#Wira Point of View#
“Hei hei, Pak Tua. Cepat bayar uang iurannya sekarang! Aku tidak mau ada yang berhutang satu rupiah pun padaku!” teriakku kepada salah seorang bapak tua yang suka sekali memakai celemek corak bunga warna merah muda di Pasar Suka Mundur.
Sudah menjadi rutinitasku memalaki orang-orang di pasar ini sejak Indonesia merdeka 20 tahun yang lalu. Sebenarnya, aku ini dulu seorang pahlawan lho! Aku bersama dengan teman-teman seperjuanganku berusaha mengusir para penjajah yang kurang ajar dan tidak tahu malu itu dari negeri tercinta kita ini. Memang keparat para penjajah itu! Negara kita yang kaya ini mau diambil seenak pantatnya oleh mereka. Jika mereka masih berani menginjakkan kaki bau busuk mereka disini—
“Iya-iya. Ini uangnya, Mas Wira.” lagi enak-enaknya pidato, kudengar bapak bercelemek merah muda itu—yang biasa kupanggil Pak Tua—bersuara sembari mengulurkan tangannya dan memberikanku beberapa lembar uang seribu rupiah. Kuterima uang itu lalu pergi menuju ke tetangganya sembari mengkritik—lebih tepat meledek—pakaiannya.
“Pak Tua, apa bapak gak malu pakai celemek itu?” tanyaku pura-pura bingung. “Apa? Corak bunga warna merah muda? Gak malu tuh? Atau jangan-jangan, bapak memang gak punya rasa malu lagi.”
“Dasar pria kurang ajar! Celemek ini peninggalan almarhum istriku, tahu!” teriak Pak Tua terlihat marah padaku. Aku sampai tidak sadar kemarahannya kali ini berbeda dari yang sebelumnya. Jika kemarin Pak Tua itu hanya berteriak, kali ini dia berteriak ditemani sebuah parang ditangannya.
“Sudah-sudah. Mas Wira jangan suka ngejek orang lagi dong.” pinta ibu-ibu yang berjualan sembako yang kuminta uang iurannya barusan.
“Aku tidak ada mengejeknya dan itu fakta kan?” sambungku masa bodoh. “Dan juga, sejak kapan aku suka mengejek orang lain?”
“Sejak kau jadi preman disini, bego!” balas Pak Tua gregetan.
Preman. Mengingat satu kata itu kadang membuat hatiku senang sekaligus miris. Senang karena dengan menjadi preman di Pasar Suka Mundur ini, aku bisa bertahan hidup. Namun mirisnya, aku sangat kesal dan iri kepada dua anak buahku yang sekarang sudah mendapat pekerjaan yang lebih bagus di kota.
“Mas Wira!” panggil seorang gadis yang menjual ikan padaku. Segera kulangkahkan kakiku sekaligus meminta uang iuran padanya.
“Uang iurannya?”
“Maaf, aku tidak punya uang.” jawabnya malu-malu genit.
“Lalu untuk apa kau memanggilku tadi?” tanyaku tajam. Kukira dia akan bergetar ketakutan mendengarnya, tapi dia malah memberikanku sebungkus ikan laut hasil jualannya.
“Aku memanggil karena ingin mengucapkan terima kasih karena sudah melindungiku dari penjahat kemarin.”
“Oh~ Begitu!” mendadak suaraku berubah senang dan mulai melupakan luapan kekesalanku padanya yang tidak membayar uang iuran padaku. “Asyik! Minggu lalu dikasi ayam, sekarang dikasi ikan. Minggu depan kira-kira dikasi apa lagi ya?” aku mulai membayangkan menu makan malamku untuk minggu depan sekaligus memikirkan akan kuolah jadi apa ikan laut ini.
“Ah, benar juga! Mas Wira kan ada melindungi Mbak Ayu dan kita semua dari penjahat itu!” seru seorang ibu-ibu pedagang kain heboh.
“Kemarin itu Mas Wira keren sekali!” puja Ayu—gadis yang memberikanku ikan laut—senang.
“Iya dong! Siapa dulu pahlawannya, Gede Wira Pratama!” ucapku bangga akan diriku sendiri.
“Apa jadinya pasar tanpa Mas Wira.”
“Dia sudah menjaga dan melindungi kita dari orang-orang jahat!”
“Kau hebat sekali, Mas Wira!!” mendengar ribuan pujian yang masuk ke dalam telingaku tentu membuatku besar kepala.
“Hehehe! Itu belum seberapa.” ucapku menyombongkan diri. Otakku langsung membayangkan ada lembar uang dan beberapa makanan enak turun dari langit seakan-akan sedang turun hujan.
“Berarti kita tidak perlu takut lagi kalau ada orang-orang jahat.”
“Eh?” aku tersadar dari lamunanku ketika gendang telingaku mendapat satu kata yang telah membuat hidupku dihantui penyesalan.
“Kan ada Mas Wira yang akan menjaga dan melindungi—”
“Melindungi...ya?” beoku terlihat begitu menyedihkan. Kutundukkan kepalaku dalam-dalam, kukepal tanganku erat-erat menahan emosi yang bergejolak. Kurasakan tatapan penuh kebingungan, tanda tanya, dan kekhawatiran dari orang-orang disekitarku.
“Mas Wira...” panggil Ayu padaku tertahan.
“Ck. Bagaimana bisa aku melindungi ratusan orang jika satu orang saja aku tidak bisa.” gumamku tanpa sadar.
“Wira, dibelakangmu!”
Bug!
“Hoeek!”
Sebelum musuh dibelakangku berhasil membunuhku, dengan secepat kilat kuhajar dia sampai akhirnya tersungkur di tanah.
