Terkadang di sela lamunannya Aya berpikir, apa jadinya ketika seorang manusia meninggal. Apakah jiwanya akan pergi beriringan dengan napas terakhirnya, atau sekedar hilang terbawa angin rindang. Apakah sakit, ataukah sebaliknya lega. Apakah siksaan kubur memang ada, dan akankah jiwa yang mati memiliki waktu untuk menyesali kesalahannya selama hidup. Apapun jawabannya, apapun resikonya, Aya akan segera tahu.
"Psst."
Merasa dipanggil, Aya relfeks menoleh demi melihat sahabat semenjak kecilnya, Lily, memberengut kesal padanya. "Ya, aku gak ngerti apa-apa! Tuh guru ngajar atau monolog sih," gumamnya pelan mengingat mereka sedang berada di kelas sejarah dengan guru yang dikenal galak. "Gue udah coba dengerin, tapi meleng sebentar penjelasannya udah lain lagi."
"Pura-pura dengerin aja, terus ngangguk-ngangguk Ly," saran Aya yang langsung mendapat cibiran dari Lily. "Canda elah, biarin aja Bu Siska ngomong sendiri toh gak bakalan ada tes."
"Lo bengong aja ya dari tadi? Bu Siska kan bilang bakal ada kuis."
"Mampus, gue gak dengerin apa-apa!" seru Aya dengan panik, mulai memperhatikan bukunya yang ternyata salah halaman dan berusaha mengikuti penjelasan Bu Siska. Setelah melihat materi kuis dua kali, dahunya langsung berlipat. "Gak ngerti apa-apa, bisa dapet 0 gue!"
Selagi Aya membolak-balikkan buku sejarahnya dengan panik, Bu Siska mengakhiri penjelasannya dan berjalan menuju meja guru untuk mengambil kertas kuis. Ucapan guru sejarah itu berikutnya membuat jantung Aya sempat berhenti. "Sekarang tutup buku kalian dan ambil pensil sama penghapus. Ibu gak mau ada yang nyontek di kuis ini. Semoga sukses."
***
“Gila ya itu guru, pantesan jadi perawan tua!” seru Lily dengan kesal, tangannya lincah merapikan buku-buku pelajaran dan alat tulisnya ke dalam tas ungunya yang bermotif bunga. “Udah gak ada yang masuk ke otak, disusahin lagi soalnya!”
Aya hanya menghembuskan napas perlahan, pasrah dengan nilainya nanti. “Gak lagi deh bengong pas mau kuis, sial banget dah gue,” ujarnya selagi melirik jam dinding kelas yang sudah menunjukkan pukul 3 sore. Waktu sudah semakin larut setelah bel berbunyi lima belas menit lalu, suasana kelas pun sudah sepi.
Dengan cepat kedua teman itu melangkah keluar dari kelas dan segera berjalan menuju gerbang sekolah yang terlihat muram di bawah langit kelam. Berselang lima menit kemudian mobil Avanza putih merapat di depan mereka, terlihat bersinar di antara pepohonan dekat gerbang sekolah.
“Yakin gak mau gue anter? Tumben,” tanya Lily dengan raut wajah penasaran, tidak biasanya Aya menolak diantar pulang dengan mobil temannya itu mengingat rumah mereka tidak terlalu jauh. “Jangan nyesel loh Ya.”
Aya diam sejenak. Semenjak kemaren malam dia sudah merencanakan hal ini matang-matang meskipun banyak suara hatinya yang menentang. Memang egois bila sahabatnya sendiri tidak tahu masalah hatinya, kesannya dia menyembunyikan hal penting dari orang terdekatnya. Tapi Aya tidak ingin Lily khawatir tentang kepercayaan dirinya untuk hidup yang semakin berkurang, tentang semangatnya melanjutkan hari ke depannya sudah meredup sejak hari itu. Hari dimana dunianya menjadi gelap.
Bagaikan memakai topeng, Aya pun tersenyum. “Santuy lah Ly, kali ini aja.”
Mendengar jawaban Aya, meskipun terkesan ganjil bagi Lily, gadis itu lantas mengangguk paham dan segera masuk ke mobilnya. Dia pikir Aya membutuhkan waktu untuk dirinya sendiri entah masalah apapun yang dialaminya. Segera setelah pintu menutup, mobil Avanza itu pergi menuju arah rumah mereka dengan cepat, meninggalkan Aya di belakang.
