“Apa lo liat-liat?”
Menatapnya yang sedang menyulut rokok dengan santai selagi memberengut marah pada Aya, membuat gadis itu tertegun sejenak. Terutama pada tutur katanya yang tidak mencerminkan sopan santun.
“Um, maaf,” ujar Aya dengan pelan, takut menyinggung perasaannya. “Gue cuma mau buang sampah, bukan nyari masalah.”
Walaupun tatapan tajam sang lelaki tetap terarah tajam padanya bagai elang pada mangsanya, Aya dengan cepat meletakkan kantung sampah pada tongnya. Dengan demikian dia berniat langsung putar balik dan tancap gas.
“Nama lo siapa?” tanya lelaki itu tiba-tiba, membuat Aya terkejut takut. “Kayaknya gue pernah ngeliat lo.”
Akan jadi masalah yang merepotkan jika Aya terlibat dengannya, maka gadis itu dengan cepat menggeleng. Dia berniat jalan cepat menuju Cafe ketika wajahnya tertubruk seseorang di depannya.
Bu Lidia mengerutkan dahi dengan ekspresi kesal yang membingungkan di hadapannya, tatapannya dengan tajam terarah pada lelaki di belakang Aya.
“Sial!” gumam lelaki itu selagi berusaha mematikan rokoknya, jalan aspal di bawahnya menjadi korban percikan apinya.
“RADIT!” Entah telinga Aya yang bermasalah atau memang benar suara Bu Lidia sekeras itu, hingga menutup kedua kuping tidak membantu sama sekali. “Udah gue bilang berkali-kali gak boleh nyebat lagi!”
Melihat keakraban keduanya membuat Aya penasaran.
Ditilik dari penampilan dan perawakannya terlihat jelas bahwa Bu Lidia berumur di atas 25 tahun, kemungkinan sekitar 28. Dan besar kemungkinan usia Radit di antara 16-17 tahun seusia Aya.
Dalam hati Aya berpikir hubungan mereka tidak lebih dari saudara ataupun sepupu, karena jelas perbedaan usia mereka tidak sedramatis itu. Pemikiran itu menjelaskan perilaku protektif Bu Lidia pada Radit ketika dia melihatnya merokok.
“Anu,” kata Aya memecahkan ketegangan yang meningkat di antara kedua orang tersebut. “Gue ke Cafe dulu ya, Bu Lidia.”
Mendengar panggilannya dari Aya, muka wanita itu langsung berubah menjadi semakin menyeramkan. Radit dari tempatnya terkekeh kecil ketika melirik ekspresi Bu Lidia.
“Gue belom setua itu!” teriaknya dengan kesal, pandangannya kini sudah terarah pada Aya. “Panggil gue mbak Lidia!”
Dengan cepat Aya menyadari kesalahannya dan menunduk seraya mengucapkan permohonan maaf. Namun tanpa Bu Lidia sadari, Radit mengambil kesempatan itu dan kabur dari jangkauannya.
“RADIT!”
Lagi-lagi dalam hati Aya berpikir, apa mungkin bekerja di Cafe Cinnamon adalah keputusan yang baik.
***
Setidaknya dengan berada di rumah Farel, keletihan yang dipikul tubuhnya berkat bekerja di Cafe dapat diangkat. Mengingat kamarnya yang luas beserta bath tub yang dapat digunakannya untuk merelakskan ototnya, membuat langkahnya ringan.
“Bagaimana kerjaan lo, Ya?”
Aya menghela napas mendengar pertanyaan Farel. Padahal sudah niatannya untuk pulang dalam sunyi agar dirinya dapat langsung mengistirahatkan diri. Namun entah bagaimana caranya Farel menemukannya.
“Lancar, sepertinya,” jawab Aya singkat, ingin cepat menyelesaikan percakapan dan langsung menuju kamarnya.
