Pagi ini, Yura terbangun karena riakan nyaring ponsel. Nada dering dari panggilan telepon menggema di setiap sudut ruangan kamar Yura. Gadis itu bangkit dan melirik jam, masih pukul 4 pagi sedangkah adzan subuh akan terdengar 30 menit dari sekarang! Siapa orang gila yang membangunkannya di waktu sepagi ini?
Gadis itu mengucek kedua matanya yang masih layu, kemudian mencabut casan ponsel dari stopkontak sebelum melihat caller id. Matanya membulat kala nama Rizky Maehara P terpampang jelas di layar iPhonenya. Gadis itu mendengus, sebal, kemudian mengangkat telepon tersebut.
“Assalamualaiku, ukhti. Selamat pagi, dan salam sejahtera bagi kit—“
“Waalaikum salam, akhi. Ngapain sih, lo nelepon pagi-pagi begini? Ayam sebelah aja belum bangun, lah elu ngapain bangun?” cerocos Yura langsung, sebal dengan tingkah Hara yang selalu tiba-tiba.
Tawa lelaki itu terdengar, aneh karena terasa hangat, tapi tetap saja Yura kesal. “Sori, sori. Kan aku cuman pengin kamu gak telat bangun salat subuh,” jawabnya, melengos dari pertanyaan Yura. Sebenarnya bukan itu alasannya, tapi sungguh dia juga kadang takut dengan omelan gadis itu.
Menghela napas panjang, Yura menepuk wajahnya. “Hara.”
“I-iya.”
Yura melirik jam yang tepat berada di atas meja belajarnya yang diletakkan di samping kiri ranjang. Dekat dengan jendela kamar dengan tirai yang masih tertutup rapat. “Lo tau jadwal salat, kan?”
“Iya...?”
“Jadi...”
Hara berpikir, menunggu. Sepertinya Yura akan meledak pagi ini.
“Oke, oke. Aku minta maaf, yaaa,” Hara berucap, lagi. “Aku cuman pengin kamu salat malem, kok,” cowok itu berkata jujur. “Kata Pak Ustad, doa pada sepertiga malam itu baik. Jadi, aku mau kamu doain aku biar hari ini latih tanding aku lancar..”
“Ra,” Yura sudah kehilangan kesabaran. Oke, salat malam, itu nggak buruk kan? Kadang-kadang jika Yura terbangun di tengah malam, Yura akan melakukannya dan berdoa untuk kepentingan dirinya serta keluarganya. Tapi, hei, ini sudah hampir subuh!
“Udah, ah. Capek juga kalo jelasin ke kamu,” Yura menyerah. Gadis itu bangkit dan membuka buku tulisnya. “Masih mau telepon atau gimana?” Yura menunggu suara laki-laki itu. Tapi, yang terdengar malah dengkuran halus yang ringan, menyapu telinga Yura membuat gadis itu melenguh sebal.
“HARAAAA!”
“Eh, eh, mampus apaan tuh,” latah Hara, kemudian mengelap iler yang sempat menetes. “Yaampun, Ra. Kita masih teleponan?”
Yura menepuk jidatnya. Sungguh, bicara dengan Hara membuat kadar darah Yura semakin tinggi dan tinggi. Yura butuh penurunan tensi, tapi serius Hara benar-benar membuat Yura sangsi!
“Yaudah, aku tutup ya. Bye!”
Yura melirik layar ponselnya. Sambungan telepon itu telah terputus sempurna. Gadis itu menjatuhkan pipi kirinya terlebih dahulu ke permukaan meja belajarnya. Dia mendesah, lelah jika dia mengingat bahwa Hara adalah kekasihnya. Serius, cowok itu suka aneh dan menyebalkan. Lagi-lagi kalau dipikir, berpacaran dengan Hara membuat gadis itu berpikir dua kali. Kenapa dia menyukai Hara? Kenapa harus laki-laki itu yang menetap di hatinya?
Kutanya pada fajar yang masih terbenam,
Untuk apa hati ini berlabuh?
