Loading...
Logo TinLit
Read Story - DanuSA
MENU
About Us  


Bukan berpura-pura bahagia.
Aku belajar bahagia meskipun kurasa kebahagiaan tak pernah ada.
Aku belajar bahagia, berharap lupa jika aku sedang terluka.
Aku lelah terluka....

Danu membuka matanya, kedua alisnya mengkerut merasa asing dengan kamar bernuansa pink ia lupa sedang berada di mana namun sedetik kemudian ia sadar jika dirinya sedang berada di kamar Sabina

Danu membuka matanya, kedua alisnya mengkerut merasa asing dengan kamar bernuansa pink ia lupa sedang berada di mana namun sedetik kemudian ia sadar jika dirinya sedang berada di kamar Sabina. Dari tempatnya berbaring Danu melihat ke arah pintu kaca yang tembus kearah balkon sudah tampak terang.

Udah pagi, cepet banget, sih? Perasaan baru sejam tidur.

Cowok itu mengusap matanya kemudian duduk melihat Sabina yang masih tidur dengan nyenyak membelakanginya. Danu melihat kaki Sabina yang masih dibalut perban secara otomatis ia tersenyum mengingat kejadian kemarin.

Ia melihat jam dinding yang menunjukkan pukul 6 pagi. Danu tertarik untuk mendatangi balkon, penasaran apa saja yang bisa dilihat jika sedang berada di sana. Ia membuka gorden yang menutupinya. Namun, terhenti ketika melihat ibunya yang berada di samping mobil yang terparkir di pinggir jalan tengah sibuk berbicara di ponselnya.

Mau kemana lagi Mama udah rapi gitu? Kerja lagi? Ninggalin gue lagi?

Tak lama kemudian sang ibu menaiki mobilnya dan pergi dari sana. Sudah menjadi makanan sehari-hari jika Danu tidak pernah bertemu dengan ibunya, kesibukannya sebagai seorang desainer membuatnya jarang pulang ke rumah. Namun, Danu lebih yakin jika ibunya tidak pernah pulang karena tidak ingin bertemu dengannya.

Ya elah nyesek banget sih hidup gue.

Danu membuka pintu balkon, udara segar langsung menerpa dirinya. Ia menghirup napas dalam-dalam lalu mengembuskannya lewat mulut. Berharap kekecewaan yang ia rasakan bisa menguap bersama udara. Danu meletakkan kedua tangannya di besi pembatas, ia bisa melihat dengan jelas rumahnya, halamannya juga terlihat. Tepat dihadapannya adalah jendela kamar miliknya. Namun, sebagian tertutup pohon palem.

Kayak di film-film aja bisa intip-intipan lewat jendela. Ngarep!

Lagi perutnya bergejolak, ia lapar. Ia melihat Sabina lagi, berpikir apa Sabina punya makanan.

Masa mie lagi? Ntar yang ada gue mencret. Pulang aja deh minta nasi goreng sama Bi Sum.

Danu memutuskan pulang ke rumahnya. Melangkah pelan keluar kamar, Danu menuruni tangga, ia melihat sekitar dan ya, cukup menyeramkan bahkan saat cahaya terang seperti ini. Rumah yang cukup besar. Semua perabot masih tertutup kain putih yang dipenuhi debu. Ketika berjalan melewati ruang tamu Danu juga melihat piano yang berada di sudut rumah, sebagian masih tertutup kain. Ia berpikir apakah Sabina bisa bermain piano seperti dirinya?

Ah ... piano, udah lama nggak pernah main piano.

Danu menggelengkan kepalanya, banyak cerita sedih juga senang antara dirinya dengan piano.

"Bi Sum buka pintunya!" teriak Danu sambil mengetuk pintu.

Mendengar teriakan tuannya Bi Sum yang masih membersihkan dapur segera membuka pintu depan.

"Bi, bikinin nasi goreng dong. Laper nih." Danu langsung berbicara ketika Bi Sum ingin bersuara.

