Aku pernah berpikir jika kamu itu seperti malam, dingin, kaku dan misterius.
Aku juga pernah berpikir jika kamu itu seperti siang yang gersang dan tak tersentuh.
Namun akhirnya aku tahu jika dirimu itu seperti pagi yang menyejukkan juga senja yang hangat dan selalu dirindukan.
"Daripada pura-pura bahagia, tapi sebenernya nyimpen luka?"
Danu merasa tersindir namun kemudian ia tersenyum kecut.
"Gue lagi berusaha bahagia kok."
Senyap sejenak, Sabina sudah menghabiskan nasi gorengnya. Ia melirik Danu yang tengah menatap lurus ke arah meja di depannya.
"Umm ... lo mau nggak bahagiain gue Bi? Sebagai temen gitu. Maunya sih pacar, tapi elonya nggak mau." Danu terkekeh dengan perkataannya sendiri.
"Ogah! Kamu kan udah punya temen, si Galih sama Andre, Doni."
"Kan laen Bi, gue pengennya temen cewek. Kayaknya seru gitu, penawaran terbatas lho."
"Sama Gisel aja."
"Mending gue minum racun! Gue nggak suka cewek cerewet. Pokoknya mulai sekarang kita temenan, nggak mau tau, nggak ada penolakan! Udah gue pulang dulu, mau mandi."
Dengan itu Danu melangkah pulang meninggalkan Sabina yang masih terbengong-bengong karena sikap aneh Danu.
"Tapi Nu, nggak bisa gitu dong!" teriak Sabina tidak terima, ia berbalik untuk melihat Danu yang melangkah cepat ke arah pintu.
"SORRY, BI. GUE NGGAK DENGER. NTAR GUE AMBIL TUPPERWARE-NYA." Danu berlari sambil tertawa, suaranya menggema ke segala penjuru rumah. Namun, entah mengapa Sabina tersenyum dengan tingkah konyol Danu.
"Kesambet setan ya lo, Nu? Senyum senyum sendiri daritadi," ucap Doni seraya melempar sebuah buku kumpulan lagu yang ia rebut dari Andre ke arah Danu yang sedang melamun mengingat kejadian tadi pagi bersama Sabina. Sementara Galih yang tengah bermain gitar hanya terkekeh pelan. Mereka sedang duduk di kursi di balkon kamar Danu.
"Ganggu aja sih lo!" Danu kembali melempar buku itu pada Doni.
"Habisnya lo kaya orang gila gitu, kan kita takut."
"Kasmaran sama si Cewek Triplek kali?" Andre menimpali, "daritadi aja lihatin rumahnya terus."
Danu hanya tersenyum.
"Tuh kan, gila nih anak," kata Doni seraya menunjukkan ekspresi geli.
"Lo serius, Nu? Lo suka sama Sabina?"
Seolah tidak mendengar Andre bicara tatapan Danu teralih begitu saja ke arah pintu gerbang Sabina yang terbuka.
Mau kemana tuh cewek?
"Set dah nih anak error kali otaknya habis ilang di hutan, daritadi diajak ngomong kayak nggak di sini pikirannya," ujar Andre kesal karena pertanyaannya tidak dihiraukan.
"Eh, gue keluar dulu, ya? Kalian kalo udah bosen di sini pulang aja, nggak usah nungguin gue." Danu berlari keluar tak lupa mengambil jaket serta kunci sepeda motornya.
"Eh anjir kita ditinggalin gitu aja," ujar Doni terbengong-bengong melihat Danu melesat dengan sangat cepat.
"Woey!"
"Pantes, tuh gebetannya keluar rumah." Andre menunjuk ke arah jalan dengan dagunya. Mereka bertiga melihat Sabina yang berjalan di trotoar. Seperti biasa gadis itu mengenakan hoodie merah maroon serta tas di punggungnya.
"Lo diem aja sih, komentar kek!" protes Doni pada Galih yang sedari tadi hanya tersenyum.
"Biarin aja napa udah dapet gantinya Clara ini, kali aja Sabina jodohnya," ujar Galih santai.
Sementara suara raungan motor Danu mulai terdengar membuat ketiga temannya menoleh ke bawah ke arah Danu yang baru saja keluar gerbang.
"Kan tu cewek aneh!" ucap Andre.
"Daripada Danu deketin Gisel elonya nangis di pojokan, mau?" Galih tertawa cukup keras disusul Doni.
"Sialan lo!"
