Ketika di rumah aku terkejut saat melihat perabotan tidak ada.
"Loh? Televisi kok gak ada?" ucapku saat masuk ke dalam rumah.
Rasa bingung juga takut timbul dibenakku, apalagi melihat peralatan elektronik tidak ada. Jika televisi di rumah, pasti terlihat saat pertama kali masuk ke dalam rumah.
"Bu.. Ibu.. Nek.. Nenek.." ucapku memanggil Ibu dan Nenek, "Ibu dan Nenek kemana?"
Berjalan menyusuri kamar mencari keberadaan Ibu serta Nenek, tetapi beliau juga tidak ada di rumah. Anehnya jika beliau sedang tidak ada di rumah kenapa pintu terbuka? Pundak ku terasa berat karena laptop yang ada di dalam ransel, ku letakkan ransel di kamar lalu duduk di teras menunggu Ibu dan Nenek pulang.
**
"Ibu, Nenek!" ucapku kemudian memeluk Beliau, "Ibu dan Nenek dari mana saja?"
"Kamu baru pulang?" tanya Nenek.
"Iya Nek, sekitar 30 menit yang lalu." ucapku.
Kami masuk ke dalam rumah, duduk di sofa. Rasa takut semakin bertambah apalagi melihat raut wajah Ibu dan Nenek, seperti marah dan akan menerkam ku.
"Ibu, Nenek dari mana?" tanyaku.
"Kami dari kantor polisi." ucap Nenek.
"Loh? Kenapa Bu? Nek? Oh iya, televisi kita mana Bu? Nek? Kok gak ada." tanyaku.
"Ya itu dia penyebabnya! Kami kehilangan televisi dan kulkas, blender juga magic com. Makanya Nenek ajak Ibu kamu ke Polisi." ucap Nenek.
"Kamu tadi sudah mengunci pintu belum Nak? Saat berangkat ke kampus?" tanya Ibu.
Pertanyaan Ibu seketika membuat aku panik, mencoba mengingat-ingat tadi pagi apa sudah menutup pintu juga mengunci? Cukup lama Ibu dan Nenek menunggu jawaban, tetapi kenapa aku tidak mengingat kejadian itu?
"Eka lupa Bu, sepertinya sudah Eka kunci." ucapku.
"Tetapi kenapa elektronik kita hilang? Pulang dari pasar hilang semua barang elektronik di rumah kita!" ucap Nenek.
"Sudahlah Bu, mungkin belum rezeki kita!" sahut Ibu.
"What? Apa maksudnya ini?" tanyaku dalam hati.
"Belum rezeki bagaimana? Karena elektronik kita hilang, kita jadi tidak bisa berjualan." sahut Nenek yang kini emosinya memuncak.
Belum pernah aku melihat Nenek semarah ini! Nenek justru orang yang penyabar, saat mencoba mengingat-ingat kembali tetap saja! Lupa.. tidak ada yang ku ingat selain kejutan dari Merry dan teman-teman kampus.
"Aaaahh..." teriakku dalam hati.
Ibu masih saja menangis, itu yang menyebabkan mata beliau sembab kemudian memerah.
"Ibu.." ucapku kemudian memeluk Ibu.
"Kamu sudah mengingat?" tanya Ibu diiringi sesenggukan tangisannya.
Aku menggelengkan kepala, "Eka lupa Bu, karena tadi Eka terburu-buru!"
"Kamu itu, makanya jangan terlambat bangunnya! Kalau terlambat ya begini! Pasti kamu lupa kan menutup pintunya? Tadi Nenek yang masuk dulu aja kaget, pintu terbuka lebar barang elekrtonik sudah tidak ada! Untung, laptopnya kamu bawa! Kalau tidak pasti ludes semua! Keenakan pencurinya!" gerutu Nenek yang tiada henti.
Ucapan Nenek membuat air mataku menetes, ingin rasanya mengelak namun aku sendiri juga lupa dengan kejadian tadi pagi. Aku memeluk Ibu semakin erat.
"Mbak Zahra bagaimana? Sudah ketemu barang-barangnya?" tanya Bu Dini tetangga sebelah kiri.
"Belum Mbak Dini." ucap Ibu.
