Desember, penghujung tahun ini seakan menyeret otakku untuk terus berpikir keras tentang keputusan yang harus aku ambil. Tidak seperti ketika pergi belanja dan menghabiskan jutaan rupiah untuk memberi satu rak buku bacaan. Entahlah, mungkin karena diskonnya yang menurutku sangat gila, jadi kupikir itu cukup membuatku turut mengikut gila untuk menghabiskan jutaan rupiah hanya untuk setumpuk kertas makanan mata.
Tahun ini, tahun yang sangat berat bagiku. Dan mungkin juga berat bagi dua temanku, Nay dan Nuri. Semua hal –bisa ku sebut mereka masalah- sebelum ini selalu kami selesaikan dengan mudah. Dan memori tentang mereka selalu kami buang jauh-jauh hingga cukup baik terlupakan. Kali ini, mereka cukup sarat untuk terus bersarang dalam lorong pikiranku yang semakin hari semakin sempit.
“Kau tak berguna!” Begitu dia meneriaki ku. Aku masih ingat, dan rasanya hujan sore itu masih tarasa di permukaan kerudungku ini. Menyerbuku sama seperti sumpah serapah Yuli.
“Aku mengenalmu Ranum! Dan ku kira kau cukup pintar untuk mencegah semua ini terjadi!” Dia terus menatap mataku lekat-lekat. “Kau gadis perkasa! Semua orang kenal kau anak gunung, sudah ratusan kali pergi mendaki. Puncak mana yang belum pernah kau daki ha?” Tangan kanan Yuli mendorong bahu kiriku dengan keras. Aku terdorong beberapa langkah ke belakang. Bagaimanapun dia memperlakukanku, aku tak pernah mau melawan.
“Aku yakin kau sendiri tak percaya dengan apa yang kau ucapkan! Jodi hilang di tengah hutan yang kau sendiri sudah sangat hapal bahkan mungkin untuk setiap tumbuhan dan semut besar didalamnya? Aku tahu dengan baik penelitian rahasia kalian bertiga! Dan itu alasan terbodoh yang pernah kudengar. Bagaimana mungkin Ranum!” Teriakannya semakin keras. Aku bisa merasakan betapa tercabik-cabiknya perasaan Yuli setelah kehilangan Jodi kekasihnya. Sayangnya dia juga mantan kekasihku. Tapi aku tak sedikitpun tertarik untuk membahas kasus ini.
Dia tak pernah tahu. Dan kalaupun ku ceritakan padanya aku yakin ia tak akan pernah percaya. Begitu juga dengan teman-temanku yang lain.
Semua orang kaget dengan kehilangan Jodi. Tak hanya Yuli dengan urusan perasaan pribadinya. Ketua Jurusan dan Dosen penanggung jawab kegiatan juga kewalahan menyelesaikan kasus yang berlapis jutaan misteri ini.
Tak ada yang salah dengan lokasi penelitian kami. Selain karena sedikit yang melakukan survey lapangan ke daerah ini. Semua dosen sudah ratusan kali melakukan penelitian, tapi memang hanya berupa penelitian sekunder dan tak pernah ada yang meneliti senti demi senti lokasi disini. Cuma aku dan dua temanku yang mengenal daerah ini seperti mengenal kata demi kata di buku catatan survey lapangan kami. Juga tidak pernah ada yang tahu kami sering melakukan penelitian lapangan disini, kecuali Yuli.
Nay adalah satu-satunya alasan mengapa kami harus mengenal tempat ini dengan baik. Ia percaya ada integrasi yang kuat antara flora, fauna dan ekosistem hutan hujan basah. Katanya, “Bagaimana kita bisa mencegah bencana alam di kota jika sebutir tanah yang menyimpan air disini tak kita kenali? Selain itu, aku yakin hadirnya fauna di hutan ini ada banyak pengaruh bagi pertumbuhan pohon. Kau tahu kan Nuri pohon adalah paru-paru dunia? Dan akarnya selalu menyimpan banyak sekali misteri yang harus kau teliti.”
Nay adalah yang terpintar diantara kami. Selain itu dia juga jujur dan dapat dipercaya. Sebenarnya kami bertiga juga seperti itu. Tapi Nay memiliki porsi lebih besar. Dia seperti tangan kanan dosen dalam setiap urusan perkuliahan. Mungkin ini yang membuat dosen kami mempercayainya seratus persen. Dan sama sekali tidak pernah terpikir untuk melabuhkan tuduhan yang bukan-bukan atas kasus hilangnya Jodi.
