"Aku ganti baju bentar, ya? Ntar aku kesini lagi," ucap Danu setelah memarkirkan motor kesayangannya di halaman rumah Sabina. Ia segera berlari ke rumahnya sementara Sabina juga masuk ke dalam rumahnya untuk mandi karena ia harus bekerja. Biasanya Sabina akan mandi di tempat kerja karena jika pulang dulu ia akan terlambat.
Dengan cepat ia membersihkan diri lalu memakai seragam kerjanya. Setelah bercermin dan memastikan penampilannya tidak ada yang salah, ia segera meraih jaket dan tasnya lalu keluar kamar. Namun, ketika ia membuka pintu kamarnya, ia mendengar alunan nada dari pianonya. Ia tahu lagu itu, lagu dari drama korea kesukaan mama-nya dulu. Endless Love –Reason. Lagu yang begitu menyayat hati.
Sabina melangkah menuruni tangga, suara piano itu semakin terdengar jelas. Kesedihan, kekecewaan, rasa sakit bisa langsung ia rasakan. Seakan ikut terlarut dalam emosi permainan piano Danu, gadis itu mematung di dekat meja makan melihat sosok jangkung yang duduk tegap di sana. Cowok yang selalu terlihat baik-baik saja justru menyimpan luka. Bagaimana bisa? Bagaimana bisa Danu masih menghargai wanita? Kenapa dia tidak seperti dirinya yang pernah membenci pria? Bagaimana dia bisa tetap menjadi sesosok cowok manis yang diidamkan banyak wanita?
Jemari cowok itu menari menekan tuts piano, sorot matanya sendu mengikuti gerakan jemarinya yang seolah tengah bercerita tentang kesedihan yang dialaminya. Drama kehidupan yang tak pernah ia tahu alasanya mengapa bisa seperti itu.
Menyadari Danu tengah bersedih Sabina segera mendekati Danu.
"Kok lagu sedih aja sih yang dimainin?"
Danu menghentikan permainannya lalu menoleh ke arah Sabina. Ia tersenyum menenggelamkan kesedihannya bersamaan dengan jemarinya yang menjauh dari alat musik kesukaannya.
"Inget Mama aja sih, nggak lagi pengen nangis kok. Sumpah." Danu mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya membentuk huruf V sambil menunjukan deretan giginya yang rapi, tapi tidak dengan binar coklatnya yang tidak bisa berbohong.
Sabina menggigit bibir bawahnya kemudian duduk di samping Danu hingga secara otomatis Danu menggeser duduknya.
"Seandainya aku bisa berbuat sesuatu biar kamu sama Mamamu bisa kayak dulu lagi." Sabina memainkan satu telunjuknya di atas tuts piano. "Mungkin dengan tau alasannya, kalian bisa perbaiki hubungan lagi layaknya ibu dan anak," lanjutnya.
Danu tersenyum kecut, "Masalahnya ... aku nggak pernah tau alasannya dan mama seolah nyembunyiin semua dari aku, Bi Sumi juga nggak mau ngasih tau. Bi Sumi bilang mama butuh waktu tapi, sampai kapan? Kupikir aku udah cukup dewasa untuk tau semuanya." Danu ikut memainkan telunjuknya di atas tuts.
"Mama selalu bilang kalo aku anak nggak tau diri, nggak pernah bersyukur, nggak tau terimakasih. Mama selalu marah-marah kalo ketemu aku. Mama bilang itu tiap kita berantem, seakan-akan aku tu emang anak seperti itu, padahal aku selalu berusaha jadi yang terbaik buat mama, tapi nggak ada satupun yang terlihat benar." Dada Danu seperti diremas, tidak memiliki sela sekadar untuk bernapas, rasanya begitu sesak. Cairan bening menggenang di pelupuk matanya, tak ingin terlihat cengeng Danu mendongak ke samping. Berharap ia tidak mempermalukan diri dengan menangis di depan cewek yang dia sayangi. Namun, kemudian ia tergelak. "Anehnya mama rutin ngirim uang bulanan buat aku. Bisa dibilang aku nggak pernah kekurangan, tapi apa cukup hanya itu? Kalo boleh, aku tuker semua uang yang kupunya di tabunganku buat ganti waktu mama, sehari aja buat aku. Aku rela. Siapa sih yang mau dicuekin terus? Nggak pernah dianggep ada. Aku iri sama kamu Bi. Mama kamu sayang banget sama kamu."
Sabina menoleh ke arah Danu, cukup heran jika ternyata ada orang yang iri dengan hidupnya. Sabina sadar jika mamanya begitu menyayanginya.
"Nggak usah khawatirin aku. Yah, mungkin belum saatnya aku tau. Hanya perlu bersabar 'kan? Aku kuat kok apalagi ditemeni kamu Bi," gurau Danu sambil terkekeh. "Ada kamu di sisiku, aku udah bahagia. Apalagi kalo lihat kamu senyum. Senyum dong, jangan sedih jelek tau." Cowok itu mencubit hidung Sabina pelan.
"Emang udah jelek dari dulu."
Sabina mengingat perkataan Danu tentang dirinya yang sedang berusaha bahagia. Danu memang tidak sedang berpura-pura bahagia, ia sedang mencari bahagia dan Sabina ingin bisa membuat Danu bahagia seperti apa yang Danu lakukan untuknya.
