Setelah pernikahan itu, Tama mengunjungi Muti di rumah sakit, di tempat di mana ia dirawat. Kondisinya sudah semakin parah. Alat bantu penopang dirinyapun sudah tak berfungsi lagi.
Tak ada harapan hidup untuk Muti. Bagaikan mayat hidup yang hanya terbujur kaku di keranjang tempat tidur. Tak ada sahutan bahkan kicauanpuan sudah tak terdengar.
“Seandainya waktu dapat ku putar, aku tak ingin bertemu denganmu jika pada akhirnya aku tak bisa memilikimu. Seandainya hal itu akan terjadi, mungkin aku lebih memilih mengikhlaskanmu daripada harus kehilanganmu, setidaknya kita masih berada di bawah langit yang sama. Seandainya aku tak egois untuk dapat kau memperjuangkanku, mungkin akhirnya tidak akan seperti ini. Dan seandainya yang berada di sisiku saat ini adalah kamu, akan ku pastikan duniaku hanyalah untukmu namun pada kenyataanya itu bukan kamu.”
“Maafkan aku Muti, maaf karena aku terlambat menyatakan perasaanku kepadamu. Seharusnya kau juga tahu aku teramat mencintaimu dan sayangnya aku masih bimbang untuk memperjuangkanmu, maafkan aku yang tak sempat menjadikanmu wanita satu-satunya yang terindah dihidupku.” ucap Tama mendekap Muti yang sudah tak bernyawa.
Suasana berkabung masih menyelimuti Tama dan keluarga besar Umi Fatimah yang kehilangan anak tercintanya. Lebih dari itu, Tamalah yang mengalami tekanan batin yang sangat berat ketika Muti harus mengehembuskan nafas terakhir dalam pelukan Tama.
Di taman, dia mengingat kenangan bersama Muti saat ia pertama kali bertemu, berbincang-bincang mengenai hal bodoh, mengajaknya makan siang, membelikan dirinya martabak, ketahuan mabuk di diskotik, dia yang cantik, dia yang baik, dan masih banyak hal yang tidak dapat diungkapkan hanya dengan kata-kata saja.
Bayangan itu pudar ketika ia mendengar suara, suara yang sudah tak asing lagi untuknya. Yap, benar sekali suara itu seperti suara Muti. Tama mencari-cari keberadaan Si Gadis pemilik suara itu dan ternyata ia sedang bermain ayunan bersama seorang gadis kecil berumur lima tahun.
Tama menghampiri gadis itu dan
“Hey.” Sapa Tama.
“Iya.” Gadis itu menoleh ke arahnya.
Dengan wajah sangat shock, mata Tama terbelalak. Ia begitu mirip dengan Muti, hanya yang membedaknnnya adalah ia mengenakan jilbab dan pakaian yang sangat syar’i.
“Hah? Muti?” panggil Tama dengan kagetnya.
“Maaf mas. Saya bukan Muti, tapi Melati.” ucap gadis itu tersenyum.
Senyum itu yang mengingatkan Tama pada Muti.
@ReonA masih baru bngt ini hehe. Makasih :)
Comment on chapter Prolog