"Rose, kemarin aku chat kamu kok gak dibales sih?" tanya Rheina.
"Aku gak megang ponsel aku kemarin." jawab Rose sembari mengeluarkan buku.
"Loh kenapa?"
"Ponsel aku ketuker."
"Sama siapa??"
"Sama Stefan!"
"Hah!? Kok bisa sih?" pekik Rheina.
"Jadi gini, kemarin itu aku lagi nungguin angkot...." Rose bercerita tentang apa yang telah terjadi dengannya kemarin.
"Ya ampun, kok hidup kamu enak banget sih Rose? Aku juga pengen dong ketuker ponselnya sama Stefan." ucap Rheina yang ekspresinya seperti sedang berkhayal. Rose memukulnya pelan, "Stefan punya aku! Lagian kamu kan udah punya Anton." bisik Rose. "Hehe, bercanda kok. Kalian emang pacaran? Kamu posesif banget padahal aku cuma bercanda loh." tanya Rheina, ucapannya memang sederhana, tapi itu menusuk hati Rose. "Gak. Tapi on the way." jawab Rose ketus. "Cie, udah gak mikirin pangeran nih?" goda Rheina. "Ih! Aku baru kali ini gak mimpiin dia tau!!" ucap Rose kecewa. "Loh kok bisa?", "Gak tau ih, sebel banget aku!!", "Terus tadi malem kamu mimpi apa?", "Aku gak mimpi apa-apa semalem." ucap Rose sedih.
Tiba-tiba Gilang datang menghampiri Rose dengan wajah penuh emosi.
"Kenapa pergi duluan?" tanya Gilang marah-marah.
Rheina melirik Rose dan memberikan kode untuk menjawab Gilang.
Rose menghela nafas lalu membuangnya pelan, "Aku pergi sama Stefan." jawabnya pelan.
"Apa? Kamu ngomong apaan?"
"Emang kenapa sih kalau aku pergi duluan? Lagian aku ini udah gede tau!" ucap Rose yang juga penuh amarah.
"Aku cuma mau mastiin kalau kamu itu pergi dengan selamat!" pekik Gilang.
"Emang kamu pikir dengan aku pergi sendiri aku gak bakal selamat gitu?" tanya Rose, mereka berdua terlihat seperti orang yang sedang naik darah.
"Bukan gitu Rose!" ucap Gilang sembari mengusap wajahnya. "Lalu?", "Gak, gak jadi." ucap Gilang dingin lalu ia beranjak menuju bangkunya.
"Rose, padahal jujur aja sih ke Gilang." saran Rheina.
"Kalau aku jujur terus dia marah dan pada akhirnya aku yang harus ngalah, kapan aku berubah? Lagian aku kan udah gede, gak bakal bisa sama Gilang terus-terusan, dia semakin lama semakin ganteng, kalau aku makin berlindung ke dia, terus dia tiba-tiba punya pacar gimana? Nanti aku dicampakkan gitu aja? Aku gak mau kayak gitu Rhei." ucap Rose lirih. Rheina hanya menatapnya, ia tau jika saat ini perasaan Rose sedang campur aduk sejak sifat Moza semakin agresif terhadap Gilang.
"Nton, tolong jauhin Moza dari aku dong." pinta Gilang pada Anton.
"Dia ganggu kamu lagi?" tanya Anton, Gilang mengangguk.
"Ganggu gimana?" tanyanya lagi.
"Tadi abis markirin motor, dia sama temen-temennya itu langsung datengin aku. Mereka teriak-teriakan segala, bikin malu aja asli."
"Teriak gimana?"
"Teriak gini 'Gilang sama Moza harus jadian!' sampai semua orang ngeliatin ke arah aku. Terus si Mozanya kecentilan banget di depan aku, biar dikira aku sama Moza habis ngobrol makanya di gituin."
"Haduh, cantik-cantik tapi gila."
"Bantuin lah pusing nih urang (aku)."
"Iya ntar aku bantu, santai dulu aja bro." ucap Anton menenangkan Gilang yang merasa terusik dengan Moza.
"Ada Gilang?" tanya seorang perempuan di depan pintu kelas. Gilang menatap ke arah pintu dengan malas.