“Selamat tinggal, Lily.” Hari itu sepulang sekolah, Aya mengambil rute pulang yang berbeda dari biasanya dengan tekad yang bulat. Diambilnya masker yang sudah disiapkannya dari semalam, untuk menutup identitasnya sementara waktu.
Jalan kaki, entah kenapa itu adalah metode yang dipilih Aya. Berjalan pelan menyusuri sisi sekolah, menikmati hembusan angin dan memandang kelamnya langit di atas sana yang sudah menggambarkan isi hatinya sendiri. Kelam, muram. Dengan langkah gontai Aya melintasi jalan raya menuju tempat yang sudah ditandainya semenjak seminggu belakangan. Tempat yang rindang berkat pepohonan lebat yang mengelilinginya, memberinya ketenangan ketika berada di sana.
“Ngapain neng jam segini, kabur dari rumah?” ujar seorang pengendara motor yang iseng, Aya hanya menggeleng sopan menanggapinya. Dengan sigap dia berjalan menjauhi jalan raya menuju lokasi spesifik yang ditujunya. Kali
Debur air memecah batu di bawahnya, pemandangan kali dari atas jembatan sungguh mengesankan. Aya menghela napasnya, membulatkan tekadnya. Dengan cepat dia menggapai pinggiran jembatan, mengangkat tubuhnya yang masih mengenakan seragam tanpa kesulitan.
“Maafin gue, Lily.” Matanya mulai menutup. Kakinya sudah mulai memanjat pinggiran jembatan dengan niatan melompat. “Udah gak ada artinya lagi gue hidup. Sejak hari itu semuanya gelap, Ly, cuma penderitaan yang ada. Gue gak kuat lagi, Ly.”
“AWAS!” Sebelum tubuh Aya jatuh menghantam bebatuan kali lalu hanyut tanpa bentuk, tangan sigap seseorang menariknya mundur. Keduanya jatuh ke sisi jembatan dengan kencang. Aya mengaduh perlahan ketika tumit kakinya menghantam sisi jembatan dan kepalanya terbentur orang yang menariknya. Ternyata seorang lelaki yang tak dikenalnya.
Aya yang sadar aksi bunuh dirinya digagalkan seseorang, lantas mendorong lelaki itu dan berdiri dengan wajah garang dan emosi yang menggebu-gebu.
“LO GILA YA!” Teriakkannya membuat Aya terkejut, gadis itu menatap lelaki itu tanpa berkedip saat tudung dari hoodie yang dikenakannya tergelincir dan menampakkan wajah tampannya. Lelaki bermata cokelat tua dan berhidung mancung. “LO TAU GAK SIH AKIBATNYA KALO LO JATUH KE KALI?”
Aya mengatupkan rahangnya. “Emangnya lo siapa sampe marah-marahin gue?” bentaknya dengan tangan dikepalkan, terlalu marah hingga badannya bergetat hebat. “Lo bukan siapa-siapanya gue, lo bahkan gak kenal gue. Kenapa harus ikut campur urusan orang? Coba lo gaada, coba lu gak dateng, jadi-!”
Lelaki itu memotong ucapannya. “Jadi lo bisa lompat ke kali terus mati?”
“JADI GUE BISA KABUR DARI RUMAH NERAKA ITU!” Aya berteriak dengan parau, mentalnya lelah, hatinya sakit. Tidak ada yang tahu depresi yang diidapnya bahkan sahabatnya sendiri. Tapi ironisnya malah lelaki asing yang baru pertama kali ditemuinya yang mengetahuinya, bahkan mengagalkan usaha bunuh diri yang sudah direncanakannya sejak lama.
Aya menangis dengan kencang sore itu, di bawah rintik hujan yang mulai membungkus kota dengan lembutnya.
***
"Mendingan?"
Aya menerima susu kotak rasa cokelat dari lelaki itu, kemudian mengangguk pelan. Kepalanya tertunduk, malu karena matanya masih merah karena menangis tadi.
"Lo mau gak ngomongin masalah lo? Siapa tau gue bisa bantu," tawarnya dengan sopan, takut menyinggung perasaan Aya yang dapat berakibat kembalinya niatan untuk bunuh diri lagi. Tapi Aya hanya menggeleng pelan, untuk sesaat bersyukur telah menutup wajahnya dengan masker agar identitasnya tidak dikenali lelaki itu. Apa jadinya nanti jika mereka berpapasan di jalan dan tanpa sengaja lelaki itu membeberkan fakta bahwa Aya pernah berniat bunuh diri? Pasti kacau sekali, itu pun kalau Aya masih hidup sampai hari itu.
