pada Denis, tanpa sadar membuat cowok itu menatapnya kaget.
"Hai, Yan!" Sapanya keras membuat kedua sejoli di depannya menghentikan pembicaraan. Dean menoleh dengan terkejut. "Dek, ngapain di sini?" tanyanya lalu mengarahkan tatapan pada lengan Maisha yang bergelayut di lengan Denis. Cowok itu mengernyit, "kalian?"
"Kita abis ngerjain tugas bareng," jawab Denis dengan senyum ramah. Dean terlihat tak percaya begitu saja.
"Kalau gitu kita duluan," Maisha memperhatikan Dean yang kembali mengangguk dan menyuruhnya hati-hati. Cowok itu kemudian kembali melanjutkan obrolannya membuat Maisha mendengus kesal.
Mereka pacaran? Pertanyaan yang diajukan Denis terngiang di benaknya. Seketika Maisha merasa dilemparkan ke masa dulu saat Ken mulai berpacaran dengan Wulan di belakangnya. Ketakutan seketika merambati hatinya. Maisha melirik handphone-nya yang bergetar.
From: Dean
Sejak kapan lo di sana, dek?
Ia mendengus, kembali memasukan benda tersebut. Membiarkan Dean menunggu balasan darinya. Mungkin Maisha terlalu berharap bahwa Dean akan memberikan perhatian penuh padanya, tanpa ia sadar kalau cowok itu juga akan menemukan kebahagiannya.
***
"Lo dari tadi main handphone mulu."
Dean langsung mendongkak dan terkekeh. Namun, tak lama kemudian kembali pada aktivitasnya, membuat Maisha menatap curiga.
Tak lama kemudian matanya menatap beberapa adik kelas yang memasuki kantin. Ada cewek itu di sana, bahkan sempat melirik ke arah mejanya diiringi senyuman. Maisha menyeruput minumannya, kembali mengarahkan tatapan pada cewek bernama Mentari yang kini memegangi handphone.
Kekehan yang keluar dari cowok di depannya membuat Maisha semakin penasaran, "Lagi chat an sama siapa sih? Seru banget."
"Gue main game," jawabnya singkat, sesekali menyuapkan batagor ke mulutnya. Maisha jadi kesal sendiri karena cowok itu yang mengajaknya, tapi malah dirinya yang diacuhkan. Ia menyesal tidak ikut ajakan Rana untuk makan di luar sekolah.
"Mau ke mana?" tanya Dean melihat Maisha yang sudah berdiri padahal makanannya belum habis. Dengan malas ia menatap Dean, "Ke kelas."
"Makanannya belum abis, dek."
Maisha mendengus, "Udah gak laper."
Setelah itu ia beranjak, Dean juga tak menahannya sama sekali. Malah kembali menekuni benda di tangannya. Maisha mencebik sebal dan melanjutkan langkah sebelum mendengar sesuatu dari sosok yang menjadi pusat perhatiannya sejak kemarin.
"Jadi bener lo kemarin jalan sama kak Dean?"
"Iya, gue seneng banget. Apalagi dia yang inisiatif ngajak."
"Wah kok bisa sih?"
Maisha yang tak ingin mendengar lebih, melanjutkan langkahnya. Tidak tahu mengapa perasaan tak suka menggerogotinya. Pasti karena ketakutan itu datang lagi.
***
"Mau pulang bareng?"
Maisha yang sedang membereskan buku menatap Dean yang menunggu jawabannya. Cewek itu kemudian menggeleng, "Gue udah janji mau nganterin Denis ke gramed."
"Oh," Dean menyantolkan tasnya, "Kalau gitu gue duluan deh. Lancar ya pedekatenya, selamat bersenang-senang." ucapnya tersenyum sebelum beranjak.
"Lo ish giliran diajak sama Dean nolak. Kan kalau gini, tuh anak pasti gak langsung pulang ke rumahnya." Maisha melirik Rana yang sejak tadi memperhatikan keduanya, "Gue udah bilang mau nganter Denis soalnya."
