Romi, Surabaya, 2011.
Akhirnya kami sampai di Royal Plaza, aku beruntung masih bisa memarkir motor setelah berputar-putar beberapa kali mencari parkir kosong. Udara kencang membuat rambutku berantakan ketika melepas helm, namun hati ini lebih berantakan lagi memikirkan Rio dan Ririn.
"Yuk kita masuk aja," ajakku, menggandeng Nita. "Langsung ke bioskop. Semoga mereka belum kemana-mana."
Nita terlihat pucat mencoba tersenyum. "Uhm, iya pak."
Namun mata ini melihat Nita belum berganti baju dan masih menggunakan seragam SMA-nya. Yatuhan, aku lupa jika gadis ini daari tadi terus bersamaku dalam kemacetan. Pasti dia lemas dan lapar. "Kamu lapar enggak. Dari tadi kamu belum makan kan?"
"Lapar sih, tapi aku enggak mau makan sebelum menuntaskan hal ini. Yuk pak... buruan!" ajak Nita.
Aku faham apa yang dirasakan Nita, karena diri ini juga merasakan hal yang sama. Walau perutku keroncongan belum makan dari pagi namun sama dengannya aku juga tak napsu makan. Pikiran ini terus membayangkan apa yang terjadi didalam sana, sebuah delusi tentang Ririn tengah berada dalam pelukan anak bau kencur yang entah mengapa sangat kubenci belakangan ini.
Langkah kami terhenti karena dihadapan kami sekarang segerombolan pemuda tengah tertawa terbahak-bahak kepada kami.
"Wih!" teriak Riki. "Enggak sangka ya ternyata pak Romi orangnya gitu. Pak romi pedofil, suka sama yang kecil kecil."
"Apa? kecil? Apa maksutmu dengan kecil?" tanya Nita marah.
TErus terang aku sangat takut dengan ucapan Phedophil. "Ri...Riki? ehm ini semua enggak seperti apa yang kamu_"
"Santai ae bro," menepuk lenganku. "Bolo dewe (teman sendiri) kok ya. Nikmati saja malam mingguan sama monyet, ups, maksutku sama si Nita trepes." Riki kembali melangkah santai, menjauh. "Pantes saja marah ketika aku ganti wajah Nita dengan monyet, ternyata ini toh penyebabnya."
"Rik, tunggu dulu." Nita menarik tangan Riki. "Ini semua enggak seperti yang kamu pikirkan, sebenarnya..." Nita mulai menceritakan duduk permasalahannya dari awal secara mendetail kepada Riki, teman sekelasnya yang selalu jahil padanya.
Setelah mendengarkan penjelasan dari Nita, Riki terbelalak dan mengangguk. "Jadi tuh si Rio senekat itu? enggak sangka dia suka sama guru sendiri. Kamu enggak ngibulkan nyet... eh maksutku Nit?"
"Iya, semua yang diucapkan Nita itu benar apa adanya." Ujarku, menimpali. "Rik, kita berteman kan? Jika iya, bantu kami mencari Rio dan Ririn, mau kan?"
Riki mengangguk. "Ok pak, aku akan mencarinya. Nanti jika ketemu akan aku beri tau bapak." Riki langsung berjalan menjauh, mengkomandoi teman-temannya untuk menyebar kepenjuru Royal Plaza meenmukan si Rio.
Melihat tingkah Rio aku jadi teringat akan anak Baker Street di Novel Sherlock Holmes. Seperti itulah Riki sekarang, yang membantuku dalam menemukan seseorang.
Nita terkagum melihat Riki yang dengan ringan tangan membantunya, "Ternyata Riki itu bisa diandalkan ya pak." memandang diriku sembari tersenyum puas.
Kuelus kepala Nita. "Iya lah, Riki itu aslinya baik. cuma ya gitu terkadang sikapnya aneh dan slengekan, membuatnya sulit diprediksi juga di mengerti," menggandeng Nita. "Yaudah ayo, kita segera ke bioskop. Aku enggak mau berlama-lama membuat Ririn bersama Rio berduaan." Berjalan berdua.
Nita terlihat lemas, tangannya terasa panas. Namun sudah kucoba mengajaknya makan namun dia tak mau. Mata indahnya terus menyisiri setiap penjuru mall mencari sosok pria yang dia cintai.