Suara klakson memekakan telinga, membuat Sabina terlonjak sambil memegang dadanya. Dari tempatnya berdiri Sabina memutar mata kesal ketika tahu siapa pengendaranya. Ia sudah mendengar raungan motor tadi karena tidak ada kendaraan lain yang melintas, suara motor Danu terdengar sangat keras, tapi Sabina tidak menyangka jika itu adalah Danu juga tidak menyangka Danu akan menekan klaksonnya dengan keras hingga membuatnya hampir kehilangan detak jantungnya.
"Sorry, bikin kaget. Mau kemana, Bi?" tanya Danu seraya terkekeh di atas motornya. Ia sudah membuka kaca helm-nya.
Tanpa menanggapi Danu, Sabina yang kesal kembali melanjutkan perjalanannya dengan terpincang. Danu melajukan motornya pelan di samping gadis itu.
"Gue anter yuk, gabut nih gue di rumah."
"Nggak mau!"
"Kita kan temenan sekarang."
"Bukan!"
"Gue denger lo bilang setuju tadi."
Sabina menghentikan langkahnya lalu melebarkan matanya menghadap ke arah Danu,
"Apaan? Enggak!"
Danu turun dari motornya lalu melepas helm miliknya, ia mendatangi Sabina lalu menarik tangan gadis itu agar mau ikut.
"Ayo gue anter, lagian kaki lo masih sakit, kan?" ucap Danu lembut.
Sabina menatap Danu, seolah terhipnotis pada tatapan teduh cowok di depannya. Namun kemudian batinnya menggeleng mengusir pikiran liarnya. Gadis itu membuang muka ke samping.
"Mau kemana sih? Ini kan hari minggu."
"Kerja."
"Yang bener aja, lo kan lagi sakit Bi."
Sabina diam, izin liburnya sudah habis dan ia harus bekerja.
"Ya udah, ayo. Nih pake." Danu mengulurkan helm miliknya.
"Kamu nggak pake helm?"
"Nggak usah, lagian nggak lewat jalan besar. Udah cepetan."
Danu menaiki motornya sementara Sabina memakai helm milik Danu. Ia mencium aroma maskulin di dalamnya.
"Cepet naek!"
Gadis itu menaiki motor sport Danu, dan ini pertama kali dalam hidupnya berboncengan dengan cowok.
"Jangan ngebut, ya?"
"Siap."
Motor melaju pelan, melewati gang-gang kecil yang Danu tahu. Tidak ada yang bicara hingga mereka sampai di tujuan.
"Makasih, kamu pulang aja," ucap Sabina seraya menyerahkan helm.
"Enak aja main usir. Gue mau nyari kopi bentar."
"Terserah kamu aja!"
Dengan itu Sabina masuk ke dalam, sementara Danu masih melepas jaket dan merapikan rambutnya yang mungkin saja berantakan karena tertiup angin.
Danu tidak melihat Sabina di manapun ketika ia memasuki kedai yang cukup ramai, mungkin sedang bersiap-siap pikirnya. Akhirnya Danu memutuskan memesan minuman.
"Mau pesan apa, Kak?" tanya seorang pegawai.
"Mocha latte sat,-" Danu menghentikan ucapannya ketika melihat Sabina yang baru saja keluar dari sebuah ruangan. Gadis itu masih berpakaian sama. Tanpa menghiraukan Danu, Sabina berjalan keluar kedai.
"Nggak jadi pesen mbak. Maaf, ya?" Danu berlari kecil menyusul Sabina yang sudah berada di luar.
"Kok keluar?" tanya Danu seraya menghentikan langkah Sabina dengan menarik bahunya.
"Uh? Di suruh istirahat sama bos-nya."
"Gue anter pulang, ya?"
"Nggak usah, katanya kamu mau ngopi?"
"Udah. Pokoknya gue anter." Cowok itu menarik tangan Sabina menghampiri motornya.
"Tapi aku nggak pulang Nu."
"Kemana?"
"Ke panti."
"Ya udah gue anter."
"Kamu nggak punya maksud aneh sama aku kan?" tanya Sabina curiga ia menarik tangan kanannya dari genggaman Danu.
"Ada sih, mau tau?"
Sabina terdiam, matanya bergerak mengamati wajah Danu, mencoba membaca cowok di depannya meskipun ia tidak ahli dalam hal itu. Tidak ada yang mencurigakan.
Danu terkekeh pelan, sebelum akhirnya ia memutuskan memberitahu Sabina.
"Gue cuma pengen ngubah persepsi elo tentang cowok, nggak semua cowok itu jahat. Dan satu lagi," sudut bibir Danu terangkat, "gue bener-bener yakin kalo gue emang sayang sama elo, Bi. Gue nggak tau kenapa tapi gue ngerasa nyaman kalo deket sama elo."
