Kenangan Romi, Surabaya, 2000.
Keluhan Ririn mengingatkan pada janjiku padanya. Dulu pernah janji untuk membelikan es cream, namun hingga saat ini belum juga terealisasi. Sebenarnya sudah pernah kubelikan, namun kala itu bukan sebuah es cream yang dia mau, hanya es cream murah...
Kala itu kuingat hampir seminggu aku kucing-kucingan dengan Ririn. Si tomboy itu terus meminta dibelikan es cream seharga lima ribu rupiah. Bukannya tak ingin menepati janji, namun uang sebanyak itu bukanlah uang yang sedikit. Mungkin baginya hanya uang receh, namun tidak untukku yang hanya seorang anak tunggal dari pasangan pegawai negeri rendahan dan ibu rumah tangga. Bukannya tak mau, namun masih menabung. Uang jajanku seribu rupiah sehari, itupun juga untuk jajan sendiri.
Anehnya, seorang anak sederhana sepertiku, bisa bersahabat dengan dua anak orang kaya. Yudi, walau seperti celeng namun dia anak juragan beras kaya raya. Sementara Ririn, dia putri pejabat di Surabaya yang bisa dibilang tak pernah susah.
Siang itu kuingat, pada jam istirahat diri ini tak bisa tenang. Langkah sepatu itu bergerak cepat mendekat, setiap langkahnya membuat adrenaline naik. Bau parfum Paris mulai tercium, membuat ingin segera mengambil langkah seribu. Namun sial, tangannya berhasil menggenggam tanganku. Tak perlu menoleh ke belakang sudah bisa kuterka tangan halus siapa itu.
"Romi!" teriak Ririn. "mau kabur kemana kau, hah! ayo belikan es cream!"
Setan, sepetinya dia punya indra penciuman serigala. Dia sangat erat menarik tanganku, tenaganya bagai Dinosaurus, entah dari mana tenaga itu berasal. Dia dengan mudah menarikku menuju kantin.
Ririn berteriak. "Kau sudah janji mau membelikanku es cream kan? Ayo tepati janjimu!"
Terlihat setiap mata di koridor memandang kami, namun aku tak bisa membaca apa yang mereka pikirkan.
Kutarik balik tangan Ririn yang halus dan terawat. "Rin, lepasin dong. Ok aku belikan es cream tapi lepasin dulu, malu dilihat teman-teman."
Ririn percaya, begitu dia melepas genggamannya kakiku langsung tancap gas secepat kereta shinkanshen. Namun sial, menabrak gunung fuji yang empuk, membuatku terpantul jatuh.
Yudi menarik alisnya ke atas, memandang sambil makan cireng. "Kenapa lo lari-lari? seperti dikejar setan saja."
Ririn tertawa puas. "Syukurin kau ya! makannya jangan kabur! yuk ke kantin sekarang juga!" menarik tanganku bagai seekor buaya menarik mangsanya, tanpa ampun menyeret ke kantin.
"Rin," ujarku. "Aku enggak punya uang untuk beli es cream."
Ririn berhenti menarik, memandang dengan alis terangkat. "Benar kau enggak punya uang, enggak bohong?"
Kuusap hidungku. "Uhm mahal sih, nabung dulu ya."
"Halah bohong lo," potong Yudi. "Tadi pagi gue lihat lo punya uang sepuluh ribu. Bisa beli es cream untuk Ririn, masih sisa lima ribu lagi kan?"
Kuping ini membesar, hati jadi sepanas lava mendidih, memandang penuh amarah sambil mengepalkan kedua tangan, ingin segera menggembosi perut Yudi, kesal mendengar ucapannya. Kedua alisku mengkerut. "kampret! kenthung laghnat, ember banget jadi cowok! dasar chu pat kai!"
Jitakan tangan Ririn sangat kuat, sekuat hentakan palu pada kepalaku. Api dalam jiwa sontak terkubur abu, padam tanpa bekas. Seketika langsung kupegang kepala yang menjadi korban kebrutalanmya. "Sakit Rin!"
Ririn tak peduli, dia menarik tanganku. "Dasar Romi tukang bohong, enggak usah mempersalahkan Yudi kau ya! ayo lekas belikan kami es cream!"
"Kami? Siapa kami?"