Diriku juga tak berpangku tangan, aku mengeluarkan android yang batrenya hampir habis dan mencoba menghubungi Ririn. Beberapa kali kuterus berusaha menghubungi Ririn, namun hasilnya sama saja, tak diangkat dan tentunya membuatku semakin risau memikirkan apa yang Rio lakukan kepada Ririn. Aku tau kehebatan anak jaman sekarang yang terlatih oleh internet dan TV untuk melancarkan semua jenis rayuan, gombalan, juga cara meluluhkan hati wanita dengan segala gerakan. Aku menyalahkan internet atas situasi yang kuhadapi saat ini, jika saja tak ada internet maka anak jaman sekarang tak mungkin segula ini mencintai gurunya sendiri.
Lama kami mencari, namun tak kunjung dapat menemukan buronan hati itu. jika seperti ini terus maka tak akan ada hasilnya. Mereka ingin menonton kan? Jika iya kenapa tidak mencari di bioskop saja? "Yasudah yuk kita masuk aja, langsung ke bioskop. Semoga mereka belum kemana – mana," ajaku. Namun mata ini memperhatikan Nita semakin lemas. Kasian dia, jika terus seperti ini dia bisa sakit. "Kamu lapar enggak. Dari tadi kamu belum makan kan?"
"Lapar sih, tapi aku enggak mau makan sebelum menuntaskan hal ini."
"Kamu yakin Nit? Badanmu mulai panas ini, nanti kalau kamu kenapa-napa bagaimana?"
"Bapak jangan khawatirkan saya. Aku akan lebih sakit lagi jika tak kunjung bisa menemukan Rio pak! Ayo kita lanjutkan pencarian kita."
Anak muda jaman sekarang, mereka memang keras kepala. "Baiklah, jika begitu ayo kita langsung ke Bioskop!"
Tiba-tiba terasa getaran hebat dalam saku celanaku. Androidku bergetar dan kulihat Riki menelepon.
"Halo, ada apa Rik?"
Suara Riki terdengar terpotong-potong. "Su_ah _temu_ Rio ada di _court, dia mau nemba_ak Ririn di Food_ourt."
"Halo? Halo! Rik, Riki!" kuremas androidku. sialan, sinyal hilang.
"Siapa pak yang nelefon?"
"Riki," jawabku. "Yasudah kita ke food court saja, sepertinya dia tadi terus berusaha bilang food court dan Rio."
"Rio? Food court? Dia disana?" Nita melepaskan gandenganku dan melesat bagai anak panah menerobos keramaian.
"Nit, Nita! Tunggu dulu!" aish, anak muda jaman sekarang... segera kuberlari menyusul Nita walau kutau tubuh ini tak pernah bisa di ajak melakukan kegiatan fisik.
Kubagai sedang mengejar kelinci yang meloncat sangat kencang sementara stamina ini mulai habis. Dia mulai mengecil dan kukehilangan jejaknya. Namun kutetap berusaha menuju ke food court.
Ku akhirnya berhasil menemukan Nita, dia terdiam matanya fokus pada sebuah sudut tak jauh dari lokasinya berada saat ini, dia melihat pada keramaian dimana beberapa pengunjung menyoraki sepasang kekasih yang nampaknya sang cowok baru saja menembak si cewek.
Badan ini bergetar, jantungku berdetak kencang. Suara kegaduhan di mall tiba-tiba menghilang, keringat mulai keluar dari sekujur tubuhku walau udara di dalam mall sangat dingin oleh AC. Aku takut namun juga penasaran dengan apa yang terjadi di sana. Kugandeng tanag Nita, dengan tangan bergetar mendekati keramaian itu. Aku ingin tau siapa yang menjadi perhatian dari para pengunjung itu.
Mata ini terbelalak melihat seorang pemuda berlutut menghadap seorang gadis.
Nita menarik lengan bajuku. "Pak, jangan-jangan itu..." ucap Nita lirih.
Dapat kurasa bukan hanya diri ini namun Nita juga merinding dan tubuhnya bergetar hebat. Aku sangat ketakutan jika delusiku menjadi kenyataan, sebuah delusi tentang Ririn yang menerima cinta dari Rio. Aku terus berdoa dalam hati, meminta supaya semua bayangan itu hanya menjadi bayangan belaka.