Seperti yang ku katakan, kami mengenal sangat baik hutan ini. Tidak ada yang salah dengannya. Hanya saja, permasalahan ini tidak pernah muncul sebelum Jodi merasa gusar akan hijrahku. Entahlah, hingga saat ini aku juga tidak mengerti apa yang membuatnya sebegitu bencinya melihat kerudungku ini. Tidak lebih dari sebulan aku mengenakan kerudung dan Jodi selalu mencari masalah dengan segala yang ku lakukan. Tak peduli dimanapun dia berada dan apapun yang dia katakan, dia selalu menggangguku.
Alhamdulillah, ini pertama kalinya aku sadar akan ketulusan cinta. Begitu damai rasanya setelah aku menyadari kebesaran cinta Tuhan pada setiap insan tak peduli mereka sadar atau tidak akan ke-Maha Esaan-Nya. Aku hanya merasa tak pantas untuk tidak patuh. Setelah semua nikmat dan rahmat yang telah diberikan Tuhan pada setiap detik hidupku di dunia ini.
Dan sejak itu, aku semakin rajin beribadah. Melepaskan status islam KTP yang selama ini selalu kuanggap normal. Aku rajin membaca Al-Quran, entah kenapa setiap barisnya menghadirkan inspirasi menulis dan hikmah-hikmah luar biasa yang semakin menambah kecintaanku akan sang Maha Cinta. Tentu aku juga tidak lupa untuk membagikan ini pada dua sahabatku, dan sesekali pada mereka teman-temanku yang lain. Semakin hari semakin banyak yang ku tahu dan semakin banyak yang ku bagikan. Banyak yang ikutan hijrah, juga banyak yang masih sekedar membenarkan dan selebihnya mungkin tidak senang dengan apa yang aku sampaikan.
Jodi salah satu dari mereka yang tidak senang. Mungkin dalam pikirannya, kurang dari satu bulan dan aku berubah sangat pesat itu tidak realistis untuk masa laluku yang sangat kelam dan pekat dengan kehidupan malam.
“Heh, kau tak perlu sok suci dengan kerudung lebar ini ya!” Dia meneriakiku dan menunjuki kerudungku dengan jari tengah tangan kirinya. “Baru kemarin malam kau pulang dari bar tempat biasa sekarang sudah sok menceramahi orang! Ku kira kau pintar karena berteman dengan Nay dan Nuri. Ternyata kau tak cukup jenius untuk tidak terbius dengan candu agama. Percuma kau berpenampilan seperti ini Ranum! Dimataku kau tak pernah berubah! Tetap Ranum yang sering ku lihat bertiga di sudut bar malam untuk peta dan rencana gilanya mendaki seluruh puncak gunung di dunia.” Dia mendekati wajahku untuk beberapa senti kemudian tertawa tipis maksudnya mengejekku. “Heehm, ternyata kau masih cinta kopi ha? Dimana ? Bar malam? Hahahaha!!”
Aku bercucuran air mata. Kata-kata terakhirnya itu sangat menamparkau. Aku langsung berdiri, mengemasi barang-barangku dan pergi. Sementara Nay dan Nuri memanggilku untuk tidak meninggalkan mereka. Selain itu, mereka juga menyumpahi Jodi karena kata-kata kotornya.
Ku tinggalkan kelas untuk satu minggu. Tak kuat bertemu dengan Jodi dan mendengarkan lagi kata-kata menyakitkan itu. Sebenarnya masih banyak hal yang harus dilakukan dengan penelitian kami. Belum lagi, semua orang mengharapkan kedatanganku ke kampus untuk membahas lokasi yang akan jadi objek penelitian KKL kami.
Berat hati tapi aku harus tetap pergi. Apapun yang akan diucapkannya nanti. Aku tidak peduli. Kerudung ini, harga mati!
“Sudahlah Num, aku tahu untuk saat ini mungkin Jodi sangat buruk bagimu. Tapi kau juga tidak bisa mengelak dia pernah begitu dengat denganmu dahulu.” Dahulu? Iya, dahulu dia kekasihku. Yang sangat tempramen dan keras kepala. Aku tidak tahu apa sesuatu yang menarik dari sampah yang telah ku buang kemudian Yuli memungutinya.
“Untuk kata-katanya yang menyakitkan, aku akan mencoba berbicara dengan Jodi akhir minggu ini. Semoga dia berubah. Dia akan mendengarkan ku Ranum, kau bersabar ya.” Yuli mengelus-elus lenganku seakan dia yakin dengan begitu dapat menghapuskan memoriku tentang kata-kata tajam Jodi seminggu yang lalu.