"Eh? Iya iya," jawab wanita bertubuh subur itu.

Danu masuk ke dalam rumah menuju dapur diikuti Bi Sumi di belakangnya.

"Nyonya udah balik ke Surabaya lagi Den."

"Udah tau, tadi lihat."

"Emang Aden di mana tadi? Semalem tidur di mana?" tanya Bi Sumi seraya menyiapkan bahan nasi Goreng untuk Danu.

Bilang nggak, ya?

"Di rumahnya Sabi," jawab Danu seraya meminum segelas air putih.

"Cewek aneh yang dibilang waktu itu?" tanya Bi Sumi sedikit terkejut.

"Iya."

"Yang tinggal di depan rumah, kan?" Bi Sumi masih memastikan.

"Iya bi Sumi cantik." Danu terkekeh pelan lalu berdiri di samping bi Sumi dengan bersandar meja.

"Danu belum cerita, kan? Jadi kemaren waktu tersesat, Danu ilangnya sama Sabina. Ternyata nggak aneh juga sih orangnya. Baek kok, cuman agak jutek aja dan nggak pernah senyum."

"Oh, Den Danu suka ya?"

"Apaan sih bi Sumi?"

"Buktinya kemaren waktu mau berangkat kemah pake ngintip-ngintip segala. Dikiranya Bibi nggak tau?"

"Danu nggak ngintip Sabi!" Danu menaikkan suaranya satu oktaf.

"Tuh kan boong."

"Serius."

Bi Sumi mengangkat kedua bahunya, ada kesan mengejek pada gerakannya.

"Nggak percayaan banget sih."

"Emang." Bi Sumi tertawa lalu diikuti Danu.

"Oh ya, ngomong-ngomong semalem temennya telpon nanyain Den Danu."

"Siapa Bi?"

"Galih sama itu tuh yang biasanya, mereka nanyain Den Danu udah pulang belum bibi bilang udah trus katanya nanti mau dateng jam 9 an."

"Oh, oke. Bikin dua porsi ya Bi."

"Pasti buat Non Sabi, ya? Kan kan?" goda bi Sumi.

"Tau aja."

"Tuh kan bener, Bibi tu udah kenal Aden dari kecil jadi nggak bisa bohongin Bibi," ujar bi Sumi sambil memotong sosis.

Danu mengulum bibirnya terlihat berpikir.

"Jangan-jangan Danu anaknya Bi Sumi, ya?"

"Bibi sih seneng kalo punya anak kayak Den Danu, udah ganteng baek, perhatian lagi, tapi sayangnya cuma mimpi aja," ucap bi Sumi tersenyum tipis.

Seorang anak yang diimpikan sejak menikah dengan suaminya dulu tak kunjung terwujud, bahkan hingga suaminya meninggal.

"Habisnya lebih perhatian bi Sum daripada mama," ucap Danu pelan, mengisyaratkan kepedihan yang begitu mendalam.

"Nyonya itu sebenernya sayang kok sama Aden."

Seketika Danu tertawa, "Lucu deh lawakannya Bibi."

"Eh ni anak malah ketawa, serius Bibi. Nggak bohong."

Danu diam seketika, ia menunduk, "Danu lupa kapan terakhir kali dipeluk sama Mama," cowok itu berkata lirih lalu menghela napas, "dulu Danu nurut ga juga ditoleh sama Mama, jadi anak brandalan suka ngrokok, berantem, keluar masuk BP malah tambah diomelin, sekarang udah berubah baik lagi tetep aja nggak dipeduliin."

Bi Sumi berdeham gugup, ia bingung harus mengatakan apa karena sejujurnya dirinya tahu mengapa mama Danu berubah tapi dia tidak bisa mengatakannya.

"Kasih waktu Nyonya, Den, Nyonya hanya butuh waktu," ucap bi Sumi sambil mengaduk nasi gorengnya.