Semakin dekat kumelangkah akhirnya kudapat melihat dengan jelas siapa mereka. Itu, Rio dan Ririn kan?
"Terima, terima, terima!" seru pengunjung di food court yang mengerumuni Ririn dan Rio, memberi semangat pada Rio yang sudah berlutut di depan Ririn, bagai seorang pangeran yang berusaha meminang seorang putri.
Telinga ini mencoba fokus mendengar apa yang mereka bicarakan, juga mata ini tak henti merekam semua apa yang kulihat dalam memory. Namun tetap saja tak bisa kudengar dengan jelas, lantas kaki ini tak berkompromi untuk bergerak maju.
"Gimana, bu?" ucap Rio, memandang Ririn, "ibu terima atau enggak nih permintaanku?" kembali bocah sialan itu bertanya, dengan wajah memelas sedikit malu dan penuh harap.
"Iya, aku terima Rio..," jawab Ririn, tersenyum fokus memandangi kotak merah yang kuterka berisikan perhiasan dari Rio. Ririn memandangi perhiasan itu dengan senyuman manis.
Sontak jawaban Ririn membuat situasi sekitarnya semakin gaduh dan semarak. "Woooo selamat ya dik!" seru beberapa pengunjung, sambil menepuk-nepuk pundak Rio, sampai Rio dibuat maju dan semakin maju hampir menyenggol Ririn.
Rio sendiri bangkit dan memeluk Ririn, wajahnya terlihat sangat bahagia, tangisan kebahagiaan mulai tumpah dari matanya. "Makasih ya Rin, makasih banget!" serunya, semakin erat memeluk Ririn.
Tubuh ini masih membatu dan semua energi lenyap saat mendengar jawaban dari Ririn dan melihat Ririn berpelukan dengan Rio. Genggaman tanganku pada tangan Nita semakin kuat, seperti meremas, memeras tangan mungil itu. Semua berakhir, semua sudah usai.
Perlahan kuberjalan menjauh dari keramaian. Semua salahku, semua ini karena aku terlalu goblok, terlalu idiot untuk mengerti isi hati seorang wanita. Andai aku sedikit peka akan perasaan Ririn selama ini, pasti semua akan berakhir berbeda. Romi mendesah. Aku selalu menyakiti hati Ririn, tanpa aku sadari aku sudah membuatnya sedih, mungkin seperti ini perasaannya sewaktu aku paksa dia untuk jadi model lukisanku dulu.
"Pak, sakit pak," keluh Nita, memandang Romi yang tertunduk dengan pandangan tak kalah kundahnya dengan Romi.
Kutersadar jika genggaman tangan ini telah berubah menjadi remasan, "Oh, maaf ya Nit, bapak enggak sengaja." mata ini terus mengawasi Ririn dari jauh.
Ririn, Surabaya, 2011
Ah, hangatnya tubuh Rio, apa aku salah melakukan hal ini? menerima cintanya dengan berkata iya hanya untuk melindungi pria ini dari rasa malu yang teramat jika kutolak nanti?
"Rin!" Rio berusaha mencium bibirku.
"Ish, apaan sih!" kekatak kepalanya.
"Dih, kan kota sudah resmi pacaran. Jadi enggak papa dong jika ku cium kamu."
Heh, dasar anak muda. Baru jadian sudah minta cium, langsung kelihatan belangnya. "Ish, ntar aja ah." Sengaja kucubit perut datar indahnya. "Aku lapar, makan dulu yuk di sudut sana."
"Iya deh sayang, apapun untukmu."
Kududuk di sudut food court yang sepi. Sekelibat kulihat wajah yang kukenal. Romi? apa dia Romi? ah mana mungkin dia di sini. Pasti hanya halusinasiku saja. menggeleng sembari memegang keningku.
"Kenapa sayang? Kamu sakit, hmm?" Rio memegang keningku.
"Enggak kok. Enggak sakit." Nah baiklah, sekarang sudah sepi. Aku harus bisa, inis emua demi dia dan juga aku. "Rio, aku mau putus denganmu sekarang juga!"
Kulihat mata Rio membesar. "A...apa, putus? Benar yang kau ucapkan itu kata putus? Coba ulangi sekali lagi!"