"Yudi dan aku lah, cukup kan uangmu untuk beli dua es cream?"
"Enggak mau! aku janjinya kan cuma membelikan es cream untukmu, bukan si kentung."
Yudi mencubit lenganku. "Oh, gitu lo ya. Ok, sekedar tau lo orangnya jahat. Hari ulang tahun gue, lo enggak usah ikut acara makan-makan!"
Hah..."Yasudahlah," ucapku. "Yuk ke kantin, aku belikan es cream..."
Melihat mereka berdua saling bertepuk tangan bahagia bagai anak kecil hendak pergi berlibur ke Disneyland, entah mengapa aku ikut tersenyum turut bahagia. Padahal sebentar lagi dompetku akan menangis tersedu-sedu karena akan berpisah dengan dua puluh lembar uang bergambar orang hutan.
Kuingat kantin bercat putih banyak noda siang itu bagai neraka, panas dan pengap. Sekejab badan penuh peluh dan lengket. Puluhan murid memadati kantin, membuat kegaduhan seperti pasar malam. Mereka menciptakan aroma tak sedap, bau keringat bercampur aroma makanan, mampu menghilangkan napsu makan. Kumelangkah maju menginjak permen karet, lalu tak sengaja menendang botol minuman kosong, sungguh kantin ini mengingatkan pada toilet umum pasar Wonokromo.
Melihat antrian panjang, membuatku tak bergairah. Kulihat Ririn dan Yudi dengan santai memilih duduk di meja kantin tak jauh dari penjual es cream. Mereka berdua saling bercanda, meninggalkan kumengantri seorang diri namun tetap mengawasi agar tak kabur. Mungkin begini rasanya menjadi narapidana yang diawasi oleh penjaga lapas.
Ditengah kesialan kala itu, kulihat dewi cinta datang, membuat sejuk hati juga mata, membuat lupa akan masalah. Langsung kurapikan baju dan rambut sembari membusungkan dada menyambut kedatangannya. Namun kusedikit kecewa melihat Anggi dan teman-temannya berhenti di sebelah Ririn, bagai hydrophone dalam air, telinga ini mulai mencuri dengar obrolan mereka.
"Cie," ujar Anggi. "Sedang berduaan sama si Teddy Bear ceritanya, hmm?"
"Enggak kok." Ririn tersenyum. "Tuh ada si Romi juga, dia sedang mengantri beli es cream."
"Oh, kalau begitu aku beli es cream juga ah, bye." Anggi melambai sambil menuju ke arahku bersama rombongannya.
Mata ini tak berkedip memandang bunga berbalut seragam abu-abu mendekat untuk ikut mengantri. Waktu seakan melambat ketika dia bergerak, seperti ada puluhan kupu-kupu melayang di sekitarnya.
Jantungku memberi sinyal untuk menegur Anggi, parfumnya hari ini beraroma Lavender lembut mengusik penciuman. Namun kala itu kuterlalu malu untuk menegur, kuputuskaan kembali bersikap cool.
Kala itu kusengaja bersikap dingin, sedingin es cream. Sengaja tidak menyapa Anggi terlebih dahulu, berakting seperti tak melihatnya, berharap gadis itu menyapa terlebih dahulu. Namun, lama menunggu sampai berlumut, Anggi tak kunjung menyapa, membuat keki dan kecewa.
Jangan panggil aku, Mc Gyver Indonesia jika tak punya rencana. Langsung bibir ini menyiulkan lagu Dewa 19 berjudul Angin, berusaha memancingnya seperti memancing burung agar berkicau.
Pertama dia tak bereaksi, namun lambat laun Anggi tersenyum. Tapi gadis itu belum menegurku, bahkan belum memalingkan wajahnya. Geram, ingin rasanya menggigit bibir Anggi, ingin tubuh ini memeluk dia dengan erat dan bawa pulang.
Batin ini mulai berucap. Anggi menolehlah, Anggi cintailah aku, Anggi jadilah miliku.
Tiba-tiba dapat kudengar suara merdunya mulai merasuki nadi-nadi dalam tubuhku. "Angin katakan padanya... bahwa aku cinta dia... angin sampaikan padanya... bahwa aku butuh dia..." Dia tersenyum memandangku yang tengah bersiul. Anggi mencolek lengan ini beberapa kali.
