Hari ini aku kembali menemukan sekotak cokelat di lokerku. Ini adalah kali ketiga aku menerima cokelat itu, tanpa tahu siapa orang yang meletakkannya di sana. Aku mengambil kotak berwarna hitam dengan tutup bagian atas transparan itu dan mengamatinya sekilas, berharap menemukan petunjuk mengenai si pemberi cokelat. Namun aku hanya menemukan tulisan tangan ‘Fay’ dengan spidol merah di salah satu sisi kotak, yang membuktikan cokelat itu memang ditujukan untukku. Setelah tidak menemukan petunjuk lain seperti dua hari sebelumnya, aku memasukkan sekotak cokelat itu ke dalam tas lalu melangkah meninggalkan koridor loker.
Aku melangkah santai meninggalkan sekolah. Cuaca yang berawan dan sedikit berangin membuatku menikmati perjalanan pulang menuju rumah. Ditengah perjalanan tiba-tiba aku merasakan sesuatu meluncur cepat di atas kepalaku lalu jatuh ke tanah. Ternyata sebuah pesawat mainan dari kertas. Aku menghentikan langkahku untuk memungut benda itu dan memandang sekeliling mencari tahu siapa pemilik pesawat kertas itu.
“Kak, itu punyaku,” Terdengar suara anak laki-laki dari balik punggungku. Aku berbalik dan menemukan anak berusia sekitar 6 tahun memandangku dengan tatapan memohon agar pesawat kertasnya segera dikembalikan.
“Ini,” ucapku sambil memberikan pesawat kertas itu, “Lain kali kalau main jangan dekat jalan ya, dek. Nanti kalau pesawatnya terbang ke tengah jalan ‘kan bahaya, jangan sampai kamu nekat mengambilnya,” nasehatku sebelum anak itu pergi.
Kulihat anak itu mengangguk, “Iya, kak,” balasnya dengan wajah polos. Setelah mengatakan itu, dia berlari pergi sambil memainkan pesawat kertas d itangannya.
Aku menarik napas panjang sambil kembali melanjutkan langkahku. Anak kecil tadi membuatku teringat akan sesuatu. Teringat akan kenangan yang selalu muncul dibenakku meskipun aku seringkali berusaha melupakannya. Kenangan yang membuatku sedih dan merasa bersalah ketika mengingat semuanya. Meskipun terjadi 10 tahun lalu, kenangan itu masih membekas dengan jelas di memoriku.
Saat itu aku berusia 7 tahun. Aku memiliki teman laki-laki yang usianya sama denganku, namanya Juan. Kami berdua berteman akrab sejak usia 4 tahun karena orangtua kami merupakan rekan kerja di kantor, selain itu rumah kami juga bersebelahan. Namun karena kesalahanku, kami harus berpisah, lalu selang beberapa tahun kemudian aku kehilangan sosok teman sepertinya untuk selamanya.
Semua itu terjadi saat aku dan Juan berada di taman bermain. Mamaku dan mama Juan pergi ke supermarket tidak jauh dari taman, sehingga aku dan Juan menunggu sambil bermain di taman itu. Saat itu aku meminjam pesawat kertas miliknya dan mencoba menerbangkannya sejauh mungkin. Tanpa disangka ternyata aku mampu menerbangkannya hingga ke jalan raya di depan taman bermain. Aku berniat mengambilnya karena itu milik Juan, namun aku mengurungkan niatku karena takut dimarahi mama akibat main-main di jalan raya. Pada akhirnya Juan-lah yang nekat mengambilnya, katanya semua akan baik-baik saja selama mamanya tidak mengetahuinya. Yang kutahu saat itu Juan memang anak yang berani. Aku hanya mengiyakan dan menunggu Juan di tepi jalan.
Suasana jalan memang sepi saat Juan menyeberangi jalan. Namun saat Juan baru saja hendak berbalik setelah berhasil mengambil pesawat kertasnya, tiba-tiba sebuah truk melaju kencang dari belokan yang menuju jalan raya. Hanya dengan kedipan mata, truk itu menabrak tubuh Juan dan membuatnya terpental sejauh beberapa meter. Suara berdecit terdengar nyaring saat truk itu mencoba berhenti mendadak. Dari kejauhan aku dapat melihat Juan terbaring lemas di atas aspal dengan darah di sekujur tubuhnya. Melihat semua hal itu terjadi tepat di depan mata, aku hanya bisa menjerit lalu menangis sekencang-kencangnya.
