Bel istirahat berbunyi, Rose, Gilang, Rheina, dan Anton beranjak menuju kantin.
"Rose, Rhei mau beli apa? Biar kita yang beli kalian yang cari bangku." tanya Anton. Rose dan Rheina saling bertatapan, mungkin ada sesuatu yang merasuki mereka hingga mereka jadi seperti itu.
"Tumben mau beliin, biasanya kalian gak mau." jawab Rheina ragu.
"Pasti ada sesuatu nih sampai-sampai kalian kayak gini." ucap Rose.
"Gak ada apa-apa kok." ucap Gilang dingin. Rose menyenggol Gilang.
"Idih, sok dingin banget kamu." ujar Rose geli. Gilang hanya diam.
"Kamu marah ya Lang?" tanya Rose, Anton dengan sigap menjawab, "Dia lagi gak ada mood buat ngomong." "Kenapa? Ada masalah? Atau gara-gara Moza tadi?" tanya Rose sembari berkacak pinggang. Anton langsung ciut, jika Rose sudah seperti ini tandanya akan ada badai besar. "Kayak gini doang sampe dipermasalahin, tinggal duduk doang emang susah?" tanya Gilang emosi. Rose mendesah kesal, ia pun menarik tangan Rheina dan pergi untuk mencari tempat duduk.
"Emangnya tadi si Moza ngomong apa aja sama kamu?" tanya Anton setelah Rose dan Rheina pergi. Gilang mengusap wajahnya dan menjawab, "Dia bilang bakal nyari aku di kantin pas jam istirahat, katanya dia mau ngasih surprise." Anton menahan tawanya, "Surprise?" Gilang mengangguk lesu. "Kok di omongin sih? Bodoh banget tuh si Moza." ejek Anton lalu tertawa terbahak-bahak. Gilang hanya diam, dia benar-benar muak karena ulah Moza yang selalu menghantui hidupnya. Moza sudah 20x menembak Gilang, tapi selalu ditolak, dan semakin lama ia semakin kelewatan batas. Setiap hari sekolah, ia pasti akan datang ke kelas Gilang hanya untuk melihatnya, ia bahkan rela mengikuti ekskul softball hanya untuk bertemu dengan Gilang. Pernah suatu saat Moza mengamuk hanya karena tidak diikutkan kompetisi yang sama dengan Gilang, padahal kompetisi itu hanya boleh diikuti oleh pria.
Tiba-tiba ada seorang perempuan menggandeng lengan Gilang dan ia juga mengeluarkan ekspresi manjanya.
"Gilang, aku dari tadi nyariin kamu tau. Untung tadi aku ketemu Rose sama Rheina, jadi aku nanya deh ke mereka." ucap perempuan itu, dan benar saja perempuan itu memang Moza.
Gilang membuang napasnya kasar, ia tidak menghiraukan Moza dan menarik kerah baju Anton untuk pergi dari sana.
"Wadaw, baru aja tuh cewe diomongin udah ada lagi. Panjang umur dia." ucap Anton.
"Buat kamu tuh si Moza, aku gak butuh." ujar Gilang lalu menatap ke arah sekitar.
"Maaf, aku udah ada Rheina." ucapnya lalu tertawa.
Gilang berdesir, "Kata kamu dia cantik, kenapa gak kamu pacarin aja tuh si Moza terus tinggalin Rheina?" tanya Gilang ketus.
"Oh tidak bisa, aku udah cinta mati sama Rheina."
"Halah cinta mati, bullshit doang itu. Nanti juga kalau putus kamu ejek-ejekin dia." ujar Gilang, Anton menggeleng-gelengkan kepalanya karena heran, bagaimana bisa cowok setampan Gilang benar-benar menutup hatinya.
"Mau sampai kapan sih kamu nutup hati gini? Udah jelas banyak cewek cantik yang ngerebutin kamu. Tapi kenapa gak ada yang kamu mau?" tanya Anton kesal.
"Sampai kapanpun." jawab Gilang dengan wajah datar lalu beranjak menuju gerobak yang menjual mie bakso.