Batin Sabina kebingungan. Seharusnya ia membenci ini, tapi mengapa ia tidak marah? Justru ia tertarik bagaimana Danu membuktikan hal itu kepadanya.
"Gue aneh, kan? Sama kaya elo, jadi kita berdua sama-sama aneh. Cocok, kan?"
Sabina mengalihkan tatapannya ke arah lain. Gadis itu gugup, ia tidak bisa mengerti dirinya sendiri. Apa yang ia pikirkan beberapa hari yang lalu tentang Danu yang akan membuat harinya menjadi menyebalkan ternyata salah. Ia sama sekali tidak merasa terganggu, justru senang jika Danu memberi perhatian kepadanya.
Kok jadi plin plan gini sih? Seharusnya kan nggak gini? Seharusnya jangan biarin Danu deket-deket.
"Terserah kamu aja!"
Danu terkekeh pelan.
"Nih pake." Danu kembali memberikan helm-nya.
"Jauh nggak sih?"
"Sekitar satu jam dan lewat jalan besar."
Butuh helm satu lagi nih.
"Beli helm dulu yuk."
"Nggak usah deh Nu, aku naik angkot aja," ucap Sabina seraya menyerahkan kembali helm Danu. Tentu saja ia tidak ingin merepotkan cowok itu.
"Kan tadi lo bilang terserah gue, ya elo harus nurut dong sama gue." Danu memberikan lagi helm-nya kemudian menaiki motornya.
"Tapi kan,-"
"Nggak ada tapi-tapian!"
Akhirnya Sabina menuruti Danu, batinnya berusaha menyangkal jika ini salah. Namun, kenyataannya berbanding terbalik.
.
.
"Mau helm warna apa?" tanya Danu ketika mereka sampai di tempat pedagang helm di pinggir jalan.
"Ngapain nanya aku, kan kamu yang beli." Sabina melepas helm di kepalanya dan meletakkannya di atas motor.
"Aku kan beliin kamu, helm yang kamu pake itu punyaku. Oh ya, aku nggak pernah lho biarin cewek lain pake itu. Informasi aja sih."
Sabina mengernyit.
Oke, sekarang mulai aku kamu? Trus kamu pikir aku percaya kalo nggak pernah ada cewek lain yang pake helm kamu? Clara?
Cowok itu tersenyum melihat ekspresi gadis di depannya.
"Aneh ya kalo ngomong aku kamu?"
"Nggak biasa aja!" elak Sabina.
"Ya udah kalo gitu sekarang ngomongnya aku kamu biar tambah ... sayang." Danu terkekeh pelan kemudian menarik tangan Sabina untuk memasuki toko helm itu. Gadis itu tidak bisa menolak. Ia sudah kehilangan dirinya sejak Danu mulai mengusik hidupnya. Sabina yang sekeras dan sedingin es sudah mulai mencair.
"Mas beli helm dong, buat dia."
"Yang biasa apa yang full face?"
"Yang biasa aja deh Mas, kasian berat kalo full face. Yang penting aman."
"Nih bagus nih yang paling baru udah SNI." Pedagang itu mengambil sebuah helm berwarna biru.
"Gimana? Kamu suka?" tanya Danu pada Sabina yang masih melihat-lihat helm yang lain.
"Um, yang warna hitam aja deh."
"Warna hitam ada Mas?"
"Ada, bentar ya saya ambilin."
Sabina mengulum bibirnya, ia melihat Danu yang selalu mengumbar senyum kepadanya. Rasanya begitu aneh.
"Nu, kayaknya ini berlebihan deh, nggak usah aja ya, aku mau naik angkot."
"Aku nggak denger kamu ngomong apa." Danu mengalihkan perhatiannya dari Sabina.
"Jangan ngeselin, deh!"
Danu tergelak ringan, "Mulai sekarang kamu bakal sering naik motor aku, jadi kamu wajib punya helm."
"Kok jadi kamu ngatur aku, sih?"
Danu mengangkat kedua bahunya tak acuh sebelum akhirnya Mas itu kembali dengan helm warna hitam dan menyerahkan kepada Danu.
"Coba dulu."
Danu memakaikan helm itu ke kepala Sabina dan memasang pengaitnya kemudian tersenyum setelah selesai. Jantung Sabina bertalu sangat kencang, seperti genderang yang dipukul tidak beraturan.
"Udah pas. Berapa Mas?"
"300.000."
Sabina melebarkan matanya. Mahal banget, sih?
Sementara Danu mengeluarkan uang dari dompetnya dan membayarkan sejumlah uang yang disebutkan Mas penjual helm.
"Yuk," ajak Danu yang ditanggapi anggukan oleh Sabina.
