Pagi itu ia terbangun, seketika itu pula ia tertegun menatap sekelilingnya. Semuanya putih, bersih tak ada objek yang terlihat. Ia bergumam "Tuhan, apakah ini yang dinamakan kematian?". Siapa sangka beberapa detik berikutnya terpampang sebuah tulisan "BANGUNLAH, DILUAR SANA BANYAK KESUKSESAN YANG MENUNGGUMU" Kemudian datanglah cahaya yang menyeruak membantunya bangun dari mata yang terlelap.
Tidak membutuhkan waktu yang lama, ia berlari tergopoh-gopoh menuju sang ibu tercinta. "Bu, aku mengalami sesuatu hal yang aku anggap itu adalah sebuah hal aneh". Sang ibu tersenyum "Apakah hal itu menyeramkan, sayang?". Ia merajuk "Bu, sungguh aku tak ingin bergurau". "Jadi, hal apa yang sebenarnya kau alami nak?" (mengusap rambut sang anak). Ia mulai berbicara dengan antusias "Begini bu, tadi aku bermimpi semua yang aku lihat warnanya putih, dan ibu tau apa yang selanjutnya terjadi?". Sang ibu tersenyum kembali. "Bu sungguh, jangan menertawakanku" (menelungkupkan tangan ke wajahnya). "Ayolah sayang, bukan ibu menertawakanmu. Tapi ibu hanya tersenyum dan sungguh ibu pun tak tau apa yang kau alami setelahnya, karena ibu tak bersamamu dalam mimpi itu". Senyumnya kembali mengembang "Jadi, ibu mau tau apa yang terjadi selanjutnya ?". (mengangguk) "Tentu sayang, berceritalah kau membuat ibu penasaran". Memasang wajah serius "Setelah semuanya putih dan aku tak punya imajinasi apapun tentang apa yang terjadi, sungguh bu aku menyerah akan hal itu. Tapi, siapa sangka muncul tulisan yang begitu memotivasi". Sang ibu terheran "Apa yang kau maksud dengan tulisan yang memotivasi itu, nak". Ia berdiri dan menunjuk tembok dihadapannya "Tulisannya seperti ada di sebuah dinding dan berbunyi ' BANGUNLAH, DILUAR SANA BANYAK KESUKSESAN YANG MENUNGGUMU ' bukankah itu sebuah mimpi yang aneh bu?". (menggeleng) "Mungkin bagimu itu sesuatu yang aneh, tapi bagi ibu, itu sebuah mimpi yang luar biasa.". "Apakah hal itu bisa di banggakan bu?" (tanyanya heran). "Mungkin, jika kau meyakininya sayang. Tapi menurut pepatah mimpi hanyalah sebuah bunga tidur, tetapi jika kau ingin membuatnya menjadi nyata tak ada yang tidak mugkin asalkan kau mau berusaha." Sang anak pun kembali mengagguk patuh.
Anak yang dengan polosnya 5 tahun lalu, masih bertanya tentang mimpinya. Siapa sangka, kini telah berubah menjadi sosok dewasa meyakinkan. Bukan hanya dari parasnya yang elok, tapi sungguh ia mahir dalam segala bidang. Namun, sayang sangat disayangkan 3 tahun lalu ia harus memekik pilu ditinggal sang ayah tercinta dalam sebuah kecelakaan, tahun tersebut menjadi tahun-tahun terberat baginya. Sang ibu mulai sakit-sakitan walau tak payah ia masih menjadi sosok yang bijaksana. Tapi, apa kabar dengan kedaaan adiknya yang masih kecil dan biaya sekolahnya. Hari itu juga ia ingin mengubur dalam-dalam semua impiannya, berlari ke makam ayahnya dan berkata " Ayah, kenapa tak kau ajak aku saja beristirahat denganmu. Sungguh yah, aku tak sanggup melihat ibu kesakitan dan mengorbankan impianku, itu adalah dua plihan yang tak bisa aku pilih yah " ia menangis tersedu-sedu di pusaran ayahnya hingga senja tiba dan memaksanya untuk pulang.
Rumah yang selama ini selalu hangat menyambutnya ketika pulang, terasa hampa dan kosong. Sang ibu mulai terbangun untuk melakukan sembahyang "De, coba panggil kakakmu" (mengangguk) , si kecil pun berlari menuju kamar kakaknya. Sejenak ia terhenti di ambang pintu karena terdengar suara isakan di dalamnya. Si kecil sungguh dewasa dengan kembali lagi ke kamar ibunya dan menyampaikan bahwa sang kakak terlihat kurang baik.
Hari terus berganti dan keadaan semakin memburuk. Ia tak punya pilihan kecuali mengorbankan impiannya demi sang ibu, ia mencintai impiannya tetapi ia lebih mencintai ibunya. Dengan langkah yang gontai ia pergi ke sebuah bangunan yang cukup bagus di masanya, ia menyerahkan sebuah permohonan surat keluar dari sekolahnya. "Apakah kau bercanda nak?" Seorang bapak tinggi besar yang duduk di hadapannya terheran. "Tapi maaf pak, saya serius dengan hal ini" terunduk malu. "Aku tak bisa menerima ini nak, kau anak yang berprestasi, sangat disayangkan untuk keluar dari sekolah pada tahun-tahun akhir" Menghampiri anak tersebut. "Saya tau pak, saya juga sebenarnya ingin menyelesaikan pendidikan ini, tapi bapak tau sendiri sekarang keadaan saya" tertunduk menahan air mata , "Jika itu yang menjadi masalahmu, janganlah kau pikirkan. Cepat bawa surat ini kembali dan bersekolahlah yang rajin"(mengelus pucuk kepala sang anak) . Ia meyanggah "Tapi pak, saya tak ingin menjadi beban untuk ibu saya, tolong terima surat ini". Dengan nada yang lebih tinggi "Cepat kau ambil lagi surat ini, dan belajarlah yang rajin. Untuk hal lain tak usah kau pikirkan". Ia mengangguk dan berjalan menenduk keluar dari ruangan tersebut.