Akhirnya, kubisa merasakan colekan tangan yang suatu hari nanti akan mengelus pipiku dengan halus. "Eh ada si Anggi. Maaf, aku enggak tau jika kamu ada di sini," ujarku, tersenyum semanis gula di depannya.
"Enggak apa-apa kok, aku ya baru sadar jika kamu ada di sini." Anggi malu, membuang wajahnya. Tersenyum memandang ke arah antrian.
Aduhai, wajahnya tambah manis jika dilihat seperti ini. Anggi oh Anggi, bidadari yang jatuh dari khayangan, kenapa kau tak jatuh kepangkuanku? Sehingga kudapat memanjakanmu setiap saat.
Kami berdiam diri, bingung apa yang hendak kami lakukan sekarang. Kulihat teman Anggi mulai menggodanya hingga wajah itu mulai memerah bagai delima.
Aku tak ingin terjebak dalam kebisuan seperti ini, telingaku haus ingin mendengar suara indahnya walau sekejab saja. Sang Mc Gyver, selalu mempunyai rencana. "Ehm, kamu mau beli apa, Nggi?"
Anggi menoleh. "Aku enggak tau nih mau beli apa. Menemani teman-teman beli jajan saja sepertinya."
Salah seorang temannya mencolekku. "Mau minta dibelikan jajan tuh mas, Angginya."
Minta dibelikan jajan? ini kesempatanku untuk dekatinya, ya, apapun akan kulakukan demi bisa dekat dengannya!
Kuberlagak mengeluarkan dompet tebal berisi dua puluh lembar uang lima ratusan monyet hasil menabung demi menepati janji pada Ririn. "Kamu mau beli jajan apa? nanti aku yang bayar deh."
"Eh enggak kok mas, enggak usah repot-repot." Anggi melirik teman-temannya kesal. "Aku bayar jajan sendiri saja mas, jangan didengar omongan anak-nak, mereka sedang setres."
Entah kuharus senang atau sedih mendengar ucapan Anggi yang seperti menolak secara halus itu.
Selangkah demi selangkah antrian kami semakin maju. Hingga akhirnya tiba di depan stall penjual es cream. Anggi langsung mengambil es cream dari pendingin. Begitu pula tanganku langsung hendak mengambil es seharga lima ribu pesanan Ririn. Entah suratan takdir atau tak disengaja tangan kami saling berpegangan.
Sontak bagai tersengat listrik, terasa nikmat sentuhan tangan lembut bagai sutra itu, kunikmati setiap inchi kelembutan telapak tangan Anggi. Kala itu ku ingat Hatiku berbunga, berdebar tak karuan. Perut seperti dikocok dengan kocokan telur, wajah mulai memanas dan kuyakin sekarang pasti sudah semerah lampu merah.
Nampak Anggi kaget menarik tangan memandang keki berusaha tetap tersenyum.
Tanganku kembali ke posisinya, menjauhi tangannya. Jantung semakin berdebar tak beraturan menggedor-gedor dadaku. "Si...silahkan Nggi, ambil buat kamu saja."
"Iya mas." Perlahan dia mengambil es.
Kulihat Wajahnya memerah, bola matanya tak fokus bergerak ke kiri dan kanan sambil tersenyum diiringi godaan dari teman-temannya.
Aku bingung, otak sudah tak bisa sinkron lagi dengan hati, Inikah yang dinamakan cinta? dimana otak hanya bekerja dengan kapasitas lima persen, sementara hati mengambil alih sisanya? entah mengapa bibir bergerak sendiri, tangan bagai di kontrol oleh remote kontrol. "Kalau begitu biar aku yang bayar."
"Uhm enggak usah mas." Menarik lengan bajuku.
Namun kala itu kubersikeras membuat dia pasrah dan akhirnya berhasil membayar es milik Anggi.
"Makasih ya mas," ucap Anggi tersipu.
Aku berlagak sok cool, merapikan rambut memasukan kedua tangan dalam kedua saku celana. "Santai saja, enggak usah sungkan sama aku ya."
Kala itu kuingat wajah cantiknya memerah padam, dia tak berani memandangku berlama-lama.
Yes, dia pasti sudah terlena dan mulai sekarang aku akan selalu ada di pikirannya!