Sejak hari itu, Juan dirawat di rumah sakit. Kata dokter kaki kiri Juan patah dan tidak memungkinkannya untuk berjalan dengan normal, selain itu ada masalah serius pada kepalanya akibat terbentur aspal terlalu keras. Hingga saat ini dokter belum bisa memprediksikan kapan Juan akan siuman dari masa kritisnya. Setelah beberapa bulan dirawat di rumah sakit, keluarga Juan membawanya ke luar negeri untuk pengobatan yang lebih baik demi kesembuhannya. Sejak itulah aku dan Juan berpisah selama 2 tahun.
Suatu hari keluargaku mendengar kabar dari Amerika bahwa Juan divonis hanya mampu bertahan hidup tak lebih dari dua minggu karena kondisinya begitu kritis. Aku sangat sedih dan semakin merasa bersalah saat mendengarnya. Aku memang masih kecil saat itu, namun aku sudah mengerti akan kesalahanku. Setelah kabar itu, aku tidak pernah mendapat kabar apapun lagi mengenai Juan hingga kini. Keluarga Juan pun memutuskan untuk menetap di Amerika. Dari itu semua aku tahu, Juan pasti telah pergi meninggalkan dunia ini untuk selamanya.
Aku rindu Juan, aku ingin bertemu dengannya.
Perlahan aku mengusap kedua mataku yang tak terasa kini sudah tergenang air mata, berusaha menghapus kristal bening itu sebelum turun meleleh di pipiku. Aku tidak boleh menangis. Meskipun aku menangis pun, hal itu sama sekali tidak akan bisa mengubah takdir yang sudah terjadi.
.
Hari ini aku bertekad mencari tahu siapa pemberi cokelat di lokerku, setelah kemarin adalah yang ke tujuh kalinya aku kembali menemukan sekotak cokelat disana. Selain karena penasaran, aku juga ingin berterima kasih padanya karena sudah memberikanku banyak cokelat selama ini. Sebenarnya sejak hari-hari kemarin aku sudah berniat ingin mencari tahunya, namun karena banyak tugas dan pulang sekolah hampir selalu petang aku pun mengurungkannya.
Aku berjalan tergesa menuju koridor loker setelah mendengar bel pulang berbunyi. Dengan hati-hati aku melangkah menuju barisan dimana lokerku berada, yang tertutup dibalik barisan loker lain. Aku spontan menghentikan langkahku, kaget saat menemukan seorang laki-laki tengah membuka loker bernomor 99—loker milikku—lalu memasukkan sesuatu berbentuk kotak ke dalamnya. Tidak salah lagi, dia pasti si pemberi cokelat.
“Hey,” sapaku ketika melangkah mendekatinya. Kulihat ekspresi kagetnya saat melihatku, seperti maling yang baru saja ketahuan mencuri. Aku memang tidak mengenalnya, namun sekilas saja aku bisa memastikan bahwa dia merupakan adik kelas.
"Kakak... pemilik loker ini?” tanyanya sedikit tergagap, namun kini dia sudah berani mengarahkan pandangannya padaku.
Aku mengangguk lalu tertawa kecil, “Kamu yang selama ini naruh cokelat disana, nggak tau siapa pemilik lokernya?” Aku sungguh bingung dengan apa yang diucapkan adik kelas itu.
“Maaf, Kak, sudah lancang. Cokelat ini bukan dari aku, tapi ada cowok dari luar sekolah yang nitip ke aku dan katanya taruh aja di loker 99, aku baru tau kalau Kak Fay pemilik loker ini. Meskipun aku nggak kenal sama dia tapi kurasa dia bukan orang jahat, jadi aku cuma melaksanakan amanahnya.”
