Hari ini Gretha libur, karena anak kelas dua belas sedang ujian akhir sekolah. Cewek itu sudah memiliki jadwal, ke rumah Noel. Bukan tanpa alasan Gretha ke rumah Noel. Di rumah cowok beralis tebal itu mengadakan makan malam bersama dalam rangka ulang tahun Romi, ayah Noel. Gretha diundang karena sudah dianggap keluarga selama ini. Jadi, sebelum pergi ke rumah sahabatnya, cewek manis itu membantu ibunya terlebih dahulu di bakery.
“Bu, minta kopi, dong, Ayah capek.” Tio masuk ke bakery, menuju dapur, meminta istrinya untuk memberikan kopi.
Gretha mendecak. Dasar sok manis! Iya capek. Capek jalan-jalan dengan perempuan lain, batin Gretha geram. Ayahnya duduk di meja yang dekat dengan kasir, membuat Gretha yang saat itu bertugas dapat melihatnya dengan jelas. Pria yang berusia awal empat puluhan itu menoleh karena merasa ada yang menatapnya. Benar saja, itu Gretha, menatapnya seakan hendak menerkam.
Tio tersenyum, “Eh, anak Ayah rajin banget ya,” ujarnya manis dengan senyum lebar yang tampak agak canggung.
Gretha sibuk melirik jam tangannya. Jarum pendek di angka empat dan jarum panjang di angka satu. Setengah jam lagi dia akan ke rumah Noel, jadi harus sabar.
“Iya dong rajin, biar pengunjung juga rajin datang, kan kasirnya cantik.” Prada keluar dari dapur membawa secangkir kopi dan memberikan kopi itu pada suaminya.
Gretha tersenyum kecut.
Lonceng bakery berbunyi, yang artinya ada tamu yang datang. Gretha menyipitkan mata, menganalisa siapa yang datang. Itu perempuan centil kemarin yang ia temui bersama dengan ayahnya di swalayan. Mau apa?
Tio mengikuti arah pandang Gretha, dan terkejut mendapati pacarnya berada di bakery milik istrinya. Pria itu berdiri dan berjalan cepat menuju toilet bakery. Gretha tersenyum mengejek.
“Mbak, saya cuma beli ini,” ujar perempuan selingkuhan ayahnya menyodorkan dua bungkus roti tawar pada Gretha yang bertugas selaku kasir.
“Semuanya tiga puluh ribu. Nggak pakai selai, Mbak? “ tanya Gretha dengan wajah datar. Biasanya cewek itu akan sedikit ramah dengan pengunjung. Pengecualian jika pengunjungnya adalah perempuan ular ini.
Perempuan itu sepertinya berpikir, “Ah nggak deh, Mbak, nanti saya gendut. Lagian ini rotinya untuk anak saya, kok.”
Anak?
Gretha hanya mengangguk, kemudian memasukkan dua bungkus roti tawar yang dibeli oleh perempuan itu ke dalam kantong plastik.
“Eh, kamu bukannya yang waktu itu di swalayan, ya?” perempuan berbibir tipis itu mengamati wajah Gretha. “Ah iya, benar. Kamu yang itu. Kerja di sini?” tanyanya lagi sambil menatap remeh Gretha.
Anak SMA itu hanya mengangguk, malas memperpanjang urusan.
“Roti di sini enak-enak, loh, Mbak. Kuenya juga. Anak saya suka.” perempuan itu masih dengan tatapan meremehkan Gretha tapi memuji ikhlas rasa roti buatan Prada.
Gretha menyerahkan uang kembalian perempuan tersebut, “Terima kasih, Mbak.”
“Nama saya Rhea. Saya tinggal nggak jauh dari sini, kok, makanya saya beberapa kali beli makanan di sini,” jelas perempuan yang ternyata bernama Rhea tersebut.
Gretha manggut-manggut. Nggak nanya, batinnya.
“Salam sama yang punya bakery ya, Mbak, dari Rhea,” ujar Rhea lagi, sedikit centil, kemudian berbalik, melenggang keluar dari sana.
Gretha mengangguk. Apa dia tahu kalau ayah Gretha adalah suami yang punya bakery, makaya dia titip salam?
“Ayah kamu mana, Tha?” tanya Prada sambil membawa kue pesanan pengunjung ketika melihat meja yang tadi ditempati suaminya kosong menyisakan kopi dan ponsel pria itu di atasnya.