Mengapa dia yang dituju?
Tidakkah orang lain yang ku mau?
Atau memang dia yang selama ini kutunggu?
***
Guru nggak masuk, kelas kosong, ramai, berisik, Yura ngantuk!
Gadis itu berusaha untuk menutup mata dan beristirahat sejenak di tengah tawa siswa di kelasnya yang sungguh hampir membuat fungsi rumah keongnya rusak. Dia melirik ke samping di mana sekumpulan cewek dan cowok di kelasnya tengah berdiskusi mengenai film yang akan mereka tonton. Para perempuan yang tengah dimabuk asmara oleh Dilan pun merengek meminta untuk menonton film tersebut, namun para laki-laki penikmat film action fantasy seperti Maze Runner, Yura pun sama, kekeh untuk menonton film tersebut. Apalagi pemainnya juga tampan, namanya juga sama-sama Dilan. Tapi kalo di Maze Runner, Dilan adalah nama aslinya. Tunggu, untuk apa Yura membicarakan Dylan si tampan?
“Udah, sih. Nonton Maze Runner aja, toh pemerannya juga ganteng,” Yura menyahut, menyuarakan pemikirannya tentang Dylan O’Brien yang ganteng dan keren.
Hadi, sosok cowok keling dengan perut buncit tertawa. “Ternyata Yura masih bisa lirik cowok lain selain Maehara,” tawa cowok itu disusul oleh tawa lainnya, dibalas oleh tawa sumbang Yura yang terkesan memaksa.
Kaylin, gadis yang tadi sempat sewot karena adu bacot dengan para laki-laki pun mengangguk setuju. Dia baru sadar bahwa di Maze Runner ada Dylan juga. “Oke, gue setuju. Lagian kemarin gue belum sempet nonton di bioskop,” katanya.
Coki tertawa, meledek Kaylin dengan modusnya. “Lagian ajakan dua minggu lalu, lu tolak Kay.”
Semua teman sekelas Yura memarahi Coki, tidak terima. Kaylin merupakan gadis cantik idaman di kelas Yura. Yura pun tak dapat mengelak kecantikan Kaylin yang natural, tanpa sapuan bedak tebal bahkan lapisan gincu merah.
Bioskop dadakan pun dimulai, Yura menopang dagunya pada telapak tangan. Gadis itu menyisir kelasnya yang mulai hanyut dalam film. Dia sama sekali tidak tertarik dengan film itu, bukan karena tidak suka, melainkan karena pikiran lain yang menyerobot masuk ke dalam lamunan paginya. Mungkin, menonton pertandingan voli sudah seperti makanannya sehari-hari. Tapi entah bagaimana sebelum pertandingan atau hanya bisa disebut dengan latih tanding tersebut, sudah dapat membuat perasaan gugup luar biasa. Yura takut Hara melakukan kesalahan, atau dorongan tangan Hara meleset dari titik pukul bola.
Yura menggeleng, dia harus percaya Hara hebat! Gadis itu melirik ke arah pintu ketika ketukan terdengar. Matanya membulat sempurna, sosok Hara berdiri menjulang di depan pintu kelasnya. Dari jauh terlihat tinggi, serius. Kali ini Yura nggak bohong kalau Hara terlihat tinggi.
“Sori, ganggu. Gue cuman mau ikut nonton bareng pacar gue,” canda Hara, menunjukkan ciki yang dia bawa beserta dua minuman rasa buah apel dingin di tangan lainnya. “Boleh masuk, kan?”
“Masuk aja, Har. Anggap rumah sendiri,” canda Hadi tanpa melirik Hara sama sekali. Cowok itu terlalu asyik dengan jalannya film, tanpa mau repot melirik laki-laki yang kini sudah berjalan masuk dan duduk di samping Yura. Kebetulan Nita memilih untuk duduk di depan, tepatnya di lantai dengan kaki selonjoran. Dia terlihat senang melihat Dylan di layar. Berbeda dengan Yura yang bahkan tak tau harus tersenyum atau bahkan sebal ketika melihat Hara duduk di kursi Nita.