"Iya, maaf ya. Kita_"
Dia bagai singa mencengkram kedua pundakku, membuat dadaku berdebar dan jelas takut memandang kebengisannya. "Kenapa Rin, kenapa kamu mempermainkanku seperti ini?"
"A...aku enggak mempermainkan kamu Rio, aku_"
"Enggak mempermainkanku bagaimana, kamu sudah dua kali ini menerima cintaku namun selalu kamu putus seperti saat ini, selalu saja mendadak seperti ini," jawab Rio, nampak sangat sedih. "Kamu jahat ya Rin, ternyata kamu ini wanita yang sangat jahat!"
Aduh, dia kok jadi nangis sih. Kuelus pundangknya berusaha menenangkan Rio yang amarahnya mulai meluap-luap, sifat khas anak jaman sekarang. "Aku enggak jahat Rio, ini semua demi kita juga."
"Demi kita? Lalu apa alasanmu memutuskan hubungan kita untuk kedua kalinya seperti ini, hah!?"
Duh, gimana ya. "Rio, kamu tau kan alasannya. Kita ini guru dan murid. Kita engga_"
"Halah alasan! Aku pernah nonton film seorang pemuda nembak gadis yang dua puluh taun lebih tua dan mereka hidup bahagia!"
Sialan, siapa sih sutradaranya! Membuatku susah saja! batinku.
"Rin, aku sangat suka kepadamu. Yakinlah, aku akan membahagiakanmu sampai ajal memisahkan kita," ucap Rio, menggenggam tanganku, "jadi kumohon, kenapa tidak kita jalani saja dulu hubungan ini lebih lama lagi?"
"Aku, aku," jawab Ririn, bingung. Duh apa ya yang harus kujadikan alasan kali ini. apa sebaiknya aku jalani saja semua ini, siapa tau dia_
"Karena, bu Ririn ini adalah tunanganku, Rio," suara yang kukenal mengagetkanku. "Itu alasan kenapa Ririn enggak bisa jadi pacarmu. Dia terlalu baik untuk menolakmu, takut melukai hatimu. Namun gadis bodoh ini tak tau jika tindakannya sekarang lebih menyakitkan lagi untuk hatimu, yakan?" jawab Romi, yang sudah berada di sebelahku. "Rio, dengar baik-baik. Dia ini calon istriku."
Enggak! Enggak mungkin! batinku.
Rio terlihat terbelalak. "Enggak! Enggak mungkin!"
"Mungkin saja, kami akan segera menikah," jawab Romi, dengan senyuman penuh kemenangan dan entah kenapa dia mendapatkan kepuasannya tersendiri melihat wajah Rio yang kecewa, terkejut dan terpukul.
Asal bacot nih si Romi! batinku berusaha mencubit perut Romi, namun mulutnya tak kunjung diam. langsung kutarik lengan Romi, membuat Romi agak menunduk mendekat kepadaku, lalu segera kubisikan sesuatu. "Eh, bego. Kamu ini ngomong apa sih? tunangan? Nikah? Maksutnya apa?"
Romi mengedipkan matanya, sembari membisikan sesuatu. "Sudah, kamu diam saja, atau mungkin kamu lebih suka macarin berondong terong-terongan ini, iya?"
Kumenunduk. "Ya enggak sih." hati ini sekarang bercampur aduk dengan sejuta perasaan, sejuta pertanyaan.
Romi menghadap Rio kembali. "Apa kamu ini pria yang suka merusak hubungan orang? Aku dan bu Ririn akan menikah dua bulan..." Romi terhenti sejenak, sebelum melanjutkan ucapannya lagi, "bukan, bukan dua, tapi satu bulan lagi."
"Sa...satu bulan? Nikah? gundulmu!" teriakku.
"Inginnya sih minggu ini, tapi kan belum resepsi sayang." Romi menarik bangkit membawa diri ini pergi dari hadapan Rio yang membatu dengan segera.
Romi mengenggam tanganku. "Hah, jangan bilang tadi kamu nerima dia hanya sebuah kebohongan?"
Segera kulepasgandengan tangan Romi ketika berbelok di sebuah tikungan. "Kamu ini apa-apaan sih?! Sembarangan saja kalau ngomong, maksut_"
Romi menutup mulutku dengan jari telunjuknya. "Stt, enggak usah komentar dulu. Lihat saja dulu apa yang terjadi di sana." Romi langsung mengajak diri ini mengintip Rio sambil sembunyi dibalik dinding.