Penjelasan tadi membuatku bungkam, bingung, dan semakin penasaran. Aku hanya diam sambil berulang kali mencerna ucapan adik kelas itu, kemudian memikirkan kemungkinan siapa orang yang dia dimaksud. Sekarang mungkin adik kelas itu bisa melihat dengan jelas kerutan di dahiku.
“Kalau kakak mau tahu siapa orangnya, kakak bisa nyusul. Dia tadi pakai jaket warna biru dan jalan kaki, sepertinya belum terlalu jauh dari sekolah ini.”
Pikiranku yang tadinya sedang menebak-nebak, secara spontan memerintahkanku untuk segera pergi menyusul si pemberi cokelat seperti saran adik kelas tadi. Sebelum pergi aku membuka lokerku yang hampir tertutup dan mengambil sekotak cokelat dari sana, lalu berlari meninggalkan koridor loker tanpa ingat akan si adik kelas yang masih berdiri di depan lokerku. Yang ada dipikiranku saat ini adalah semoga saja si pemberi cokelat belum terlalu jauh dari sekolah.
Aku memperlambat langkah sambil mengatur napas yang terengah-engah setelah melihat seorang laki-laki dengan jaket biru berjalan beberapa meter di depanku. Karena topi jaket yang menutupi seluruh kepalanya, membuatku tidak bisa menebak siapa orang itu dari style rambutnya. Selama beberapa menit aku tetap melangkah sejauh beberapa meter dibelakangnya. Setelah napasku tenang sepenuhnya, aku memberanikan diri mendekat lalu menyentuh pundak laki-laki berjaket biru itu. Sentuhanku pada pundak kirinya spontan membuatnya menghentikan langkah dan berbalik menghadapku.
“Kamu si pemberi cokelat ini ‘kan?” tanyaku tanpa basa-basi sambil menunjukkan sekotak cokelat di tangan kananku.
Laki-laki itu hanya diam dengan tampang datarnya, sama sekali tidak merespon ucapanku. Aku tetap memandangnya sambil mengamati wajahnya, berharap dengan begitu aku bisa menebak isi pikirannya dari ekspresi wajah yang dia tampilkan. Beberapa detik kemudian aku tersentak saat sadar bahwa wajah laki-laki dihadapanku ini tidak begitu asing. Wajahnya mirip seperti wajah seseorang yang kukenal. Ini pertama kalinya aku kembali melihat wajahnya setelah 10 tahun berlalu.
Juan. Ya, wajahnya mirip dengan wajah Juan. Mirip sekali.
“Kamu... kamu Juan?” tanyaku perlahan. Tanganku yang tadi mengacungkan sekotak cokelat didepan wajahnya, melemas turun di sisi tubuh.
Saat ini bukan saatnya bagiku untuk memikirkan siapa pemberi sekotak cokelat itu, aku hanya ingin memastikan siapa sebenarnya laki-laki dihadapanku ini. Aku tahu aku hanya berangan-angan bahwa dia adalah Juan. Aku tahu bahwa itu tidak mungkin. Juan, dia sudah tidak ada lagi di dunia ini. Jika dia memang Juan, mungkin saat ini yang berada dihadapanku adalah hantu. Namun entah kenapa aku tetap berharap laki-laki itu akan menjawab ‘iya’ untuk pertanyaanku tadi.
Kulihat laki-laki itu perlahan tersenyum, “Do you remember me?” Suara beratnya terdengar begitu jelas di telingaku. Laki-laki itu menyingkap topi jaketnya sehingga aku dapat melihat keseluruhan wajah dan juga rambutnya yang tampak berwarna hitam kecokelatan.
“Kamu benar-benar Juan?” desakku butuh jawaban. Tanpa menghiraukan pertanyaannya tadi, aku bertanya sekali lagi setelah melihat senyum di wajahnya. Itu benar-benar seperti senyum Juan saat masih kecil dulu! Jantungku berdegup lebih kencang dari sebelumnya hanya untuk menunggu jawabannya. Beberapa detik kemudian aku melihatnya mengangguk mengiyakan pertanyaanku tadi.
“Yes, I am Juan, your friend. I comeback here to meet you,” Laki-laki itu berhenti sebentar, memberi waktu bagiku untuk mencerna ucapannya, “By the way, cokelat itu memang dariku,” lanjutnya.
