Seperti yang aku tau. Semua yang hidup pasti akan mati. Kematian yang datang pada yang hidup itu melalui prosesnya masing-masing. Caranya pun berbeda-beda. Apa kita yakin esok hari kita masih dapat membuka kedua mata kita? Apa esok hari kita masih dapat mengeluarkan kata dari mulut kita dengan suara indah kita? Apa esok hari kita masih bisa menikmati cokelat, es krim dan masakan ibu tercinta kita? Apa esok hari kita masih bisa berjalan, berlari dan menggenggam? Bahkan apa kita masih bisa bersenda gurau dengan keluarga kita? Ayah, ibu, suami atau istri atau pacar atau tunangan, anak-anak, kakak dan adik kita, apa esok hari masih bisa kita bertemu dengan mereka? Tapi, mengapa kita masih sibuk dengan urusan kita? Masih saja kita berusaha membahagiakan diri kita dan orang-orang tertentu saja?
Di dalam penglihatanku, orang-orang di sana sangatlah beruntung. Tidak seperti diriku. Namun bagi orang lain, diriku jauh lebih beruntung dari mereka. Itulah manusia. Tak pernah puas dengan apa yang dimilikinya. Aku terlahir dengan kondisi kedua mataku harus dioperasi. Namun hanya sebelah saja yang dapat dioperasi. Kata papa sih, harus ditanam lensa. Papa juga bilang alasan mengapa tidak ditanam lensa. Namun...
Kini aku tumbuh sebagai gadis dengan penglihatan satu mata. Aku sadar, aku ini bisa digolongkan gadis yang tidak mudah membuat pria tertarik secara fisik. Walaupun aku supel, dan lebih awet berteman dengan para pria, aku belum juga mendapat pacar. Mereka yang mengenalku tidak tau kondisi mataku selain keluarga dan beberapa teman SMU yang sempat aku ceritakan. Sempat aku bertanya pada Tuhan ada rencana apa mataku ini hanya diberi satu penglihatan saja. Karena pendengaranku yang tak mampu mendengar suara Tuhan, aku terus menjalani hidup. Hingga aku bertemu dengan seseorang yang pertama kalinya menyatakan perasaannya dan memintaku untuk menjadi pacarnya. Aku memang sangat senang masih ada orang yang mau sama gadis sepertiku ini. Namun aku juga heran, mengapa dia yang baru mengenalku sudah seperti itu, sedang orang yang sudah lama mengenalku tidak ada satu pun yang menyatakan perasaannya bahkan memintaku menjadi pacar. Aku sebagai manusia juga memiliki perasaan ingin dicintai oleh lawan jenis. Tetapi otakku berfikir apa dia sedang mempermainkanku atau hanya bercanda. Beberapa hari dia meminta jawaban bahkan dia menangis saat meneleponku. Lagi-lagi aku merasa curiga. Jangan-jangan cuma pura-pura menangis. Beberapa minggu kami sering berkomunikasi. Dan dia terus bertanya. Hingga di hari itu dia mengancam akan pergi dan ga akan lagi bertemu jika aku tidak menerimanya. Aku merasa nyaman dan dia satu-satunya yang rutin mengirim SMS bahkan meneleponku. Akhinya aku putuskan menerimanya. Namun aku akhirnya tau hubunganku dengannya ini tidak disukai oleh kakak-kakaknya dan orang tuaku. Kami tetap menjalani hubungan kami karena permintaannya. Aku berfikir dia pacar pertamaku dan satu-satunya pria yang mempertahankanku. Hubungan kami biasa saja. Hanya sms dan telepon atau bertemu dalam waktu-waktu tertentu saja. Bukan hanya karena terbatas penglihatanku, namun aku juga gadis yang penyakitan. Hingga akhirnya dia sering meminta aku untuk bertemu di tempat biasa atau di rumahku. Aku menolaknya. Hingga tak sadar aku akan akibatnya, dia meneleponku dan berpamitan. Aku berusaha mempertahankannya namun gagal. Hari demi hari aku menghubunginya tak ada respon baik sms maupun telepon. Andai aku punya ponsel yang lebih bagus dari yang aku punya, yang bisa video call, apa dia akan merespon? Ah, kalau memang dia mau merespon dan perduli padaku yang dia tau aku penyakitan , pasti dia akan merespon tidak perlu sampai berminggu-minggu