Loading...
Logo TinLit
Read Story - DREAM
MENU
About Us  

"Muka lo kenapa, Ra? Kusut gitu? Emang diapain sama Bu Narti?"

Rentetan panjang itu diterima Inara begitu sampai di bangkunya. Siapa lagi pelakunya kalau bukan Sarah, sahabat sekaligus teman sebangkunya yang hobi banget nyerocos panjang kali lebar.

"Nilai gue jeblok lagi." Inara menunduk sejenak sebelum menatap Sarah. "Bu Narti bilang kalau sampai ujian semester nilai matematika gue masih jelek, gue nggak akan naik kelas," ucapnya sendu.

Melihat itu membuat Sarah langsung mengusap bahu sahabatnya, guna menenangkan dan menyalurkan semangat. "Tenang aja, gue bakalan bantuin lo belajar. Ya meskipun nilai gue juga pas-pasan sih."

Inara mengangguk. Dia tahu sahabatnya itu sedang berusaha menyemangatinya. Meskipun nilai Sarah pas-pasan, tapi gadis berambut sepunggung itu lebih bisa memahami pelajaran daripada dirinya. Dia lemah, terutama pada pelajaran matematika dan pelajaran hitungan lainnya.

Dalam hati, ia bertekad untuk merubah nilainya. Ia harus bisa mendapat nilai memuaskan supaya ia bisa membuat bangga orang tuanya. Setidaknya dengan cara itu dirinya bisa dilihat oleh keluarganya. I hope.

***

Bel istirahat sudah berbunyi nyaring. Para murid tumpah-ruah di sepanjang koridor Angkasa. Bukan angkasa di langit atau penyanyi, tapi Angkasa yang dimaksud adalah SMA Angkasa. Salah satu sekolah elit dengan sarana pendidikan yang memadai.

Seperti biasa Inara dan Sarah berjalan beriringan menuju kantin di lantai satu. Keduanya terlibat obrolan yang cukup seru hingga membuat dua orang di belakang mereka terabaikan. Keduanya menghentikan langkah ketika terdengar suara dari arah belakang. Dua gadis itu hanya mengulas senyum manis mereka.

"Kalian kalo udah ngobrol selalu lupa sama kita. Terabaikan kita, ya nggak, Res?" Orang yang dipanggil 'Res' itu hanya mengangguk kecil lalu tersenyum. Tipe senyum yang bisa membuat luluh para gadis.

"Sudah ayo jalan. Keburu cokelat gue habis." Sarah menarik Inara memasuki kantin. Sedangkan dua orang di belakang mereka hanya geleng-geleng kepala lalu mengikuti dua gadis itu.

Kini di hadapan mereka sudah tersaji makanan yang tadi mereka pesan. Setelah mengucapkan doa, mereka pun langsung menyantap makanan tersebut.

"Eh, kalian udah tau belum kalau ada anak baru di sekolah kita?" Ucapan Nando membuat ketiga orang di sana menatap ke arahnya. "Jadi, kalian belum tau?"

Ketiganya menggeleng.

"Ah kalian ini ketinggalan berita. Nih ya gue kasih tau, ada anak baru masuk di kelas sebelah. Rumornya sih dia anak orang kaya dan kata para cewek dia itu ganteng." Nando menyesap es tehnya sebelum melanjutkan ucapannya. "Tapi gue masih penasaran seganteng apa sih dia? Sampai-sampai para cewek langsung mengidolakannya."

"Ya mungkin tuh murid baru emang ganteng. Makanya langsung punya banyak fans," tukas Ares.

"Masih gantengan gue ke mana-mana," cibir Nando. Ketiga sahabatnya tergelak. Membuat cowok itu mendengus kesal.

"Kalo ngerasa ganteng, pasti udah berani nembak Sasa dari dulu. Lah lo, ketemu dia aja langsung balik badan," ujar Sarah kemudian. Lagi-lagi membuat semua yang ada di meja itu terbahak keras. Hingga membuat mereka menjadi pusat perhatian para murid lain.

