Bagian Satu
Sial. Aku merasa nona resepsionis barusan mempermainkanku seperti anak kecil. Mentang?mentang dia punya wajah manis, jangan sambong! Dia pasti termasuk gadis yang berpikir 'tak ada yang akan marah padaku, karena aku manis' seperti itu. Aku lelah memikirkan hal semacam itu.
Setelah menerima kunci kamar yang telah aku pesan, aku segera beranjak pergi ke kamar dengan pemikiran seperti itu. Itu membuatku lelah secara mental. Tunggu, seharusnya aku tadi bertanya padanya tempat pandai besi di kota ini. Biarlah, masih ada hari besok.
Setelah memasuki kamar, aku tersadar.
"Pantas saja harganya mahal. Jangan-jangan ini penginapan kelas atas. Apa aku barusan kena gendam? Oh bodohnya aku."
Seperti itulah, banyak penyesalan yang kurasakan hari ini. Aku terlalu ceroboh begitu memasuki kota. Mungkin karena aku terpesona oleh keindahan kota Levida.
Merasa depresi dengan kecerobohanku sendiri tak akan membuahkan hasil. Sebaiknya aku segera tidur.
***
Bagian Dua
Pagi selanjutnya.
Aku bersyukur mimpi buruk itu tidak terjadi semalam. Apa karena tidurku begitu nyenyak sampai aku tak bermimpi apapun.
Mengerikan, penginapan kelas atas memang mengerikan.
"Baiklah, bagaimanapun caranya aku harus mendapat pekerjaan hari ini juga. Kalau tidak aku akan berakhir menjadi gelandangan."
Aku menuruni tangga dengan semangat baru dan sampai di lantai satu. Lantai satu berfungsi sebagai bar tempat makan dan minum, di sebelah tangga menuju lantai atas ada meja resepsionis untuk check in ataupun check out penginapan. Di salah satu konter, aku bisa melihat nona resepsionis yang sebelumnya menatap padaku sembari tersenyum ramah.
Mengabaikan hal tersebut, aku hendak duduk di tempat yang kosong sebelum aku dihentikan oleh seorang pelayan yang tiba-tiba datang menghampiriku.
"Apa anda yang bernama Cazador."
"Ya."
"Ada kiriman paket untuk anda."
Paket?
Nona pelayan yang memiliki rambut berwarna castanye memberikan kotak persegi panjang yang katanya paket padaku. Ngomong-ngomong dia cukup manis.
"Siapa yang mengirimnya?"
"Saya juga tidak tahu. Orang yang memberikan kepada saya memakai mantel dan tudung yang menutupi wajahnya, sebelum saya bisa menanyakan namanya dia sudah pergi entah kemana."
Jangan-jangan ini paket dari Tangier. Mungkin isinya berupa surat ancaman karena telah membawa kabur kuda peternakan. Apa dia sudah tahu aku ada di Kota Levida? Bukankah ini terlalu cepat?
"Terimakasih."
Kotak paketnya cukup panjang, sekitar setengah meter. Aku mulai ragu dengan asumsiku bahwa paketnya adalah surat ancaman dari Tangier.
Aku membukanya dan apa yang ada di dalamnya adalah sebuah pedang pendek dengan bilah berwarna hitam legam. Pedang tersebut tidak memiliki sarung pedang jadi aku bisa melihatnya.
Aku jadi semakin penasaran dengan siapa yang mengirim senjata yang terlihat mahal ini kepadaku, yang pasti bukan Tangier 'kan.
Ini mencurigakan.
"Tunggu dulu. Bukankah pedang ini Black Armament."
Sepertinya nona pelayan ini mengetahui tentang senjata ini.
"Apa itu Black Armament?"
"Kau 'gak tau Black Armament? Senjata yang melegenda itu lho?"
Oi oi, apa baik-baik saja kau bicara tanpa bahasa yang sopan. Aku melihat pria yang sepertinya pemilik penginapan ini memelototimu lho?
"Black Armament adalah ...."
"Liz, kemari sebentar."
Nah 'kan, pasti nona pelayan akan kena marah. Sebaiknya aku tak ikut campur dengan masalah seperti itu. Aku masih perlu mencari tempat kerja.
Melihat nona pelayan yang mungkin namanya adalah Liz dimarahi oleh atasannya membuatku merasa kasihan padanya. Yah ... itu bukan urusanku.
Aku memesan dan pelayan lain datang membawakan makanan pesananku dan segelas minuman. Makanannya cukup nikmat meski aku masih belum kenyang.