"Yaampun, lama banget sih mereka." keluh Rheina sembari menopang dagunya itu. Rose yang sedang menyilangkan tangannya itu hanya bisa cemberut sambil mencari Gilang dan Anton. Mata Rheina juga tidak bisa diam, ia mencari Gilang dan Anton yang 'katanya' sedang membeli makanan untuk mereka itu. Tiba-tiba mata Rheina terpaku kepada salah satu murid baru yang ketampanannya bisa menandingi Gilang. Rheina langsung menyenggol bahu Rose dengan histeris. "Rose, lihat deh itu cowok ganteng banget!!!" Rose kebingungan dan ia mencari lelaki yang Rheina maksud, "Yang mana sih?", "Yang itu tuh!!", "Yang mana?", "Itu yang lagi masukin tangannya ke saku, dia lagi ada di deket gerobak roti bakar." ucap Rheina gereget sembari menujuk laki-laki itu. Rose kembali mencari dan setelah menemukannya, ia pun ikut terpesona oleh ketampanannya.
"Rhei." panggil Rose tanpa menoleh kepada Rheina, matanya masih terpaku kepadanya.
"Hm?" sahut Rheina, ia pun sama, ia juga masih terpaku pada laki-laki itu.
"Ini sih ganteng banget Rhei!!!!" ucap Rose histeris.
Rheina langsung menoleh, "Gimana kalau kamu deketin dia?" tantang Rheina.
"Hah? Deketin gimana? Cowok seganteng dia mana mau sama aku." ucap Rose ciut.
"Kan belum dicoba. Siapa tau cocok loh Rose." goda Rheina. Rose menelan ludahnya. Ia benar-benar terpesona akan ketampanannya. Ia tidak menghiraukan ucapan Rheina lagi, yang ada di pikirannya hanyalah laki-laki itu. Ia membayangkan jika suatu saat nanti ia akan bersama dengannya, dan menikah di istana yang megah. Dia merasa jika lelaki itu adalah pangerannya.
"Rose?" panggil Rheina. Rose terbangun dari lamunannya itu.
"Kenapa?" tanya Rose lalu menoleh.
"Gimana? Mau coba deketin dia?" tantangnya lagi.
"Gimana ya Rhei, aku bingung. Soalnya hampir 3 angkatan itu ngejauhin aku, jadi udah pasti dia juga bakal ngejauhin aku." ucap Rose kecewa.
"Ya ampun, kan udah aku bilang kalau kamu belum nyoba? "
Rose mengangkat bahunya, "Entahlah, aku minder duluan." ujarnya. Rheina menepuk bahu temannya itu seraya berkata, "Bisa jadi itu pangeran kamu?" Mendengar ucapan Rheina tadi, pikiran Rose langsung kacau balau, karena ia sudah merasa duluan jika lelaki itu bisa saja pangeran yang selalu menemaninya. "Baiklah, aku bakal coba deketin dia. Siapa namanya?"
Mereka berdua pun memulai obrolan tentang lelaki tampan itu hingga Gilang dan Anton datang membawa 4 mangkok mie bakso.
"Duh, mereka tuh beli makanan dimana ya? Di ujung dunia gitu?" nyinyir Rose. Gilang menyentil dahi Rose pelan, "Udah makan aja. Jangan banyak bacot." ucapnya.
Sepulang sekolah Rose dan Rheina sengaja mampir ke lapangan basket untuk menengok lelaki tadi.
"Tuh, coba ajak kenalan." perintah Rheina.
"Gak jelas banget gak sih? Aku tiba-tiba dateng buat ngajak kenalan? Jaman sekarang kan kenalannya lewat sosmed." ucap Rose.
"Yailah, harus anti mainstream dong. Lagian masa bule kayak kamu gini malu-malu. Biasanya bule itu berani." bujuk Rheina, Rose terdiam seolah-olah ia memberikan kode 'tidak'. Rheina langsung mendorong tubuh Rose karena gemas dengan tingkah temannya itu. Lelaki yang sedang berdiam diri di tengah lapang sembari memegang bola basket itu tersenggol oleh tubuh Rose, ia menoleh dan Rose membalikkan tubuh ke arahnya.
"Maaf." ucap Rose pelan, ia hanya mengangguk. Rose mengulurkan tangannya, "Rose." ucap Rose, lelaki itu menatap Rose dengan ekspresi aneh, tapi tak lama kemudian ia membalas uluran tangan Rose. "Stefan." ucapnya. Rose tersenyum malu, Stefan juga tersenyum sebentar lalu melepaskan uluran tangannya itu.
"Ada apa?" tanyanya.
