Danu menggerakkan kakinya gusar ketika duduk di kursi piano-nya, beberapa kali ia terlihat mengusap wajahnya secara kasar. Ia menunggu Mamanya sejak 15 menit yang lalu, sebenarnya ia tidak ingin menemui wanita itu. Namun, rasa hormat dan sayang pada wanita yang sudah membesarkannya membuatnya tetap tinggal untuk mendapat penjelasan, meskipun semuanya sudah sangat jelas bagi Danu. Dia tidak layak tinggal di sini lagi karena dia bukan siapa-siapa.
"Di mana Danu, bi?" Suara tegas Sandra terdengar jelas meskipun berada di lantai satu. Danu berdiri dari duduknya.
"Di atas, Nyah," jawab bi Sumi dengan suara bergetar.
Wanita itu langsung ke lantai dua, entakan sepatu hak tinggi terdengar seirama seperti detak jantung Danu saat ini. Sandra mendapati Danu sudah berdiri menunggunya.
"Perjodohan batal, ini kan yang kamu mau?!" Wanita itu berkata sambil berjalan ke arah sofa lalu duduk di sana.
"Bagus, dong." Danu menimpali dengan santai.
"Mama kecewa sama kamu, Danu! Kamu sudah bikin semuanya berantakan." Sandra memijit pelipisnya seolah lelah dengan apa yang terjadi.
Danu tergelak di tempatnya, "Mama pikir hanya Mama yang kecewa di sini?" Ia melangkah ke arah Sandra dan duduk di hadapannya.
"Setelah bertahun-tahun, Danu baru tahu kalau ternyata Danu hanya anak angkat di sini. Mama pikir Danu nggak kecewa?" Danu berusaha menahan tangisnya. Ia menatap wanita yang sangat ia sayangi selama ini, wanita yang ia kira adalah ibu kandungnya.
"Lalu, kalau kamu tahu sejak dulu apa kamu tidak akan kecewa?!" Kini giliran Sandra menatap Danu, berusaha keras menekan emosinya.
"Setidaknya Danu nggak perlu berharap banyak agar Mama sayang sama Danu! Agar Mama lebih perhatiin Danu layaknya orang tua yang mencintai anaknya! Karena Danu tahu diri. Danu bukan siapa-siapa di sini." Air mata tak bisa tertahan lagi, pemuda itu menangis.
"Kamu tetap anak Mama, apapun itu!" Sandra mengalihkan perhatiannya, ia enggan menatap putranya yang terisak. Batinnya terluka melihat putranya seperti itu.
Danu mendengkus kasar, "Danu nggak ngerti apa tujuan Mama. Kalo emang Mama nganggep Danu sebagai anak kandung, seharusnya Mama sayangi Danu, dong! Nggak kayak selama ini! Mama nggak pernah peduli sama Danu! Mama nggak pernah benar-benar sayang sama Danu!" sentak Danu berapi-api.
Sandra diam, seolah kehabisan kata-kata. Air matanya mulai menggenang. Namun, ia masih enggan menatap Danu.
"Oh ... Danu tahu, dulu pas kalian adopsi Danu pasti cuma Papa kan yang pengen punya anak? Cuma papa yang sayang sama Danu, kan? Mama cuma pura-pura sayang sama Danu biar Papa seneng, kan? Makanya pas Papa udah nggak ada, Mama kayak gini?" Danu mengusap wajahnya yang merah padam dan meremas rambutnya kasar.
"Kamu salah. Mama sayang sama kamu, Danu. Sampai sekarang, Mama sayang sama kamu, Mama bahagia lihat kamu tumbuh dewasa," ujar Sandra lirih sambil menatap Danu, air mata wanita itu mengalir. Sementara Danu tergelak tidak percaya.
"Mama nggak bisa punya anak, dan Mama pengen banget punya anak. Dari awal Mama lihat kamu di panti asuhan, Mama udah sayang sama kamu. Mama bujuk Papa supaya mau adopsi kamu."