Danu tergelak hambar, "Sampe kapan? Sampe Nobita lulus SD?"

Tidak mendapat balasan dari Bi Sumi Danu diam. Ia melihat Bi Sumi yang masih sibuk memasak.

"Udah jangan terlalu dipikirin, yang jelas Nyonya tetep sayang kok sama Aden. Masih diem-diem masuk kamar Aden kalo pulang pas Den Danu tidur, nanyain kabar Aden tiap hari."

Tanpa sedikitpun menaruh rasa percaya Danu tersenyum, "Cepet Bi, laper nih."

"Iya, ini udah mateng kok." Bi Sumi mengambil sebuah piring lalu menuang nasi goreng di atasnya.

"Duh aromanya bikin ngiler." Dengan cepat Danu mengambil piring itu dan membawanya ke meja makan lalu memakannya dengan lahap. Sementara bi Sumi menuang sisa nasi lainnya ke dalam wadah tupperware.

"Ngomong-ngomong Non Sabi itu tinggal sama siapa, Den?"

"Sendiri."

"Kemana orang tuanya?"

"Nggak tau dia belum cerita pas Danu tanyain."

Melihat tuannya makan masakannya dengan sangat lahap, wanita itu tersenyum.

Kasian sekali kamu Den Den.

"Udah selesai punya Sabi, Bi?"

Danu menghampiri Bi Sumi setelah selesai menghabiskan makanannya.

"Udah nih," ucap bi Sumi seraya menyerahkan kotak makanannya.

"Makasi, ya. Sayang deh sama Bi Sumi."

Danu melangkah keluar meninggalkan Bi Sumi yang terkekeh pelan.

"Jangan lupa dibawa pulang tupperware-nya."

"Iya-iya."

Danu menuju garasi lalu membuka pintu mobilnya, ia mengambil sebungkus rokok yang ia letakkan di sana. Masih utuh karena ia tidak pernah merokok lagi sejak pindah sekolah. Entah mengapa rasanya ia ingin menghisap rokok lagi, pikirannya sedang kacau lebih kacau dari biasanya dan yang ia tahu rokok bisa membantunya lebih tenang.

Ia kembali ke rumah Sabina. Namun, sepertinya gadis itu belum bangun. Danu memutuskan meletakkan makanan di meja makan lalu duduk di sana. Hanya sejenak hingga ia begitu tertarik pada piano milik Sabina yang juga terlihat dari tempatnya duduk, Danu segera menuju kearahnya. Ia memegang alat musik itu, tapi kemudian ia memilih membuka gorden yang tergantung di dinding kaca di samping piano yang ternyata adalah sebuah pintu geser yang tembus dengan halaman samping. Entah mengapa hatinya sakit bahkan hanya dengan memegang alat musik itu.

Danu akhirnya duduk di luar lalu mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakannya. Perasaan tenang ketika nikotin memasuki tubuhnya langsung ia rasakan. Ia mengingat bagaimana ketika ia berlatih bermain piano dengan papanya dulu juga mamanya yang juga sangat mendukung dirinya mendalami permainan piano. Terasa sangat indah dan menyenangkan.

Setelah cukup tenang dan rokoknya habis Danu kembali ke arah piano itu dan ia memutuskan duduk disana. Ia melihat buku yang ada di depannya, lagu My Memory -ost Winter Sonata. Ini merupakan lagu kesukaan papanya dan lagu pertama yang dikuasai Danu. Jemarinya secara otomatis tergerak memainkan tuts piano, rasanya seperti deja vu. Sesekali ia memejamkan matanya tampak menghayati lagu yang ia mainkan, pikirannya melayang bersama kenangan dengan kedua orang tuanya.

Mendengar suara piano yang cukup keras dari kamarnya, Sabina membuka matanya.

Lagu itu?