Baiklah, sebaiknya aku bertanya pada nona resepsionis itu. Meski dia menjengkelkan, aku rasa dia tidak akan menipu seorang pelanggan begitu saja.
Aku bawa paket yang berisi pedang dan berjalan mendekati konter resepsionis.
"Permisi."
"Ada yang bisa saya bantu? Oh, bocah miskin kemarin."
"Jangan panggil aku seperti itu!"
Nona resepsionis mengejekku dan tersenyum. Sial, aku menyesal harus bergantung pada orang sepertinya.
"Aku ingin bertanya dimana tempat pandai besi di kota ini."
"Oh, jadi kau orang luar ya, maaf telah mempermainkanmu."
Jadi kau sengaja mempermainkanku?
"Jadi, apa kau ingin memesan sebuah senjata? Bukankah lebih mudah jika membeli saja di toko peralatan. Oh, bukannya kau tidak punya uang untuk membeli senjata yang sudah jadi. Maaf."
Dasar resepsionis sialan. Aku benar-benar ingin membungkam mulut pedas itu. Aku penasaran kenapa pemilik penginapan ini membiarkan wanita sepertinya bekerja ditempat mereka.
Aku akui jika nona resepsionis memiliki wajah yang manis, dadanya juga menggoda. Kalau dilihat dia mungkin berumur sekitar dua puluh tahun. Cantik dan masih muda, tapi sifatnya sangat kurang ajar. Aku mulai berpikir jika ada yang salah dengan pemilik tempat ini.
Ah ... aku lelah menghadapi orang sepertinya. Tapi ini semua untuk mendapatkan informasi.
"Tidak, aku ingin melamar pekerjaan."
"Aku mengerti, jadi begitu. Kalau kau ingin mencari pekerjaan di kota ini, sebaiknya kau pergi ke Serikat Pekerja. Kalau tidak, kau tidak bisa bekerja di kota ini."
"Serikat pekerja?"
"Ya. Orang yang berasal dari luar Kota Levida diharuskan memiliki kartu anggota Serikat Pekerja jika ingin bekerja di kota ini. Ngomong-ngomong aku juga menjadi anggota Serikat Pekerja."
"Jadi kau juga orang luar?"
"Yap, itu benar."
Aku tidak tahu ada hal semacam itu disini. Seperti yang diharapkan dari kota besar. Tapi bukan itu masalahnya, sedari kemarin aku tidak menemui satupun kedai pandai besi di kota. Memang aku belum mengelilingi seluruh kota sih, tapi bukankah ini aneh.
"Jadi aku harus jadi anggota Serikat Pekerja agar bisa bekerja di kota ini?"
"Itu benar. Satu lagi, registrasi menjadi anggota harus membayar lho?"
Nona resepsionis mengedipkan matanya kepadaku. Dia benar-benar suka mengerjaiku.
"Dimana aku bisa menemukan tempat itu?"
"Dari sini, kau hanya perlu pergi ke alun-alun kota, kemudian belok ke kanan dan kau akan menemukan bangunan besar. Itulah tempatnya."
"Serikat Pekerja?"
"Rumah Bordir."
"Woi!"
Dia benar-benar mempermaikanku, itu membuatku jengkel. Nona resepsionis tertawa sampai mengeluarkan air di sudut matanya.
"Aku hanya bercanda. Kau sungguh lucu untuk digoda. Tidak apa-apa, aku tidak bohong. Di sanalah tempat Serikat Pekerja. Tapi bagaimana dengan uang pendaftarannya, aku yakin kau sudah tak punya uang lagi 'kan?"
"Aku akan mengurusnya entah bagaimana."
"Kalau begitu, apa kau mau aku mintai tolong? Tenang saja, aku akan membayarmu."
"Apa itu?"
"Apa kau bisa memuaskan tubuhku?"
"He?"
"Pfft ... wajahmu memerah, apa kau malu? Apa kau mengira aku bersungguh-sungguh ingin melakukannya denganmu? Kau sangat lucu."
"Aku pergi."
"Apa aku membuatmu marah?"
Aku pergi dan membanting pintu penginapan dengan kasar.
Sialan wanita resepsionis itu. Aku benar-benar dipermaikan olehnya. Aku sungguh tak mengira dia akan membuatku kesal seperti ini. Lagipula, bukankah itu adalah perlakuan yang buruk terhadap pelanggan.
Aku benar-benar ragu dengan kewarasan pemilik penginapan itu. Begitu juga dengan para pelanggan, apa mereka tidak keberatan dengan perlakuan semacam itu. Atau sikapnya yang seperti itu hanya dia tunjukkan padaku karena dia menganggapku anak kecil.
