Kepada langit aku bertanya.
Tentang dia yang berhasil membawa suka merasuk ke dalam sukma.
Lalu apakah dia hanya akan seperti senja yang bersifat sementara?
Melukis indah cakrawala sebelum malam kembali membuatnya kelam.
"Ma, gimana? Sehat?" Gadis itu mencium punggung tangan wanita yang duduk di kursi roda.
"Sehat sayang, Mama khawatir kemarin pas dapet telepon dari sekolah." Wanita itu tersenyum lembut sambil mengusap kepala putrinya yang berusaha berjongkok di depannya.
"Nggak papa kok Ma, Sabina selamat cuman lecet aja dikit."
"Iya, kemarin pas di telpon lagi Mama udah tenang." Wanita itu tersenyum kemudian melihat Danu yang baru saja keluar dari kerumunan anak-anak.
"Hallo, Tante. Saya Danu." Danu mengulurkan tangannya pada ibu Sabina, meskipun ia belum tahu jika wanita itu adalah ibu Sabina. Ia hanya menebak.
Dari kursi rodanya, wanita itu membalas uluran tangan Danu. "Mamanya Sabina."
"Pantes Sabi cantik, mamanya juga cantik sih."
Demi es buah Pak Larso, gue nggak pernah ngegombalin cewek selain Sabina. Udah gila gue.
Sabina berdecak kesal melihat ibunya terkekeh karena ucapan Danu.
"Nggak usah didengerin dia Ma." Sabina berdiri kemudian mendorong kursi roda menjauh dari orang-orang yang ada di sana.
"Hallo, juga semuanya." Danu juga menyapa beberapa wanita seumuran ibu Sabina yang juga melihat ke arahnya. Mereka tersenyum ramah pada Danu.
Danu memutuskan diam di tempat bersama para ibu-ibu lain yang kembali mengerjakan pekerjaannya, ia membiarkan Sabina bersama ibunya untuk melepas rindu. Anak-anak kecil tadi sudah kembali ketempat masing-masing.
"Bikin apa, sih?" tanya Danu.
"Bikin tas kak, nanti di jual," jawab Regina seraya menganyam untaian plastik di tangannya.
"Boleh dong diajarin."
"Gini kak caranya...."
.
.
"Pacar kamu, Bi?" tanya ibunya ketika mereka berhenti. Sabina duduk di anak tangga di samping ibunya. Mereka menghadap ke arah halaman yang ditumbuhi rerumputan, sesekali gelak tawa terdengar dari perkumpulan di mana Danu berada membuat Sabina tergerak untuk menoleh ke arah kanan---kearah Danu. Ia melihat Danu yang ikut membuat anyaman, pekerjaan yang pernah ia lakukan saat masih tinggal di sini.
Gadis itu menghela napas lalu kembali menatap rumput di depannya.
"Mama kan tau kalo Sabi benci cowok."
"Kalo benci kenapa sekarang kamu bisa sama dia? Dibilang calon pacar lagi." Wanita itu tersenyum melihat putrinya yang kini menunduk memainkan rumput yang ia cabut beberapa saat yang lalu.
"Nggak tau deh Ma, itu cowok suka kepedean. Pede-nya sampai ke tulang."
Ibu Sabina kembali terkekeh.
"Bi, nggak selamanya kamu bisa hidup sendiri lho. Kamu butuh pendamping untuk berbagi cerita, berbagi suka duka. Jangan jadiin papa-"
"Please deh Ma, nggak usah disebut lagi dia!" potong Sabina kesal.
Udah mati juga!
Ibu Sabina tersenyum melihat kekesalan putrinya jika menyebut sang ayah.
"Jangan jadiin apa yang menimpa Mama sebagai alasan kamu benci laki-laki dan nggak mau punya hubungan dengan mereka. Nggak semua laki-laki itu sama, Bi. Mama udah bilang lho berkali-kali."
"Dan Sabina juga udah bilang berkali-kali, iya emang nggak sama kayak laki-laki yang udah hancurin hidup Mama, hancurin hidup kita. Bisa jadi malah lebih parah gimana?"
"Kalo jauh lebih baik gimana?" tanya Ibunya balik.
"Kan nggak tau Ma, kita nggak pernah tau apa yang akan terjadi nanti."
"Udah tau gitu kok kamu bisa nebak masa depan kamu kayak Mama? Gimana kalo kayak Ibu Sri yang sampai sekarang masih romantis sama suaminya. Tuh lihat." Ibu Sabina menunjuk sepasang suami istri yang sudah cukup renta yang sedang duduk di kursi taman. Mereka adalah pemilik panti sosial yang sekarang dikelola oleh anak-anak mereka.