Dengan tergesa-gesa ia keluar kamar, perasaannya berkecamuk mendengar lagu itu. Namun, kemudian langkahnya terhenti di dekat meja makan. Ia melihat Danu memainkan nada lagu itu dengan sangat indah, Sabina ikut larut didalamnya. Ia mengingat memori bersama sang ayah beberapa tahun silam saat ayahnya mengajari dirinya bermain piano.

Kedua remaja itu mengingat hal yang sama, kenangan yang membahagiakan. Namun, kemudian semua berubah menjadi hal yang begitu menyedihkan baik Sabina maupun Danu. Sabina terkesiap ketika Danu memencet tuts piano itu asal-asalan penuh emosi seolah menyalurkan kekecewaannya. Danu menghentikan permainan asalnya kemudian menutup wajah dengan satu tangannya.

Ia ingin menangis, rasanya tidak pernah ada yang mengharapkan kehadirannya di dunia. Menyadari hal itu Sabina bingung harus melakukan apa karena ia tidak pernah mengalami hal seperti ini. Ia pun langsung melangkah ke arah Danu, sedikit merasa tidak enak menyaksikan Danu yang terlihat begitu lemah. Namun, ia tidak ingin peduli.

"Eh, udah bangun ya, Bi? Sorry gue asal maininnya sampe ngebangunin elo," ucap Danu seraya tersenyum menyembunyikan kesedihannya.

Tanpa menanggapi Danu Sabina menutup kembali piano itu dengan kain putih yang masih tergantung di sana.

"Jangan mainin lagi!"

"Kenapa?"

Sabina menajamkan indra penciumannya, ia mengendus karena mencium bau sesuatu.

"Juga jangan ngerokok di rumahku. Aku benci cowok perokok."

Danu menaikan sebelah alisnya sambil tersenyum, "Jadi kalo nggak ngerokok nggak jadi benci nih? Oke kalo gitu gue berhenti ngerokok. Biar lo suka sama gue, gimana?"

"Ish apaan sih?"

"Tuh kan pipinya merah."

Sabina memutar matanya lalu meninggalkan Danu. Ia tersenyum.

Demi apa aku tersenyum sama gombalan Danu? Sabina sadar nak!

"Bi, ada nasi goreng tuh di meja." Danu mengikuti Sabina dari belakang.

"Bi Sumi yang bikin, pake cinta lho." Danu mengambil nasi gorengnya lalu memberikannya pada Sabina.

"Udah makan aja." Danu menarik tangan kanan Sabina lalu meletakkan kotak nasi itu di tangannya.

"Bi, lo bisa maen piano?" tanya Danu setelah duduk, ia duduk di tempat yang sama seperti semalam dan Sabina juga duduk di sana setelah mengambil sendok lalu memakan nasi goreng itu.

"Bisa."

"Sama dong."

"Hmm, aku udah denger tadi." Sabina mengakui kemampuan Danu yang sangat mahir melebihi dirinya.

Danu menelan ludahnya gugup.

Apa dia juga liat gue yang pengen nangis tadi? Di mana harga diri Danu ya Tuhan?

Danu berdeham memecah kecanggungan, "Itu lagu favorit papa gue dulu, favorit gue juga sih."

Sabina melebarkan matanya. Namun, sedetik kemudian ia bersikap biasa, cukup heran mengapa bisa sama. Ia juga sangat menyukai lagu itu karena itu lagu pertama yang diajarkan papa nya selain lagu anak-anak tentu saja.

"Elo juga suka, ya?"

Sabina mengangguk.

"Gue bersedia mainin lagu itu buat elo."

"Sekarang nggak suka lagi," ujar Sabina berbohong karena jujur ia masih menyukai lagu itu.

"Kenapa?"

"Nggak pa pa."

"Oh, dulu gue punya cita-cita jadi pianis tapi pas gue tau nggak pernah ada yang mau denger gue main piano. Gue nyerah."

"Kenapa?"

Danu tersenyum menyadari Sabina tertarik dengan pembicaraannya sementara di sisi lain batin Sabina merutuki rasa penasarannya. Ia menyesal bertanya. Namun, hatinya tergerak untuk ingin tahu.