Decakkan keluar dari mulut cewek tomboy itu, "Iya deh yang lagi pedekate, barengan mulu."
Maisha ingin mengatakan bahwa ia hanya sekedar menemani bukan seperti yang dikira orang-orang. Ia tak habis pikir mengapa mereka beranggapan seperti itu. Meski Denis tak terlalu buruk juga jika menjadi pacarnya seperti yang Ken bilang. Duh, kok gue jadi mikir ke sana sih? Maisha menggelengkan kepala. Ia tidak sedang berharap Denis akan menembaknya kan?
Bertemu dengan Denis diparkiran, mereka langsung berangkat. Maisha sempat memperhatikan warung dekat sekolah tempat Dean biasa nongkrong. Benar saja, motor cowok itu ada di sana. Yang membuat matanya memicing seketika adalah saat ia juga mendapati Mentari di sana. Entah sedang apa dia berada di tempat seperti itu. Mungkinkah?
***
"Lo makin susah dihubungin ya sekarang?"
Maisha yang sedang menulis melirik Ken yang tiba-tiba menanyai Dean. Ia langsung menajamkan pendengarannya.
"Gue lagi sibuk akhir-akhir ini." jawab cowok itu sekenanya. "Emang ada apa sih?"
"Lo pasti lupa lagi kan?" Dengus Ken, "Kemarin kitakan udah sepakat buat ngerjain tugasnya bu Retta."
Dean meringis, "Sorry."
"Udahlah, lagian udah kita kerjain juga. Gak heran sih lo juga biasanya numpang nama doang." Bukannya marah, Dean malah tertawa. "Eh, gue kemarin liat lo bonceng adik kelas. Cie, baru kali ini gue liat lo bareng cewek selain Chacha."
Mendengar itu gerakan tangan Maisha terhenti, ia menatap punggu cowok kurus di depannya yang malah terkekeh tanpa memberikan jawaban yang memuaskan.
"Jadi, bener dia gebetan lo?" Dean sempat melirik ke arahnya sebelum mengedikkan bahu. Namun, Maisha dapat melihat senyum simpul yang tercipta di bibir cowok itu.
Tak ada pembicaraan lagi yang ia dengar. Keduanya sibuk untuk merangkum materi dari buku paket. Namun, apa yang didengarnya membuat konsentrasi Maisha sedikit terganggu. Melihat Ken berdiri dan berpindah tempat duduk ke samping Rega yang kebetulan kosong, Maisha buru-buru menduduki bangku Ken, membuat Rana yang melihatnya kebingungan.
Maisha kembali menulis. Akan tetapi Dean yang memandangnya sejak ia datang membuat cewek itu menyimpan bolpoinnya. Menoleh pada Dean, "Kenapa?"
Dean menggeleng lalu melanjutkan tulisannya. Maisha sendiri masih terdiam sebelum menidurkan wajahnya dengan menyamping, memperhatikan cowok itu yang tumben rajin. "Yan," lirihnya yang hanya dibalas deheman. "Lo lagi deket ya, sama Tari?"
Dean menatapnya beberapa saat, "Kenapa emang?"
Cewek itu menggigit bibir bawahnya, "Gak pa-pa sih, cuma kepo aja. Soalnya selama ini yang gue tau, lo selalu males bahas masalah cewek."
Terkekeh, Dean mengacak rambutnya yang terurai hingga berantakan. "Kenapa sih lo harus semenggemaskan ini?"
"Ih, Dean jangan diacak-acak!" Maisha melepaskan tangan cowok itu dan merapihkan rambutnya, "Lo nyebelin banget sih?"
Dean malah tertawa renyah, sedang Maisha hanya mampu memandangi cowok itu tanpa berkedip. Tawa itu, kenapa terdengar indah di telinganya? Dan, sesuatu dalam dadanya yang berdesir hangat.
"Lo ... juga gimana sama Denis?" Maisha mengerjap lalu berdehem, "Ya, gitu. Udah ah gue mau lanjut nulis." Ujarnya dengan wajah memerah. Hal tersebut tak luput dari perhatian Dean yang langsung menduga apa yang terjadi antara mereka.