"Uhm kalau begitu aku kembali ke kelas dulu ya mas Romi." Dia melangkah cepat diiringi godaan teman-temannya. Anggi menoleh ke belakang melambai padaku.
Mimpiku menjadi kenyataan, diriku berhasil menancapkan panah asmara ke hatinya, begitu pikirku dulu polos tanpa dosa. Namun semuanya berakhir dengan cepat. Kebahagian tak berlangsung lama, kukaget melihat uang tinggal lima ribu rupiah sementara aku belum membeli es untuk Ririn dan Yudi.
Kulihat es pesanan Ririn sudah habis terjual, menyisahkan es seharga seribuan dan dua ribuan. Tak ada pilihan lain bagiku, segera kuambil tiga es seharga seribuan, berharap dapat memuaskan Ririn dan memakan es bersama tiga sahabatku kala itu.
Kuberdebar takut jika Ririn tak menerima es cream yang kubeli. Aku tau dia memiliki selera tinggi dan dia bisa marah jika menerima es yang tak sesuai dengan harapannya.
Segera kumelangkah secepat mungkin menuju Ririn, tak mau membuat dia menunggu lama. Ririn duduk menanti bersama Yudi, menyambutku dengan senyuman hangat ketika melihatku tiba.
Ririn mengulurkan tangan. "Mana es creamku? Kok lama banget sih kau belinya, ketemu siapa di sana?"
"Hmm?" jawabku. "Oh enggak kok, tadi antriannya panjang jadinya lama." Memberi es untuk Yudi dan Ririn.
"Apa ini?" ujar Ririn, melihat es cream di tangannya, "es cream apa ini, murahan!" membuang es cream ketempat sampah.
Api membakar hati, sakit rasanya melihat pengorbanan tak di hargai. Nafasku menggebu kencang, pikiran sudah dipenuhi hal-hal negatif tentang Ririn. Apa maunya gadis ini?
Kupandang tajam dia, mengepal tanganku hingga terasa sakit telapak tangan karena tercakar kuku. "Eh, kamu ini kenapa sih? itu belinya pakai uang! Aku nabung buat beli es cream itu dan kamu dengan gampang membuang begitu saja, bisa menghargaiku enggak sih kamu, hah!"
"Apaan, es cream murahan seperti itu kamu kasih aku!" teriak Ririn, memukul dadaku, "kamu beli es cream mahal untuk Anggi! aku lihat dan aku dengar percakapanmu dengannya di sana tadi saat mengantri, enggak usah membuat alasan lagi! tujuanmu itu beli es buat aku, bukan buat dia!"
"Apa maksut_" kuhendak meladeninya ribut, namun urung. Mata kulihat mata Ririn mulai berkaca-kaca menahan tangis di tengah amarahnya, membuat api di hatiku sedikit padam dengan guyuran tangisnya. Pikiranku kembali jernih, ikut sedih melihatnya sedih. Kala itu diriku tersadar akan kesalahan yang kuperbuat.
Aku mendengus kencang, kembali berjalan menuju antrian tanpa berucap apapun sambil memakan es cream bagianku. Rela diriku kembali mengantri berpanas-panas demi membeli es cream yang lebih mahal untuk nyonya Ririn yang terhormat. Ku menoleh kearahnya, terlihat dia pergi bersama Yudi menuju koridor.
Setelah membeli es seharga dua ribu rupiah, segera kumenuju koridor untuk memberikan es pada Ririn.
Namun kala itu langkahku terhenti dibalik dinding belokan koridor, penasaran karena terdengar suara tangis Ririn. Kenapa dia menangis? Ada apa ini? bukankah seharusnya dia marah kepadaku?
Telingaku mencuri dengar suara Yudi dengan jelas. "Lo kenapa menangis? apa karena lo enggak mau makan es batangan ini? harusnya kalau lo enggak mau, kasih gue aja. Kasian loh si Romi, dia beli es cream menggunakan uang tabungannya, terus lo buang begitu saja. Jika lo jadi dia gimana perasaan lo?"
Sekarang terdengar suara Ririn Lirih. "Tau dari mana kau jika dia beli es menggunakan uang tabungan?"