Seketika itu juga aku merasakan kakiku mendadak lemas. Aku tidak bisa menerima kenyataan ini begitu cepat. Bagaikan terbangun dari mimpi panjang, aku sadar bahwa selama ini aku tidak kehilangan Juan, tidak sama sekali. Kami hanya berpisah untuk sementara.
“How are you, Fay?” Juan melambaikan tangannya ke arahku sambil menampakkan senyum lebarnya. Aku tidak tahan melihatnya begitu, aku ingin menangis sekencang-kencangnya karena begitu bahagia bisa bertemu dengannya kembali setelah sekian lama. Di lain sisi, aku bisa memaklumi gaya bicara yang digunakannya saat ini. Sepuluh tahun menetap di Amerika tentu saja membuat Juan terbiasa dengan bahasa Inggris.
“Aku baik-baik saja. Bagaimana denganmu?”
“Seperti yang kamu lihat, aku juga baik-baik saja.”
“Syukurlah,” Perasaan lega seketika muncul dalam diriku, “Tapi bagaimana bisa? Kurasa dokter yang dulu merawatmu salah vonis, benar ‘kan?” ucapku hati-hati setelah memandangi Juan dari ujung rambut sampai ujung kaki. Laki-laki itu tidak kurang suatu apapun, dia benar-benar sudah sehat.
“I don’t know. Waktu itu sebenarnya aku sudah putus asa, tapi ternyata keberuntungan berpihak padaku. Aku bersyukur masih diberi kesempatan menjalani hidup ini. Aku senang masih bisa bertemu denganmu, Fay...”
Kurasakan air mata mulai menggenang di pelupuk mataku mendengar Juan mengatakan itu. Juan memang laki-laki hebat, dia kuat menghadapi semua cobaan yang datang padanya. Kilasan peristiwa kecelakaan itu kembali muncul di memoriku dan membuat perasaan bersalahku terhadapnya kembali timbul.
“Maaf,” ucapku dengan bibir bergetar.
“Maaf untuk apa?” Terlihat Juan kebingungan dengan ucapanku yang tiba-tiba.
“Seandainya waktu itu aku nggak menerbangkan pesawat kertasmu, kamu nggak akan mengalami masa sulit seperti ini. Itu semua karena salahku, aku minta maaf,” ungkapku sambil menahan isakan tangis. Aku menundukkan wajah saat air mata mulai mengalir di pipiku.
“Sudahlah, Fay, itu bukan salahmu jadi nggak perlu minta maaf. Itu masa lalu, kamu harus mengubur kenangan itu dalam-dalam di memorimu. Lagipula sekarang aku baik-baik saja, nggak ada yang perlu dikhawatirkan,” Juan merangkulku lalu perlahan kami mulai melangkah bersama. Kurasakan telapak tangannya yang tadi merangkulku kini menepuk-nepuk pelan punggungku, berusaha menenangkan tangisku.
“Terima kasih masih mengingatku sebagai temanmu. Terima kasih atas cokelat yang selama ini kamu beri untukku, cokelatnya enak dan aku begitu menyukainya. Dan terima kasih karena sudah kembali...”
Aku menghapus air mataku dan menggantikannya dengan senyum bahagia. Sekarang aku tahu bahwa selama ini Tuhan telah merencanakan sesuatu yang indah dibalik semua hal buruk yang terjadi. Aku juga mengerti bahwa perpisahan bukanlah suatu alasan bagi kita untuk tidak pernah bertemu lagi selamanya. Perpisahan bukan akhir dari segalanya.
Menurutku hidup ini seperti cokelat, meskipun terkadang terdapat rasa pahit saat kita memakannya namun dibalik itu rasa manis akan lebih dominan saat kita begitu menikmatinya. Kita pasti pernah merasakan pahitnya hidup, tapi percayalah bahwa hidup akan terasa manis dan menyenangkan saat kita mampu menghadapi segala cobaan, dengan begitu lambat laun kita akan menerima dan menikmati takdir yang direncanakan Tuhan kepada kita.
Kereeeen