***
Semua memang terlihat seperti biasa, tapi siapa yang tahu hati seseorang kan? Begitupun Maisha yang beberapa hari ini memilih bergelut dengan rasa penasarannya. Tentang Dean yang tak memberi kepastian mengenai hubungannya dengan Mentari membuat dirinya merasa begitu terganggu. Entahlah, Maisha sendiri bingung harus mengartikan itu apa.
Kisah pertemanannya dengan lelaki yang terbilang minim membuatnya kurang memahami, sebenarnya seberapa batasan persahabatan antara lelaki dan perempuan itu? Ia merasa masih seperti dulu, buta dalam memaknai arti perasaannya terhadap sahabat lelakinya.
"Rega?" tanyanya saat mereka berdua berjalan menuju lapangan untuk melakukan kerja bakti. Cowok yang dipanggil menoleh. Maisha memilin ujung dasinya sebelum memutuskan menanyakan hal yang baginya terdengar sedikit memalukan, "Em lo dulu pernah bilang kan, kalau saat gue ngerasain sesuatu yang aneh gue boleh tanya ke lo?"
Cowok itu mengangguk. Maisha melanjutkan ucapannya, "G-gue suka ngerasa deg-deg sama salah tingkah kalau diperhatiin. Terus kadang gak suka liat dia sama cewek lain, itu art-"
"Lo jatuh cinta, Cha." Maisha tergagap, "A-apa?"
"Ya ampun! Ternyata lo udah besar ya, siapa cowok itu? Denis kan?" tebak Rega memegang kedua bahunya yang masih belum sepenuhnya sadar dari keterkejutan.
"Woi, Yan!" Rega melambaikan tangan pada Dean yang tengah membawa lap pel, "Tau gak adek kita ini lagi jatuh cinta sama Denis," ujarnya dengan semangat, membuat Dean langsung mengalihkan pandangan pada Maisha yang bergeming di tempatnya.
"Lo suka sama Denis?" tanya Dean memastikan. Ditanyai seperti itu, Maisha tergagap. Bahkan ditatap seperti itu saja jantungnya langsung jumplitan. Ia harus bagaimana? Tidak mungkin mengatakan bahwa yang ia maksud adalah cowok di depannya. Maisha mengulum bibirnya cemas, melirik Rega yang seenaknya mengambil kesimpulan. "Yan, gak git-"
"Selamat ya!" ucapan Dean membuatnya terhenyak. Bahkan saat tangan dingin cowok itu menyalaminya, Maisha seperti kehilangan nyawanya. Dean yang tersenyum bahagia cukup membuktikan bahwa cowok itu tak memiliki perasaan yang sama.
"Gue ke duluan ke lapang deh, mau ngasih tau Kenar." Rega segera berlalu padahal Maisha bermaksud mencegahnya. Ia menghembuskan nafas kasar lalu melirik Dean yang masih berdiri di sana. "Yan."
"Ya?" Dean masih tersenyum, "Kok lo gak bilang sama gue sih, dek?"
Maisha menggeleng, "Jangan panggil gue gitu lagi, gue bukan adek lo kan?"
Senyuman di bibir Dean hilang, selama dua tahun lebih ia sudah terbiasa menggunakan panggilan itu, "Kenapa? Lagian Denis juga udah tau kan gue suka manggil lo gitu? Lo malu?"
Karena panggilan itu cuma ngingetin gue kalau lo hanya nganggap gue kayak adek lo. Batinnya, tapi Maisha tak mampu mengungkapkan, "Ya udah, lo tinggal nurut aja, Yan."
Dean tampak tak setuju, tapi Maisha tetap bersikukuh. Tak tahan berduaan terlalu lama ia memutuskan pergi, "Gue duluan."
***
Setelah kejadian kemarin, Rega terus-terusan menggodanya.Sedang Maisha sendiri memilih menelungkupkan wajahnya di atas meja. Rana yang mendengar kabar tersebut hanya mengatakan, "Lo yakin yang dia suka itu Denis?"