Inara menyesap es jeruknya seraya menatap ketiga sahabatnya bergantian. Ia bersyukur karena sudah dianugerahi sahabat seperti mereka. Setidaknya dengan cara seperti ini ia bisa melupakan masalahnya sejenak. Ya, karena setelahnya ia kembali dihadapkan pada sebuah kenyataan pahit.

Mengingat itu membuatnya hanya bisa tersenyum miris. Tapi senyuman itu segera berganti kala Sarah mengajaknya kembali ke kelas. Sepanjang koridor ia berdoa supaya setelah ini jam kosong.

Namun, harapan itu sirna kala Bu Narti tiba-tiba masuk dan memberikan lembaran kertas ulangan harian. Menyuruh mengerjakan dalam waktu dua puluh menit. Dan selalu ada sanksi di setiap akhirnya.

Sejujurnya ia sendiri paling malas berurusan dengan pelajaran yang satu ini. Kenapa? Karena ia benci. Baginya lebih baik mengerjakan lima lembar tugas sastra daripada mengerjakan satu nomor tugas matematika.

Ia menghela napas pelan seraya menutup buku paketnya. Memasukkannya ke tas dan menjadikannya bantal untuk mengistirahatkan otaknya. Ia yakin nilainya kali ini pasti tak jauh beda dari sebelumnya, apalagi kali ini ia tak belajar. Jadinya tak punya persiapan apa pun guna menghadapi kertas bertinta yang mengerikan layaknya ujian hidup.

"Udah jangan dipikirin. Udah selesai juga, mending juga mikirin gue, Ra." Refleks gadis itu menggeplak lengan Nando. Cowok berambut ikal di hadapannya ini tak jauh beda dari Sarah. Mirip ibu-ibu yang kekurangan jatah bulanan.

"Inara mah mana mau mikirin lo, pas-pasan gitu sih," cibir Sarah.

"Oh iya lupa. Sori ya, Res, gue nggak ada maksud nikung temen," ujar Nando seraya memamerkan deretan gigi putih selayaknya iklan di televisi.

"Tau ah, gue duluan. Bye!"

Inara melambaikan tangan pada ketiga temannya lalu melangkah keluar kelas. Kalau sudah begini tak ada yang berani mengikuti ke mana gadis itu pergi. Alasannya simple, mereka hanya tidak mau terkena semburan naga emas ketika mengamuk.

Pernah kala itu Sarah diam-diam mengikuti Inara pergi. Entah gadis itu punya indra keenam atau gimana yang jelas ia langsung berbalik arah dan memarahi Sarah habis-habisan. Dia bilang, "Lo ngapain ngikutin gue? Kepo banget sih sama urusan orang." dan sederet kalimat lainnya yang bisa membuat lawan bicaranya terdiam lama.

Sejak saat itu tak ada yang berani mengikutinya. Jika ada keperluan mendadak paling mereka hanya mengirimkan pesan singkat ataupun meneleponnya.

***

Inara pikir setelah keluar dari kelas pikirannya bisa kembali jernih. Melupakan tentang ujian dadakan tadi. Tapi nyatanya ia tidak bisa. Ia malah terus kepikiran tentang nilainya, takut-takut kalau hasilnya kembali membuat kecewa sang ayah.

Langkahnya berhenti tepat di sebuah gang kecil di ujung koridor. Gang itu merupakan jalan menuju taman belakang sekolah. Sepi, itulah yang terlintas pertama kali di benak setiap orang tentang tempat ini. Tempat ini jarang dikunjungi para siswa, sekalipun ada palingan untuk mereka yang sedang membolos saja.

Tapi Inara ke sini bukan untuk membolos. Ia hanya ingin menenangkan pikirannya. Namun, baru beberapa langkah ia berhenti. Rasa kesalnya semakin menjadi kala langkahnya mendekati bangku beton panjang.

"Heh, lo siapa? Enak aja duduk di sini, ini tempat gue. Main duduk sembarangan mana nggak izin pula."

Cowok yang tadi duduk itupun berjingkat kaget. Matanya memicing menatap Inara, lalu dengan santainya ia mengatakan, "Emang kalau duduk di sini harus izin dulu?"

