"Ah ... akhirnya selesai." Danu mendesah lega kemudian merenggangkan otot-otot tangannya yang kaku setelah dua jam mata pelajaran mengerjakan tugas sosiologi dari Pak Ami. Ia melihat jam tangannya, masih sepuluh menit sebelum bel keramat –bel istirahat yang dinanti para siswa berbunyi.
Sabina mendengkus lalu tersenyum membuat Danu menoleh kearahnya yang rupanya tengah sibuk dengan note seukuran telapak tangan dan cukup tebal juga pensil warnanya.
"Aku dong, udah selesai daritadi," ucap Sabina pelan tanpa menghentikan kegiatannya.
"Ya, ya tau." Danu mengamati sekitar, beberapa temannya masih sibuk mengerjakan dan beberapa lainnya terlihat mengobrol. Entahlah mereka sudah menyelesaikannya atau belum. Dengan malas ia meletakkan kepalanya miring diatas meja menghadap ke arah Sabina lalu memainkan hapenya.
"Bikin apa sih, Bi? Beberapa hari ini kamu cuekin aku terus lho. Tega banget, sih?" gerutu Danu sambil menggeser-geser layar hape dengan jempolnya.
"Rahasia."
"Rahasia mulu elah. Coba lihat." Danu berusaha merebut buku note itu dari Sabina namun dengan sigap Sabina menjauhkannya dari Danu.
"Ntar kalo udah jadi baru aku kasih lihat."
Danu berdecak, "Habis sekolah sibuk kerja, diapelin di tempat kerja, tapi nggak bisa ngobrol, pulang kerja malem banget mau ngapel malem takut kepergok pak RT diarak keliling komplek, ketemu cuma di sekolah, eh ... di sekolah sibuk sendiri. Nasib elah," protes Danu sambil memanyunkan bibirnya.
Sabina terkekeh, ia memang sibuk belakangan. Ia tengah membuat hadiah ulang tahun untuk Danu, berhubung uangnya tidak cukup untuk membeli sesuatu jadi ia memutuskan membuat sendiri kado untuk cowoknya yang sangat bersabar akan dirinya. Ia membuat flipbook tentang dirinya juga Danu. Hanya itu yang bisa ia buat. Berbekal keterampilan menggambar yang ia punya akhirnya ia memberanikan diri membuatnya dan sekarang hampir selesai. Ia tinggal memberinya warna agar terlihat lebih menarik. Ia harus tidur larut di malam hari untuk membuat sketsa dan di sekolah ia menyempatkan diri menyempurnakan sketsa dari lembaran-lembaran kertas yang ditumpuk jadi satu itu mengingat ia tidak punya banyak waktu.
"Besok minggu, aku kerja pagi. Sorenya kita jalan-jalan?"
Danu bergeming karena kesal, jarinya masih sibuk dengan gawainya tanpa mengacuhkan Sabina.
Sabina meletakkan pensil warnanya lalu memegang tangan Danu hingga membuat Danu menoleh kearah Sabina dengan wajah kusutnya.
"Seninnya aku libur. Seharian kita sama-sama?"
"Serius?"
Sabina tersenyum lalu mengangguk.
"Janji, ya?"
"Iya."
"Kebetulan, kamu tau hari senin itu hari apa?"
"Nggak tau, emang ada apa?" tanya Sabina pura-pura dengan memasang tampang sok polos.
"Ck ...." Danu memutar mata malas, ia mengambil dompet di sakunya mengeluarkan kartu pelajar miliknya lalu menyerahkannya pada Sabina.
Sabina terkesiap setelah membacanya, "Kamu ultah?"
"Hmm."
"Yah ... gimana dong? Kamu mau hadiah apa? Tapi aku belum gajian, duh," ujar Sabina merasa bersalah padahal batinnya sedang tertawa.
Danu justru terkekeh melihat Sabina raut wajah Sabina.
"Traktir makan baksonya bu Yati. Nggak mau tau! Sebagai ganti kamu cuekin aku beberapa hari ini."
"Oke, deal."
"Deal." Danu kembali sibuk dengan hapenya.
