Dalam lingkaran pertemanan pasti ada orang gila yang kerap menebar tawa, membuatmu lupa soal duka yang sempat tersembunyi dibalik seulas senyum palsu..
******
"Selamat pagi. Selamat belanja, Pak,"
Aku langsung celingak-celinguk mendengar sapaan sang pegawai minimarket.
Pagi? Apa dia enggak tahu matahari di atas sana sangat menyengat hingga kulitku rasanya hampir terbakar.
Siapa pula bapak yang ia maksud? Aku? Keenan yang kece ini ? Berarti si mas minimarket itu besok wajib pakai kacamata.
Setelah akhirnyamemamerkan sebuah senyum canggung pada pegawai itu, aku lantas berjalan menghampiri chiller yang berada di sudut ruangan, mengambil pesanan Faishal serta minuman untukku sendiri.
Aku merogoh saku, memastikan kalau sisa uangku masih cukup untuk membayar. Enggak lucu juga kalau tiba-tiba aku mendadak viral hanya karena tak mampu membayar dua botol minuman dingin.
Astaga, Nan! Beli minuman aja ribetnya minta ampun.
Aku lalu bergegas menuju meja kasir, meletakkan minuman tadi sembari mengamati setiap sudut area kasir tersebut.
"Cari apa, Pak?"
Aku sontak gerapan sendiri, lagipula mas-mas itu harus banget manggil customer dengan sebutan bapak? Nggak masalah sih kalau konsumennya ramah, tapi kalau tersinggung malah bisa mampus!
Tapi rasa kesalku langsung lenyap kala mata elangku tak sengaja melihat selebaran kertas usang yang menempel di sebelah monitor kasir. Meneliti bait demi bait yang tertera pada selebaran tersebut. Senyumku sontak merekah usai membaca keseluruhan isi kertas itu dan memancing rasa curiga petugas kasir karena tatapanku tak kunjung berpaling dari layar monitor.
"Info loker yang di sana masih berlaku, mas?" tanyaku tanpa basa-basi.
"Masih, pak,"
"Serius, nih? Tapi kok kumel gitu ya, mas, kertasnya?"
Petugas itu langsung tersenyum kikuk mendengar celotehku. Tak peduli dengan penjelasannya, aku lantas meminjam bolpoint dan meminta secarik kertas pada petugas kasir tersebut.
"Bapak tertarik?"
"Apa? Bentar, mas, bentar. Ini udah mau kelar," aku mengabaikan pertanyaan petugas kasir dan masih sibuk melanjutkan aksi corat-coretku.
"Kalau tertarik, nanti bisa titip di toko ini lamarannya, pak"
Aku sontak menghentikan pekerjaanku, mendongak menatap petugas itu dengan rasa sumingrah yang luar biasa.
"Wooaah, beneran, mas?"
Petugas itu mengangguk seraya tersenyum lagi, membuatku geli sendiri melihat senyuman yang entah kesekian kalinya itu. Dih, cowok kok murah senyum.
"Belanjanya, ini, aja, pak ?"
Pertanyaan penuh penekanan itu seolah menuntunku untuk segera menoleh. Dan benar saja, aku langsung mendapati emak-emak di belakangku sudah melotot tajam dengan menenteng keranjang belanja yang isinya hampir tumpah.
"Iya mas. Oh ya, saya nggak punya member, nggak beli pulsa, nggak usah pake plastik, kembaliannya boleh donasi,"
Aku terkikik sendiri ketika sadar telah menyerobot semua dialog yang hampir petugas itu lontarkan, untungnya sang kasir memilih acuh dan langsung menghitung total belanjaanku.
"Ada lagi, pak ?" tanyanya memastikan.
Tanpa sadar aku menggeleng sebagai jawaban, namun sesaaat aku teringat sesuatu yang sejak tadi mengganjal dalam pikiranku.
"Kasirnya yang cakep mana,ya ,mas ?"
"Saya memangnya kurang cakep, pak?"
Astaga, si mas kasir rupanya bisa bercanda, bung!