Diam-diam Maisha menyesali apa yang ia tanyakan pada cowok itu jika akhirnya seperti ini. Ia tahu niat cowok itu baik mengatakan pada para sahabatnya. Namun, Maisha harus menyesalkan kalau yang ia sukai bukan tetangga kelasnya itu. Maisha berdiri dari duduknya, membuat Rana menatapnya penuh tanya, "Gue lagi pengen sendiri."
Seolah mengerti, Rana membiarkannya berlalu. Ia menghentikan langkahnya di balkon kelas, memperhatikan para siswa yang tengah berolahraga di lapangan. Tatapannya tertuju pada sosok cantik dengan rambut sepunggung yang diikat rapi. Setelah terakhir kali mendapati Dean bersama cewek itu, entah kenapa Maisha jadi sering menangkap sosok tersebut.
"Dia emang cantik banget," gumamnya lirih, tanpa sadar membandingkan dirinya. Maisha terus saja mengikuti ke mana cewek itu melangkah. Begitu luwes dan aktif.
Handphone-nya bergetar. Maisha membuka pesan yang berasal dari Denis. Cowok itu mengajaknya mengunjungi festival nanti sore, tapi dengan tanpa pikir panjang ia tolak. Maisha sedang tidak ingin melibatkan diri dengan siapapun. Lagian ia tidak ingin memberikan harapan pada cowok itu.
"Sha," panggilan itu membuatnya menoleh. Denis sudah berdiri bersama kedua temannya yang kemudian berjalan terlebih dahulu, meninggalkan mereka berdua. Maisha berusaha menampilkan senyumnya, "Hai, Den."
"Lo ... yakin gak mau ikut? Katanya kemarin pingin banget ke sana?" tanyanya memastikan. Maisha menggeleng lesu, "Gue lagi gak enak badan, jadi lain kali aja deh."
Cowok itu mengangguk sebelum fokusnya beralih pada dua sosok yang keluar dari kelas. Maisha ikut mengalihkan pandangan, di mana keduanya malah menampilkan senyuman menggoda sebelum berlalu. Maisha menghela nafasnya, menatap sendu punggung itu yang semakin menjauh. Padahal ia berharap Dean akan merasa cemburu.
"Sha, gue ke kelas dulu ya. Pak Bram udah jalan ke sini. Lo juga cepet masuk, nanti di marahin ketahuan keliaran di jam pelajaran."
Maisha mengangguk, membiarkan Denis berlalu memasuki kelasnya dengan tergesa-gesa.
***
Cewek itu berjalan sendirian setelah membantu membawakan buku ke ruangan guru. Para sahabatnya sudah pergi ke kantin, dan Maisha bermaksud pergi ke kelasnya untuk mengambil uang. Dari kejauhan ia mendapati sosok yang menjadi perhatiannya beberapa hari terakhir. Sedang berdiri di dekat ruang kelasnya. Maisha hendak melewatinya ketika cewek itu memanggilnya. Dengan terpaksa ia menoleh pada Mentari yang terlihat malu-malu.
"Kak Maisha sahabatnya kak Dean ya?" Maisha tak langsung menjawab, ia malah meneliti penampilan cewek di depannya yang begitu stylish. "Ada apa?"
Cewek itu menyodorkan sebuah kertas yang dilipat rapi, menimbulkan kernyitan di dahinya, "I-ini kak, aku mau titip ini buat kak Dean, soalnya handphone-dia kan rusak. Aku takut gak sempet ketemu."
Rusak? Bahkan Maisha tidak tahu kalau handphone cowok itu rusak.
"Bisa kan kak?" Maisha akhirnya mengangguk membuat Mentari tersenyum bahagia, "titip banget ya kak, aku gak tau mau minta bantuan siapa lagi."
Maisha hanya menganggguk singkat. Setelah kepergian Mentari, ia melirik kertas di genggamannya. Menimang-nimang apakah ia harus memberikan pada Dean atau tidak. Dengan rasa penasaran yang tinggi Maisha hendak membuka kertas tersebut sebelum akhirnya panggilan Rega membuatnya tersentak. Cewek itu refleks melempar kertas tersebut ke sembarang arah.