"Nyokap gue selalu marah-marah kalo gue main piano di rumah padahal dulu nyokap gue dukung banget cita-cita gue, tapi ya itu abis bokap gue meninggal semuanya berubah."

Sabina mengangguk mengerti.

"Bi, sorry nih ya. Lo nggak capek diem terus? Padahal menurut gue elo itu aslinya normal lho."

"Nggak, aku aslinya gini dari dulu," ucap Sabina berbohong.

"Apa enaknya sih?"

"Nggak ada yang ganggu."

"Kan nggak enak diem terus, jutek. Nggak enak diliatnya juga Bi."

"Daripada pura-pura bahagia tapi sebenernya nyimpen luka?"

"Daripada pura-pura bahagia tapi sebenernya nyimpen luka?"

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (12)
  • YulianaPrihandari

    @DanFujo itu awalnya blm ada adegan ngambil fotonya Danu buat jaga-jaga, tapi karena ada komen dari @drei jadi saya tambahin biar ada alasannya (sebab akibat).

    Nggak perlu jadi kakak atau adik, cukup jadi sahabat yang "peka" dengan sahabatnya hehe. Temen-temennya Danu pada nggak peka karena Danu cukup pintar menyembunyikan masalahnya hehe

    Comment on chapter Rasa 24
  • DanFujo

    @drei Menurutku itu biasa sih. Kan cuma curiga di awal doang, abis itu hapenya udah jadi hak dia juga. Kurang lebih bahasanya: udah kebukti ni anak lagi butuh. Lagipula dia bilang kayak gitu juga cuma akal-akalan biasa pedagang Wkwkwk

    Btw, @YulianaPrihandari Ini gue pengen banget jadi kakak atau adeknya Danu, biar dia gak sendirian gitu. Biar kalau ada masalah ada tempat curhat gitu. Kok rasanya sedih banget yah pas dia minta penjelasan dari ibunya. Membulir juga air mataku. Meski gak menetes :"

    Comment on chapter Rasa 24
  • YulianaPrihandari

    @drei si Abangnya terlalu kasian sama Danu wkwkwk

    Comment on chapter Rasa 2
  • YulianaPrihandari

    @AlifAliss terimakasih sudah membaca :):)

    Comment on chapter Rasa 2
  • drei

    si abang konter ceritanya nuduh danu nyopet, tapi minjemin motor kok mau? ^^'a motor kan lebih mahal dari hape haha... (kecuali itu bukan motor punya dia)

    Comment on chapter Rasa 7
  • drei

    wah menarik nih... starting off well. will definitely come back. XDD

    Comment on chapter Rasa 2
  • AlifAliss

    Dukung banget buat diterbitkan, meskipun kayaknya harus edit banyak. Wkwkwk

    Comment on chapter Rasa 21
  • AlifAliss

    Kok aku ikut-ikutan bisa logat sunda yah baca ini wkwkwk

    Comment on chapter Rasa 6
  • AlifAliss

    Gue juga jatuh cinta ama Sabi, tapi gak apa-apa kalau keduluan Danu. ????

    Comment on chapter Rasa 2
  • AlifAliss

    Jatuh di hadapan siapa, Nu? Di hadapanku? Eaakk.. ????