“Dipanggil alam.” Gretha memukul mulutnya pelan, “Maksudnya panggilan alam,” ujarnya menunjuk ke toilet.
**
Happy birthday
Happy birthday
Happy birthday to you
Tepuk tangan yang riuh dari beberapa orang di rumah itu memecahkan suasana. Hangat dan penuh kasih adalah gambaran suasana saat itu. Gretha merasa di dalam keluarga yang utuh. Ada ayah, ibu, adik, kakak. Paket lengkap didapati Noel dengan keluarga seperti ini.
“Ayo potongan kue pertama untuk siapa?” goda Noel pada Romi, ayahnya.
Romi berpura-pura hendak memberikan kue itu pada Nata, tapi ia urungkan. Pria itu berbalik menyuapi Hera istrinya.
“Cie,” ujar Nata heboh.
“Kamu ini belajar cie dari mana?” tanya Noel sambil berpura-pura marah, tapi kemudian turut menyoraki ayah dan ibunya.
“Cieeee,” ujar dua kakak beradik itu kompak.
Gretha tersenyum melihat keakraban keluarga di hadapannya itu.
“Nah, yang potongan kedua untuk Gretha, karena sudah mau bantu Mama bikin kuenya jadi enak begini,” ujar Romi hangat, memberikan sepotong kue dengan krim ekstra. Kesukaan Gretha. Bahkan, keluarga di hadapannya ini sangat mengetahui apa-apa saja yang cewek itu suka dan tidak suka.
“Makasih, Pa,” ucap Gretha tulus. Romi memeluk hangat cewek manis itu dan mengecup puncak kepalanya, membuat Gretha terharu.
Dulu, dia juga selalu merayakan ulang tahun sehangat ini di rumah. Tapi, semuanya berubah semenjak ayahnya selingkuh. Ayah kadang lupa ulang tahun ibu dan ulang tahunnya. Bahkan, mereka sudah tidak merayakan ulang tahun lagi, karena ayahnya sering pulang larut malam. Katanya, ada kerjaan, yang kadang ntah apa, tidak jelas.
Setelah acara potong kue dan makan malam selesai, saatnya acara minum teh di halaman belakang rumah. Gretha sudah izin dengan ibunya untuk pulang agak malam. Prada memperbolehkan, karena percaya dengan keluarga Noel. Mereka saling mengenal sejak Prada dan Hera masih sekolah. Keduanya teman saat SMA.
“Asyik ya, Ma, dibantu Gretha bikin kuenya,” ujar Romi membuka percakapan.
Hera mengangguk, “Iya, telaten banget. Ya, maklum, kan pemilik bakery loh ini.”
“Iya, tapi dulu kue di bakery habis terus, Ma, di awal pembukaan. Dimakan Noel.” Gretha membuka aib.
“Enak aja. Kan bukan cuma aku, kamu juga. Kata kamu kan hari pertama buka, kuenya gratis.”
Semuanya tertawa.
“Mama pasti senang deh kalau kamu benar jadi anak Mama nanti,” ujar Hera sungguh-sungguh.
“Lah emang sekarang belum, Ma? Kan aku anak Mama.” Gretha memamerkan senyum manisnya, walau kesedihan terlihat jelas di matanya. Noel bisa melihat itu.
“Maksudnya kamu sama Noel nikah, gitu.”
“Ih, apaan sih, Ma. Mana mau aku sama cewek model Gretha. Bukannya disayang, yang ada aku ditendang.” Noel mulai membayangkan bagaimana jika benar dia menikah dengan Gretha. Malam pertama bisa jadi malam terakhir kalau cowok itu salah bicara. Gretha kan sensitif. Kena senggol langsung bacok.
“Situ pikir situ oke?” Gretha mencibir, “Aku juga nggak mau sama kamu. Level aku itu Justin Bieber.”
Romi dan Hera tertawa melihat perdebatan kecil dua anak di hadapannya ini. Nata sudah tidur, jadi tidak ada yang menambah keributan. Kalau Nata masih bangun, maka anak kecil itu akan berdiri di kubu Gretha untuk memusuhi abangnya yang biasa ia sebut anak lutung.
“Kayaknya Mama benar. Kalau Noel dan Gretha nikah, bisa ramai rumah kita.” Romi berbisik pada istrinya.
**
Gretha dan Noel sudah mulai sekolah. Dengan sedikit malas, Noel menyeret langkahnya menuju kelas, mendapati sebagian penghuni kelas itu belum berdatangan. Sepertinya kesiangan karena terbiasa libur.