“Ngapain?” todong Yura langsung, tau bahwa Hara datang ke sini untuk menghiburnya. Tadi, setelah mereka akhirnya sampai di sekolah dalam keadaan telat lima menit. Yura sudah tidak bisa untuk menahan emosinya. Dia marah pada Hara, mendiamkan lelaki itu ketika mereka lari keliling lapangan. Kemudian berjalan secepat mungkin menuju kelas yang beruntungnya karena guru Bahasa Indonesianya tengah berhalangan hadir.
Hara memainkan botol minumannya, kemudian mendorong salah satu botol minuman rasa apel tersebut pada Yura. “Maaf, ya? Janji deh, nggak bakal telat lagi,” cowok itu berusaha, untuk setidaknya membuat emosi gadis itu menurun. Karena Hara percaya, Yura tak pernah benar-benar marah padanya.
Yura melirik minuman tersebut, beserta ciki yang tampak menggoda imannya. Gadis itu segera menarik ciki tersebut, membukanya, lalu memakan isinya dengan lahap.
Mata Hara berbinar, bisa dibilang semakin berbinar. Tanpa mengucapkan apapun, sepasang kekasih itu larut pada film yang tengah tayang di layar lebar dadakan tersebut. Kadang Hara menyempatkan tangannya untuk mengambil isi ciki, namun Yura tak pernah membiarkan tangan tersebut masuk dan merebut harta karunnya. Jadi Hara menyerah, membiarkan selama film di depannya tayang, cowok itu hanya minum minuman rasa apel tersebut.
Di menit ke sembilan puluh, Yura membulatkan matanya lalu memukul punggung Hara membuat lelaki itu menggaduh. “Emang kelas kamu kosong?!”
Senyap. Seluruh pandangan kini menatap sepasang kekasih yang kini tengah saling memandang. Yura dengan pandangan sebal, sedangkan Hara dengan pandangan jenakanya.
“Nggak,” jawab Hara, lugas.
“MAEHARA!”
***
Kantin semakin sesak saja ketika Yura dan Nita memasukinya. Kedua gadis itu segera membeli mie ayam beserta es teh manis, kemudian keduanya melirik sekitaran kantin yang menyerupai pasar. Yura menghela napas, lagi-lagi hanya kursi Maehara dan tiga temannya yang masih ada tempat kosong. Gadis itu melangkah dengan malas ketika Hara menyadari keberadaannya. Sedangkan Nita sudah senang duduk di hadapan Taka, sedangkan lelaki itu menatap Nita aneh.
“Hai, Nit, Ra,” sapa Yugo ketika mereka baru saja datang. “Nanti, kalian nonton, kan?”
Nita mengangguk dengan mantap. “Pasti! Kan gue mau lihat blokernya Taka,” jawab gadis itu dengan santainya, sedangkan lelaki yang disebut namanya hanya tersenyum tipis. Malas menanggapi.
Hara menyenggol Yura yang tengah memakan mie ayamnya, membuat gadis itu dengan sebal menatap Hara. “Apa?”
“Nanti nonton, oke.”
“Iyaaa.”
“Jangan sampe pulang, lu.”
“BAWEL!”
***
Seperti latihan tanding pada umumnya, lapangan indoor voli langsung ramai dipenuhi penonton. Beberapa siswa yang mendengar akan ada latih tanding melawan SMA 3, langsung tertarik untuk menonton. Bagaimana tidak tertarik jika pinch servis yang juga berperan sebagai setter adalah lelaki paling tampan dan keren dalam dunia voli. Sosok yang disebut Raja tersebut bernama Fandi Nugroho. Dia adalah senior Kemal saat SMP, dan sejak SMP pula Kemal menyebut Fandi adalah saingannya.