"Boom! Moza." ledek Anton. Gilang memukul kepala Anton dengan buku.
"Apa? Jangan masuk kelas ini!" teriak Gilang pada Moza. Semua orang yang ada di kelas ini menonton adegan drama Gilang dan Moza.
"Lang, aku mau ngomong bentar." ucap Moza.
"Ngomong aja, tapi jangan masuk kelas ini."
"Aku pengen ngomong berdua aja tapi." pinta Moza manja.
"Kemarin kan udah kamu janji. Kalau aku nganterin kamu pulang, berarti hari ini, besok, dan seterusnya, kamu gak bakal ganggu aku lagi! Dan kamu sekarang gak nepatin janji kamu, jadi aku bener-bener gak bakal ngehirauin kamu lagi!" ucap Gilang ketus.
"Lang, aku tuh gak bisa hidup tanpa kamu." keluh Moza. Tiba-tiba sekelas tertawa karena ucapan Moza yang lebay itu.
"CIEE GILANGG." celetuk salah satu orang di kelas. Gilang tidak menggubris, ia kesal.
"Lang, sana gih kasian tuh ratu kamu." ledek Anton. Gilang tetap diam lalu ia memasang earphonenya dan menyalakan lagu dengan volume sekeras mungkin.
Setelah mereka melewati 4 jam pelajaran mereka pun istirahat.
"Rose." cegat Gilang saat Rose hampir keluar kelas.
"Ada apa?" tanya Rose . Tiba-tiba Gilang menarik tangan Rose dan memeluknya. Seketika kelas menjadi hening, mereka semua memandang ke arah Gilang dan Rose yang sedang berpelukan itu. Rose membeku. Dulu, saat Gilang memeluk Rose, Rose akan membalas pelukannya dengan perasaan sayang sebagai teman, tapi entahlah tiba-tiba hari ini Rose membeku. Jantungnya berdegub kencang, pikirannya kacau, dan pipinya memerah.
Rose menelan ludah pelan-pelan, ia berusaha menenangkan dirinya yang aneh itu.
"Jangan berubah kalau kamu udah jatuh cinta." ucap Gilang lirih, ia tidak mempedulikan teman sekelasnya.
"Maksudnya?" Rose kembali membeku karena pernyataan Gilang tadi, Rose terus menebak-nebak apa mungkin ia jatuh cinta pada Gilang? Dan apa mungkin Gilang tau jika Rose mulai mencintainya?
"Maksudku, kalau kamu jatuh cinta sama Stefan jangan berubah. Jangan lupain aku." ujar Gilang lalu melepaskan pelukannya itu. Rheina dan Anton saling menatap satu sama lain, mereka berdua kebingungan lantaran tidak biasanya mereka berdua seperti ini. Seperti sedang bermain di drama Korea.
"Ah iya...." ucap Rose sembari menggaruk-garuk kepalanya itu. Ia lega karena Gilang tidak mengatakan hal yang membuat Rose tersinggung, meskipun sebenarnya Rose tidak benar-benar jatuh cinta pada Stefan. Ia hanya mengaguminya.
"Oke." kata Gilang lalu mencubit pipi Rose dengan gemas. Rose menatapnya tidak percaya, padahal Gilang hanya akan melakukan hal seperti ini jika mereka berdua sedang ada di rumah.
"Ayo! Laper nih." kesah Anton. Gilang merangkul Anton, "Ayo." pekik Gilang kepada Rose dan Rheina. Mereka berempat pun beranjak menuju kantin.
"Rose?" panggil Rheina pelan ketika Anton dan Gilang sedang bersenda gurau.
"Kenapa?" sahut Rose.
"Kok Gilang jadi aneh gitu tadi?"
"Gak tau. Aku degdegan banget tau! Gak nyangka dia bakal kayak gitu."
"Kalian kayak lagi main di drama Korea aja." Rose mencubit lengan Rheina.
"Kira-kira kenapa ya dia kayak gitu?"
"Apa mungkin dia cemburu karena kamu sama Stefan deket?"
"Gak mungkinlah, lagian aku sama Stefan gak deket tau!"