Kulihat Nita melihat Rio tertunduk sambil terduduk. Gadis itu terlihat iba, kasihan dan berjalan perlahan mendekati Rio, lalu dia duduk di sebelah Rio, merangkul pria malang itu. Sayub-sayub bisa kudengar ucapannya. "Sudahlah, enggak usah nangis gitu."
Rio nampak tersadar. "Ni...nita?" memandang Nita. "Ka...kamu, kenapa kok kamu bisa di sini sih?"
"Aku khawatir dengan kamu, makannya aku ke sini. Aku sudah menduga jika hasilnya akan jadi seperti ini."
Rio mengusap air matanya. "Nita?"
"Iya?" memandang Rio dengan senyuman yang menyejukan jiwa.
"Makasih ya," ucap Rio langsung memeluk Nita dan meneruskan isak tangisnya dalam pelukan gadis itu.
"Ou so sweet!" seru Riki diiringi cie-cie dari gerombolannya yang berjingkrak-jingkrak tak karuan.
Ku hendak tertawa melihat tingkah anak jaman sekarang, namun Romi membekap mulutku halus. Kulihat Nita melotot ke arah Riki yang sudah pindah tempat duduk ke meja hanya berselang satu meja dari menyanya. "Heh! Berisik!"
Kumelepas tangan Romi di mulutku, kami saling memandang lalu tersenyum, Lalu berjalan beriringan menuju tempat parkir. Aku dibonceng pulang oleh Romi, namun sial bagi kami. Motor Romi kehabisan bensin, untung motor itu berhenti tak jauh dari rumahku. Kami akhirnya memutuskan untuk mendorong motor itu sampai rumahku.
Langkah demi langkah kami lalui, udara tak terlalu dingin malam ini dan jalanan kompleks yang biasa ramai juga sepi. Kudapat melihat bintang berkedip dilangit Surabaya, sesuatu yang jarang bisa kutemui. Mulai terdengar suara aliran air sungai buatan di kompleks perumahanku. Kutersenyum melihat Romi menuntun motor pria itu, nampak dia mulai ngos-ngosan.
"Oi, bantuin dong!" keluh Romi.
"Iya, iya bawel ah!" Segera membantu Romi. "Kamu gila ya, nekat banget berbicara seperti itu di depan Rio tadi," tersenyum membantu Romi menyurung motor.
Romi tersenyum memanang ke depan."Ah, biasa saja. Romi gituloh, selalu punya rencana," jawab Romi, tersenyum.
"Yeeh dasar sombong. Tapi Rom, kalau sampai Rio tau kalau kita hanya berpura-pura swaja, nanti bagaimana?"
"Pura – pura? Siapa yang pura – pura sih, ngigau kamu..."
Mata ini terbelalak memandang Romi dengan pandangan aneh penuh kebingungan. "Ngigau darimana sih? kamu jangan aneh-aneh gitu dong Rom!" kutepuk pundak Romi kencang.
"Duh sakit Rin! nantar kalau motor ini jatuh bagaimana? Mau kamu mengganti motor ini ke Yudi? Ingat ya kita belum resmi nikah, jadi jika kamu merusak motor ini kamu yang harus tanggung sendiri! Kalau sampai lecet kamu harus ganti dengan uangmu sendiri!"
"Ni...nikah?"
"Iya nikah, kan tadi aku sudah bilang di depan berondongmu itu, jika kita akan menikah dalam satu bulan ini kan? Ya memang sih, aku enggak bisa mengadakan pesta seperti artis atau pangeran Arab, tapi aku serius akan menikahimu dalam satu bulan ini."
Langkah ini sontak terhenti, mulutku menganga lebar dan mata ini tak berkedip. Sekujur tubuh dibuat membatu dengan ucapan Romi tentang menikah dalam waktu satu bulan ini.
Romi tersenyum. "Eh oneng, ayo buruan jalan. Nanti aku dimarahi sama calon mertuaku loh, senang kamu kalau aku dimarahin, iya?" melanjutkan langkahnya pelan.
Kutersadar dan menggelengkan kepala. Dengan langkah seribu kukejar Romi. Lalu mendorong kepalanya. "Nikah? nikah asli? kamu gila ya? kita enggak pernah pacaran, bagaimana mau nikah? aku mau pacaran dulu, aku mau meerasakan bagaimana sih rasanya pacaran itu, sebelum nikah!"