Kami sudah di lokasi. Dan kegiatan KKL sudah berlangsung dari dua hari yang lalu. Ini hari terakhir kami. Dan sekarang adalah jadwalnya untuk bersenang-senang. Membentuk lingkaran api unggun membakar apapun yang lezat untuk disantap. Dosen-dosen juga disana, bernyanyi bersama alunan gitar mahasiswa. Sedangkan aku, Nay dan Nuri masih sibuk di belakang tenda membahas hasil survey lapangan. Kami harus bersembunyi dari kegiatan buang-buang waktu itu.
Suasana tidak begitu serius. Nay selalu memberi jeda setiap kepala kami terasa akan pecah untuk analisis yang rumit. Ku kira ini waktu yang cocok untukku bertanya pada mereka tentang apa yang sudah mereka lakukan pada Jodi untuk seminggu sepeninggalku di kampus.
“Kau sudah melakukan hal yang luar biasa Ranum! Aku tidak pernah menemukan hal itu dalam diriku sendiri meskipun jutaan kali rasanya aku selalu mencoba mencari sesuatu berarti dalam sebatang pohon sekalipun. Tapi kau luar biasa, dan ku kira aku harus mengikutimu, mungkin Nuri juga punya pendapat yang sama.” Nuri mengangguk dengan senyum manisnya. Aku bangga mendengarnya, untuk suatu alasan besar Nay dan Nuri juga mengenakan kerudung dalam sepertiku. Alhamdulillah.
Untuk suasana yang mengharukan itu kedatangan Jodi sangat tidak ku harapkan. Dia muncul dari belakang kami dengan sebatang rokok melekat dibibirnya. Tangan kirinya juga menempel kesana. Bersama dengan asap rokok dari mulutnya yang mengepul-ngepul itu dia kembali membuat suara. Aku benar-benar tidak senang dengan tipe suara itu. Benar-benar membangkitkan kenangan minggu lalu, dan itu sangat perih.
“Ranum!” Panggil Jodi. Nay mengkodeku untuk segera berbalik badan. Tapi kenangan pahit minggu lalu seakan meletup-letupkan emosi di mataku. Ku tatap lantang kedua matanya. “Ternyata kau luar biasa ya! Dulu kau sendiri, sekarang mereka berdua dan ku lihat beberapa anak lain juga sudah ikut hijrah. Apa racun yang kau bawa Ranum?” Dia menyipitkan mata, melepaskan batang rokok di bibirnya, mengepul-ngepulkan racun nikotin ke udara lalu menatap lebih tajam ke arahku.
“Yang jelas bukan racun nikotin yang sudah merasuki otakmu untuk meninggalkan campt party Jodi!” Jawabku acuh. Jodi tertawa pongah kemudian membuang rokoknya, menginjaknya di tanah. Dia mengambil napas panjang dan kemudian berkata, “Aku mengenalmu sangat baik sejak sebelum kau memutus hubungan kita! Kau mencampakkanku dan apa kau kira aku tidak gila? Itu menyakitiku Ranum!” Aku segera membalikkan badan. Jika ia datang hanya untuk mengejekku kembali. Harusnya campt party itu jauh lebih menarik
Aku menyukaimu karena kau keren! Anak gunung, pintar dan rendah hati. Aku terima untuk alasan konyolmu ingin serius kuliah, tapi tidak dengan berubah seperti ini. Kau berkerudung dalam dan itu membuatku kehilangan sosokmu yang ku kagumi. Terserah meski aku tidak bisa menggenggammu dan hanya mendapatkan Yuli sebagai penggantimu dan itu tidak pernah sesempurna ketika aku memilikimu!” Jodi menitikkan air mata. “Aku selalu merindukanmu Ranum! Kembalilah dan jadilah kekasihku lagi! Aku selalu ingin mendekapmu seperti dulu kau menerimaku. Mencium wangi rambutmu dan mari kita lalui malam ini berdua. Hanya kau dan aku bersenang-senang di suatu tempat yang indah. ”
Bicara saja kau pada monyet di hutan sana! Seakan punggungku menyumpahinya dengan kata-kata. Kata-katanya lebih parah dari yang ku duga. Dan itu membuatku mual. Tepatnya hanya Nuri saat ini yang bisa memperhatikan dengan jelas gelagat Jodi dibelakang kami. Ku dengar rerumputan bergesek, langkah kaki Jodi mendekatiku. Apa yang akan dia lakukan? Tanganku bergetar. Membuat kepalan keras dan aku berpikir untuk mengambil sesuatu yang cukup besar untuk memukul otak di kepalanya yang mulai rusak. Mataku melompat pada semak-semak di depan kami, mencari beberapa batu yang mungkin bisa menyadarkan Jodi kembali. Setelah aku berbalik, hal yang tak pernah aku bayangkan telah dilakukan Nuri.