“Tha, aku ditolak,” ujar cowok beralis tebal itu dengan wajah sedih pada Gretha yang sibuk dengan ponselya.
Noel yang merasa tak diacuhkan Gretha tidak patah semangat. Dia menghempaskan pantatnya ke bangku di sebelah Gretha, mendesah pelan. “Tha, dia kemarin suruh aku nunggu empat hari pas aku nyatain cinta.”
Noel menopang dagunya, “Pas udah empat hari aku tunggu, dia minta aku nyanyiin lagu biar dia bisa mantapin pikiran.”
Gretha merasa berisik, mau tidak mau menghentikan aktivitasnya, mengabaikan ponselnya dan mendengarkan curhatan Noel dengan menyanggah kepalanya dengan tangan kiri, menatap Noel yang duduk di sebelah kanannya.
Noel tersenyum melihat Gretha akhirnya memperhatikan, kemudian mengubah posisi sama seperti posisi cewek itu, menopang kepala dengan tangan kanan.
“Aku sudah nyanyiin lagu, tapi besoknya, dia bilang kalau dia nggak bisa terima aku jadi pacarnya.”
Gretha sebenarnya bingung harus menanggapi bagaimana. Cewek yang diakui kecantikannya itu tidak pernah merasa patah hati karena ditolak cowok, karena dia malas untuk mendekati cowok atau mencari pacar. Kalau menolak? Sejauh ini baru dua kali, karena jarang ada cowok yang mau mendekatinya, melihat sifat cuek dan ketus yang dia miliki.
“Empat hari, Tha, aku disuruh nunggu, disuruh nyanyi. Tapi apa? Ditolak.” Noel masih bermonolog, kali ini sambil menyodorkan empat jarinya ke hadapan Gretha.
Gretha menarik senyum tipis dari sudut bibirnya, merasa lucu melihat tingkah sahabatnya. Noel jarang naksir cewek., jadi sudah Gretha rasa kalau cowok itu sekarang benar-benar butuh mengobati hatinya. Tapi, Noel juga bukan orang yang berlama-lama galau. Selama Gretha mengenal cowok itu, Noel baru pacaran dua kali, karena dia termasuk cowok yang selektif.
“Ini cewek yang bulan kemarin kamu bilang kenal di facebook?” Gretha akhirnya mendapat kalimat yang tepat, karena jujur dia benar-benar bingung harus bicara apa.
Noel mengangguk, “Kamu tahu nggak, Tha, lagu apa yang aku pilih pas dia minta aku nyanyi?”
Gretha mengedikkan bahu.
“Ribuan hari aku menunggumu, jutaan lagu tercipta untukmu. Apakah kau akan terus begini?” Noel memulai nyanyiannya, dengan sangat ekspresif, membuat Gretha menutup mulut menahan tawa.
“Masih adakah celah di hatimu yang masih bisa ku tuk singgahi. Cobalah aku kapan engkau mau,” lirih Noel sambil menunjuk-nunjuk dadanya. Gretha tak bisa menahan tawa, pecah begitu saja.
Noel kemudian mengganti air mukanya dengan mimik serius, “Tahukah lagu yang kau suka? Tahukan bintang yang kau sapa? Tahukah rumah yang kau tuju?” tunjuknya pada Gretha, membuat cewek itu memudarkan senyumnya.
“Itu aku.” Noel kembali menepuk dadanya, “Percayalah itu aku.”
DEG.
Gretha mengatupkan bibirnya, memegang dada. Kenapa dia berdebar? Kenapa rasanya Noel seakan bernyanyi untuknya, padahal sudah jelas sekali kalau cowok itu bernyanyi untuk cewek yang bersekolah di SMA Garuda tempo hari.
Menyadari Gretha terdiam, Noel mengulang lirik bagian akhir, “Percayalah itu aku,” nyanyinya kemudian terduduk sambil menunduk ke arah Gretha, seakan dirinya baru saja mengadakan konser.
Gretha merasa salah tingkah. Cewek itu memilih berdiri kemudian mengibaskan tangannya di depan wajah Noel, “Nggak jelas kamu, ah,” ucapnya kemudian keluar dari kelas dengan wajah yang panas.
Kenapa sih aku? Batin Gretha.
**
Nata menyeruput jus yang baru saja ia beli bersama Silvi di kantin. Kedua cewek itu duduk di bibir lapangan upacara, menatap lurus, melihat beberapa orang sedang membangun panggung di tengah lapangan tersebut.
