Tara yakin, ia tidak salah ingat. Apalagi tipe orang sepertinya adalah tipe yang sangat berhati-hati dalam menyimpan barang berharga. Mana mungkin benda mati seperti buku hariannya itu berjalan sendiri untuk pindah tempat kecuali ada yang memindahkan.
Orang itu yang pasti bukan ibu, karena ibu tidak pernah mau masuk ke dalam rumah kecil dan sempit seperti itu. Ditambah lagi beliau harus memanjat anakan tangga terlebih dahulu.
"Ra! Woy elah. Gue dikacangin mulu," Ucap Kinan berdecak kesal. Pasalnya temannya itu sejak tadi sudah melamun seperti sedang berpikir keras. Kerutan-kerutan didahinya tampak jelas kalau Tara sedang memikirkan sesuatu yang membuatnya resah.
Tanpa menyahut, ia menoleh dan seolah bertanya 'apa?'
"Tuh," Sahut Kinan sambil menggerakkan kepalanya kearah sepiring nasi goreng dihadapan Tara, "Pesenan lo udah dateng. Keburu dingin entar enggak enak loh,"
Tara melirik kearah nasi goreng di hadapannya, ia baru sadar kalau pesanannya sudah ada. Tidak tahu sejak kapan. Dia sampai lupa kalau yang memesan makanan ini adalah Dave, sudah pasti pesanannya cepat datang. Berbicara soal mengantri, Kinan dan Dave memang ahlinya.
Bukannya menyentuh nasi gorengnya yang mulai mendingin, Tara malah bergerak mencari keberadaan Dave yang sekarang tengah menunggu makanannya selesai dibuat. Dave memesan gado-gado yang akhir-akhir ini digilainya.
"Kenapa lo?" Tanya Kinan heran.
Tara menolehkan kepalanya kearah Kinan kembali, "Enggak,"
Kinan memicingkan matanya pada Tara dan memainkan jari telunjuknya dihadapan Tara seperti menelisik "Mencurigakan. Bau-baunya lo mulai naksir sama itu bule satu." Cewek itu lalu fokus kembali pada makannya, "Yah bagus, sih. Setidaknya lo masih terbukalah pikirannya untuk ngelirik cowok lain daripada nunggu yang nggak pasti,"
Tara mendengus, "Sok tahu! Gue tuh lagi curiga sama itu anak. Lo sadar nggak, sih, sejak beberapa jam ini dia nggak ada bikin gue marah ataupun kesel kayak biasanya?"
"Ohhhh," Sebuah pikiran jahil muncul di kepala Kinan, saat tepatnya cewek itu salah mengartikan perkataan Tara, "Lo kangen dijahilin? Nanti gue bilangin ke Dave,"
"Bukan," Sahut Tara cepat. "Kayak ada sesuatu yang di sembunyikan aja gitu dari gue? Aneh nggak,sih. Anehnya lagi, hari ini dia tiba-tiba mesenin kita makan. Padahal biasanya boro-boro dia mau, yang ada dia malah nyuruh gue ngantri. Maksa lagi."
Kinan manggut-manggut mengerti, setelah dipikir-pikir benar juga.
"Suka kali sama lo,"
"Ngawur," Sahut Tara cepat.
"Loh. Mana kita tau, kan?"
Suara kursi di sebelah Tara berderit. Mengintupsi perdebatan Tara dan Kinan. Ternyata Dave sudah kembali dari mengantri dan duduk di sebelah Tara dengan senyuman lebarnya yang justru menurut Tara itu aneh.
"Enak gak, Ra?" Tanyanya.
Tara mengernyit, menatap Dave heran.
"Tanya doang, nggak bakal minta kok gue." Ucap Dave ketika Tara tak membalas pertanyaannya.
Tidak hanya sampai disitu, perhatian kecil dari Dave yang membuat Tara merinding sampai beberapa hari kedepan. Ia berpikir keras tentang apa yang sebenarnya terjadi pada Dave. Tidak mungkin, kan, cowok sepertinya tiba-tiba langsung taubat? Tidak mungkin sekali mengingat anak cowok seperti Dave itu butuh waktu sadar yang lama.
Seperti sekarang, tiba-tiba Dave sudah berada di meja makan bersama ibunya untuk makan malam bersama. Meski sudah pernah beberapa kali makan bersama, tetap saja Tara sering kaget karena sapaan Dave yang sudah seperti berada di rumahnya sendiri mengajaknya untuk makan. Perlu diingat, ini rumah Tara.
Masih sama seperti biasanya, Ibu dan Dave yang tampak kompak membicarakan banyak hal. Cocok sekali, karena mereka memang tipikal orang yang suka bicara.
Ibu bergumam panjang, tampak berpikir. "Wah, wah, pasti lagi banyak yang deketin kamu, ya, Dave?" Ucap ibu terlihat penasaran.
Dave terkekeh ditempatnya seraya mengangguk.