“Sepertinya?” Mendengarnya membuat Aya teringat pada interogasi Ibunya dahulu saat Aya tidak sengaja pulang terlambat.
“Ya, ada kejadian aneh,” ujarnya dengan cepat. “Gue kerja di tempat yang ada kakak adeknya, mereka suka berantem.”
Farel anehnya terdiam sesaat ketika mendengarnya, termenung bagai teringat sesuatu. Atau seseorang.
“Kakak adek ya,” gumamnya ketika senyum terpampang di wajahnya, entah kenapa membawa sedikit kehangatan di dada Aya.
Melihatnya hanya membuat gadis itu salah tingkah, tidak mengerti situasi. Membuat Aya sadar bahwa dia tidak mengenal Farel sama sekali.
Apakah mungkin lelaki itu memiliki saudara? Apa kabar kedua orang tuanya?
Begitu banyak pertanyaan berputar di kepalanya tapi ironisnya tidak ada satu pun informan yang dapat memberinya jawaban.
“Siapa nama kakak adek itu, Ya?” tanyanya saat Aya berpikir percakapan telah berakhir.
“Radit sama Lidia.”
Dengan itu Farel mengangguk sejenak lantas berjalan kembali ke kamarnya. Sebelum menutup pintu lelaki itu mengucapkan selamat malam dengan suara yang menenangkan, membuat Aya yakin jantungnya sedikit berisik.
Malam itu berjalan dengan panjang, Aya terjaga berkat pemikiran tentang Farel. Akan kenapa lelaki itu memperbolehkannya menetap sementara di rumahnya, atau asal usul keluarga interior itu.
Aya harus mencoba menemukan foto keluarga Farel.
“Pagi Non,” ujar Bi Maryam selagi mengetuk pintu pelan. “Sarapan udah siap.”
Dengan wajah yang masih bersimbah kantuk Aya memaksakan dirinya untuk bangkit. Susah sekali untuk tertidur malam kemarin, dia baru dapat menutup matanya pukul 3.
Setelah sikat gigi dan cuci muka Aya pun melangkah keluar dari kamar birunya menuju ruang makan. Tampak Farel sedang menelepon seseorang dengan raut wajah serius, dia sepertinya belum menyadari keberadaan Aya.
“Udah gak apa-apa lagi, kan?” ucapnya selagi menyusuri rambutnya dengan tangan, layaknya sedang gusar. “Kalo ada masalah lagi telpon secepatnya ya.”
Ditutupnya telepon selagi menghela napas.
“Kenapa?”
Kaget, Farel refleks menatap Aya dengan mata bagaikan menyembunyikan sesuatu. Layaknya telah terjadi peristiwa yang amat mengejutkan hingga menyembunyikan merupakan keputusan yang bijak.
Tapi Farel sadar Aya berhak mengetahuinya.
“Semalam Ayah lo koma.” Bagaikan tersambar petir, Aya hampir kehilangan keseimbangannya. Gadis itu menggenggam erat pinggiran meja dengan tangannya yang tidak di gips, bagai hendak jatuh.
“Gimana keadaannya sekarang?” tanya Aya dengan suara bergetar, takut mendengar jawabannya.
Tapi Farel tersenyum menenangkan, membuat dada Aya lagi-lagi menghangat.
“Udah normal lagi, kok,” jawabnya. “Mumpung hari sabtu, kita jenguk yuk?”
Tentu saja Aya mengangguk walaupun dalam hati ada sedikit perasaan takut yang menyelimutinya.
“Iya, ayo jenguk Ayah.” Dengan ketakutan yang seiring berjalannya waktu bertambah di hati Aya, gadis itu menguatkan diri untuk menemui dalang dari segala kesengsaraannya dulu.
Orang yang mengakibatkan tangannya di gips.
To be continue~
Makasih ya buat yang tetap baca sampai sini!
Jangan lupa ninggalin jejak guys!
Keren ciip
Comment on chapter Hidup yang Membosankan