Pernikahan Ayah Harry dan Ibu Zahra diadakan di Surabaya, kemudian Ayah dan Ibu tinggal di Gresik bersama-sama dengan saudara-saudara Ayah dan Eyang.
Kehadiranku menambah ramai suasana rumah, di sana juga ada anak kecil yang memiliki usia sama denganku. Mereka adalah anak dari Saudara Ayah.
Namun musibah itu terjadi, Ayah mengalami kecelakaan. Parahnya kecelakaan itu hingga merenggut nyawa Ayah, saat itu aku berusia 4 tahun.
Ibu dan Eyang sangat terpukul dengan kepergian Ayah, apalagi Eyang sangat menyayangi Ayah karena beliau adalah anak kebanggaannya.
Sudah 100 hari sepeninggal Ayah, namun Ibu dan Eyang masih saja sedih. Terkadang mereka masih menangis disaat mengingat kenangan bersama dengan Ayah.
Ibu memutuskan mengajakku untuk tinggal dan menetap di Surabaya di rumah Nenek. Jika Ibu tetap tinggal di rumah Eyang, Ibu akan terus menerus mengingat bayang-bayang Ayah yang nantinya akan berakhir dengan tangisan tiada henti.
Eyang sempat marah dengan keputusan Ibu, kemudian Eyang juga mengerti bagaimana perasaan Ibu.
Usai sarapan bersama Eyang dan Saudara-saudara almarhum Ayah, Ibu pamit kemudian berangkat denganku ke rumah Nenek.
Kami melangkahkan kaki, saat di gerbang Ibu menoleh ke belakang bola matanya melihat setiap sudut rumah megah yang beliau huni bersama almarhum Ayah, Eyang juga Saudara-Saudara.
Genggaman tanganku membuat Ibu tersadar dari lamunannya, kami naik transportasi umum menuju rumah Nenek.
**
Begitu sampai di rumah Nenek, beliau terkejut juga senang melihat kedatangan kami. Nenek mempersilahkan kami tinggal bersama beliau, Ibu menceritakan kejadian tragis yang menimpa almarhum Ayah.
Air mata Ibu kembali turun, Nenek berusaha menenangkan Ibu dan juga memberi saran.
Aku adalah penyemangat mereka, dengan kehadiranku membuat Ibu dan Nenek semakin giat mencari uang dengan berjualan nasi. Usaha itu yang membiayai kehidupan kami sehari-hari juga membiayai segala keperluan sekolahku di tahun ajaran baru nanti.
Alhamdulillah semakin hari usaha Ibu dan Nenek habis meski beliau sudah menambahkan porsinya, hingga Ibu dan Nenek mampu membeli rombong yang dipergunakan menjual makanan.
Ibu mendaftarkan aku sekolah di SD Negeri, meski duduk di bangku sekolah dasar namun aku selalu rajin belajar hingga akhirnya mendapatkan ranking saat pembagian Raport.
Dari kelas 1 hingga kelas 3 SD mendapatkan ranking 1 di kelas, namun saat kelas 4 hingga kelas 6 nama ku tercantum di ranking 5 besar.
Pendaftaran SMP lagi-lagi Sekolah Negeri yang aku coba, alhamdulilah keberuntungan berpihak kepadaku. Namaku tercantum sebagai Calon murid tahun ajaran baru dengan hasil danem yang ku punya.
Aku selalu aktiv mengikuti lomba-lomba yang diadakan pihak Sekolah dengan bantuan beberapa anggota OSIS, berbagai lomba yang diselenggarakan pihak sekolah ternyata aku meraih nilai dan juara saat lomba cerdas cermat. Sebenarnya bukan soal penghargaan dan juara yang aku inginkan, namun pengalaman juga pengetahuan yang dapat aku ambil hikmah. Mengetahui ada lomba cerdas cermat tingkat Jawa Timur Pak Tomi mendaftarkan nama ku sebagai calon peserta.
Pak Tomi juga mendaftarkan 5 siswa-siswi kandidat lainnya, beliau memilih kandidat dari kemampuan dan IQ yang dimiliki. Kandidat dari setiap sekolah akan diseleksi tingkat Kecamatan dan Kabupaten.
Di perlombaan, aku sempat down melihat siswa-siswi yang mengikuti lomba cerdas cermat. Tentunya IQ mereka juga jauh lebih dibandingkan dengan aku.
Ibu duduk, "Kamu jangan cemas! Ibu yakin kamu pasti bisa melawan mereka." kata Ibu berusaha menenangkanku juga mengusap punggung ku.
Kesabaran Ibu membuatku bersemangat, perlombaan dimulai satu per satu kandidat sekolah gugur. Dan juri memutuskan aku sebagai pemenangnya, karena lawanku tidak bisa menjawab soal terakhir.
Juri mengajak aku dan Pak Rudi tampil diatas panggung, lalu memberikan piala, sertifikat dan hadiah.
Pak Rudi, Pak Tomi dan beberapa Guru lainnya sangat terkejut, mereka juga bangga dengan juara yang aku dapatkan. Mengingat sudah lama Bapak/Ibu Guru merindukan nama sekolah kembali bangkit dengan prestasi yang diraih siswa-siswi.
"Selamat ya!" kata Juri.
3 orang juri memberikan ucapan selamat juga menjabat tangan kepada ku juga Pak Rudi, usai menerima piala aku tersenyum bebas. Raut wajah cemas kini berubah menjadi bahagia, aku mengangkat piala yang ku pegang di kanan kiri kemudian melemparkan senyuman kepada Ibu.
Raut wajah Ibu terlihat lega, beliau tentu cemas sama sepertiku. Namun beliau cukup handal menyembunyikan ekspresi itu!
Ibu mendekatiku, "Selamat ya sayang." kata Ibu kemudian mencium keningku.
"Terimakasih Bu, ini juga berkat Ibu." kataku.
Pak Rudi menjabat tanganku juga tangan Ibu memberikan ucapan selamat.
"Eka, Ibu. Hadiah dari pihak sekolah akan memberikan keringanan biaya untuk kamu selama 1 tahun. Kamu juga tidak perlu dibebankan biaya Ujian Nasional." ucap Pak Rudi.
"Serius Pak?" tanyaku terkejut.
"Iya, saya serius Eka." ucap Pak Rudi.
Peserta bergantian memberikan ucapan selamat dan menjabat tanganku, lalu diikuti Pak Tomi dan Bapak/Ibu Guru yang hadir.
Suara riuh ucapan selamat juga masih terdengar hari ini padahal sudah beberapa hari yang lalu aku mengikuti perlombaan cerdas cermat.
nice dan fresh story authorr!! :)
Comment on chapter Prolog