"Kata siapa? Pertemuan kamu sama Stefan itu udah kayak di film-film tau. Iri aku jadinya, coba aja aku sama Anton juga gitu pertemuannya."
"Idih korban film."
"Abisnya aku sama Anton ketemuannya gak pas banget gitu. Masa kita ketemuan pas dia lagi mau pipis di deket pohon yang lagi kita dudukin itu? Parah banget gak sih? Mana dia malah ngatain aku lagi. Padahal dia yang salah." Rose seketika tertawa terbahak-bahak mengingat kejadian itu.
Flashback On.
Setelah Rose dan Rheina melaksanakan ospek di hari pertamanya, mereka berdua menyempatkan diri untuk bersandar di pohon tinggi yang ada di taman sekolah.
"Capek banget ya hari ini. Mana kakak-kakaknya galak banget lagi. Jadi capek mental dan jasmani." kesah Rheina lalu melepaskan tasnya dan meletakkannya di sampingnya.
"Iya nih, bete aku." kesah Rose juga.
"PANAS!!" pekik Rheina, Rose melirik ke arah matahari sore yang sedang terik-teriknya itu sebentar lalu kembali menatap Rheina.
"Mau aku beliin yang dingin-dingin?" tawar Rose. Rheina dengan semangat mengangguk kegirangan.
"Mau!!!"
"Oke, tunggu bentar ya." ucap Rose lalu pergi meninggalkan Rheina.
Sembari menunggu Rose, Rheina mengeluarkan ponselnya dan memainkannya. Selang beberapa menit kemudian, tiba-tiba datang seorang lelaki yang menghampirinya. Disitu posisi Rheina dengan seorang lelaki itu berbalik arah. Rheina ada di belakang pohon dan lelaki itu ada di depan pohon. Dengan was-was lelaki itu membuka resleting celananya, Rheina mendengarkan suara, Rheina pun berbalik badan dan seketika di hadapannya itu sedang ada seorang lelaki yang hampir pipis itu. Lelaki itu langsung menutup resletingnya. Rheina berteriak sembari menutup matanya.
"Kamu ngapain!!???" pekik Rheina. Lelaki itu panik. Ia berusaha membuat Rheina diam, karena ia takut jika orang lain mengira ia telah melakukan suatu hal yang buruk pada Rheina.
"Stt...Diam!" ucap lelaki itu.
"Ya kamu ngapain? Gak sopan banget!! Udah tau ada orang!"
"Ya mana aku tau!"
"Ih! Bilang aja kamu mau nunjukkin itu kamu ke aku kan??"
"Hah!? Kalau emang itu tujuan aku, ngapain aku tutup lagi sletingnya? Untung aja kamu nunjukkin badan duluan."
"Halah bohong!"
"Eh kamu jadi cewek jangan kepedean, siapa juga yang mau ngelakuin gitu?"
"Haduh tinggal jujur aja susah banget sih mas."
"Aku ngomong jujur!"
"Kalau gitu kenapa kamu buka resleting kamu?"
Lelaki itu terdiam sebentar, "Mau pipis." ucapnya pelan. Mulut Rheina ternganga, tiba-tiba Rose datang menghampiri mereka berdua dengan berlari.
"Siapa dia?" tanya Rose sambil membawa dua minuman dingin yang ada di tangannya itu.
"Gak tau!"
"Kamu siapa?" tanya Rose lagi sembari menatap mata lelaki itu dengan tajam.
"Tanya dia." ucap lelaki itu dingin lalu pergi meninggalkan mereka berdua.
Flashback Off.
"Kenapa sih kalian? Berisik banget?" tanya Anton saat Rose tertawa terbahak-bahak.
"Nggak." jawab Rose dan Rheina bersamaan. Lalu Rheina menggandeng tangan Rose lalu pergi mendahului mereka berdua.
"Oi, kok kamu aneh banget tadi?" bisik Anton pada Gilang.
"Oh emang aneh ya? Aku pikir kalau cowo gituin temen cewenya bakal dibilang romantis."
"Romantis pala lu. Kalian kan cuma temenan."
"Emang."