Aku sudah dewasa asal kau tahu. Memang aku tidak punya pengalaman melakukan hal seperti itu, tapi tetap saja aku sudah dewasa.
Aku pastikan untuk membalasmu suatu hari nanti. Wajahnya, akan kuingat wajahnya yang menyebalkan ketika tersenyum mengejekku itu.
"Ah sial. Kenapa aku jadi begitu frustrasi karena resepsionis menggodaku sedikit. Bukannya ini terkesan aku seperti anak kecil jika aku marah-marah. Orang dewasa harus bijaksana."
Ah ... kota ini membuat mentalku semakin buruk. Aku jadi ingin pulang dan kembali mengurus kuda.
***
Bagian Tiga
"Naikkan jangkar dan turunkan layar! Kita berangkat."
Seorang pria bertubuh kekar dan bertelanjang dada memberikan instruksi pada anak buahnya. Jangkar dinaikkan dan layar kapal dikembangkan, suara peluit yang melengking keras menggema sebagai tanda bahwa kapal siap berlayar.
Kapal yang terkesan mewah, meninggalkan pelabuhan Crecel di Kerajaan Suci Octarina. Tujuannya adalah Kerajaan Eisland, kerajaan paling utara di benua utara. Perjalanan kembali dari rapat politik keluarga kerajaan Eisland, putra kedua dari sang raja, Dieter De Eisland.
Duduk dengan penuh martabat, Dieter membuka sebuah surat. Wajah datar yang sebelumnya tanpa ekspresi, kini berubah berseri dengan senyum yang menawan.
"Apa ada berita bagus, Pangeran Dieter?"
Berdiri disamping Dieter, seorang perempuan berambut pirang dengan kecantikan yang sempurna. Suara manis yang keluar dari mulut mungilnya, terdengar lembut menyaingi deburan ombak. Erevin, perempuan yang bisa di sebut tangan kanan Dieter.
"Oh Erevin, begitulah."
Rencana tahap pertama berhasil dengan sempurna, sekarang hanya masalah waktu sebelum memulai tahap kedua. Dieter tidak bisa menahan rasa gembira dalam dirinya, senyuman lebar yang begitu alami, bukan sebuah akting yang seperti para bangsawan lakukan ketika berhadapan dengan bangsawan lain untuk menjaga reputasi mereka.
Meski begitu, rapat yang membahas rencana pembangunan jembatan di atas Sungai Besar Actallias ditunda sampai dua tahun. Rencana tahap kedua sangat bergantung dengan rapat berikutnya, tapi menunggu dua tahun, bukankah terlalu lama. Karena itu Dieter harus bersabar untuk menggapai ambisinya.
"Pangeran Dieter?"
Suara lembut Erevin memecah keheningan dalam ruangan.
"Erevin, bagaimana menurutmu? Menunggu lama dengan hasil yang memuaskan atau mempercepat langkah dan mengambil jalan yang lebih singkat? Tapi bagaimana hasilnya belum pasti, bahkan bisa saja berujung kegagalan."
"Apa yang Pangeran maksud berkaitan dengan penundaan rapat sampai dua tahun di Capital Saint Octarina?"
"Anggap saja seperti itu."
"Kalau memang seperti itu, proyek skala besar dengan rencana menghubungkan tiga kerajaan, Kerajaan Suci Octarina, Kerajaan Salvillage dan Kerajaan .... Menurut saya keputusan rapat hari ini cukup masuk akal."
Masuk akal ya? Dengan kata lain, rencana besar memerlukan waktu persiapan yang tidak sedikit. Keberhasilan adalah tujuan dan kegagalan berarti kerugian besar untuk ketiga pihak. Dalam kasus Dieter, menunggu dua tahun tidaklah sulit. Karena apa yang menanti setelah keberhasilan rencananya adalah kejayaan.
"Ya, kau benar Erevin. Menunggu dua tahun bukanlah apa-apa. Yang terpenting adalah hasil yang memuaskan. Kau membuatku tenang."
"Terimakasih atas pujiannya, Pangeran."
Menunduk memberi hormat dan sebagai ungkapan terimakasih, wajah Erevin merona merah mendapat pujian dari tuannya.
Pria tampan yang telah memikat hatinya, meski Erevin tidak bisa menjadi wanita yang mendampinginya karena status sosial. Bisa memandang wajah pria yang dicintainya dan mendapat sepatah pujian untuk dirinya. Hati Ervin bergetar gembira dan senyum bahagia menghiasi wajah manisnya.
@Earthquake masih lanjut kaka, ditunggu ya!
Comment on chapter Prolog