Darah segar mengalir dari kepala Jodi. Dan itu sangat banyak sampai-sampai jaket putih yang ia kenakan berubah warna menjadi merah darah. Jodi rebah di hadapan Nay. Dia sama kagetnya dengan diriku. Kami berdua menganga sebesar-besarnya. Mata kami melotot mengarah pada Nuri dan menguncinya dengan beribu tanya.
“Apa yang kau lakukan Nuri?” Nay yang pertama, sedang aku kebingungan memikirkan apa yang akan terjadi selanjutnya. Aku harus memastikan Jodi tidak mati. Tapi bagaimana caraku mengetahuinya sementara seorang perempuan haram menyentuh lelaki yang bukan mahrom? Akhirnya kulapisi tanganku dengan kerudungku dan kusentuh nadi di batang leher Jodi. Diam, tak ada denyutan. Aku terperanjat tak percaya. Nuri, atau bisa ku bilang kami telah membunuh Jodi?
“A a a aku pikir dia akan melakukan sesuatu yang buruk padamu Ranum. Karena ku lihat di berjalan ke arahmu dan tatapannya seperti orang kesurupan. Dia membuka kancing kemejanya kau lihat!” Nuri menunjuki Jodi, dan dia benar. “Ku kira otaknya sudah tidak sehat dan aku yakin tidak ada satupun diantara kita yang bisa memeganginya andai nanti dia melakukan hal yang buruk padamu Ranum. Kita semua tahu Jodi atlit tekwondo dan sekampus ini tak ada yang pernah bisa mengalahkannya bertarung. Dan ku pikir tak ada cara lain selain.. A a aku refleks memukulkan ini ke kepalanya.” Tangan Nuri gemetar memegang palu geologi di tangannya. “Tapi bukan berarti kau langsung memukulnya Nuri!” Nay menimpali pernyataan Nuri dengan nada penuh kekesalan. “Aku bisa saja berteriak dan semua orang akan datang dan menghentikan itu. Jodi memang gila ketika penyakitnya kambuh, tapi setidaknya disini kita masih punya dosen pendamping yang sebelumnya bisa melindungi kita. Setelah apa yang barusan kau lakukan, ini justru memperparah keadaan.” Tambah Nay.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang?” Nuri bergetar dalam nadanya, aku juga merasakan hal yang sama. Disana orang-orang masih disibukkan dengan campt party dan dengan langkah penuh ke khawatir kami menyeret Jodi ke dalam hutan. Menyembunyikannya di tempat yang tak akan pernah ada satu orangpun menduga ada mayat disembunyikan disana. Kami menghapus jejak-jeka darah Jodi dengan sempurna. Dapat dipastikan tidak akan ada yang tahu dengan apa yang barusan sudah kami lakukan.
Pagi berikutnya, kami bertiga tidak lagi berada di perkemahan. Nay memutuskan untuk mengasingkan diri ke puncak bukit. Kami berangkat setelah dia menuliskan alasan yang cukup masuk akal untuk menghilang pada secarik kertas. Kemudian surat itu diselipkannya dibawah berkas laporan penelitan kami di tenda profesor Ef.
“Pagi ini semua orang akan panik kehilangan Jodi.” Aku memulai pembicaraan. “Setidaknya tidak akan ada yang bisa menemukan mayatnya sekarang atau tidak selamanya.” Nay menambahkan. “Aku tidak percaya diawal keinsafanku dan ditengah tekad kerasku untuk berhijrah aku justru mengulanginya lagi.” Nuri menitikkan air mata. Isakannya mengalihkan pandangan kami dari pemandangan sunrise yang mungkin akan sedikit membantu dari ketegangan tadi malam. Kami beralih menatap wajah penuh penyesalan Nuri. “Aku sudah berjanji pada Tuhan tidak akan membunuh lagi. Tapi barusan aku melakukannya! Betapa buruknya aku Ranum? Masih pantaskah aku diterima Tuhan?” Aku bergerak mendekati Nuri dan mendekapnya dalam pelukanku. “Apapun yang kau lakukan, Tuhan pun tahu kau sedang berusaha melindungi aku Nuri.” Nay mengulurkan tangannya meminta kami berdiri menghadap matahari terbit. Kemudian kami bertiga berangkulan bahu. Semuanya terasa sedikit melegakan ketika kami bersama.
***