Aku tak suka bunga. Tapi sungguh, aku betul-betul seorang wanita tulen. Tak perlu ragukan. Jika kau merasa sangsi, bayangkan saja bagaimana ketika kau berhadapan dengan perempuan Jawa. Lembut dan pasti akan membuatmu terpesona.
Ya, begitulah. Aku tak suka bunga. Dan alasanku memberitahukanmu, hanya karena aku ingin seseorang dapat mencarikan kata-kata pengganti yang tepat untuk suasana hatiku yang sedang "berbunga-bunga".
Seseorang itu, datang dan telah menjadikannya seperti itu. Ya sepagi itu. Seorang lelaki menemuiku, tepatnya saat aku berada di lorong sekolah. Bahkan, kurasa ini mungkin terlalu cepat. Seragam putih abu-abu yang kukenakan baru saja berumur seminggu.
Jangan salahkan perasaan bahagiaku, bilamana lelaki yang mendatangiku itu nyatanya adalah seseorang yang dipuja-puji wanita satu sekolahan. Tentu menyenangkan. Dan jelas, aku membiarkannya mengenaliku dan mendekatiku lebih. Aku menyukainya dan ia menyukaiku. Lantas, bolehlah aku menjadi kekasihnya.
~~~~~
Menjanjikan sesuatu yang manis pada seorang wanita adalah hal yang biasa. Tolong camkan, itu. Namun, jika kau melakukan hal biasa dengan cara yang manis, aku akan menjadi wanita pertama yang akan mengalirkan pujian padamu, bak sungai nan menghilir. Ah, aku terlalu berlebihan.
Tapi demikianlah. Aku mungkin berhak mengatakan, bahwa aku adalah wanita yang beruntung di abad ini, sesiang itu. Lelakiku, lelaki yang telah 32 hari mengenalku itu, telah membuat sebuah kejutan kecil. Ya, tepat di hari ulang tahunku, di hadapan siswa-siswi kelasku, ia memberikan sepotong kue dengan lilin menyala tertonggok di atasnya. Bagai sebutir petasan, sesaat setelah tiupan napasku membuat padam sang lilin, hatiku meledak seketika. Duh, haruskah kupeluk dirinya? Tapi, seorang remaja tak boleh melakukannya di hadapan orang banyak, ya, setidaknya tidak di sekolah ini.
Seusainya jam sekolah, ia mengantarku pulang. Dan sorenya kembali menjemputku ke rumah. Setelahnya, kami sangat leluasa menghabiskan waktu bersama. Tujuan pertama kami tak lain hanyalah sebuah taman. Aku cuma bermaksud menemaninya menggambar. Namun aku enggan berdiam, dan beberapa puisiku pun tanpa tertahan akhirnya menoreh di buku catatan harianku. Sedikit camilan yang kusiapkan, juga telah ikut menemani kami saat itu.
Hingga sore telah musnah, aku pun meminta padanya untuk berjalan-jalan sebentar di pasar malam. Aku mengajaknya untuk mencoba menaiki bianglala. Dan harus kuakui, aku semakin jatuh hati oleh rautnya yang pucat pasi itu atau mungkin juga karena dia sudah rela menahan fobianya demi aku, ya, ia seorang lelaki yang takut ketinggian. Tetapi, setidaknya ciuman pertama kami tercipta di sana, di antara rasa takutnya dan rasa haruku atas cintanya.
Jam pun menunjukkan lebih kurang pukul 9 malam. Dan ia bergegas untuk mengembalikanku ke rumah.
~~~~~~~~
"Hei, Gin. Aku lihat Topa bersama seorang wanita kemarin siang," seloroh Ruan sesaat aku tiba di sekolah, ia teman sekelasku yang sudah menjadi teman dekatku.
"Aku tahu, Uan. Wanita itu adalah mantannya," jawabku tegas, terdengar sempurna.
"Hah? Kenapa, coba, biarin dia pergi sama mantannya?"
"Hehe. Aku bukan tipe wanita yang suka menghalangi kekasihnya untuk berhubungan dengan siapapun. Bahkan termasuk berhubungan dengan bekas pacarnya."
"Gila."
"Ya, begitulah aku. Hehe."
"Kau tidak cemburu?"
"Mungkin aku harus mengatakannya, ya, tentang perasaan cemburu. Tak penting bagaimana rasa itu hadir, selama kau percaya cintamu, ia tak akan pernah mengusikmu. Yang seharusnya khawatir adalah dia. Bagaimana menurutmu, jika seseorang yang ia cinta tak merasakan cemburu terhadapnya?"
"Wah. Kau lebih dewasa dari usiamu, Gin."
"Ya, kupikir hanya semudah itu. Keluarga yang berantakan, telah mengajarkanku segala hal tentang perasaan."