"Sudah lapor Polisi mbak?" tanya Bu Dini lagi.
"Iya sudah lapor, tetapi percuma saja! Eka tadi yang membuka pintu, saya lihat pintu terbuka saat masuk pulang dari pasar." ucap Nenek.
"Ya Allah, kenapa Nenek bisa berbuat tega begitu? Apalagi belum jelas aku yang menyebabkan kehilangan ini!" gumam ku dalam hati memeluk Ibu erat.
Ibu mengusap air mata yang turun tiada henti, "Sudah, jangan menangis!"
"Iya, percuma saja kamu menangis!" bentak Nenek.
"Sabar Mbah, Mbak." ucap Bu Dini.
"Yo ora biso ngunu kui, marai maling'e penak! Mene lak rene maneh!" ucap Nenek dengan bahasa jawanya yang medok.
Belum pernah terdengar di telingaku Nenek mengucapkan menggunakan bahasa Jawa yang medok begitu! Apa mungkin Nenek seperti itu karena emosinya sedang memuncak? Entahlah, yang jelas sekarang tetangga jadi datang berkerumun di dalam rumah.
"Sudah Bu, sudah!" ucap Ibu.
"Eka itu enak, semua peralatan elektronik hilang, laptopnya masih utuh! Beruntung itu!" ucap Nenek kepada Bu Dini dengan emosi yang menggebu-gebu.
"Bu, laptop Eka Ibu jual saja ya!" pintaku dengan menatap Ibu.
"Jangan Nak!" cegah Ibu menolak saran ku.
"Kenapa kamu tolak? Kan blender kamu hilang, mau menggiling bumbu pakai apa kamu? Jam segini pasar sudah tutup!" ucap Nenek.
"Tapi laptop milik Eka kan juga untuk mengerjakan tugas Bu." ucap Ibu.
"Aah, sudahlah! Aku keluar saja! Percuma di rumah." sahut Nenek kemudian pergi begitu saja entah kemana.
Sontak aku berdiri akan mengejar Nenek, namun tangan Ibu memegang tangan ku dan menyuruh kembali duduk.
"Kamu di sini saja Nak, temani Ibu!" ucap Ibu.
"Iya, Ibu kamu benar Eka! Sebaiknya kamu di sini saja, soal Nenek biarkan Beliau meredakan emosinya!" ucap para tetangga.
Ibu memeluk ku, namun ponsel di dalam dompet Ibu berdering.
Missed Call
Niken.
Ibu memberikan ponselnya, "Niken telfon!"
"Sebentar ya Bu!" kataku menerima ponsel itu kemudian mengangkat telfon dari Niken.
"Hallo, Assalamualaikum, iya Ken ada apa?" tanyaku.
"Gak Ka, aku mau tanya. Ibu hari ini libur ya? Kenapa gak jualan?" tanya Niken.
"Iya, Ken! Ibu gak jualan, kita lagi kena musibah." kataku.
"Musibah apa? Lu habis nangis ya? Aku ke sana deh!" sahut Niken kemudian menutup telfonnya.
Rupanya isakan tangisan ku terdengar oleh Niken, karena itu Dia akan kemari.
"Kenapa Nak?" tanya Ibu.
"Niken akan kesini Bu." ucapku meletakkan ponsel di atas meja.
"Sudah Mbak Zahra, apa yang terjadi sudah sebaiknya dilupakan saja! Yang terpenting kalian semua selamat." saran para tetangga.
"Iya Mbak." sahut Bu Dini.
"Kalau saya sudah melupakan Mbak, yang membuatku tidak habis pikir kenapa Ibu malah merasa iri dengan laptop Eka?" tanya Ibu.
CKREKKK..
Suara sepeda motor yang dijaglang, beberapa detik kemudian Niken masuk ke dalam rumah.
"Loh ada apa ini Ka?" tanya Niken duduk disamping kiri Ibu.
"Rumah mereka habis kemalingan Mbak." ucap Bu Dini.
"Waduh, yang sabar ya Bu, Eka." ucap Niken.
Niken masuk ke dapur, entah dia melakukan apa disana. Tetangga pamit pulang karena hari semakin gelap, beberapa tetangga juga masih ada yang mencari Nenek mengikuti ke mana perginya.