"Kenapa sih kaget gitu?" tanya Rega, "lo nyembunyiin sesuatu ya?"
Maisha menggeleng, melirik Dean dari ujung matanya. Cowok itu sama tengah menatapnya tanpa mengatakan apapun. Kalau dipikir-pikir, kenapa Dean lebih banyak diam akhir-akhir ini? Maisha berdehem, "Em k-kalau gitu gue masuk kelas duluan."
Ia beranjak dengan tatapan mengarah ke tempat ia melempar kertas tersebut, tapi tak ia temukan. Maisha jadi bingung harus bagaimana. Kalaupun ia mengatakannya pada Dean, dirinya takut cowok itu berpikir macam-macam dengan menganggapnya sengaja membuang kertas itu, juga sebagian besar dalam hatinya menolak memberi tahu.
"Cha, katanya mau ke kelas?" Maisha menggaruk lengannya dengan mata mencuri pandang ke arah lain, berharap menemukan yang ia cari. "Ng-ini mau kok, mau."Cewek itu langsung masuk dengan terburu-buru, bahkan hampir menabrak pintu di depannya membuat kedua cowok itu saling pandang. Aneh.
Di dalam kelas, Maisha memukuli kepalanya. Seharusnya ia tak ceroboh. Ah, bagaimana kalau isi kertas itu penting? Mungkin ia harus mencarinya lagi sepulang sekolah. Semoga masih ada. Harapnya. Hingga beberapa jam kemudian koridor depan kelasnya sudah bersih dengan tempat sampah yang kosong sehabis dibuang oleh petugas kebersihan. Saat itulah Maisha mulai dihantui perasaan takut, bagaimana kalau Dean marah padanya?
"Nyari apa? Maisha terperanjat. Ia menggeleng dan hendak melangkah ketika tangannya di tahan, mengharuskan dirinya mau tak mau berbalik.
"Pulang bareng Denis lagi?" Pertanyaan tersebut membuatnya menggeleng lagi.
"Mau bareng?" Maisha langsung mendongkak, sesuatu dalam dadanya meletup-letup, "M-mau."
Cowok itu terkekeh, "Ya udah yuk."
Maisha mensejajarkan langkahnya dengan cowok itu.
"Udah semingguan ya, kita gak pulang bareng? Lo sibuk terus sama Denis sih." Maisha hanya tersenyun kaku, tak tau harus mengatakan apa.
***
Maisha pikir semuanya akan baik-baik saja. Dean yang kemarin mengantarnya pulang meski pagi ini cowok itu tak menjemputnya seperti yang dijanjikan. Bahkan Maisha tidak bisa menghubunginya mengingat handphone Dean yang masih diservis. Hingga ketika sampai depan kelas, sosok yang ia pikirkan sedang menyandarkan punggungnya. Rasa kecewa Maisha langsung lenyap, dengan langkah ringan mendekati cowok itu yang langsung menegakkan badan mendapati kedatangannya. Maisha hendak menyapa ketika Dean melemparkan pertanyaan yang membuatnya membeku.
"Kenapa lo gak kasih surat dari Tari?"
Cewek itu mengerjap sebelum berusaha menyembunyikan kekagetannya. Maisha menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. "Ma-maksud lo apa?" elaknya membuat Dean tertawa remeh. Ternyata cewek di depannya belum berubah, "Gak usah sok polos!"
Takut. Itulah yang Maisha rasakan saat ini. Terakhir dibentak Dean adalah saat ia ketahuan mencelakakan dirinya untuk menahan Kenar. Namun, kali ini berbeda. Aura cowok itu lebih seram dengan mata yang menatap tajam serta dada yang turun naik menahan emosi.
"Gue mau ke kelas, ada tugas yang belum-"
"Gak ada tugas atau apapun hari ini Maisha!" tegas Dean mencengkram lengannya. Sakit, tapi ia merasakan lebih dari itu ketika mendengar panggilan yang Dean berikan.
