Musim semi, 1986
Ini penghujung Febuari, seharusnya merupakan waktu dimana keluarga-keluarga bepergian piknik dan anak-anak kecil berlarian bermain layangan. Tetapi di salah satu daratan Spayol tidak terdapat perubahan sama sekali. Bagi mereka yang berada di sana waktu seakan membeku, hari-hari mereka dipenuhi kejadian-kejadian serupa. Para penjaga berleher jenjang dengan senapan-senapan yang tak kalah panjangnya berjaga hari di perbatasan kota. Tidak kenal kompromi apalagi belas kasihan pada warga kota yang mempunyai keluhan ini itu. Mereka kelaparan, kekurangan harta serta dikekang pembatasan hak asasi.
Jangankan hal itu, bahkan secara kontroversional Raja Boillon dengan bangga menjual simbol Kreistendom yang diagung-agungkan pengikutnya. Siapa yang berani melawan, pendeta suci di beberapa gereja menolak ketetapan sepihak tersebut. Sedangkan ordo yang sependapat dengannya menggemakan kata Boillon ditanah reruntuhan kuil, meninggikan, menuhankan.
Adalah suku Nasrid, penjaga-penjaga terakhir kekuatan luhur Murabbitun sekaligus keturunan nyata Muhawwidun. Pimpinan mereka, Khansa bin Maliki, seorang hafidz sejak usia enam, tanpa henti menggencarkan dakwah dan menyebarkan ajaran secara sembunyi-sembunyi. Sungguh miris sekali. Padahal dahulu Granada ramai oleh Azan dan bacaan Al-Qur’an. Kini, siapapun yang melafalkan Bahasa arab, tidak peduli apapun itu, akan berakhir di tiang-tiang katedral, di pacung agar menciutkan hati siapapun yang beriman. Para Ulama bekerja keras, berbagai peraturan tidak masuk akal dicanangkan sana-sini, larangan membaca buku, larangan belajar menulis hingga wajib membuka pintu-pintu selama siang, kaum Moor tidak bisa melaksanakan sholat lima waktu. Tentara dan senapan menanti di depan pintu rumah mereka. Para Ulama’ berfatwa sholat lima waktu dilaksanakan sekali, pertengahan malam. Tidak ada pilihan lain. Islam tidak boleh sirna dari Granada.
Ini akhir Maret, udara tengah malam mulai menggigit di dalam Al-Hambra’ namun sebuah lilin yang sudah pendek masih menyala redup di temani bacaan Al-Qur’an seorang bocah yang serupa bisikan. Itu surat Muhammad. Surat terakhir yang perlu di hafalkan bocah itu malam ini. Usianya belum genap 5 tahun, tetapi otaknya menyerap segala pelajaran seperti spoons. Ia bergerak pelan mencari ayahnya diantara buku-buku bekas setinggi pinggang orang dewasa di ruang depan. Ingin menyetorkan hafalannya. Lihat, matanya berbinar bagai purnama, bahagia tak terkira sudah berhasil melampaui kakek dan ayahnya dalam menghafal Al-Qur’an. Anak lelaki itu dipanggil Nasridiyah kecil. Rupanya ia keturunan Muhawwidun termuda.
Sesampainya di tumpukan buku-buku tua tengah berdiri tegap sosok tegap berpakaian sederhana. Sang Ayah menoleh dan menatap mata anaknya, ia tahu apa yang sudah dicapai anaknya. Nasridiyah kecil merupakan anak bungsunya, juga anak satu-satunya saat ini. Kakak-kakaknya telah Syahid saat mempertahankan Granada.
“Kau tidak perlu memperdengarkan bacaanmu malam ini, Nak” Ucap ayahnya. Anak itu tampak kecewa.
“Cukup dengarkan bacaan Abi nanti subuh, simak dengan baik dan benarkanlah jika ada yang salah. Kita akan adakan sholat subuh berjama’ah disini. Dengar nak, apapun yang terjadi kita tidak boleh menyerah sebelum berusaha”
Anak kecil itu kaget bukan main, namun ia sadar ini merupakan saatnya ia melakukan pemberontakan di Granda melawan Kreistendom raja Boillon. Tepat, tanggal 1 April dini hari. Pasukan berkumpul tepat waktu. Jumlahnya mengejutkan, ribuan terdiri dari lelaki dewasa dan anak muda kaum Moor. Nasrid kecil menatap takjub, ia merasakan darahnya mendidih. Sholat subuh dipimpin langsung oleh ayahnya, di akhiri dengan takbir yang menggema. Akhirnya, setelah puluhan tahun. Azan dan takbir kembali membahana di Granada.