"Bukan masnya, tapi yang cewek."
Si petugas kasir itu mengernyit heran, membuatku ikut memicingkan mata melihat ekspresinya yang berubah semakin aneh. Mulutku langsung menganga saat kasir itu melontarkan pernyataan yang membuatku ingin membunuh Faishal saat ini juga.
"Tapi pegawai kami semuanya cowok, pak, nggak ada pegawai cewek,"
Dasar Faisial berengsek!
*****
Aku berjalan tergesa kembali menuju kedai bu Hadi. Emosi yang memuncak sampai ubun-ubun membuat kakiku terus melangkah lebar tanpa bisa di kontrol lagi, bahkan saat menabrak tempat sampah di depan minimarket, aku tetap santai berlalu hingga berujung mendapat umpatan kasar dari petugas minimarket tadi.
Bodo amat!
Aku menghembus nafas kasar, bisa-bisanya aku sampai tertipu rayuan mulut rombeng si Faisial itu. Awas saja, bakal kuberi perhitungan si setan kurang ajar itu!
"Minumannya, TUAN!" aku menggebrakkan mijon pesanan Faishal dengan kasar, membuat sang paduka raja itu dan beberapa pengunjung lain sontak menoleh diiringi dengan beragam ekspresi.
"Lo kenapa, dah ? Sopan dikit kek, Nan, sama temen,"
Aku langsung mendengus kesal saat mendapati wajah Faishal yang terlihat lempeng tanpa dosa.
"Temen gundulmu!"
"Weiss, santai, man! Dateng-dateng udah ngamuk aja. Kalo lo ada masalah, sini dong curhat sama Aa, "
Tuhan, Faishal itu hatinya terbuat dari apa coba? Cuman dibikin jengkel sekali tapi balas dendamnya sampai mampus!
"Wes disabari kok ra ngerti, ancen radue isin bocah kie!" (udah disabarin kok nggak paham, emang nggak punya malu ini anak!)
"Ampun, Nan, ampun! Ngeri gue kalo lo udah ngeluarin logat jawa lo itu," Faishal mengangkat tinggi kedua tangannya, memasang ekpresi memelas yang dibuat sedemikian rupa.
Aku lalu menarik nafas dalam, melampiaskan emosi pada Faishal rasanya sia-sia belaka. Tak ingin berlama-lama, aku kemudian menunjukan secarik kertas yang sejak tadi berada dalam genggamanku.
"Nih, buruan baca!"
"Apaan?"
"Tinggal baca doang susah amat, Nyet!"
Oke, sejujurnya aku masih kesal dengan Faishal, namun saat melihat binar matanya yang mendadak berubah kegirangan, rasa kesalku langsung menguap entah kemana.
"Gimana, tertarik nggak, lo?"
Faishal mengangguk penuh gairah, jika saja aku tak sigap menghindar, bisa dipastikan sekarang aku sudah berada dibawah naungan ketiaknya.
"The best emang, lo! Terus ini kapan
interviewnya?"
"Gue nggak tahu, kata si mas minimarket tadi mendingan nitip dulu lamarannya di toko dia. Interviewnya paling selisih bentar jaraknya sama waktu pas kirim lamarannya," jelasku kemudian.
"Sip, Nan! Lo itu emang sohib gue yang paling bisa di andelin,
Faishal manggut-manggut kesenangan, lalu sesaat kemudian dengan santainya lagi-lagi ia melontarkan kalimat yang kembali menyulut segenap emosiku.
"Eh, Nan, mana siniin kontaknya si mbak seksi kamar kos sebelah? Lo kan juga udah gue kasih cuci mata gratis tuh sama yang cakep-cakep,"
"Makan tuh cakep!"
Aku langsung melempari wajah Faishal dengan serbet yang tersedia di atas meja, bergegas bangkit dan sengaja meninggalkannya tanpa peduli dengan teriakan-terikan Faishal yang seakan tengah menahan malu.
"Buset, ini siapa yang bayar? Gue nggak bawa dompet, Nan! Woy!"
****