"Ya terus kenapa kamu meluk dia di depan temen-temen? Kalau kalian pelukan pas kondisinya lagi sedih atau bahagia sih ya oke, tapi ini gak ada apa-apa malah pelukan. Mana kata-kata kamu ke dia kayak orang pacaran lagi."
"Gak peduli."
"Kamu suka ya sama Rose?"
Gilang langsung membantah, "Gak."
"Terus kenapa kamu malah kayak gitu? Temenan kalau gak ada rasa gak mungkin gitu."
"Iya deh iya, aku suka sama Rose SEBAGAI SAHABAT." ucap Gilang lalu pergi meninggalkan Anton. Anton berkacak pinggang dan menatapnya heran.
Rose, Gilang, Rheina, dan Anton pun duduk di bangku kantin, mereka berempat juga telah memesan makanan dan minuman.
"Dikit amat makannya?" tanya Gilang pada Rose yang hanya memakan nasi goreng 5 sendok. Rose tiba-tiba malu, ia merasakan jantungnya kembali berdebar.
"Gak apa-apa." jawab Rose cepat. Gilang mengambil nasi goreng Rose dengan sendoknya itu lalu bertukar posisi dengan Rheina sehingga mereka berdua duduk bersebelahan.
"Makan." bujuk Gilang seraya menyuapkan nasi goreng kepada Rose. Semua orang di kantin menatap ke arah mereka berdua, lagi-lagi mereka berdua menjadi pusat perhatian.
Rose menggelengkan kepala sebagai tanda 'tidak mau' pada Gilang. Gilang memaksanya, bahkan ia menabrakan sendok itu pada mulut Rose hingga pada akhirnya Rose memakan nasi goreng itu. "Nah gitu dong bagus." ucap Gilang setelah Rose memakan nasi goreng yang ia suapkan tadi. Rose menahan malunya, perasaannya menjadi campur aduk karena perlakuan Gilang itu.
Tiba-tiba semua orang mengalihkan perhatiannya ketika Stefan mendatangi kantin, terkecuali mereka berempat. Mereka berempat tetap fokus pada aktifitas mereka.
"Hei." sapa Stefan setelah ia ada di hadapan Rose. Gilang langsung mendelik tidak suka. Rose membeku kembali. Ia benar-benar tidak mengerti akan jalan hidupnya.
"Ngapain kesini?" Gilang meliriknya tajam, Stefan tidak menggubris. "Bisa bicara sebentar?" pinta Stefan pada Rose. Rose berusaha berlagak seperti biasanya, ia mengangguk dan pergi menghampiri Stefan. "Apa?", tanpa menjawab pertanyaan Rose,Stefan menarik tangannya dan membawa Rose pergi kesuatu tempat. Lagi-lagi berasa seperti drama, seisi kantin menonton peristiwa itu. Berbeda dengan mereka bertiga, Gilang masih dengan perasaan kesalnya, Anton tercengang, dan Rheina seperti takjub.
Stefan menghentikan langkahnya di depan perpustakaan, saat itu suasananya sedang sepi karena sedang jamnya istirahat. "Maaf tuan putri, saya gak sopan ya?" tanyanya saat melihat raut wajah Rose yang berubah drastis.
"Hah? Tuan putri?" Rose terkejut, kenapa Stefan bisa tiba-tiba memanggilnya dengan sebutan itu?
"Iya Tuan Putri, saya gak sopan ya?" Stefan kembali mengulang pertanyaannya. Rose merasa ada yang tidak beres dengannya, ia juga curiga jika Stefan mengotak-atik ponselnya. "Kenapa diam?" tanya Stefan, Rose mencubit lengannya dengan keras, Stefan merintih kesakitan. "KAMU LIAT APA AJA DI PONSEL AKU!?" teriak Rose sekencang mungkin tanpa melepaskan cubitannya. "Aduh! Gila, kamu ini monster atau apa? Sakit banget ini!!!" ia merintih. Rose tidak mempedulikannya. "Baik, aku bakal jujur asal kamu lepasin cubitannya, asli ini sakit banget sumpah!" pekiknya, Rose melepaskan cubitannya lalu menyilangkan tangannya.
"Aku cuma liat galeri aja." jawab Stefan pasrah sembari mengusap lengannya yang memerah itu. Rose langsung melotot kearahnya, ia benar-benar malu.