Ibu mendesah pelan, bahunya meluruh turun. "Yah. Makin banyak dong saingannya anak tante. Memang, ya, Tara ini kurang gercep," Ucap ibu memprotes seraya mendorong pelan bahu Tara dengan jari telunjuknya, "Ck. Mana ngerti dia deketin anak cowok. Segede gini belum pernah pacaran loh dia. Eh, bahkan tante nggak tahu loh dia ini pernah naksir cowok atau enggak!?" Ibu melotot dramastis ke arah Tara akibat ucapannya sendiri.
"Bu, itu nggak penting dibahas,"
"Nahkan, nahkan. Ibu jadi curiga," Ibu memicingkan mata kearah Tara seperti menelisik.
"Dia pernah suka sama cowok kok, Tante." Sahut Dave sumringah. Baik Tara maupun Ibu menatap kearahnya dengan raut wajah yang berbeda. Tara dengan tatapan 'awas aja kalau lo berani ngomong', sedangkan Ibu dengan tatapan antusias menunggu kelanjutan ucapan Dave.
"Masa?!! Sama siapa?"
Ia terkekeh, lalu menjawab dengan percaya diri, "Dave,"
Meski tampak lega, Tara tetap mendengus mendengar ucapan Dave yang ngawur. Berbeda dengan ibunya yang sudah semakin antusias. Astaga ibu tidak sadar bahwa sedang di bohongi!
"Wah, bagus itu, Ra!" Ibu menyikut siku kanan Tara yang membuat tangannya jadi melorot turun dari meja, "Udah jadian?" Kini ibu gantian menatap kearah Dave.
"Engg-"
"Shhhh... Ibu nggak bicara sama Tara, ya." Ibu memukul pelan punggung tangan Dave, "Kalau belum, dipercepat jadiannya sama Tara, yah?"
Dave tersenyum geli, namun tetap mengangguk.
Tara sudah tidak nafsu makan lagi.
***
Tara masih sama gelisahnya seperti tadi. Bahkan sejak dimalam itu. Penyebabnya adalah sama, yaitu buku hariannya yang sampai sekarang masih belum diketahui keberadaannya. Kenapa ia bisa seceroboh itu membiarkan buku pentingnya itu hilang?
Sebenarnya ini bukan tentang bukunya, ia bisa membelinya lagi nanti. Tetapi ini tentang isi bukunya itu. Tara akan malu setengah mati jika orang lain membacanya. Mungkin ia bisa sampai menangis karena terlalu malunya.
"Rumah pohon lo bagus juga, ya, ternyata dalemnya." Ucap Dave tiba-tiba yang membuat Tara langsung menolehkan kepalanya kearah Dave yang sedang menyetir. "Pertama kalinya gue ngeliat dalemnya bagus. Pantes lo betah disana,"
"Lo masuk ke dalam?"
Tara baru ingat bahwa Dave memang belum pernah memasukki rumah pohonnya, mengingat sebelumnya saat mereka pertama kali bertemu, cowok itu hanya berakhir sampai di tangga rumah pohonnya saja.
"Iya. Emang lo nggak takut ketemu hantu malem-malem kelayapan?"
"Kapan?"
Bukannya menjawab, Tara bertanya balik. Ia semakin penasaran dan bertambah curiga.
"Hm... Dua atau tiga hari yang lalu, mungkin?" Dave mengedikkan bahunya, "Entah."
"Lo yang ngambil buku di lemari rahasia gue, ya?" Seraya merapalkan doa ia berharap Dave mengatakan tidak, meski ia sudah terlanjur curiga pada cowok itu. Ditatapnya Dave lekat-lekat menunggu jawab.
"Kalau iya kenapa?"
"Nahkan!" Tara memutar tubuhnya penuh kearah Dave dengan kesal. Seharusnya sejak beberapa hari yang lalu, Tara sudah menciduk tetangganya ini. "Mana sini balikin!"
"Enggak,"
"Itu barang privacy gue. Lo nggak paham privacy apa?!"
"Iye, paham. Tapi gue nemu itu gimana dong?" Ucapnya dengan khas wajah tengilnya yang membuat Tara hanya bisa menghembuskan napas dengan sedikit keras mencoba bersabar.
Sadar kalau cowok disebelahnya ini tidak akan menyerah begitu saja, bahkan jika dirinya merengek sekalipun, Tara berpikir keras harus bersikap seperti apa agar Dave cukup luluh dengan mengembalikan buku hariannya itu.
"Gue harus apa supaya buku gue itu lo balikin?"
Dave yang semula fokus dengan kemudinya, langsung menoleh tertarik. "Jadi ceritanya lo pasrah?"
"Gue tahu lo nggak cukup waras untuk langsung balikin buku gue gitu aja. Lo mau apa? Uang tebusan? Di bawah 50 ribu masih gue jabanin,"
Dave terkekeh, tentu perkataan Tara itu lucu. Lagipula uang dibawah 50 ribu itu masih terlalu kecil untuknya, bahkan uang sakunya saja sudah melebihi itu.
Setelah terdiam cukup lama untuk berpikir, akhirnya satu ide muncul dikepalanya.
"Jadi pacar gue."