"Lalu?" Suara Danu tercekat di tenggorokan, bagaimana bisa Mamanya mengatakan hal yang menurutnya hanya omong kosong.
Sandra menggeleng pelan, ia menunduk sambil mengusap air matanya yang semakin menganak sungai. "Mama nggak bisa." Sandra terisak membuat Danu mengernyit bingung.
"Nggak bisa apa, Ma?!"
Sandra tak menjawab, justru tangisnya semakin pecah. Danu berdiri dari duduknya kemudian menarik rambutnya gemas. Ia benar-benar frustasi.
"JAWAB DANU, MA! DANU BUTUH TAU SEMUANYA!" teriak Danu kencang yang justru membuat tangis Sandra semakin menjadi-jadi. Danu menghitung dalam hati hingga hitungan ke lima. Sandra mulai angkat bicara.
"Kamu nggak tau, kan rasanya menyayangi seseorang tapi disaat bersamaan kamu harus membencinya?"
"Maksud Mama?" Danu kembali duduk di atas sofa.
Sandra menghela napas pelan, "Ya ... Mama sayang kamu Danu, Mama sangat sayang sama kamu, tapi Mama juga harus benci sama kamu. Bahkan Mama nggak pernah sanggup jika harus berhadapan dengan kamu."
Danu mengernyit, "Kenapa, Ma? Kenapa Mama bisa benci sama Danu? Danu punya salah apa sama Mama?!"
"Kamu ...." Suara Sandra tercekat, ia tak sanggup mengatakannya karena ia sudah berjanji pada suaminya tidak akan mengungkit masalah ini. Namun, ia harus mengatakannya karena ia benar-benar sudah tidak bisa menahannya. Ia menarik napas dalam dan mengembuskannya perlahan.
"Kamu ... penyebab kematian Papa. Kamu yang bikin Papa meninggal!! KAMU YANG BIKIN SUAMI SAYA MENINGGAL, DANU!!" Wanita itu berteriak lalu kembali menangis sambil menutup wajahnya dengan telapak tangan. Rasanya semakin sakit ketika Sandra mengatakan semuanya. Ia tidak tega menyakiti Danu, tapi ... Ia benar-benar tidak kuat menyimpan semua sendiri.
Danu tercengang karena perkataan Sandra, mulutnya setengah terbuka karena tidak percaya.
"Apa?" desahnya lirih.
"Kamu ... udah bunuh Papa kamu, kalau saja waktu itu kamu nggak merengek minta mainan, kalau saja kamu nggak ganggu Papa nyetir mobil, kecelakaan itu nggak pernah terjadi," jelas Sandra.
Danu mencoba mengingat kejadian itu. Namun, ia benar-benar tidak ingat. Mencoba menepis semua, berharap apa yang dikatakan Sandra hanya bohong belaka, akan tetapi mengingat bagaimana perlakuan Mamanya setelah kecelakaan itu membuatnya yakin jika perkataan Sandra adalah benar adanya.
Gue ... Pembunuh.
Lagi, Danu tidak bisa menahan tangisnya. Ia tidak bisa berkata-kata, ini benar-benar diluar dugaannya selama ini.
Isakan Sandra membuatnya semakin merasa bersalah, Sandra terus mengulang kalimat yang sama di sela-sela tangisnya.
"Kamu sudah membunuh suami saya."
Kalimat itu terngiang-ngiang di telinga Danu seolah hanya kalimat itu yang mampu ia dengar, ia bahkan tidak menyadari keberadaan bi Sumi yang sedang menenangkan Mamanya.
Danu berdiri kemudian pergi dari sana, ia bahkan tidak bisa merasakan langkahnya yang gontai. Semuanya terasa mengambang. Dengan rasa bersalah teramat dalam, dengan perasaan tidak dibutuhkan, Danu benar-benar tidak tahu apa yang akan ia lakukan setelah ini.
"Den, jangan pergi Den," isak Bi Sumi yang masih menenangkan Sandra. Namun, Danu tidak mengindahkannya, pemuda itu tidak bisa berpikir jernih.