"Iyalah, ini tempat duduk gue. Kalau mau make ya harus izin dulu sama gue."

"Harus ya? Emang lo siapa? Penunggu bangku ini?" Cowok itu kembali melanjutkan aktivitasnya yang tadi sempat terganggu karena kehadiran cewek aneh yang tiba-tiba marah-marah padanya.

Inara yang kesal langsung menarik buku yang dibaca cowok itu. Menjauhkannya dari jangkauan cowok berambut klimis itu.

"Balikin buku gue." Inara menggeleng. "Buruan balikin, gue mau belajar."

"Lo belajar apaan?" Mata Inara langsung menatap buku yang ia pegang. Manik hitamnya membelalak kala yang dipegangnya adalah buku pelajaran yang ia benci. Sepersekian detik kemudian buku itu sudah berpindah tangan ke cowok itu.

Inara bergidik ngeri melihat cowok di depannya ini begitu menekuri buku yang baca. Melihat sampulnya saja membuatnya langsung pusing tujuh keliling. Lah ini cowok malah membacanya. Benar-benar ajaib.

"Ngapain masih di situ? Nggak capek emang berdiri terus?"

Eh? Sadar akan posisinya, Inara langsung mendaratkan bokongnya ke bangku beton, tepat di sebelah cowok ajaib itu.

"Lo suka matematika?" tanyanya memecah keheningan di antara mereka.

"Iya, kenapa? Gue tebak lo pasti nggak suka sama matematika? Iya 'kan?"

"Eh kok tau?"

"Keliatan. Ekspresi lo udah nunjukin tadi." Kini cowok itu menutup bukunya. Berfokus pada cewek aneh di sebelahnya. "Btw, lo kenapa nggak suka matematika? Padahal kan mudah banget, seru lagi."

"Mudah dari Hongkong? Hello, ini pelajaran bisa bikin gue pusing setengah hidup dan lo dengan santainya bilang ini mudah? Iya mudah bagi mereka yang suka, bagi yang anti pelajaran ini bikin tambah frustrasi."

"Lo kurang belajar, makanya lo bilang gitu. Coba deh lo belajar bener-bener. Lo niatin kalo emang lo mau belajar matematika. Gue yakin pasti niat baik lo bakal ada hasilnya."

Inara menatap cowok di sampingnya. Baru kali ini ada yang menceramahinya selain ketiga sahabatnya dan keluarganya. Ah, tapi benar juga yang dibilangnya, selama ini ia tak terlalu niat untuk belajar matematika. Alhasil nilainya selalu jeblok dan berbuntut pada omelan panjang dari sang ayah.

Ia harus bisa mewujudkan mimpinya bahwa ia bisa. Ia bisa diandalkan juga. Sebuah ide terlintas di kepalanya.

"Heh, lo kok malah ngelamun?" Lambaian tangan dari cowok bermata cokelat di sampingnya menyentaknya.

Bukannya kesal ataupun marah, tapi ia malah tersenyum. Senyum manis yang selalu ia umbar pada semua orang. Jenis senyum yang bisa membuat siapa saja terpana.

"Lo mau nggak jadi tutor gue?"