Romi menghentikan langkahnya. "Bukannya sejak SMA kita sudah pacaran ya?" jawabnya, sembari melanjutkan langkahnya, "setiap kali kita nge-date, aku belikan es cream dan aku traktir kan makan bakso kan?"
Terus terang aku tak siap akan tingkah pria bodoh ini. aku hanya dapat menunduk, tersipu malu, tak menjawab apapun. Kuteringat masih menyimpan sesuatu di dalam saku, segera kukeluarkan kotak merah kecil pemberian Rio.
Segera Romi men-sadle motornya lalu merebut kotak itu dari tanganku.
"Eh Rom! Apa-apaan sih, balikin enggak!" berusaha mengambil kotak merah kecil dari tangan Romi.
"Ngapain? Benda seperti ini kok diliat terus, kamu mau ya memakai barang murahan seperti ini?" ucapnya, membuka kotak lalu memandang isi kotak merah itu. "Waduh, cincin emas. Nih si terong – terongan kaya juga ya banyak duitnya. Ini emas asli apa enggak ya Rin?"
"Palsu lah, mana ada anak bau kencur gitu bisa beli emas asli, Rom."
Romi mengangguk-anggukan kepala, menutup kembali kotak kecil itu. Dia memandang ke arah sungai buatan kecil lalu membuang kotak itu, melemparnya sekuat tenaga ke sungai.
"Romi!" Teriakku memandang ke arah Romi melempar kotak itu, "Kamu apa-apaan sih, besok mau aku kembalikan ke Rio itu!" memandang kecewa ke arah sungai.
Kulihat si bodoh Romi membungkuk dan mengambil rumput di pinggir jalan, lalu diamenepuk kakiku.
"Apa lagi!" jawabku. "Ma...mau apa kamu?"
"Rin, kuharap kamu mau ya aku pinang." Romi menarik tangan kananku, lalu mengikatkan rumput teki itu ke jari kelingkingku. "Maaf, aku enggak sekaya cowok terongterongan itu. Untuk saat ini aku hanya bisa memberimu i_"
langsung kupegang kedua pipi Romi dan langsung mencium bibir Romi. Tangan ini bergerak halus merangkul leher jenjang Romi menikmati setiap inci mulut Romi.
Pertama Romi gelagapan, namun tak butuh waktu lama untuk priaku meladeni ciuman bibir ini. Romi memeluk hangat serta erat badan mungiku, mempraktekan apa yang dia pelajari dari internet dan dari film-film yang dia tonton, seketika Romi menjadi ahli berciuman.
Dunia bagai milik kami. Kami berciuman cukup lama di bawah sinar rembulan, diiringi deburan air sungai buatan.
"Sssshhhh Rom.... "
"Iya sayang?"
"Lagi..."
Kembali dia melumat bibirku. Namun jalan yang sepi ini mendadak ramai, sesekali mobil dan motor lewat dan mengklakson mereka, namun kami tak peduli.
"Woi, ciuman di pinggir jalan!" bentak seorang pengendara motor, melambatkan motornya. "dasar kids jaman now, udah hilang sopan santunnya!"
Sontak kami tersipu malu, kami tersadar jika dunia bukan milik berdua. Segera kami kembali melanjutkan perjalanan menuju rumahku, berdua nampak dekat, penuh canda tawa dan sesekali Romi mencium pipiku dengan mesra.
Yudi, Surabaya, 2011
Kumelihat layar android sudah menunjukan pukul sembilan malam. Mata ini berpaling memandang jembatan Suramadu. Sengaja diri ini merubah penampilan setampan mungkin, sengaja sendiri sampai malam memandang pemandangan romantis.
Hmmm? Pesan dari Romi?
"Mission success. Maaf motormu aku pinjam dulu sampai besok ya!" isi pesan Romi.
Baguslah, semua sudah bahagia dan semua sesuai dengan rencanaku.
"Permisi mas, kamu Yudi?"
Kumenoleh dan mendapati seorang gadis cantik nan manis berbadan sexy, berdiri tersenyum memandangku. Dia memakai jaket jeans hitam seperti yang kusarankan. "Anggi?"
Gadis itu mengangguk.
****