"Cantik kok, tapi banyakan mama kamu cantiknya."
Sabina mengerucutkan bibirnya tidak terima, ia menggerakkan jemarinya di atas piano mencoba melemaskannya, sudah sangat lama ia tidak memainkannya. Terakhir saat ia baru kembali ke rumah dan berakhir dengan air mata hingga ia tidak melanjutkan permainannya.
"Kamu tau lagu yang ku mainin tadi?" tanya Danu.
"Tau, lagu dari drama korea, kan?"
"Dulu mama sering nonton, nggak bosen-bosen diulang terus sampai rusak kasetnya. Mau nggak mau aku sama papa ikut nonton. Karena mama suka, papa pelajari instrumen pianonya aku juga belajar dari papa," jelas Danu.
"Sama astaga. Aku dulu juga gitu, mama nggak bosen-bosen nonton dvd-nya. Sampai banjir air mata juga nggak kapok-kapok." Sabina tertawa.
"Umm, aku punya lagu yang pengen ku mainin buat kamu. Udah lama nggak main jadi maaf kalo kurang enak didenger. Dulu mama sering dengerin lagu ini."
Sabina mulai menggerakkan jemarinya meskipun sedikit kaku, alunan nada mulai terdengar. Danu menyeringai mengetahui lagu apa yang dimainkan Sabina. Gadis itu mulai membuka mulutnya mencoba bersenandung sambil sesekali melihat Danu yang menatapnya.
No one ever saw me like you do....
Sabina terkekeh karena merasa tidak percaya diri dengan suaranya. Namun, Danu terlihat menikmatinya sambil tersenyum.
Di tengah-tengah pertunjukan Sabina, Danu melirik jam di tangannya.
"Bi, ngomong-ngomong nggak telat kerjanya?"
Sabina terkesiap seperti baru tersadar akan sesuatu. Ia melarikan penglihatannya pada jam di tangannya. "Astaga iya. Ayo berangkat!"
"Eit, tunggu." Danu menarik Sabina yang sudah beranjak agar duduk lagi.
"Apa?" tanya Sabina gelisah.
"Aku punya sesuatu buat kamu, baru dateng tadi lho." Danu meraih tas punggungnya lalu mengambil sebuah bungkusan kotak di dalamnya.
"Buat kamu." Ia memberikan bungkusan yang masih tersegel rapi itu pada Sabina.
"Apa ini?"
"Nanti aja bukanya, keburu telat berangkat kerja. Kecuali kamu penasaran banget sampe rela naik motor ngebut sih nggak pa pa buka aja."
"Ayo sambil jalan kalo gitu." Sabina begitu penasaran akhirnya ia memutuskan membuka pemberian Danu sambil melangkah keluar rumah.
"Kamu serius Nu?" Sabina berhenti lalu menutup mulutnya tidak percaya melihat pensil warna pemberian Danu. Ia sangat senang bagaimana tidak pensil warna bermerk terkenal dengan warna yang sangat lengkap yang tidak mungkin bisa ia beli.
?"Aku tau kamu suka bikin desain pakaian jadi aku beliin ini buat kamu."
Kedua alis Sabina berkerut, bertanya-tanya mengapa Danu bisa tahu padahal dia sama sekali tidak pernah membicarakan hobinya pada orang lain.
"Aku lihat karya kamu pas nginep malam itu."
"Oh. Tapi ..., aku nggak bisa terima. Ini mahal Nu, aku nggak mau kamu buang-buang uang cuma buat aku." Sabina menyerahkan kotak pensil warna itu pada Danu.
"Kok gitu? Aku beneran ikhlas beliin kamu Bi. Pokoknya ini buat kamu, aku nggak mau tau. Kalo kamu masih nolak tuh taruh di tempat sampah!" Danu meninggalkan Sabina begitu saja menuju motornya.
"Kok jadi marah, sih?! Aku cuma nggak mau kamu repot-repot beliin aku sesuatu! Apalagi ini nggak murah. Kemarin udah hape sekarang ini!"
"Tapi aku ikhlas Bi, apalagi?!"
Sabina menghela napas, tidak ingin memperpanjang masalah ia mendatangi Danu yang sudah duduk di motornya. "Oke, aku terima sekarang, tapi janji nggak beliin aku barang-barang mahal lagi. Kamu ngerti dong Nu aku nggak bisa bales kamu, aku nggak bisa ngasih kamu apa-apa."
"Kamu ada di sampingku itu hadiah paling istimewa dari yang pernah ada, asal kamu tau,-" Sabina merasa kupu-kupu di perutnya berterbangan. Danu menatapnya dalam, tatapan yang selalu disukai Sabina. Tatapan yang selalu membuat jantungnya berdebar tidak keruan. "Jadi nggak usah di jadiin beban apa yang aku kasih buat kamu, aku bener-bener ikhlas. Lagian itu juga berguna, kan? Kecuali kalau memang barang yang ku kasih nggak berguna buat kamu. Itu baru namanya buang-buang uang. Ngerti?"
Sabina mengangguk pasrah, "Ngerti."
"Ya udah gece naik, telat ini."
"Kalo naik disini siapa yang nutup pintu gerbang?!"
?
Aku bayangin si sabina ini rambutnya kalo d sekolah digerai terus agak nutupin wajah hahaha kalo d tmpt kerja diikat hehehe
Comment on chapter Rasa 2