“Kapan acaranya?” tanya Gretha sambil menunjuk panggung setengah jadi itu dengan dagunya.
Silvi mendecak, “Tha, cuek kamu kelewatan, tau! Ini kan tiap hari juga dibahas di kelas, udah dari sebulan yang lalu juga. Acaranya Sabtu ini, Tha, ulang tahun sekolah, masa kamu nggak tahu?” cerocosnya tak habis pikir. Kenapa dia harus punya sahabat cuek macam Gretha, ya Tuhan?
“Oh,” jawab Gretha singkat kemudian kembali menyeruput jusnya yang sebenarnya sudah habis, membuat Silvi merasa terganggu karena bunyi sedotan Gretha pada sisa air di antara es batu dalam gelas jus itu.
“Gretha, ih! Berisik!”
Gretha memberikan cengiran pada sahabatnya itu, kemudian dengan sedikit malas bergerak menuju tong sampah.
Seorang cowok, yang berdiri tak jauh dari tong sampah itu memperhatikan Gretha sejak tadi. Karena merasa risi dan tidak suka jika diperhatikan, Gretha membalas tatapan cowok tersebut dengan pandangan sinis.
“Margaretha, kan?”
Gretha mengernyit, kemudian memindai wajah cowok yang makin lama bergerak mendekatinya itu, berusaha mengingat dia siapa. Oh, Alberth.
“Al?” Gretha mengubah air wajahnya menjadi ramah. Dia tidak mungkin tidak berekspresi di depan penyelamat hidupnya. Tidak sopan kalau begitu.
“Kamu sekolah di sini rupanya, Mar?” tanya Alberth.
Gretha mengangguk, “Iya. Kamu ngapain di sini? Nggak mungkin, kan, kamu kuliah di sini? Jelas-jelas ini sekolah untuk yang berseragam putih abu-abu,” ujarnya terkekeh.
“Aku bantu dekor panggung. Kerjaan sampingan selain jadi mahasiswa,” jelas Alberth.
Gretha bertepuk tangan pelan, “Wow, anak mandiri.”
Tak jauh dari sana, Noel melihat keakraban Gretha dengan orang asing. Cowok itu bergerak menuju Silvi yang lebih dekat untuk dijangkau. Mungkin manusia chubby itu mengenal cowok yang bersama Gretha.
“Sil, itu siapa?” tanya Noel, menunjuk Alberth dengan dagunya.
Silvi mengikuti arah pandang Noel, “Gretha.”
Noel berdecak, “Iya itu juga satu sekolahan tau. Maksudnya yang ngomong sama Gretha, Sil. Makanya jangan makan terus, dong,” ujarnya frustrasi sambil menatap lesu roti yang baru saja digigit Silvi.
Cewek bertubuh gempal itu hanya mengedikkan bahu, karena memang tidak tahu, dan tidak bisa menjawab dengan mulutnya yang penuh.
Noel sadar, bertanya dengan Silvi hanyalah sebuah kesia-siaan, jadi cowok itu memilih untuk mendekati Gretha dan Alberth. Noel bisa melihat Gretha lebih ekspresif di hadapan cowok asing tersebut. Biasanya, Gretha hanya akan memasang wajah datar atau tersenyum irit jika diperlukan di hadapan penghuni sekolah yang lain. Ada sedikit rasa cemburu dalam hati Noel, yang tak ia sadari.
“Siapa, Tha?” tanya Noel to the point setelah berada di samping sahabatnya itu.
Gretha menoleh, “Oh, El, kenalin ini Alberth. Panggil aja Al.”
Alberth dan Noel saling berjabat tangan. Alberth sadar kalau jabatan Noel di tangannya sedikit kencang, seakan-akan marah.
Gretha menyadari sesuatu, “Kalian kayak saudara ya. Yang satu Al, satunya El. Hahaha. Dul mana ya?” ujarnya sambil mengetuk-ngetuk dagunya, seakan berpikir.
“Kamu aja jadi Dul nya, Mar.” Alberth mengusap kepala Gretha gemas, membuat cewek itu tertawa renyah.
Noel memasang wajah tidak suka karena ada orang lain yang lebih dekat dengan Gretha selain dirinya. Ralat, bukan orang lain, tepatnya cowok lain. Cowok beralis tebal itu merangkul Gretha, seakan mengatakan kalau cewek itu miliknya.