Ketika tim SMA 3 datang dengan bus sekolah mereka, beberapa siswa menjerit histeris saat melihat Fandi memasuki lapangan indoor dengan anggota volinya yang mengikuti di belakang. Hara menarik napas panjang, kemudian membuangnya secara perlahan. SMA 3 termasuk sekolah yang paling sulit dikalahkan ketika O2SN. Jadi Hara benar-benar gugup, bahkan ketika Fandi mulai unjuk diri dengan wajah tampannya, Hara merasa terpojok. Dia takut Yura akan berpaling darinya.
“Halo, Kemal. Gimana tim lo, hah?” Fandi menyapa Kemal ketika lelaki itu sedang mengoper bola ke arah Hara yang sudah melompat.
Kemal melirik sekilas, matanya tampak malas. “Baik.”
Kemudian Fandi melihat Hara yang berhasil memukul bola voli dengan pukulan mautnya. Laki-laki itu tertawa, sedikit meremehkan. “Wow, ternyata si bocah ini semakin hebat,” katanya, kemudian melirik bangku penonton. “Cewek lo yang mana, bocah kecil?”
Hara menggeram. “Bacot.”
“Berisik,” Taka menyahut, kemudian melirik Hara dengan pandangan tajam. “Lo, sono latihan lagi,” ucapnya kemudian kembali berlari untuk melakukan servis.
Fandi merasa terabaikan, lalu melirik Kemal lagi yang kembali mengoper bola kepada Hara yang sudah ingin meloncat. “Kita lihat siapa yang bakal menang kali ini,” bisik lelaki itu, lalu berlari kecil menuju timnya.
Pertandingan dimulai pada pukul 4 sore, selepas salat ashar. Servis pertama akan dilakukan oleh SMA 3, dan Fandi akan melakukan tugas pertama tersebut. Laki-laki itu melambungkan bola voli ke atas lalu berlari untuk melakukan servis udara dengan pukulan amat keras. Liam dari kelas 12 berhasil menghentikan servis tersebut, selanjutnya bola itu diterima oleh Juno, siswa kelas 11, dan Juno mendorong bola itu ke arah Kemal yang sudah siap untuk memberi servis terbaiknya pada Hara yang telah berlari dengan kecepatan kilat.
Yura yang melihat itu langsung gemas sendiri. Dia dapat melihat gerakan cepat Hara ketika melompat lalu mendorong bola dari Kemal hingga mengenai titik kosong di dalam garis lapangan. Satu poin dimenangkan oleh SMA Kebangsaan. Namun pertandingan aslinya baru saja dimulai. Beberapa kali SMA 3 berhasil mendapatkan poin, beberapa kali juga SMA Kebangsaan melawan dengan performa terbaiknya.
Lima kali pukulan Hara meleset bahkan ditebas hingga akhirnya poin tersebut jatuh untuk SMA 3. Yura yang menonton di tribun tak kuasa untuk menahan takut. Meski kilat semangat masih terpancar di bola mata milik kekasihnya, namun tetap saja Yura berpikir bahwa ada saatnya Hara akan merasa takut dan akhirnya terpuruk karena kalah. Set pertama dimenangkan oleh SMA Kebangsaan dengan skor tipis; 25-23.
Sebelum memasuki set kedua, para pemain berpindah posisi dan istirahat sejenak sembari memikirkan tak tik selanjutnya untuk mengalahkan lawan. Yura dapat melihat dari tribun bahwa Hara dan Kemal saling adu lirikan tajam kepada sang kapten dari SMA 3. Siapa lagi jika bukan Fandi, sosok yang diidamkan banyak gadis. Bahkan di sekolahnya.
“Ra,” Nita memanggil Yura, membuat gadis itu mengalihkan pandangannya dari tiga orang lelaki yang masih adu tatapan tajam menyebalkan. “Tadi Taka keren banget, ya!” seru Nita, kelewat girang.
Yura menepuk jidatnya. “Serah, deh!”
a.n
Haloo semuanyaaa, maaf ya baru update ehehehe. Gimana chapter 3 ini? Hihihi semoga suka yaah
@[plutowati wahh emang ku buat manis manis biar abis itu kalian aku kasih pait paitnya dari cerita ini :v
Comment on chapter Prolog