bahkan berbulan-bulan seperti ini. Aku berfikir apakah memang aku tidak pantas dicintai? Aku merasa kasihan pada diriku sendiri. Hanya karena aku menolak bertemu karena kondisiku, aku harus terima ditinggalkan begitu saja. Tak perlu sampai aku berbuat salah seperti memiliki pacar lain di belakangnya, aku pantas ditinggalkan. Aku terus berusaha menghubunginya. Hingga akhirnya aku merasa tubuhku kembali tidak sehat. Hanya demam fikirku. Aku lanjut menghubunginya hingga malam. Rayan, tolong respon sms aku. Aku mohon ray. Ray, apa kamu tau? Hari ini aku gak masuk kul. Aku demam lagi. Aku butuh kamu. Tolong ray. Aku mohon sama kamu. Eh? SMS nya pending? Aku segera meneleponnya. Tidak aktif. Aku mulai gusar apa dia merasa terganggu aku terus-terusan menghubunginya? Bukankah orang yang benar-benar mencintai pasangannya, jika pasangannya menghubunginya dia akan senang dan segera merespon? Tapi mengapa dia harus membuatku terus-terusan menghubunginya sampai berbulan-bulan? Mengapa dia terganggu? Bahkan dia tidak perduli dan menonaktifkan ponselnya seperti ini. Rayan, kamu tidak mencintai aku sebenarnya kan? Kamu hanya iseng karena kamu sedang "kosong" kan? Aku terus kecewa dan hampir tidak terasa air mata menetes hingga aku terlelap.
Aku merasa ada yang menggendongku lalu memindahkanku yang sedang tertidur. Itu Rayan. Rayan yang menggendongku dan memindahkanku. Ah, dia mencium keningku. Tapi ada apa dengan tatapan itu? Dia mundur? Dia ingin pergi? Ke mana? Mengapa? Eh? Siapa sosok itu? Dia tinggi tidak seperti aku. Tinggi besar. Dia setinggi Rayan. Rambutnya hitam lurus tidak seperti aku. Mengapa sosok itu sepertinya sudah menunggu Rayan dan menginginkan Rayan untuk segera pergi? Mengapa Rayan melihatku seperti itu dan berjalan mundur menuju sosok itu?
Langit sudah menuju waktunya bertemu sang lentera. Itu mimpi. Mengapa aku bermimpi seperti itu? Apa ini? Ada apa ini? Ada apa sebenarnya ini? Apa yang sebenarnya terjadi? Aku mulai gelisah. Aku selama ini santai akan hubunganku dengan Rayan. Aku mempercayainya. Rayan pun saat memintaku dia meyakinkanku dan berjanji tidak akan memberikan apa yang aku takutkan karena dia juga membenci orang ketiga karena dia pernah dikecewakan mantannya. Aku segera bangun. "Duh hidung berair. Apa mulai flu lagi ya?" Batinku saat menyeka hidungku yang basah. Aku mulai mengaktifkan ponsel. Ini bukan ingus, tapi darah. Lagi-lagi aku mimisan. Ini yang ke-tiga aku mengalami mimisan selama ini. Aku segera melihat langit-langit kamarku sambil menahan darah itu agar tidak menetes ke tempat tidur dengan sapu tangan. Yah, meski yang memberi sapu tangan ini sudah tak perduli. Disaat aku menahan darahku, aku memulai membuka menu ponselku dengan mencuri-curi kesempatan melihat layar ponsel. Sudah di menu menulis pesan. Tangan kiri menahan darah, mata dan kepala menatap langit-langit yang bisu saja melihat kondisiku , tetapi tangan kanan mengetik SMS untuk Rayan. Karena ponsel jadul, aku hafal letak huruf-hurufnya. Ray, aku baru bangun. Aku bermimpi kamu menggendongku lalu memindahkan aku yang sedang tertidur di sofa. Lalu kamu mencium keningku. Tapi ada wanita berambut hitam panjang dengan tinggi badannya sama dengan kamu seperti sedang menunggu kamu ray. Lalu kamu dan dia pergi. Tapi Ray, dari mimpi itu aku merasa kamu beneran ada perasaan sayang sama aku. SMS nya masih saja pending. Aku meninggalkan ponsel dan menjalani hari itu dengan tidak bersemangat. Memang aku masih demam, namun jika pikiranku terganggu bagaimana bisa fisik menjadi sehat. "Sudahlah Raina, mungkin di mimpi itu adalah kenyataannya Raina. Dia memilih wanita itu." Hatiku menegaskan kalau aku harus sadar.