"Cuma kamu yang bisa bikin masa depan kamu sendiri bahagia, Bi. Nggak selamanya Mama ada di samping kamu, kamu butuh seseorang. Mungkin sekarang emang enggak, tapi nanti suatu saat pasti kamu butuh. Masa kamu mau jadi jones abadi?"
"Nggak pa pa sih jomblo, tapi jangan ngenes lah." Sabina tergelak ringan, membuat ibunya juga tertawa.
Berulang kali ibunya mengatakan hal yang sama, hanya agar putrinya mau berhubungan dengan pria seperti gadis normal lainnya namun berulang kali juga Sabina tidak mengindahkan perkataan ibunya. Rasa trauma yang ditinggalkan sang ayah begitu membekas.
Wanita itu melihat Danu yang masih berkutat dengan plastik bekas, sesekali anak-anak di sekitarnya membenarkan pekerjaannya.
Sebuah senyum tersungging di wajah cantiknya. "Danu kayaknya cowok baik. Ya nggak, Bi?"
"Ck ... Mama apaan sih?!"
"Buktinya dia betah sama kamu yang jutek, bisa bikin tersipu lagi," goda ibunya seraya terkekeh.
Sabina memutar mata jengah. "Untung sayang."
"Kalo nggak sayang mau diapain?"
"Udah deh Ma bahas yang lain, nanya kek kemarin kok bisa ilang gimana? Kok bisa selamat gimana? Gimana pulangnya."
"Iya iya, gimana gimana? cerita dong sama Mama."
"Jadi kemaren Sabi tu ilang sama Danu ...," Sabina diam ketika menyebut nama Danu, ia melirik ibunya yang sudah menyeringai, bersiap menggodanya.
Pasti mau godain lagi nih.
"Tuh kan Danu lagi, pasti mulai deket gara-gara ilang bareng, ya?"
"Ish mama ngeselin banget, sih?!"
Untuk pertama kalinya Sabina merasa kikuk di hadapan ibunya. Jika biasanya ia selalu tegas tanpa ekspresi jika sang ibu menggodanya atau berbicara mengenai pria, kali ini berbeda, pembicaraan kali ini benar-benar membuatnya tersipu dan kikuk.
????????????
"Bi, makan siang yuk. Laper nih," ajak Danu setelah naik di motornya, ia mengusap perutnya yang keroncongan.
Sabina mengakui jika dirinya juga kelaparan. Namun, ia curiga jika Danu pasti akan mengajaknya ke tempat berkelas. Tentu saja gadis itu tidak akan membuang-buang uang hanya untuk makanan yang sama dengan harga yang bisa mencapai tiga kali lipat jika ia membeli di warung di pinggir jalan.
"Di mana?" tanya Sabina pelan.
"Di mana aja deh, aku nggak pilih-pilih makanan kok."
Gadis itu mengangguk kemudian memakai helm-nya dan naik ke motor Danu.
"Kamu suka bakso nggak?"
"Suka." Banget.
"Ya udah makan bakso, yuk."
Danu melajukan motornya pelan sesuai permintaan Sabina. Ia membawa gadis itu ketempat bakso langganannya yang letaknya tak jauh dari sekolah. Meskipun cukup lama jarak yang harus ia tempuh bukan masalah baginya, ia hanya ingin mengajak Sabina tempat favoritnya sejak enam bulan terakhir.
Di satu sisi Sabina terus memikirkan percakapan antara dirinya dengan ibunya setengah jam yang lalu, ia mulai mempertimbangkan perkataan ibunya. Jika dulu ia tidak akan pernah mau ambil pusing tentang hal yang berhubungan dengan pria, kali ini ia benar-benar memikirkannya.
Danu berhasil membuat perasaannya tidak keruan.
Jangan bilang Danu juga langganan bakso di tempatnya Bu Yati.
Sabina menyadari jalan yang mereka lewati dan benar, Danu berhenti tepat di sebuah ruko berukuran 3x3 meter dengan grobak bakso di depannya.
"Aku suka banget bakso di sini. Makanya aku bawa kamu ke sini. Bakso di sini enak banget, percaya deh," ucap Danu setelah melepas helm-nya.
Sabina turun dari motor tanpa mengucapkan sepatah katapun, mungkin sebentar lagi Danu akan terkejut jika Bu Yati juga menyebut namanya..
"Yuk masuk." Danu melangkah lebih dulu.
"Buk Yati!" seru Danu lantang.
Sudah menjadi kebiasaannya jika sedang berada di sini entah saat ramai atau saat sepi seperti sekarang.
Seorang wanita bertubuh subur langsung keluar dari dalam ruangan yang hanya tertutup gorden.
"Eh ... Danu. Udah lama nggak kesini."
"Baru juga 5 hari Bu."