Cewek itu berusaha melepaskan diri, "Yan, sakit. Tolong lepasin."
Bukannya melepaskan, Dean malah semakin mengeratkan. Membuat Maisha ingin menangis seketika. Ia tidak pernah dikasari seperti ini. Sedangkan Dean yang melihat mata cewek di depannya berkaca-kaca hanya mendengus, berpikir bahwa Maisha sedang berpura-pura.
"Jangan kayak gini, gue takut." pintanya. Namun, Dean tak peduli, "Lo yang jangan kayak gini. Gue pikir lo udah berubah. Lo tau? Gara-gara lo, Tari sakit karena nungguin gue sampe kehujanan."
Sungguh, Maisha tidak tahu kalau cewek itu mengajak Dean bertemu, "Tapi gue cuma-"
"Cuma apa? Sengaja biar gue gak ketemu dia?"Maisha memejamkan matanya. Mengabaikan beberapa temannya yang sempat melirik mereka sebelum memasuki kelas. Hatinya terasa perih melihat bagaimana Dean menyalahkannya. "Kalau iya kenapa?" Akhirnya itu yang keluar dari mulut Maisha. Ia menatap Dean yang terlihat kecewa, "Gue gak suka lo sama dia!"
Mata Dean sempat membelalak, kemudian ia teringat alasan Maisha berlaku buruk pada Wulan, "Kenapa? Lo gak seharusnya kayak gitu. Lagian apa urusannya sama lo? Lo juga udah ada Denis, jadi gue berhak jalan sama siapapun. Jangan samain gue sama Kenar!"
Maisha hanya mampu menggeleng dengan air mata yang akhirnya keluar, "Bukan gitu. Lo gak ngerti."
"Gue emang gak pernah ngerti sama jalan pikiran lo." ucapnya sebelum Dean berlalu. Mengabaikan panggilan Maisha yang bingung harus menjelaskan bagaimana.
Sampai seharian Dean tak masuk kelas, hanya datang setelah jam sekolah berakhir untuk mengambil tas. Maisha sendiri hanya menangis tanpa menjelaskan apapun membuat para sahabatnya kebingungan.
"Lo apain Chacha sampe dia nangis gitu?" tanya Ken saat Dean berjalan keluar kelas. Cowok itu malah melenggang begitu saja. Sampai matanya menangkap sosok Maisha tengah berbicara dengan Denis, ia mempercepat langkah dan menarik lengan cewek itu. Mengabaikan teriakannya yang meminta dilepaskan.
"Lepas, Yan! Gue mau pulang sama Denis." tolaknya. Dean berdecih dan menariknya untuk naik, mengabaikan ringisan cewek mungil itu. Ia langsung mengemudikan motornya seperti orang kesetanan. Tak mempedulikan teriakan ketakutan cewek di belakangnya.
"Sialan!" ucap Dean motornya hampir tersenggol kendaraan milik siswa dari sekolah lain. Kedua siswa itu bukannya minta maaf malah tertawa membuat emosi Dean semakin tersulut. Cowok itu menambah kecepatannya, seolah lupa ada nyawa yang sedang ia bawa. Sampai akhirnya di tikungan sebuah mobil dengan kecepatan sama tinggi muncul membuat Dean kaget dan langsung membanting stir, akan tetapi karena tak dapat menyeimbangkan diri, motor yang ia kendarai menabrak pembatas jalan membuat seseorang di boncengannya terlempar dan ia sendiri terjatuh dengan setengah badan tertimpa kendaraannya.
Dean merasakan ngilu di seluruh badannya. Namun, saat matanya menangkap sosok yang tergeletak tak berdaya dengan darah yang menutupi sebagian wajahnya, seketika hatinya mencelos. Dean hendak bangkit untuk menghampiri cewek itu, tapi badannya terasa tak sanggup. Hingga di sisa kesadarannya Dean mendengar teriakan dan derap langkah yang mendekat. Lalu semua benar-benar gelap.
***