Bukan masalah yang mudah untuk belajar dengan baik tetapi dalam kondisi yang tidak memungkinkan, karena itulah ia meminta izin untuk pulang lebih dulu. Sesampainya di rumah ia disambut senyuman hangat khas sang ibu, seketika itu pula tangisnya pecah. Sang ibu terheran, apa yang terjadi dengan anak sulungnya ini "Kau kenapa nak? Apakah ada yang menyakitimu?". Namun, bukan kata yang terucap melainkan tangis yang menjadi. Sang ibu sangat mengerti dan akhirnya ia mendekap sang anak untuk menangis dalam pelukannya. Beberapa menit kemudian, akhirnya tangis sang anak dapat di redam, dan ia mulai bertanya kembali dengan hati-hati "Coba jelaskan apa yang kau alami hari ini?". "Sebenarnya tadi aku menyerahkan surat keluar kepada kepala sekolah, tapi ia menolaknya "(menunjukan muka kesal). Sang ibu tersenyum "Bukannya sudah ibu bilang, jangan kau lepaskan impianmu sayang, karena tak akan ada yang menyetujui itu, baik ibu maupun kepala sekolah". "Tapi bu, aku tak mau membuat itu terbebani, biarkan saja aku untuk bekerja dan membantumu" sanggahnya. Sambil terus tersenyum "Apakah ibu pernah bilang bahwa ibu merasa terbebani olehmu sayang? hmmm". Ia menggeleng. "Oleh karena itu, kejarlah impianmu, untuk hal lain biar ibu yang urus”. Kembali ia menyanggah "Tapi bu, ibukan masih sakit". Sang ibu menggenggam tangan sang anak (meyakinkan) "Ibumu ini sudah tak sakit lagi sayang. Buktinya ibu sudah bisa kembali bekerja". "Tapi bu". (meletakan telunjuk di bibir sang anak) "ssssst, sudah nak. Belajarlah yang rajin dan menjadi kebanggaan ibu saja ya, tak usah kau pikirkan hal lain lagi.". "Baik bu, aku janji akan menjadi seseorang yang sukses dan membahagiakanmu bu." Senyum sang ibupun merekah dan mengusap-ngusap rambut sang anak.
Ia berlari menuju kamarnya dan bergegas tidur agar ia siap menghadapi hari esok.Tetapi saat menghadap langit malam ia teringat akan mimpinya dua tahun silam, dimana ia berpikir hampir bertemu ajal. Namun, suatu keajaiban dengan kata motivasi datang dihadapannya. Lama ia berpikir, mungkinkah dengan mengejar mimpinya, keluarganya akan baik-baik aja? Apakah ibunya bisa kembali sehat walau harus memperjuangkannya? Tanya yang tak akan terjawab sebelum bertemu hari esok.
Kini, tibalah saat tahun-tahun yang memilukan menyadarkan perjuangan, bahwa semua mimpi tak mudah untuk ia capai. Ia harus dipertemukan kembali pada saat-saat yang menguras air mata, ia kehilangan [lagi] sosok tersayangnya dalam sebuah kesakitan. Untuk kali ini, ia memang sudah dewasa. Tetapi tetap, kehilangan adalah sebuah momok besar dalam kehidupan. Ia mengalami lagi masa-masa sulitnya, tapi ia tak bisa terpuruk seperti dulu karena ia harus bertanggung jawab pada si kecil adiknya yang tak ayal masih bersedih lebih darinya.
Perlahan ia bangkit, menyusun kembali mimpi-mimpi kecilnya untuk menjadi seorang MANUSIA. Jalan-jalannya memang masih berliku. Namun, karena hatinya yang sudah terlatih, hal tersebut bukan lagi menjadi hambatannya, karena si adik kecil pula lah segala lelahnya dalam berharap sirna. Si adik yang menggemaskan sekaligus bijaksana membuatnya ingin terus maju dan mewujudkan impiannya. Kembali ia teringat pesan terakhir sang ibu “Kejarlah impianmu nak, jangan kau patahkan semangatmu karena hal-hal yang mengganggu. Kamu adalah orang terbaik yang bisa kuat dalam keadaan apapun. Ibu mengandalkanmu dalam segala hal”. Sedih memang, kata terakhirnya ia pakai sebagai kata motivasi yang tak ternilai. Kini hanya adiknyalah tempat ia pulang, sehingga ia berjanji untuk memberikan hidup yang lebih baik bagi adiknya nanti.
Tepat tahun ini, ia sudah berdiri dihalaman sebuah perusahaan terkemuka, melihatnya dengan bangga, apa yang selama ini ia bangun tak sia-sia, karena begitu indahnya orang-orang saat membicarakan kesuksesannya. Ia ykain bahwa setiap sukses bukanlah dari hal yang mudah, melainkan dari sebuah pengorbanan yang indah. Karena itulah ia bersyukur atas hal apapun yang menimpa hidupnya selama ini, baik saat kehilangan yang bertubi-tubi ia rasakan dan masalah yang tak kunjung menemukan jeda, yang mungkin menjadi tabungan suksesnya di masa kini. Kini semua janjinya terlaksana dengan indah, dengan hasil usahanya yang membuat ia bisa berdiri dengan gagah karena menjadikan semua mimpinya nyata.