"Sialan!" pekik Rose, "Kamu juga liat-liat isi ponsel aku kan? Jujur aja deh. Jadinya kita imbang." ucap Stefan, Rose ikut pasrah, ia terduduk di depan kursi panjang depan perpustakaan. Stefan mengikutinya.
"Kamu marah ya?" tanyanya. Rose menggeleng, ia tidak marah ia hanya malu.
"Terus kenapa?" Stefan kembali bertanya, "Coba kamu kasih tau, di mata kamu aku itu kayak gimana." pinta Rose.
"Ya, awalnya aku mikir kamu itu kayak perempuan biasa. Ngehampirin cuma buat pengen jadiin aku pacar. Tapi, gelagat kamu yang kayak emosi waktu itu bikin aku ngerasa kamu beda. Gak tau kenapa. Padahal biasa aja sebenernya." ucap Stefan.
"Bukan, bukan soal first impression." ujar Rose.
"Lalu?" Stefan kebingungan, " Pandangan kamu ke aku setelah kamu liat isi ponsel aku."
"Oh! Gimana ya? Pokoknya ngakaklah! Kamu itu unik! Aneh! Hahaha..." Stefan tertawa puas, Rose berdehem menandakan bahwa ia sedang serius. Stefan menghentikan tawanya dan merasakan canggung luar biasa saat itu, ia merasa bersalah karena tertawa di waktu yang tidak tepat.
"Gimana?" desak Rose.
"Kamu suka berimajinasi ya? Aku agak gak paham sih sama isi galeri kamu. Isinya foto pangeran, kerajaan, kuda, terus foto kamu sama pangeran yang diedit. Aku gak tau kamu ini tipe cewek yang suka imajinasi apa tipe cewek yang feminimnya gak ketulungan,", "Unik sih, beda dari yang lain. Di saat perempuan lain berlomba-lomba jadi paling cantik difoto, bahkan sampe ngedit foto mereka pake pemutih atau apalah itu, kamu mah beda! Kamu malah ngedit foto kamu sama orang-orang kuno. Emang kamu kenal?" tanya Stefan saat menceritakan pandangannya.
"Enggaklah, aku cuma suka aja gitu liat pangeran jaman dulu. Kharismanya dapet banget!"
"Terus maaf nih ya, aku juga baca note kamu. Kamu punya impian pengen jadi tuan putri?" tanya Stefan lagi, Rose menelan ludahnya dalam-dalam. Mungkin galeri lebih baik daripada note.
"Maaf hehe." kata Stefan merasa bersalah. Rose memasang wajah datar, mungkin Stefan akan menjadi teman barunya. Teman baru yang suka mengejek maksudnya.
"Iya." jawab Rose dingin.
"Terus ajudan sama pangerannya? Kalau cerita kamu dibukuin, pasti bakal jadi best seller."
"Gak tertarik bikin buku. Aku cuma pengen pangeran dengan wujud asli." ucap Rose seraya menatap langit-langit koridor sekolahnya.
"Kenapa? Apa pangeran kamu itu sangat penting?"
"Iya, karena diantara semua orang di dunia ini, yang paling peduli dan ngerti sama aku itu cuma ada 3 orang. Yang pertama, keluarga aku. Yang kedua, Gilang. Yang ketiga, pangeran aku. Aku ngomong gini ke kamu karena kamu udah tau rahasia aku. Jadi jangan kasih tau siapa-siapa ya soal rahasia aku?" pinta Rose.
Stefan hanya diam.
"Mungkin kita emang baru kenal dua hari, tapi aku percaya sama kamu. Kalau kamu ngelakuin hal yang bikin aku nggak percaya lagi sama kamu, aku bakal benci sama kamu selamanya!." ancam Rose.
Stefan masih diam, tapi dari gerak geriknya, ia masih mendengarkan.
"Stef?"
"Heh! Kenapa sih kamu?" Rose menggoyangkan badannya hingga Stefan menggubris.
"Ah maaf, tadi cuma kepikiran."
"Kepikiran apa?"
"Kalau aku jadi orang keempat yang peduli dan ngerti sama kamu boleh?" pinta Stefan.