“Hm, jadi Al, ngapain kamu ke sini?” tanya Noel sok asik.
Alberth tertawa kecil melihat lengan Noel yang sudah merangkul erat Gretha. Cowok itu menyadari kecemburuan Noel.
“Dia itu ke sini untuk bantu dekor panggung. Biasa, kerja sampingan. Ya kan, Al?” Gretha menyikut pelan pinggang Alberth, membuat Noel membulatkan matanya.
“Oh gitu.” Noel melirik jam tangannya, “Tha, bentar lagi bel. Ayo ke kelas,” ajaknya.
“Tapi El–“
“Ah iya, Al ... berth. Kami berdua ke kelas dulu, ya? Silakan lanjutin pekerjaannya,” ujar Noel sambil tersenyum penuh kemenangan kemudian merangkul Gretha, membawa cewek itu menuju kelas.
“Dah Al,” ujar Gretha sambil berusaha melambai karena sedikit kesulitan akibat rangkulan Noel.
Alberth tertawa melihat kepergian dua anak SMA itu. Yang satu polos, yang satu gengsi. Pasangan aneh, pikirnya.
**
“Kamu gimana bisa akrab dengan cowok tadi? Kayaknya bukan anak baik-baik. Kerjanya aja dekor panggung.” Noel meneguk air dari botol minumnya kasar, mengingat senyum lepas Gretha saat bersama Alberth.
Silvi yang baru saja masuk ke kelas menggembungkan pipinya kesal, “Kalian ninggalin aku, tau!” amuknya pada Noel dan Gretha.
Gretha mengangkat jarinya, membentuk huruf v dan membisikkan kata maaf, sedangkan Noel memberikan cengiran kemudian kembali melanjutkan pertanyaannya pada Gretha.
“Jawab, Tha!”
Gretha menoleh ke arah Noel yang melepaskan kacamatanya, membuat matanya yang tajam dan alis matanya yang tebal terlihat sangat menggemaskan. Bukannya menjawab pertanyaan sahabatnya, cewek itu malah mengambil kacamata Noel yang diletakkan di atas meja, kemudian meletakkannya di laci meja.
“Gretha!” Noel berusaha mengambil kembali kacamata miliknya, namun dihalangi tangan aktif Gretha.
“Mau aku jawab nggak, pertanyannya soal Alberth?”
Noel mengangguk.
“Ya udah, diam kalau gitu. Biar aja nggak usah pakai kacamata dulu, ganteng,” puji Gretha tulus.
Noel sedikit tersipu, “Apaan sih kamu. Ya udah jawab pertanyaan aku.”
“Jadi, Alberth itu orang yang nyelamatin aku yang hampir ketabrak mobil, terus dia–“
“Kamu hampir ketabrak? Kapan? Kok kamu nggak pernah cerita? Kamu ngapain sampai hampir ketabrak, Tha?” potong Noel dengan wajah cemas sambil menangkup wajah Gretha dengan kedua tangannya.
Noel memeriksa tubuh Gretha, melihat-lihat mana tau ada yang lecet. Gretha langsung menepis tangan Noel yang sibuk memegang bahunya.
“El, kejadiannya udah lama. Kalau pun luka, udah keringlah, udah ilang. Udah mau sebulan lalu juga kejadiannya. Aku tuh mau nyebrang, nggak liat kiri kanan, untung ada Alberth yang langsung narik aku ke pinggir jalan.” Gretha membentuk tanda peace dengan jarinya, “Selamat deh aku.”
Noel menghela nafas lega kemudian mengacak rambut Gretha, membuat rambut ikal cewek itu sedikit berantakan, “Lagian kamu kenapa sih nggak liat-liat dulu kalau mau nyebrang? Kayak banyak masalah aja.”
Gretha mengatupkan mulutnya. Memang benar dia ada masalah. Dia kembali mengingat alasan dirinya tidak melihat jalan waktu itu. Semua itu karena ayahnya.
“Tha?” panggil Noel, tapi cewek itu tetap diam menatap lurus ke depan.
Noel melambai-lambaikan tangan di depan wajah Gretha, “Woy Margaretha!”
“Eh. Iya, kenapa?”
Noel menyipitkan mata, “Kamu mikirin Alberth ya? Dewa penyelamatku, oh Alberth,” ujarnya berlebihan, membuat Silvi dan Gretha saling tatap.
“Geli tau, El.”
Bagus kak crita nya, saya suka????
Comment on chapter Prolog