    Comment on chapter Rasa 2
Similar Tags
Amherst Fellows
6475      1754     5     
Romance
Bagaimana rasanya punya saudara kembar yang ngehits? Coba tanyakan pada Bara. Saudara kembarnya, Tirta, adalah orang yang punya segunung prestasi nasional dan internasional. Pada suatu hari, mereka berdua mengalami kecelakaan. Bara sadar sementara Tirta terluka parah hingga tak sadarkan diri. Entah apa yang dipikirkan Bara, ia mengaku sebagai Tirta dan menjalani kehidupan layaknya seorang mahasis...
F.E.A.R
9502      1714     5     
Romance
Kisah gadis Jepang yang terobsesi pada suatu pria. Perjalanannya tidak mulus karena ketakutan di masa lalu, juga tingginya dinding es yang ia ciptakan. Ketakutan pada suara membuatnya minim rasa percaya pada sahabat dan semua orang. Bisakah ia menaklukan kerasnya dinding es atau datang pada pria yang selalu menunggunya.
Premium
Mari Kita Menulis
3913      865     2     
Non Fiction
Ada banyak di Indonesia Pilih saja yang sekiranya cocok mau indie ataupun mayor Untuk pembayaran royalti dari penerbit ada yang beli putus ada yang sistem royalti 10 atau lebih Kalau royalti 10 itu tandanya dapat persepuluh dari harga buku yang terjual Pembayaran umumnya dilakukan 6 bulan setelah percetakan Kalau untuk penulis baru biasanya posisi tawarnya rendah belum bisa negosiasi karena b...
Sekilas Masa Untuk Rasa
3963      1288     5     
Romance
Mysha mengawali masa SMAnya dengan memutuskan untuk berteman dengan Damar, senior kelas dua, dan menghabiskan sepanjang hari di tribun sekolah sambil bersenda gurau dengan siapapun yang sedang menongkrong di sekolah. Meskipun begitu, Ia dan Damar menjadi berguna bagi OSIS karena beberapa kali melaporkan kegiatan sekolah yang menyimpang dan membantu kegiatan teknis OSIS. Setelah Damar lulus, My...
complicated revenge
21796      3373     1     
Fan Fiction
"jangan percayai siapapun! kebencianku tumbuh karena rasa kepercayaanku sendiri.."
Kuliah atau Kerja
505      291     1     
Inspirational
Mana yang akan kamu pilih? Kuliah atau kerja? Aku di hadapkan pada dua pilihan itu di satu sisi orang tuaku ingin agar aku dapat melanjutkab sekolah ke jenjang yang lebih tinggi Tapi, Di sisi lainnya aku sadar dan tau bawa keadaan ekonomi kami yang tak menentu pastilah akan sulit untuk dapat membayar uang kuliah di setiap semesternya Lantas aku harus apa dalam hal ini?
Last October
1906      757     2     
Romance
Kalau ada satu yang bisa mengobati rasa sakit hatiku, aku ingin kamu jadi satu-satunya. Aku akan menunggumu. Meski harus 1000 tahun sekali pun. -Akhira Meisa, 2010. :: Terbit setiap Senin ::
Pulang Selalu Punya Cerita
1249      778     1     
Inspirational
Pulang Selalu Punya Cerita adalah kumpulan kisah tentang manusia-manusia yang mencoba kembalibukan hanya ke tempat, tapi ke rasa. Buku ini membawa pembaca menyusuri lorong-lorong memori, menghadirkan kembali aroma rumah yang pernah hilang, tawa yang sempat pecah lalu mengendap menjadi sepi, serta luka-luka kecil yang masih berdetak diam-diam di dada. Setiap bab dalam buku ini menyajikan fragme...
The Black Hummingbird [PUBLISHING IN PROCESS]
22222      2505     10     
Mystery
Rhea tidal tahu siapa orang yang menerornya. Tapi semakin lama orang itu semakin berani. Satu persatu teman Rhea berjatuhan. Siapa dia sebenarnya? Apa yang mereka inginkan darinya?
A You.
885      468     1     
Romance
Ciara Leola memiliki ketakutan yang luar biasa kepada Shauda Syeffar. Seorang laki-laki yang dulu selalu membuatnya tersenyum dan menyanyikan lagu-lagu cinta untuknya setiap hari. Ciara melanjutkan hidupnya sebagai orang asing di hadapan Shauda, sedangkan Shauda mengumpat kepada dirinya sendiri setiap hari. Lagu-lagu cinta itu, kemudian tidak lagi dinyanyikan.