"Maaf," gumamnya pelan.
Lelaki itu tersenyum, sesaat membuat perasaan Aya tenang. "Boleh gak gue tau nama lo?" Napas Aya tercekat, dipandangnya kini lelaki itu yang sedang mengamati mukanya dengan tampang penasaran, bertanya-tanya siapakah Aya.
Tapi Aya terlalu malu dan takut untuk sekedar memberitahu namanya, jadi gadis itu hanya menggeleng pelan untuk kedua kalinya. "Gue mau balik," ujar Aya cepat selagi menghabiskan susu cokelat pemberian lelaki itu, membuangnya ke tong sampah terdekat ketika selesai. Setelahnya Aya merogoh tasnya dan mengeluarkan dua buah payung, diserahkannya salah satu kepada lelaki itu. "Ini, ucapan makasih buat susu cokelat tadi."
Lelaki itu dengan senang hati menerimanya. "Kok bawa dua?"
Aya mengangkat bahu. "Gue selalu bawa dua. Ini semacam kebiasaan yang diajarin Ibu gue karena dia pingin gue suka nolong orang," ujarnya sebelum akhirnya terdiam sesaat, untuk pertama kalinya tersadar. "Tapi sekarang malah gue yang ditolong."
Sebelum lelaki itu sempat mengucapkan apa pun lagi, Aya dengan cepat mengangguk penuh terima kasih sebelum akhirnya putar balik dan lari sekencang yang dia bisa. Langkahnya ringan bagai beban berat telah keluar dari tubuhnya, lenyap seketika ketika dia bertemu dengan penolongnya tadi. Bahkan hujan tidak dapat membuat hatinya dingin, kini hangat semerbak bagai ada api panas. Aya pergi dari kali itu menuju arah rumahnya, tertegun sesaat karena pada akhirnya tidak berhasil menjalankan rencananya.
Ketika Aya sudah dekat dengan rumahnya, seseorang menubruknya. Lily terjatuh tidak jauh di depannya, mengaduh perlahan karena pantatnya menghantam jalan. Terlihat barang bawannya berserakan ke mana-mana.
"Aduh Aya!" tegurnya dengan kesal, diberesinya bawaannya dengan cepat sambil sesekali mengeluh. "Ibu gue mau buat pie nih! Mati gue kalo apelnya malah penyet."
Mati...
Lily yang menyadari keheningan Aya menatap mata sahabatnya dengan bingung. "Bengong mulu dah, bantuin napa!"
Dengan cepat mereka berdua mengumpulkan apel dan meletakkannya kembali ke kantong plastik yang dibawa Lily. Setelahnya Lily kembali berjalan ke arah rumahnya sebelum terlebih dahulu menawarkan satu atau dua potong pie apel. Tapi Aya menolaknya, keluarga harmonis Lily terkadang membuat dadanya sesak.
"Hati-hati ya Ly! Besok jemput gue ya!" seru Aya dengan senyum yang dipaksakan.
Lily tertawa dari jauh dan mengangguk riang. Gadis itu kemudian masuk ke rumahnya yang luas dan bertaman lebar.
Senyuman Lily mengingatkan kembali Aya tentang lelaki yang ditemuinya di kali, seseorang yang menggagalkan niatannya tanpa tahu apa pun tentang dirinya. Setelah menghela napas berat, Aya melangkah gontai menuju rumahnya. Sesaat setelah membuka pintu rumah, tubuhnya langsung bergetar ketakutan, keringat dingin membasahi dahinya. Aya takut-takut masuk ke rumahnya sendiri, melihat ke sepenjuru ruangan seperti menantikan kehadiran hantu.
Dengan hati dan langkah yang berat, Aya berjalan di antara botol-botol bir yang berserakan dan furnitur rumah yang pecah. Didekatinya pecahan keramik itu, dengan perlahan memungutinya satu per satu di tangan kirinya. Sesekali Aya mengaduh ketika ada beling yang menusuk tangannya.
"Lo udah pulang?" Aya tersentak, bulu kuduknya lantas berdiri ketika dia mendengar suara berat lelaki paruh baya yang dikenalnya. Aya refleks menoleh demi melihat sosoknya yang sedang meminum entah botol bir yang keberapa puluh. "Ngapain aja lo lama banget? SINI!"
To be continue~
Makasih ya yang udah mau baca! Chapter pertama nihh.
Jangan lupa kesan pesannya ya guys
Awal bca lgsg tertarik
Comment on chapter Hidup yang Membosankan:D