"Maksud mu?" tanya Rose bingung.
"Kenapa tiba-tiba ngajak kenalan?"
"Memangnya kenapa? Gak boleh kenalan?"
"Dari tadi banyak yang ngajak aku kenalan soalnya, dan mereka ngaku-ngaku fans aku. Apa kamu juga salah satunya? Kalau iya, mending ngejauh. Aku gak butuh fans." ucap Stefan percaya diri. Rose menatapnya geli.
"Parah banget nih cowok. Sombong banget." batinnya dalam hati.
"Aku bukan fans kok..." Belum juga Rose menyelesaikan omongannya, Stefan langsung memotong obrolan, "Lalu?" Rose mengernyitkan dahinya, ia merasa jika Stefan merupakan pribadi yang sombong dan sok kegantengan.
"Cuma pengen kenal. Kamu kan baru disini."
Stefan hanya ber-oh ria. Rose mengepalkan tangannya, rasanya ia ingin meninju lelaki itu, tapi karena wajahnya yang sangat tampan, Rose langsung meredakan emosinya itu.
"Kamu kelas mana?" tanya Rose memperpanjang percakapan.
"Bukan urusanmu." jawabnya lalu melemparkan bola ke arah ring, dan hasilnya berhasil memukau Rose. Jarak Stefan dan ring itu cukup jauh, dan Stefan hanya melempar bola itu dengan santai.
"Wow, kamu keren banget." puji Rose sembari menatap ring basket itu.
Ia tertawa kecil, "Emang." ucapnya lalu pergi meninggalkan Rose. Rose hanya memandang Stefan dengan dongkol. Ia pun menghampiri Rheina dengan berlari kecil, "Puas?" tanya Rose, Rheina tertawa, "Kenapa sih? Bete gitu mukanya." tanya Rheina. Rose mendengus kesal, "Stefan sok narsis banget sih. Kesel asli minta di tonjok banget." keluh Rose. "Yang penting kamu bisa ketemu pangeran kamu di dunia nyata kan?" goda Rheina, Rose mengangguk, ia bingung, ia benci orang yang memiliki sifat seperti Stefan. Tapi dibalik itu ia memiliki perasaan kuat jika Stefanlah yang akan menjadi pangerannya.
"Rose, dari tadi di cariin ternyata kamu disini. Ayo cepet pulang!" pekik Gilang yang tiba-tiba ada di belakangnya. Rose membalikkan badannya.
"Gilang udah ga marah sama Rose?" tanya Rose.
"Emang dari tadi gak marah." jawab Gilang.
"Terus tadi kenapa dingin gitu?"
"Kan udah dibilang cuma ga enak suasana hati." ucap Gilang.
"Eh kita duluan ya, udah agak sore ini." pamit Anton dan Rheina, Rose dan Gilang mengangguk. Mereka berdua pun pulang.
"Tuh ayo cepet, udah sore Rose." bujuk Gilang, Rose pun mengangguk lalu mereka berdua juga pulang.
Setelah sampai di parkiran motor, terlihat Moza sedang asyik nongkrong di motor Gilang bersama ketiga temannya itu.
"Ngapain disini?" tanya Gilang dingin.
"Lang, anterin Moza pulang dong. Kasihan tuh dia pulang sendiri, aku sama Bella ada acara soalnya makanya gak bisa pulang bareng Moza." pinta Kimi. Gilang menggigit bibir bawahnya.
"Gak, aku pulang sama Rose." ucap Gilang sembari mengambil helm yang ia letakan di spionnya itu lalu memakainya.
"Ayo dong Lang, kamu gak kasihan apa sama Moza?" bujuk Bella.
"Gak." ucap Gilang seraya mengambil helm yang ada di jok motornya itu lalu ia berikan pada Rose.
"Lang, pulang sama Moza sana. Kasian." ucap Rose. Gilang menatap Rose dengan tatapan tajam. Sudah tau ia sedang menghindari Moza.
"Aku bisa pulang sendiri kok." ucap Rose lagi.
"Tuh kan Lang, ayo dong." pinta Moza.
Gilang menghela nafas panjang lalu membuangnya dengan kasar, ia mengambil helm yang ada di tangan Rose secara paksa lalu memberikannya pada Moza.