"Terima kasih ya Bu." ucap Ibu kepada Tetangga.
"Iya sama-sama." ucap Tetangga.
"Ibu, Eka, cobain ya teh buatan aku." ucap Niken.
"Duh jadi merepotkan kamu Nak!" ucap Ibu.
"Iya Ken, harusnya aku sebagai tuan rumah yang membuatkan minuman. Bukan kamu." ucapku.
"Sudahlah, gak masalah. Ayo Ka, Bu dicoba teh hangatnya. Menurut penelitian, teh hangat bisa menenangkan pikiran." ucap Niken.
Kami meminum teh buatan Niken, benar saja ucapannya teh ini membuat ku lebih tenang dari sebelumnya.
"Terima kasih ya Ken!" ucapku bersamaan dengan Ibu.
"Sama-sama Ka, Bu." ucap Niken.
Terdengar adzan Maghrib, kami shalat bersama-sama kemudian kembali menunggu Nenek pulang.
"Bu, Nenek sudah pulang?" tanyaku begitu selesai shalat.
"Belum Nak." kata Ibu yang masih cemas dengan keberadaan Nenek.
"Sabar ya Bu, beberapa tetangga juga sedang mencari Nenek." kataku kemudian duduk.
Ibu berjalan mondar-mandir, merasa tidak tenang karena Nenek belum pulang.
"Bu... Bu Zahraa.." teriak tetangga dari luar rumah.
Mendengar hal itu kami keluar untuk memastikan kejadian di luar, apalagi kami sedang panik dengan keberadaan Nenek.
"Ada apa Pak?" tanya Ibu.
"Maaf, kami belum menemukan Mbah Isa." ucap tetangga.
Rasa khawatir yang kami rasakan semakin bertambah seiring air mata yang terus menerus turun. Niken mengajak kami masuk, dia juga ikut menenangkan Ibu.
"Sabar ya Bu." ucap Niken kemudian memeluk Ibu.
Saat memeluk Ibu, lampu tiba-tiba padam.
"Biar Niken aja Bu! Eka dan Ibu tunggu disini saja!" pinta Niken.
"Terima kasih ya Nak." ucap Ibu.
Niken menyalakan trafo listrik yang ada di teras, cukup lama kita menunggu lampu menyala. Yang membuatku terkejut, saat lampu menyala ada Tania, Nenek dihadapan kami juga para tetangga berdiri di belakang Tania dan Nenek duduk sambil membawa balon yang bertuliskan "Happy Birthday".
"Astaghfirullah, Tania, Nenek." ucapku bahagia.
Nenek duduk disamping, "Selamat ulang tahun ya cucu kesayangan Nenek."
"Selamat ulang tahun sayang." ucap Ibu.
Tania, Niken dan tetangga memberikan ucapan Selamat ulang tahun dengan kompak.
"Terima kasih Nenek, Ibu, Tania, Niken juga tetangga-tetangga." ucapku.
"Iya." sahut Tania.
"Ehm, aku tau ini semua kamu yang merancang ya?" tanyaku.
"He-he-he, udah-udah ayo make a wish dulu!" saran Tania dengan tertawa.
Sejenak berdoa kemudian meniup lilin, sayangnya lilin itu masih saja menyala. Tatapan sinis aku berikan kepada Tania, hingga akhirnya Tania, Niken, Ibu juga Nenek membantu memadamkan lilin.
"Yeay." ucap Niken yang terlihat childist.
Kue pertama aku berikan untuk Ibu dan Nenek, kemudian sahabatku Tania dan Niken. Baru setelah itu kepada tetangga, namun setelah mendapat kue mereka malah pulang.
Aku memeluk Tania dan Niken, "Terima kasih ya Tan, Ken!"
"Iya sama-sama." ucap Tania.
"Eh, tapi aku beneran gak tau loh Ka kalau kamu ulang tahun!" ucap Niken.
"Jadi?" tanyaku.
"Ternyata kamu juga tertipu Ken!" sahut Tania.
Niken terlihat bingung, "Ini siapa yang ultah? Yang kena siapa?"