*****

Blitar, 7 Juli 2018

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
INTERTWINE (Voglio Conoscerti) PART 2
3512      1086     2     
Romance
Vella Amerta—masih terperangkap dengan teka-teki surat tanpa nama yang selalu dikirim padanya. Sementara itu sebuah event antar sekolah membuatnya harus beradu akting dengan Yoshinaga Febriyan. Tanpa diduga, kehadiran sosok Irene seolah menjadi titik terang kesalahpahaman satu tahun lalu. Siapa sangka, sebuah pesta yang diadakan di Cherry&Bakery, justru telah mempertemukan Vella dengan so...
Telat Peka
1329      611     3     
Humor
"Mungkin butuh gue pergi dulu, baru lo bisa PEKA!" . . . * * * . Bukan salahnya mencintai seseorang yang terlambat menerima kode dan berakhir dengan pukulan bertubi pada tulang kering orang tersebut. . Ada cara menyayangi yang sederhana . Namun, ada juga cara menyakiti yang amat lebih sederhana . Bagi Kara, Azkar adalah Buminya. Seseorang yang ingin dia jaga dan berikan keha...
Meja Makan dan Piring Kaca
57176      8412     53     
Inspirational
Keluarga adalah mereka yang selalu ada untukmu di saat suka dan duka. Sedarah atau tidak sedarah, serupa atau tidak serupa. Keluarga pasti akan melebur di satu meja makan dalam kehangatan yang disebut kebersamaan.
Bottle Up
3050      1260     2     
Inspirational
Bottle Up: To hold onto something inside, especially an emotion, and keep it from being or released openly Manusia selalu punya sisi gelap, ada yang menyembunyikannya dan ada yang membagikannya kepada orang-orang Tapi Attaya sadar, bahwa ia hanya bisa ditemukan pada situasi tertentu Cari aku dalam pekatnya malam Dalam pelukan sang rembulan Karena saat itu sakitku terlepaskan, dan senyu...
Cinta Tiga Masa
36      28     0     
Romance
Aku mencurahkan segalanya untuk dirimu. Mengejarmu sampai aku tidak peduli tentang diriku. Akan tetapi, perjuangan sepuluh tahunku tetap kalah dengan yang baru. Sepuluh tahunku telah habis untukmu. Bahkan tidak ada sisa-sisa rasa kebankitan yang kupunya. Aku telah melewati tiga masa untuk menunggumu. Terima kasih atas waktunya.
The Presidents Savior
9654      2112     16     
Action
Semua remaja berbahaya! Namun bahaya yang sering mereka hadapi berputar di masalah membuat onar di sekolah, masuk perkumpulan tidak jelas yang sok keren atau berkelahi dengan sesama remaja lainnya demi merebutkan cinta monyet. Bahaya yang Diana hadapi tentu berbeda karena ia bukan sembarang remaja. Karena ia adalah putri tunggal presiden dan Diana akan menjaga nama baik ayahnya, meskipun seten...
Finding the Star
1154      867     9     
Inspirational
"Kamu sangat berharga. Kamu istimewa. Hanya saja, mungkin kamu belum menyadarinya." --- Nilam tak pernah bisa menolak permintaan orang lain, apalagi yang butuh bantuan. Ia percaya kalau hidupnya akan tenang jika menuruti semua orang dan tak membuat orang lain marah. Namun, untuk pertama kali, ia ingin menolak ajakan Naura, sahabatnya, untuk ikut OSIS. Ia terlalu malu dan tak bisa bergaul ...
Ujian Hari Kedua
617      357     1     
Short Story
Hei, kurasa kau terlalu sibuk menguras uang-uang kami. Jika iya, apakah kami mempunyai ruang untuk berkreasi disini? Aku terlalu muak dengan penjara yang kalian ciptakan. Aku tak mau menjadi seorang pengecut yang tunduk kepada orang yang bodoh. Aku pemberontak. Itu sebab aku lebih pintar dari kalian semua! -Kahar
HIRI
161      132     0     
Action
"Everybody was ready to let that child go, but not her" Sejak kecil, Yohan Vander Irodikromo selalu merasa bahagia jika ia dapat membuat orang lain tersenyum setiap berada bersamanya. Akan tetapi, bagaimana jika semua senyum, tawa, dan pujian itu hanya untuk menutupi kenyataan bahwa ia adalah orang yang membunuh ibu kandungnya sendiri?
DocDetec
290      198     1     
Mystery
Bagi Arin Tarim, hidup hanya memiliki satu tujuan: menjadi seorang dokter. Identitas dirinya sepenuhnya terpaku pada mimpi itu. Namun, sebuah tragedi menghancurkan harapannya, membuatnya harus menerima kenyataan pahit bahwa cita-citanya tak lagi mungkin terwujud. Dunia Arin terasa runtuh, dan sebagai akibatnya, ia mengundurkan diri dari klub biologi dua minggu sebelum pameran penting penelitian y...