"Besok, minggu depan, bulan depan, sampai kapan pun itu jangan pernah ganggu aku lagi! Kalau kamu ganggu aku lagi, aku gak akan pernah mau lihat kamu lagi." ancam Gilang. Moza mengangguk kegirangan lalu Gilang menaiki motornya.
"Kamu beneran gak apa-apa pulang sendiri?" tanya Gilang memastikan.
Rose tersenyum dan mengangguk. Moza menaiki motor Gilang.
"Hati-hati ya Lang." ucap Rose.
"Kamu pulang pake apa?" tanya Gilang lagi, ia benar-benar khawatir.
"Angkot kayaknya." jawab Rose.
"Ih kalian banyak basa-basi deh, ayo cepet Lang." pinta Moza lalu memeluk Gilang. Gilang melepaskan tangan Moza dari badannya secara paksa.
"Jangan peluk atau kamu turun." ancam Gilang, Moza langsung melepaskan pelukannya dan memasang wajah cemberut.
"Rose, kalau ada apa-apa telepon aku ya." pinta Gilang, Rose mengangguk. Gilang menyalakan mesin motornya lalu ia mengantarkan Moza pulang. Perlahan-lahan motor Gilang mulai hilang dari pandangan Rose. Rose menatap ke arah Kimi dan Bella, mereka berdua memandang Rose dengan geli. Dengan spontan Rose meninggalkan mereka berdua tanpa pamit.
Ia berjalan menuju gerbang sekolah untuk menunggu angkot disana. Lalu ia duduk di dekat pos satpam.
"Eh neng, nunggu angkot?" tanya Pak Satpam sekolah. Rose mengangguk. Pak Satpam tersenyum lalu kembali masuk ke posnya. Sembari menunggu angkot, ia memainkan ponselnya. Seketika datanglah mobil berwarna hitam itu dari dalam sekolah menuju ke luar, dan mobil itu berhenti tepat di depan pos satpam. Perlahan kaca mobil itu terbuka.
"Hey aneh, ngapain disini?" tanya Stefan yang ada di dalam mobil itu. Rose terkejut, bagaimana bisa Stefan mengajak ngobrol terlebih dahulu, padahal tadi ia sangat sombong.
"A...a...aku lagi nunggu angkot." jawab Rose terbata-bata. Ia tersenyum, "Gak usah terbata-bata gitu kali ngobrol sama cogan." ucap Stefan kepedean sembari merapihkan rambutnya. Rose melongo, bagaimana bisa di saat seperti ini, ia masih tebar pesona? Tapi jujur, meskipun begitu Rose juga larut dalam pesonanya.
"Kenapa? Terpesona?" tanyanya masih dengan sifat kepedeannya itu. Rose mengedipkan kedua matanya berkali-kali, memastikan jika ia bukan khayalannya yang nyata. Ia masih terpesona ternyata.
"Hey?" panggil Stefan, lamunan Rose buyar, ia menelan ludahnya.
"Apaan sih. Sok narsis banget." ledek Rose, ia mengernyitkan dahinya.
"Wah, jaga bicara kamu." ucap Stefan emosi.
"Kamu itu kesombongan banget sih jadi cowo. Jangan sok ganteng ya, masih gantengan GILANG tau!" ujar Rose dengan menekankan nama Gilang.
Ia tertawa jahat, "Tadinya aku mau nganterin kamu pulang, tapi karena kamu kayak gini gak jadi." ucapnya ketus.
Rose sontak kewalahan, ia lupa jika ia harus menahan emosinya, karena bisa saja Stefan itu pangerannya.
"Maaf." ucap Rose lirih.
"Apa?" tanyanya dengan sengaja, ia ingin mendengarkan Rose mengatakan maaf dengan suara lebih keras.
"Neng, cepetan pulang sana. Angkot kalau udah jam segini gak banyak yang lewat sini." ucap Pak Satpam mengingatkan. Rose dan Stefan menoleh ke arah Pak Satpam itu.
"Ah iya pak, sebentar." ucap Rose, ia berjalan melewati mobil Stefan. Tiba-tiba Stefan membunyikan klakson mobilnya dan berteriak, "Naik bodoh!" Rose membalikkan badannya dengan emosi, ia mengepalkan tangannya, tapi tiba-tiba ia teringat kembali dengan pangerannya itu, dan akhirnya ia pun menarik napas dan membuangnya dengan pelan, lalu masuk ke dalam mobil Stefan dengan tersenyum paksa.