"Iya juga ya. Kayaknya udah lama banget. Eh, Sabina juga dateng. Barengan?"
Danu melihat Sabina heran.
"Iya Bu Yati," ujar Sabina seadanya.
"Oh, udah pada saling kenal?"
"Iya, Sabina juga sering ke sini. Ayo duduk. Pesen kayak biasanya, ya?"
Sabina dan Danu duduk di kursi plastik saling berhadapan dengan meja sebagai pembatas mereka. Danu menatap gadis di depannya dengan menaikkan sebelah alis seolah meminta penjelasan.
"Apa?!" tanya Sabina.
"Kok nggak bilang udah sering ke sini? Kan nggak perlu jelasin tadi."
"Kamu nggak nanya."
"Kan bisa ngasih tau pas udah sampai."
"Iya, udah sering kesini. Seminggu bisa dua sampai tiga kali."
"Kok nggak pernah ketemu, sih?"
Sabina hanya mengangkat kedua bahunya tak acuh. Ia memperhatikan Bu Yati yang baru saja menuang kuah di bakso mereka kemudian Bu Yati membawanya ke meja mereka.
"Nih, silakan dimakan. Ibu mau ke belakang dulu selesain nyuci mangkok."
Keduanya mengangguk menanggapi Bu Yati yang kemudian berlalu melewati pintu yang hanya ditutupi gorden.
"Nih saus sama kecap," tawar Danu seraya mengulurkan dua botol di hadapan Sabina.
Sabina menggeleng sebagai tanda ia tidak mau memberi tambahan apapun ke dalam baksonya.
"Nggak pake apa-apa?"
"Nggak."
Danu mengangguk berkali-kali tanda mengerti ia mengambil kecap sausnya lagi dan menuangkan ke dalam baksonya sendiri. Ia juga menuang 5 sendok penuh sambal ke dalamnya, membuat Sabina mengernyit. Namun Danu tidak menyadarinya ia asyik mengaduk-aduk makanannya yang sekarang penuh dengan biji cabai. Ketika Danu hampir melahap bulatan daging dan tepung itu gerakan tangannya terhenti tepat di depan mulutnya yang terbuka, tatapannya jatuh pada Sabina yang keheranan.
"Ada yang aneh?" tanya Danu kemudian memakan baksonya.
"Kamu makan bakso pake sambel apa sambel pake bakso, sih?"
Danu terkekeh pelan, "Enak tau Bi, coba deh."
"Nggak makasih."
Sabina melahap baksonya perlahan sementara Danu juga asik dengan bakso pedasnya sesekali meminum air mineral dari botol dan mengelap keringat yang mengalir di dahinya. wajahnya memerah, ia juga meniupkan udara dari dalam mulutnya karena kepedasan. Dalam hati Sabina heran bagaimana Danu bisa kuat makan makanan sepedas itu, ia memperhatikan Danu selagi ia juga menghabiskan makanannya.
"Ugh. Perut ku panas banget," ucap Danu setelah menghabiskan baksonya. Ia menghabiskan sisa airnya dalam satu waktu.
Sabina mengulum bibirnya berusaha keras menahan senyumnya. Namun akhirnya ia tidak sanggup, ia terkekeh karena melihat tingkah Danu yang menurutnya konyol, dengan wajah penuh keringat serta bibirnya yang memerah. Cowok itu memegangi perut dengan tangan kirinya sementara tangan kanannya menutup bibirnya yang juga terasa panas.
Menyadari hal itu Danu tertawa pelan, mereka berdua tertawa bersama, untuk pertamakalinya sepanjang mereka bersama.
"Udah sering gini tapi nggak kapok juga," ucap Danu masih dengan tawanya.
"Nggak sakit nanti perutnya?"
"Sakit sih, paling bolak balik ke toilet."
"Kurang kerjaan banget, sih?" Sabina masih tertawa pelan. Namun, tawanya terhenti, ia menyadari ini pertamakalinya ia tertawa karena seorang cowok. Gadis itu merasa aneh, ia menunduk melanjutkan kembali makan makanannya yang tinggal sedikit.
"Bi."
"Hmm?" sahut Sabina tanpa melihat Danu.
"Sadar nggak sih ini pertama kalinya kamu ketawa karena apa yang ku lakukan?" ucap Danu seraya mengambil udara lewat mulutnya, berusaha mengusir rasa panas yang ada di mulutnya.
Sabina mengangguk mengakui, ia masih enggan menatap Danu.
"Dan aku bahagia bisa bikin kamu ketawa."
Aku bayangin si sabina ini rambutnya kalo d sekolah digerai terus agak nutupin wajah hahaha kalo d tmpt kerja diikat hehehe
Comment on chapter Rasa 2