Malam harinya setelah aku kecewa melihat report SMS untuk Rayan masih pending padahal aku mengetiknya disaat aku mimisan, aku paksakan diriku melihat lagi apa sudah terkirim walau aku takut sebenarnya. Terkirim. Tapi masih tidak ada balasan. Aku coba meneleponnya. Tetap tidak direspon. Aku meletakkan ponselku di sampingku. Baru saja aku meletakkan ponselku, terdengar nada dering kesukaanku. Nada dari sebuah lagu terkenal yang aku jadikan nada dering untuk panggilan dari Rayan di ponselku. First Love-Utada Hikaru. Karena Rayan pria pertama yang memberikanku cinta dan kasih sayang. Cinta dan kasih sayangnya seorang pria kepada seorang wanita. Aku segera mengambil ponselku dengan perasaan ragu-ragu karena bercampur aduk antar perasaan sedih mengapa Rayan baru menghubungiku lagi, perasaan senang karena Rayan sudah mau menghubungiku lagi dan perasaan takut yang begitu kuat hingga jantung berdebar sangat kencang. Ya aku takut jika Rayan meneleponku untuk mengatakan dia ada yang lain seperti mimpiku. Ada apa Rayan? Batinku tidak tenang. Mau tidak mau aku harus memberanikan diri mengangkat telepon dari Rayan. Dari seorang pria yang selama tiga bulan ini menghilang tak ada kabar. Selama tiga bulan tidak menanyakan kondisiku yang dia tau aku ini lemah tidak seperti wanita pada umumnya. Selama tiga bulan tidak sedetikpun dia perduli. Akhirnya aku putuskan untuk segera menekan tombol hijau pada ponselku. "Halo..." Sapaku padanya. "Iya halo". Jawabnya. Sejenak tidak ada obrolan diantara kami berdua. "Rain, kamu sudah makan?" Rayan memulai percapakan. "Dia masih saja mengejekku dengan panggilan itu. Padahal dia tiga bulan ini tidak menginginkan kehadiranku. Dia tidak perduli padaku. Mengapa sekarang datang dengan mengejekku. Masih belum berubah juga". Bisikku dalam hati dengan sedikit tersenyum. Rain adalah panggilan Rayan untukku di saat dia sedang ingin mengejekku karena aku sering mengeluarkan air mata seperti kehujanan. Bukan menangisi akan malangnya nasibku yang harus keluar-masuk rumah sakit, namun aku memang terkenal cengeng. Aku cengeng bukan di saat teman-teman wanitaku menganggapku ini tidak layak kuliah di universitas yang menjadi tempatku belajar. Bukan pula karena aku harus bertemu berbagai penyakit yang memilihku. Tapi aku cengeng saat aku terjatuh ketika berjalan, saat selesai jarum suntik menyentuh kulitku atau saat tugasku tidak selesai karena orang lain sehingga aku berfikir bisa mengurangi nilaiku yang bukan karena kesalahanku. "Belum". Jawabku singkat. "Makanlah". Balasnya. Percakapan itu terus berlanjut. Di dalam telepon itu Rayan meminta maaf atas sikapnya akhir-akhir ini. Aku cuma menghela nafas dan bingung harus berkata apa. Tapi bukankah jika kita mencintai seseorang, maka kita