"Jangan ngebut, ya?" pinta Sabina dengan nada takut.
Danu hanya menyeringai.
Motor kayak gini nggak ngebut nggak enak Bi.
"Cepet naek."
Danu melajukan motornya pelan memasuki jalan raya. Namun, ia mulai menambah kecepatan setelah beberapa meter.
"Danu!"
"Pegangan aja. Aman, ini masih belum ngebut Bi," ucap Danu sedikit berteriak.
Sabina memejamkan matanya ia meremas jaket kulit Danu dengan kedua tangannya.
"Serius Nu, aku nggak mau naik lagi kalo kamu ngebut!"
Bukannya mendengarkan Sabina Danu justru semakin menambah kecepatan. Dalam hati, Sabina merapal doa, ia belum ingin mati. Setidaknya jika ia mati bukan dengan cara seperti ini.
"DANU!!"
Tawa Danu pecah seketika. Ia menurunkan kecepatan motornya.
"Maaf," ucap Danu dengan sedikit meninggikan suaranya agar terdengar, ia masih tertawa kencang.
"Nggak!"
---
"Jangan ngambek dong." Danu melihat Sabina yang masih kesal setelah sampai di tempat parkir.
"Lagian ngeselin banget sih, aku kan nggak pernah naik motor sebelumnya!" seru Sabina seraya melepas helm.
"Iya maaf, nggak lagi. Janji." Danu berkata lembut.
Sabina menatap Danu, sudut bibir gadis itu berkedut, jejak senyum sempat terlihat maskipun hanya sepersekian detik. Ia memalingkan wajahnya, rasanya tubuhnya menghangat, jantungnya memompa darah lebih cepat.
Gadis itu berdeham untuk memecah kecanggungan, "Kamu tunggu sini aja."
"Enak aja! Emangnya tukang ojek disuruh nunggu?"
Batin Sabina memutar mata kemudian ia melangkah meninggalkan Danu.
Tidak ada yang berbicara setelah itu, mereka berjalan beriringan memasuki kawasan panti sosial. Danu mengedarkan pandangannya ke sekeliling, beberapa orang dewasa terlihat berkumpul di sebuah aula di mana diadakan pembinaan di sana. Sementara beberapa anak kecil juga orang dewasa tengah berkumpul membuat anyaman dari plastik bekas.
"Kak Sabi dateng," pekik salah seorang gadis berusia 10 tahunan. Ia langsung meletakkan pekerjaan menganyamnya dan berlari menghampiri Sabina diikuti 5 anak kecil lainnya yang seumuran dengannya.
"Kak Sabi kok baru dateng?" kan kita kangen," ucap gadis yang memiliki rambut paling panjang itu.
"Iya kita kangen," ucap yang lainnya yang kini mengerubungi Sabina.
Para orang tua melihat keramaian yang terjadi. Mereka tersenyum tak terkecuali ibu Sabina yang sedang duduk di kursi roda. Ia tersenyum haru melihat anaknya kembali.
Sabina tersenyum lembut pada anak-anak di sekitarnya, senyum teduh yang tak pernah ia perlihatkan jika sedang berada di luar panti dan Danu tak melewatkan hal itu. Ia menyadari Sabina memiliki senyum yang hangat. Apa yang ia pikirkan benar, Sabina tidak sedingin yang selama ini terlihat.
"Iya, Kakak kan sekolah trus kerja juga. Kalian sehat?"
"Sehat kak, tapi Regina kemarin ngompol Kak."
"Ih apaan?! Kan nggak sengaja." Gadis bernama Regina itu cemberut karena malu. Sementara yang lainnya tertawa kencang. Sabina terkekeh pelan seraya mengusap rambut gadis dengan rambut seperti Dora itu.
"Kakak kenapa kakinya?" tanya gadis lainnya.
"Jatuh waktu kemah."
"Kak Sabi, itu siapa? Pacarnya, ya?" goda gadis berambut panjang.
Danu melebarkan senyumnya.
"Oh, ini kak Danu. Cuma te-,"
"Calon pacar Kak Sabi. Danu Suta Atmadja." Danu menyela Sabina memperkenalkan dirinya pada anak-anak yang kini melihatnya.
"Cie...," sahut anak-anak itu bersamaan.
"Bukan!" Sabina menggelengkan kepalanya cepat.
"Kan aku bilang calon Bi."
"Argh ... terserah!" Sabina meninggalkan kerumunan itu menuju ibunya yang sedari tadi melihat mereka.
Aku bayangin si sabina ini rambutnya kalo d sekolah digerai terus agak nutupin wajah hahaha kalo d tmpt kerja diikat hehehe
Comment on chapter Rasa 2