*********
Sebuah Mobil AX57C silver melesat jauh. Meninggalkan kawasan yang baru saja ia pijaki. Rute yang ia lalui masih sama, Tivertus street XV hingga Persimpangan 67. Gedung tua berlantai 4 menjadi tujuan pertama sebelum melanjutkan perjalanan menuju apartemennya yang berada jauh dari jantung kota. Ia sudah melakukan riset yang cukup panjang. Empat dari puluhan bangunan yang bersifat global sudah ia jamah. Dan bangunan berbatako dua kali lipat lebih besar dari biasanya yang diplitur dengan warna coklat pekat itulah yang menjadi pilihannya.
Tak perlu waktu panjang, mobil dengan plat 3 digit angka tersebut memasuki wilayah bebas parkir. Ratusan mobil dengan berbagai tipe berjejer rapi. Bergegas ia tekan pedal gas, membuka pintu mobil. Ditangannya alumunium tipis dengan kode kepolisiaan tertulis di atasnya. Tangan pemuda itu lincah mengganti papan kecil yang semula sudah tergantung di dua sisi mobil tersebut. Sesaat, mobil melesat tuk kesekian kali, membelah jalanan luas kota metropolitan yang akhir-akhir ini selalu membuat pening kepala.
“kalau bukan karena bedebah itu, aku tidak akan mau memperumit hidupku dengan melakukan hal-hal semacam ini” umpatnya dalam hati.
Bedebah itu tak lain adalah para wistles, organisasi hitam underground yang memegang sebagian besar impor-expor ribuan hingga jutaan ton barang selundupan dari Asia dan Afrika. Hampir seluruh entrepot pelabuhan barat mereka kuasai. Para pemerintah bukannya tidak tahu, mereka hanya tutup mata. Hans sudah hafal mati pasal itu. Tidak pernah ada yang menolak pemberian para wistles, koruptor, sungguh sudah mendarah daging.
“kamu harus pulang sekarang”
Suara Jules si gadis berambut ikal burgundy itu seakan teringang, menderu bersama angin dan kabut yang membuat hatinya semakin ngilu. Jenis luka yang sulit sembuh itu kembali menanga. Pulang? Hans hendak meringis mendengarnya. Sungguh, ia tidak pernah tahu artinya. Jika tempat Jules memang merupakan rumahnya, seharusnya ia tak memanggil para wistles itu bedebah bukan?
Sang sulung awan malam menggiring si bungsu bulan menjauh. Tubuh Hans mungkin kebas, tetapi hatinya panas. Nunsius itu bergerak ke entrepot pusat. Sedikit saja terlambat, kakek tua itu tidak akan pernah lepas dari incaran the Wistle selamanya, malang nian nasibnya. Takala bulan bahkan menjauh menyinari hatinya yang redup temaram.
Ah, pemuda mana yang memanggil keluarganya sendiri bedebah? Bulan pasti membencinya.
*********
hai hai!
Aku mau curcol dikit dulu, hehe..
Hi, this is Kika speaking. Sebenarnya untuk membuat cerita ini aku membaca banyak sekali buku lho, mencocokan tragedi, lokasi bahkan membaca pendapat-pendapat dari manusia di penghujung negeri sana yang aku ngga ngerti bahasanya hingga aku jadi akrab sama mbah gugle. Kenapa perlu seribet itu? Actually, aku mau semua pembaca aku dapat ilmu, untung lagi kalau ilmunya ke'save' dan terinspirasi//ngarep, hehe.
so, i really wish your suggestion. request juga boleh, ding, soalnya ntar Hans bakal ketemu some one spesial dan aku belum tahu mau bikin bertipikal seperti apa. //halah, thor! baru 2 chap aja udah sok spoiler..
biarin, biar readers pada aktif, ya ngga?
okeh, see you next chapter guys! with love and hug, Kika
Ide, plotting dan style seleraku banget.
Comment on chapter Pulanglah, HansMampir ke tulisanku juga ya.