akan memaafkannya? Dalam pandanganku, semua orang pasti memiliki kesalahan dan berhak mendapatkan kesempatan untuk memperbaiki kesalahannya. Akhirnya aku memutuskan untuk memaafkannya. Hubunganku dengan Rayan kembali. Kami kembali saling mengirim SMS dan saling menelepon. Bahkan Rayan memintaku untuk tidak mematikan teleponnya jika aku sudah ingin melepaskan lelahku dalam malam-malamku. "Apa gapapa ray teleponnya tidak dimatikan?" tanyaku pada rayan karena merasa tidak enak hati , aku tidur tetapi teleponnya tetap tersambung. Sayang kan pulsanya. "Gapapa Sayangku, udah sana kamu tidur nanti malah sakit lagi kamunya." jawab Rayan. Aku memejamkan mataku dengan ponsel tetap di atas bantalku.
"Uhuk.. Uhuk.. Uhuk.." aku batuk lagi sampai terbangun. "Jam berapa sekarang?" tanyaku dalam hati dan mengambil ponselku yang ada di sampingku. "Eh, teleponnya masih tersambung?" heranku saat melihat ponselku. "Halo?" sapaku untuk memeriksa. "Emmm, iya halo. Udah bangun sayang?" ada jawaban dari seberang telepon. "Rayan? Kamu belum tidur?" terkejutku mendapatkan suara Rayan yang menandakan dia belum tidur dari tadi atau terbangun karena suaraku. "Ya aku sayang, masa mas vino. Mas vino mah udah tidur sayang jam segini mah. Kalau aku belum tidur. Karena mau jagain sayangku takut terbangun atau terjadi apa-apa-apa." Rayan mencoba menjelaskan. Namun bagiku itu mencoba untuk menggombal. "Memang sekarang jam berapa?" tanyaku karena terheran masih belum tidur pria yang mencuri hatiku ini. "Jam tiga." Rayan menjawab. "Kamu jam tiga belum tidur, yang ada kamu yang sakit nanti ray." Protesku pada Rayan karena padahal tadi sebelum aku tidur dia bilang khawatir jika aku sakit lagi tapi malah dia yang mengundang penyakit. "Enggak kok, kamu tenang aja ya tuan putri. Pangeran punya otot baja." Jawab Rayan menyepelehkan seperti biasanya. "Pangeran dari lubang hidung? Pangeran apanya?" Protesku dalam treakku pada rayan. Rayan tertawa dengan lembutnya dan meyakinkanku kalau dia memang pangeranku. Dia tidak pernah marah padaku walaupun aku sering mencelanya. Entah karena dia memang sayang atau dia mengakui wajahnya yang tidak tampan itu memang tidak pantas diibaratkan pangeran. Walaupun begitu dia tetap saja sampai detik itu menyatakan dirinya pangeran. Tapi tetap saja dialah yang membuatku tertawa lepas. Dia sering mengatakan dia senang saat aku mampu tertawa lepas karena ulahnya. Walaupun dia sengaja atau tidak sengaja membuat dirinya jelek dan konyol di depanku. Selalu saja pada awalnya marah aku berubah menjadi tertawa lepas. Bagaimanapun juga masalah yang terjadi diantara kita berdua, aku senang dia telah kembali untukku. Dia masih perduli dan khawatir denganku. Terimakasih Rayan. Terimakasih atas semuanya selama ini.