"Ya gue tau lah, setiap hari tuh kupret menyisihkan uang jajannya untuk membelikan lo es cream. Tuh si Romi selama ini rela enggak jajan banyak. Lo tau es cream itu harganya enggak murah? lo juga tau uang jajannya Romi itu sedikit sekali? untuk beli cireng saja cuma dapat sedikit."
"Tapi kau lihatkan, dia tadi membayar es milik Anggi yang harganya lima ribu rupiah, sementara dia membelikan es untuk kita yang harganya cuma seribuan. Padahal kita sudah menunggu lama di sana, kenapa dia lebih memilih Anggi yang baru dia kenal dari pada kita?"
"Apa lo lihat dia yang memilih es cream untuk Anggi tadi? Apa lo lihat dia juga makan es cream yang mahal? Enggakkan, tuh si krempeng cuma membayar apa yang Anggi ambil, Romi enggak memilihkan es cream untuk Anggi. Lo lihat sendiri dia juga makan es yang sama seperti yang lo buang dan dengan sadis lo hina dengan kata-kata murahan."
"Tapi Yud, aku_"
"Eh Rin, coba lo jadi dia. Lo marah enggak jika barang yang lo beli dengan susah payah dibuang dan dihina dengan kata murahan. Mungkin bagimu murah, namun bagi Romi enggak, Rin. Lo tau kan, dia itu cuma anak pegawai negeri rendahan?"
"Tapi, kenapa kok dia membayar es creamnya Anggi? tadi Anggi sudah bilang enggak usah dibawayarin."
"Lo kok nangis gitu? lo cemburu? Jangan-jangan lo suka ya sama si Romi?"
Kumasih sangat ingat kala itu langsung menutup mulut sendiri. Mata ini terbelalak dan bola mata bergetar. Suka? Ririn suka padaku? Apa maksutnya? Apa benar? ayo jawab Rin, jangan buat aku penasaran! Namun tanganku terasa basah, aku mengecek kantong plastik ternyata es cream di dalamnya sedikit mencair. Tak mau kecewa, segera kumelangkah menemui Ririn.
Yudi berdiri dan bergegas meninggalkan Ririn sendiri.
"Mau kemana kau?" ucap Ririn.
"Ke toilet sebentar, sakit perut nih. Kenapa, mau ikut?" ujar Yudi tak henti berjalan cepat.
Aku mengulurkan tangan memberi kantong berisikan es pada Ririn, "Nih es cream-mu." tersenyum sambil duduk di sebelahnya, sedikit mendorong Ririn untuk bergeser.
Si tomboy dengan cepat membuka kantong plastik, menangis melihat isi kantong plastik di tangannya saat itu. "Makasih ya Rom, kamu baik sekali," ucap Ririn membuka es cream itu lalu memakannya lahap.
Entah mengapa kala itu kutersenyum penuh melihatnya melahap es cream. Kuingat wajah Ririn sangat bahagia dan sangat menikmati setiap jilatannya pada es pemberianku. Tanpa sadar mataku tak berkedip cukup lama memandangnya.
Kuulurkan kelingking kananku. "Janji ya, kamu jangan buang-buang makanan seperti tadi, aku enggak suka jika makanan dibuang-buang dengan percuma. Belinya pakai duit dan masih banyak manusia di luar sana kelaparan tak bisa membeli makanan dan juga ... jangan menangis lagi ... aku enggak mau melihat gadis menangis."
Jari kelingkingku tereasa hangat, terlihat Ririn melingkarkan jari kelingkingnya pada jari kelingkingku sembari tersenyum. "Iya Rom aku janji, aku enggak akan buang-buang makanan lagi. Maaf ya tadi aku sudah marah-marah tanpa sebab."
"Aku suka kok liat kamu marah-marah." Entah mengapa hati ini kala itu berbunga-bunga, entah mengapa dulu bisa berucap konyol kepadanya.
**
Romi, Surabaya, 2015
Entah mengapa bibirku tersenyum mengingat kejadian kala itu. Segera kubangkit berjalan perlahan menuju stall penjual es di tengah kantin. Sebuah stall yang sudah banyak berubah.
Tak butuh waktu lama tangan ini untuk membeli escream yang Ririn suka. Sekarang, akan kuberikan es cream ini dan membahagiakannya, semoga dia mau memberi nomor telepon Anggi.
***