Sepasang itu terus melaju. Mengantarkanku tepat di hadapanmu. Kelompok itu terus berputar. Oh Waktu, tolonglah sebentar saja engkau berhenti berputar.
Merahku datang. Bagaimana aku akan menutupimu wahai semu? Aku akan keluh dan mematung. Apa dia melihatmu?
Dendang batinku bergemuruh kencang. Apakah aku akan mati Tuhan? Serasa organ tubuhku yang selama ini bersenandung, lepas tak tertahankan.
Namanya Muhaimin. Dia pria yang diidamkan teman-teman untuk menjadi imam mereka. Dia pria yang biasa saja. Namun wajahnya begitu teduh. Serasa embun. Dia begitu supel dan periang. Haramkah aku mencintai dia? Pasti yang dia iginkan menjadi bidarari di kehidupannya hanyalah wanita berhijab dengan wajah cantik dan lancar membaca Al-Quran. Sedangkan aku hanyalah wanita biasa saja tanpa hijab. Jangankan lancar membaca Al-Quran, mengenal huruf saja aku tak lancar.
"Hai kak, maaf aku mau tanya nanti latihan jam berapa?" tanyaku padanya. "Jam empat ya. Jangan lupa bawa lembarannya." jawabnya dengan mengingatkan. Setelah percakapan itu jantungku berdetak sangat hebat. Apa ini namanya cinta? Apa ini dibolehkan? Haramkah perasaan ini? Walau aku tidak memiliki ilmu agama, namun semenjak aku pindah ke sekolah ini karena mengikuti orang tuaku sedikit demi sedikit aku mengenal agamaku. Bahkan saat aku mengenal kak Fatimah, aku lebih bebas bertanya tentang apa saja yang aku ingin tahu mengenai islam. Kak Fatimah sudah seperti guru spititualku saja. Aku sering mengganggunya tanpa mengenal waktu lewat video call, sms, e-mail maupun telepon. Aku ngefans berat sama kak Fatimah. Dia tidak pernah memarahiku saat aku bertanya di luar sekolah, membangunkan dirinya saad tengah tertidur. Dia hampir sempurna di mataku. Di mata wanita saja dia sudah bernilai mendekati sempurna. Apa lagi di mata pria? Dia remaja yang sangat cantik menurutku. Postur tubuhnya juga ideal. Kulitnya yang bening. Bibir yang merah tanpa polesan bibir. Berhijab, seperti yang didambakan pria-pria yang shaleh seperti kak Muhaimin. Bahkan dia seorang hafidzah. Lantunan ayat Allah yang diucapkannya begitu merdu. Dia anak ketiga dari empat bersaudara. Ayahnya seorang pejabat negara. Sering ku melihat kak Fatimah turun naik mobil mewah berwarna merah yang dikendarai supir pribadinya. Walaupun begitu, kak Fatimah tidak pernah berkata keras ataupun kasar ke orang-orang di sekelilingnya. Meskipun di sini rata-rata orang berada, namun kedua orang tua kak Fatimah lebih sering menjadi donatur untuk sekolah yang paling besar nominalnya. Aku menganggap kak Fatimah bukan hanya sebagai kaka kelas, guru spiritual, contoh untukku atau sahabatku. Tetapi aku juga mengganggapnya sebagai kakakku. Karena kakakku sudah meninggal saat aku TK. Tetapi perasaanku pada kak Muhaimin tak pernah aku ceritakan ke kak Fatimah. Karena aku tau kak Muhaimin memiliki perasaan yang aku miliki untuknya, untuk kak Fatimah. Mereka memang cocok sih. Sedang aku? Siapalah aku ini? Baca Al-Quran saja aku masih terbata-bata. Jauh aku di bawah kak Fatimah jika dibanding-bandingkan. Walau tak ada satupun orang yang aku dengar dan aku lihat membanding-bandingkan diriku ini dengan kak Fatimah.
Siapa yang tak dapat melihat. Antara mendung dengan sinar. Siapa yang tak dapat melihat antara manusia dan malaikat. Siapa yang tak dapat melihat antara gemuruh dengan teduh. Siapa yang tak dapat melihat antara cukup dan sempurna.
Bagaikan langit dengan bumi. Siapa pun tak akan mampu jika dibandingkan bersamamu. Cintaku pun akan merasa kalah. Ya Allah haruskah aku menyerah saja dengan anugerah-Mu ini.