"Cie ... yang bentar lagi 17 tahun," goda Sabina.
"Apaan sih?!"
"Postingan kamu udah banyak aja yang nge-like. Followers-nya cepet banget nambah. Hah ... aku kalah."
"Iya, banyak yang bilang karyaku bagus. Oh ya, ada yang pengen ketemu aku loh. Seorang desainer sih katanya. Pegawainya telpon aku kemarin malem bilang kalau bosnya tertarik sama desain yang ku buat dan dia ngajak ketemuan. Aku bilang sih hari minggu sore di tempat kerja. Ya ampun, aku seneng banget, tapi gimana dong aku udah janji sama dia. Kamu nggak papa nunggu bentar?" tanya Sabina dengan wajah bersalah.
Danu tertawa mendengar Sabina yang bersemangat bercerita, "Nggak pa pa, aku justru seneng kamu bisa melebarkan sayap dibidang yang kamu suka, syukur-syukur diajak kerjasama 'kan?"
Sabina mengangguk mantap, "Makasi banyak Nu, berkat kamu aku bisa seperti ini sekarang."
Senyum simpul Danu berikan pada Sabina.
"Bi ...."
"Ya?"
"Umm ... Nggak jadi." Danu kembali tersenyum lebar, ingin rasanya ia memberitahu Sabina tentang pekerjaan ibunya mengenalkannya pada mamanya yang juga seorang desainer, berharap mereka bisa saling bertukar pikiran. Namun, ia ragu. Masalah Clara belum selesai, ia ingin menyelesaikannya dahulu saat mamanya pulang nanti, entah itu kapan.
Berharap Sabina tidak pernah tahu akan hal itu.
Bel istirahat berbunyi, semua siswa berhambur keluar dengan membawa tugas mereka dan mengumpulkannya ke depan kelas.
"Ke kantin yuk, laper," ajak Danu.
"Nggak ah, aku mau ngerjain ini." Sabina mengangkat note di tangannya.
"Ck ... Nggak nitip?"
"Um ... Roti boleh deh, satu." Sabina menunjukkan deretan giginya tanpa rasa bersalah. "Sekalian titip." Ia menyerahkan tugasnya pada Danu untuk dibawa kedepan.
"Untung sayang."
????????????
Dengan gelisah Sabina menunggu Ibu Sandra, seorang desainer yang ingin bertemu dengannya. Ia belum pernah bertemu dengannya yang jelas pegawai Bu Sandra sudah mengatur janji mereka. Sabina juga sudah dikirim foto sosok ibu Sandra agar cepat mengenali jika saja beliau sudah datang.
Sabina sudah berganti pakaian biasa, ia sengaja membawa pakaian ganti dari rumah pagi tadi khusus untuk bertemu bu Sandra. Ia juga sudah menyiapkan beberapa hasil karyanya untuk ditunjukkan.
Ia melihat Danu masuk ke dalam kedai dengan senyum lebarnya. Danu langsung duduk di depan bangku yang Sabina duduki.
"Belum dateng?"
"Belum, aku grogi nih." Sabina menggigit bibir bagian dalamnya.
"Tenang, nggak ada yang salah kok sama penampilan kamu, manis seperti biasa, karya kamu juga bagus pasti orang itu suka."
Sabina memaksa senyum, ia benar-benar grogi sama seperti ketika ia pertamakali melamar bekerja di sini. Namun, ini lebih membuat telapak tangannya berkeringat.
"Eh ... itu Bu Sandra dateng," ucap Sabina sambil berdiri dari duduknya. Ia memasang senyum terbaiknya ketika tatapannya bertemu dengan Bu Sandra yang langsung mendatanginya.
Bu Sandra?
Danu menoleh ke arah yang dilihat Sabina. Dalam sekejap tubuhnya membeku mendapati sosok yang sangat dikenalnya.
"Mama?"
Aku bayangin si sabina ini rambutnya kalo d sekolah digerai terus agak nutupin wajah hahaha kalo d tmpt kerja diikat hehehe
Comment on chapter Rasa 2