Tanpa tahu harus pergi kemana, Danu memacu motornya kencang seiring tangisnya yang semakin deras mengalir, hingga satu nama terlintas di kepalanya.
Sabina.
Ia benar-benar butuh Sabina saat ini. Danu menghentikan motornya di pinggir jalan lalu turun dari motornya dan duduk di trotoar yang sepi. Dengan segera ia mengambil hp dan menghubungi Sabina.
"Bi, angkat dong telponnya," gumamnya seraya terisak. Berkali-kali ia mencoba menelpon Sabina hingga ia merasa putus asa karena tidak ada jawaban.
Ia memutuskan mengirim pesan suara, "Bi," ada jeda sejenak karena Danu tak dapat menahan isakannya, "Bi, kamu di mana?" Danu berkata lirih sambil menghapus air matanya, napasnya tertahan karena sesak yang ia rasakan begitu menyiksa, "Aku butuh kamu, Bi. Aku nggak tau harus ngapain sekarang. Aku bener-bener butuh kamu." Suara Danu bergetar hebat dan terdengar parau.
Danu menunduk setelah mengirim pesan suara itu. Suara Mamanya terus berputar di kepalanya membuatnya semakin dirundung perasaan bersalah. Danu membanting helmnya sembarangan.
Sebenernya buat apa sih gue dilahirin?
Bahu Danu bergetar hebat.
"Maafin Danu, Pa. Danu salah," gumamnya hampir tak bersuara.
Danu kembali meraih helm-nya, lalu mengendarai motornya. Ia tidak tahu harus kemana, tidak ada tempat yang ia tuju. Rumahnya yang menjadi tempat ternyaman selama hidupnya, rasanya sudah tidak layak jika ia kembali ke sana. Juga Sabina, yang tak lagi menginginkannya.
Tidak ada yang menginginkan Danu. Ia hanya sendiri selama ini.
Danu memacu motornya dengan kecepatan tinggi, meliuk-liuk menyalip kendaraan di depannya mengabaikan pikirannya yang masih kacau. Danu terus menambah kecepatan hingga batas maksimal, adrenalinnya berpacu kencang.
Ia menyalip mobil di depannya. Namun, ia tidak melihat mobil yang melaju kencang dari arah berlawanan. Danu terkejut berniat menghindar, akan tetapi ia terlambat. Suara decitan ban terdengar begitu memekakan telinga. Dalam sekejap dentuman keras tak terelakkan. Danu terlempar ke arah kaca mobil di depannya yang berhenti mendadak, nyeri ia rasakan ketika tulang-tulang rusuknya patah, ia juga merasakan tulang di tangan kirinya patah Sementara motornya ringsek terpental dan terseret hingga beberapa meter jauhnya. Danu terguling dan jatuh tengkurap di atas aspal yang dipenuhi kaca berserakan. Rasa sakit mendera seluruh tubuhnya, ia mencoba menggerakkan kedua tangannya. Namun, ketika ia menggerakkan tangan kirinya justru sakit yang ia rasakan, ia mengangkat tangan kanannya untuk melepas helm dan berhasil, sedetik kemudian ia terbatuk dan mengeluarkan darah segar dari mulutnya. Napasnya tersendat, dada dan kepalanya terasa sangat nyeri karena hantaman tadi. Pandangannya buram menatap beberapa orang berlari kearahnya. Ia hanya bisa merintih kesakitan.
Ia masih mendengar orang berbicara bahkan berteriak di sekitarnya sebelum kemudian telinganya berdengung hebat disertai nyeri yang luar biasa menyiksa.
Air mata mengalir di sudut matanya. Ia mengedip lemah seiring kesadarannya yang mulai menghilang.
Aku akan mati?
Danu mati?
Aku bayangin si sabina ini rambutnya kalo d sekolah digerai terus agak nutupin wajah hahaha kalo d tmpt kerja diikat hehehe
Comment on chapter Rasa 2