Kebingungan Niken justru membuat Tania tertawa terbahak-bahak, dia merasa usahanya sukses.
"Maaf ya Ken, kamu jadi ikut terkena imbasnya." ucap Tania.
"Jahat lu Tan!" ucap Niken.
"Maaf ya Ken." kata Tania.
"Iya iya." ucap Niken, "Eh tapi, makhluk hidup di dalam perutku merintih melulu nih! Gak ada makanan apa ya?"
"Kamu selalu aja gitu Ken! Kalo soal laper gak bisa ditoleransi apa?" tanyaku.
"Tenang aja! Tunggu sebentar lagi!" ucap Tania.
"Ada apa Tan?" tanya Niken.
"Permisi mbak, GO-FOOD." ucap pengemudi ojek online yang sedang mengantarkan makanan.
Tania bersemangat menemui pengemudi itu kemudian menerima makanan dan minuman yang sudah dipesan olehnya.
"Ya Allah, makanan begini kenapa harus beli Nak Tania?" tanya Ibu.
"Iya, kan sayang uangnya." tutur Nenek.
"Sesekali Bu, Nek! Ayo dimakan!" saran Tania yang keluar dari dapur mengambil piring sendok juga gelas untuk kami.
"Terima kasih ya Nak." ucap Ibu dan Nenek bersamaan.
"Oh iya Bu, televisi kita bagaimana?" tanyaku.
"Eh iya itu gimana?" sahut Niken ikut bertanya.
"Tenang aja! Elektronik kalian ada di rumah kok!" ucap Tania, "Lagi pula kamu juga Ka, ceroboh!"
"Iya Tan, tadi aku terburu-buru."
"Sebentar lagi akan diantarkan ke sini." ucap Tania, "Jadi Ibu, Nenek dan Eka gak usah khawatir ya!"
"Beribu-ribu ucapan untuk kamu Tan, terima kasih ya Tan!"
"Iya Eka." kata Tania memelukku.
"Duh, udah malam! Aku pulang dulu ya! Daaa Eka... Ibu, Nenek, Niken pamit pulang ya!" ucap Niken kemudian bergantian mencium punggung tangan Ibu dan Nenek.
"Astaga." sahut Tania menggeleng-gelengkan kepalanya heran dengan sikap Niken.
"Hati-hati ya Nak!" ucap Ibu dan Nenek bersamaan.
"Iya Bu, Nek. Waalaikumsalam." ucap Niken kemudian mengendarai sepeda motornya.
"Wassalamu'alaikum." ucapku bersama Ibu dan Nenek.
"Ibu dan Nenek ke dalam ya!" ucap Ibu yang terlihat kelelahan.
"Iya Bu." ucapku dan Tania.
Kami saling berbagi cerita, tentang pengalaman saat mengikuti DINAMIKA di kampus. Kemudian datang mobil pick up membawa peralatan elektronik.
"Pak, sekalian di letakkan juga ya!" pinta Tania.
"Iya Mbak." ucap tukang yang membawa peralatan elektronik.
"Kamu masih lama di sini Tan?" tanyaku.
"Besok lusa aku harus kembali ke Malang Ka." ucap Tania, "Kenapa?"
"Jalan yuk besok! Kangen sama kamu Tan!"
"Iya, besok aku jemput di rumah aja ya." ucap Tania.
Semua tukang selesai meletakkan peralatan elektronik di tempat yang semestinya, mereka pamit termasuk Tania.
"Aku pamit pulang ya Ka! Salam buat Ibu dan Nenek." ucap Tania.
"Iya hati-hati ya Tan! Daaa."
"Iya say. Daaa." ucap Tania kemudian mengemudikan sepeda motornya.
Ibu dan Nenek sudah tertidur lelap di kamar, ku kunci pintu kemudian membersihkan ruang tamu. Ternyata ada satu kantong plastik berwarna gelap di dalam kantong itu ada 2 kado, saat melihat isi kado itu aku sangat terkejut.
"Ponsel? Untukku?" gumam ku, "Astaghfirullah, Tania! Dia membelikan aku buku Pajak."
***
nice dan fresh story authorr!! :)
Comment on chapter Prolog