Abay memukul-mukul meja seirama dengan musik yang sedang ia dengarkan. Abay sama sekali tidak peduli dengan tatapan aneh teman-temannya. Mungkin, mereka berpikir; meja kan milik sekolah. Sekolah milik dia. Ah, dasar Anak Sultan. Tidak seperti seorang perempuan yang menjabat sebagai ketua kelas dengan julukannya yang garang sedang menatapnya kesal setengah mati. Abay yang ditatap seperti itu tidak sadar karena matanya ia pejamkan. Perempuan itu bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menuju tempat duduk Abay. Anak-anak yang melihat pergerakan dari ketua kelas itu langsung mengambil posisi enak untuk menonton apa yang selanjutnya akan terjadi.
Satu...
Dua...
Tiga..
BRAK!
Abay langsung melepas earphone-nya dan mengelus dadanya. Demi tkius warna hijau, Abay kaget setengah mati.
“Kalau mau rusuh jangan di kelas! Ganggu ketenangan orang aja sih!” bentak perempuan ini sambil bertolak pinggang.
“Oh, lo keganggu? Pintu kelas kebuka, kenapa nggak keluar aja?” balas Abay santai namun terdengar menyebalkan bagi si perempuan.
“Nyolot banget sih jadi manusia. Mentang-mentang Anak—”
“Bisa nggak sih nggak usah bawa-bawa tahta? Gue di sini sama kayak lo, murid. Bukan penguasa.” Potongnya cepat dengan nada dingin. Lalu Abay pergi dengan sangat sengaja menyenggol bahu perempuan ber-name tag; Serina Riandra.
***
Abay menyeruput minumannya dengan kasar. Lagi-lagi karena masalah status itu ia dinilai berbeda dan buruk. Kenapa harus begini sih? Siapa juga yang mau jadi cucu pemilik yayasan? Siapa juga yang mau jadi anak pemilik sekolahan bagus? Siapa juga yang mau jadi orang kaya? Enggak! Abay nggak mau kalau kayak gini jadinya. Ia lebih suka menjadi orang yang berasal dari keluarga yang sederhana saja.
Saking kesalnya ia meremas bungkus makanan dan melemparnya asal.
“Aduh! Apaan nih!” pekik seorang perempuan yang wajahnya terkena lemparan sampah. Ia menoleh pada Abay dengan tajam. “Buang sampah tuh di tempat sampah! Bukannya seenak jidat lo lempar gitu aja!” omelnya kesal setengah mati.
Abay terlonjak kaget seraya mengelus dadanya. Ya Allah, kenapa hari ini orang-orang suka ngagetin sih? “Ya Allah Bulan, nggak usah teriak-teriak dong,”
“Nggak! Nggak bisa! Ini tuh melanggar aturan! Harusnya lo buang sampah ke tong sampah, bukan ke muka gue!” Bulan masih tidak terima dengan perlakuan Abay.
Abay bangkit dari bangkunya. “Ya udah iya, gue salah deh,”
“Ya emang lo salah!” Bulan melotot tajam. Astaga seram amat sih.
“Ya udah, Bulan mau apa? Mau nomor hape Bintang? Iya?”
“Ogah! Udah punya!”
“Ya udah, nomor gue aja gimana?” tawar Abay iseng.
Bulan memasang tampang jijik. “Dih, ogah banget,”
Tidak lama percakapan mereka terhenti karena kedatangan seorang perempuan. “Ayo Bul, aku udah beli minumnya nih,”
Abay dan Bulan menoleh pada suara itu. Ia menemukan Zoella dengan membawa dua botol air mineral. Abay menatapnya bergantian. Lah, tumben akur. Batin Abay bersuara.
“Gak usah mikir yang macem-macem. Melan lagi di UKS, jadi kita jalan ke kantin bareng,” sahut Bulan seakan membaca pikiran Abay.
Abay terkekeh. “Dih, si Bulan sok tahu banget nih. Siapa juga yang mikir macem-macem. Emang, Bulan mau dipikirin yang macem-macem?”
Bulan dan Zoella pun kompak bergidik ngeri mendengar Abay berbicara seperti itu. Lalu keduanya pergi meninggalkan Abay sendirian di kantin.
Ya, mungkin memang sudah nasibnya selalu sendiri.
***
“Ini tugas yang harus dikerjain. Gue nggak mau tahu, tugas ini harus selesai dua hari sebelum dikumpulin!” seru Serina menggebrak meja Abay.
Abay yang sedang menelungkupkan kepalanya langsung mendongak dan menatap Serina kesal. Bisa nggak sih kalau nggak gebrak meja?!
“Deadline-nya kapan?”
“Rabu depan. Berarti hari Senin harus udah selesai,” jelasnya dengan menekan setiap ucapannya.
Abay berdecak. “Kenapa harus gitu sih?”
“Biar kita bisa ngecek salahnya di mana,”
Dasar cewek perfeksionis! “Ya-ya-ya, gue nurut deh,”
“Jadi, kapan mau dikerjain?” kali ini suaranya tidak sesarkas tadi.
“Terserah,” jawab Abay malas-malasan.
“Ya udah, pulang sekolah nanti kita kerjain,”
Abay melotot tidak percaya. “Kok langsung sih? Besok kek atau lusa gitu,” protesnya.
Serina berkacak pinggang. “Tadi gue tanya jawabnya terserah, sekarang udah dikasih jawaban malah protes. Gue nggak nerima protesan. Dan untuk tempat, silahkan lo yang menentukan!” tuturnya lalu ia berbalik badan dan duduk di tempatnya.
Abay memutar bola matanya. Ia mengepalkan kedua tangannya merasa kesal. Andai ia perempua, ia bisa langsung menjambak rambutnya. Andai juga ia punya teman sebangku. Pasti nggak akan semelas ini nasibnya. Lagian, kenapa teman bangku Serina segala sakit sih? Kalau begini kan Abay yang kena imbasnya.
Dasar, dari dulu memang nggak pernah berubah.
Cewek perfeksionis yang doyan ngomel.
Siapalagi kalau bukan Serina Riandra.