Bruuk!
“Syukurlah, kau—”
“Tia, awas!”
Padahal sebelumnya aku yakin sudah membunuh semua anak buah si keparat itu namun karena aku kecolongan, kulihat tangan si keparat entah muncul darimana datang dan dengan cepat mengayunkan pedang miliknya kearah temanku.
Sling! Croot!
Darah pun mengalir deras dikedua matanya.
“Aakh!”
“Tia!!”
“Darah itu...” aku mulai mengacau tak sadarkan diri. Entah kenapa ingatanku kembali akan kejadian waktu itu. Kejadian yang sulit kulupakan.
“Darahnya terus mengalir...”
“Bang Wira!!!”
Detik itu juga aku benar-benar bersyukur saat kudengar ada seorang wanita beranjak dewasa dengan penampilannya yang terlihat tomboy, rambut coklat panjangnya diikat ekor kuda dan suaranya yang rada-rada berat tengah berlari terbirit-birit menuju kearahku.
“Eh, ada Mbak Lisa. Apa kabar?” sapa Ayu tampak ramah.
“Oh, kabarku baik. Bagaimana denganmu, Cewek Genit?” balas Lisa cuek sesampainya didepanku.
“Apa kau bilang?!”
“Hei, Lisa. Kenapa kamu lari kayak lagi ikut lomba lari marathon gitu?” tanyaku acuh tak acuh.
“Iya, soalnya kalau bisa membawa Bang Wira dalam waktu 5 menit ke hadapan Mbok Dek Ari, aku dikasi makan gratis selama 2 hari. Enak kan?” jelas Lisa memasang wajah bangga seakan-akan yakin berhasil membawaku ke tempat Bu Cerewet itu dalam waktu 5 menit.
“Bu Cerewet?” beoku tak mengerti.
“Iya, Bang. Kata Mbok Dek Ari, temannya mau minta tolong sama kita bertiga.”
“Maksudmu aku, kamu, sama Pande?”
“Iyalah, Bang Wira!” sambungnya greget. “Siapa lagi yang bisa dimintai tolong sama orang-orang jika bukan kita bertiga!”
Iya juga sih, tapi...,
Sejenak otakku berpikir sebelum mengambil tindakan.
Tidak biasanya temannya Bu Cerewet minta tolong sama kami bertiga. Boro-boro temannya, dia sendiri saja kadang nggak mau!
Kurasakan ada yang mengganjal dari pernyataan Lisa tadi.
Ah, ngomongin soal Bu Cerewet—eh, maksudku Kadek Ari atau yang biasanya dipanggil Mbok Dek Ari, dia adalah satu-satunya orang yang memiliki warung makan yang dinamai Warteg Dek Ari yang ada di Desa Suka Mundur dan juga ibu kosku. Dari luar dia terlihat seperti seorang ibu yang penuh perhatian dan kasih sayang, namun dari dalam dia itu...
“Bang Wira!” teriakan Lisa hampir membuat telingaku tuli. Langsung saja kubentak dia penuh kekerasan.
“Eh, bocah sialan! Kalau mau ngomong gak perlu teriak-teriak juga bisa kan?!”
“Heh, om perjaka! Wajar jika aku marah-marah karena dari tadi kupanggil kamu gak nyaut-nyaut. Siapa yang gak kesal dikacangin terus!”
“Cih! Baru dewasa sudah berani sama yang lebih tua ya?!” tantanganku galak yang dibalas olehnya dengan lebih galak lagi.
“Siapa takut jika lawannya om-om perjaka kayak kamu!”
“Kurang ajar!”
“Sini kalau berani!”
Lagi seru-serunya adu pandang yang penuh dengan kobaran api, Ayu malah berusaha melerai pertikaian sengit kami.
“Duh, Mas Wira, Mbak Lisa! Jangan bertengkar begitu dong!”
“Sudahlah, biarkan saja mereka begitu.” ucapan Pak Tua langsung menyudahi acara adu pandang kami yang begitu sengit. Kupandang Pak Tua itu tanpa berkomentar. “Mereka kan sudah lama tidak bertemu. Mungkin dengan cara bertengkar mereka berdua saling melepas rindu.” jawabnya singkat. Tak sengaja leherku berbelok mendapati wajah pucat pasi anak buah perempuanku satu-satunya ini.
“Astaga~ Padahal bukan aku yang salah tapi kenapa aku yang merasa bersalah.” kataku melangkah pergi menuju Warteg Dek Ari santai. Walau sempat kurasakan tatapan tajam dan pukulan keras siap mengincar kepalaku, aku tidak ambil pusing. Aku akan biarkan jika hal itu terjadi. “Ayo, Lisa! Jika kita kelamaan, Bu Cerewet itu pasti akan memarahi kita.”
“O-Oh, baik!”
“Jangan lupa nanti jatah makanmu bagi-bagi sama aku ya!” pintaku padanya berharap makanan yang akan didapatkannya selama 2 hari mau dia bagikan padaku.
“Iya. Bang Wira bungkusnya sedangkan aku nasi sama lauknya, gitu kan?”
Bug!
“Enak saja!” kujitak kepala Lisa cukup keras. “Nasi sama lauknya juga dong! Bungkus nasinya kasi Pande saja.”
“Ck, iya-iya.” jawab Lisa menahan sakit dikepalanya.
Kupikir permintaan tolong yang dia berikan begitu mudah untuk ditangani. Namun tak kusangka, tidak hanya permintaannya saja yang begitu sulit, bertemu lagi dengan masa lalu juga sangat sulit untuk kuhadapi sejak 20 tahun yang lalu sampai sekarang.