Keesokan harinya, aku masih menggunakan kalung ini. Untuk naik ke kelasku, aku harus melewati koridor kelas 12. Di koridor kelas 12, kakak-kakak yang kemarin menegurku melihatku dengan sinis, tetapi aku tetap mengacuhkan mereka dan melewati mereka. Tiba-tiba, mereka menjegatku untuk naik ke tangga.
“De, kemarin udah kita sindir ya gak boleh pake kalung di sekolah.” teguran kakak-kakak yang rambutnya tergerai pirang.
“Sama Pak Firman boleh aja.” jawabku tenang.
“Ya itu sama dia bukan sama kita.” sambung dengan kakak-kakak yang memakai kaca mata.
“Udah ya, gini aja. Mau lo lepas kalungnya atau kita ambil?”
Diambil? Kalian pikir kalian siapa main ambil barang orang? Kalian tidak tau ya kalau barang ini sangat berharga.
Tiba-tiba, Davin yang baru datang berlari menghampiriku yang sedang dikelilingi oleh kakak kelas.
“Ehm, Ka. Maafin teman aku ya, nanti aku kasih tau dia. Nanti dia udah gak pake kalungnya lagi kok.” pembelaan Davin sambil mengatur napasnya sehabis berlari.
“Awas aja ya, kalo nanti istirahat kita liat dia masih pake kalung. Lo berdua kena!” ancaman Ka Dina dengan wajah menakutkan.
“Iya, Ka. Ayo, Na ke kelas.” ajakan Davin sambil menggandeng tanganku.
Davin menggandeng tanganku sambil berlari sampai tangga. Aku melepas tanganku dari genggaman Davin. Suasana canggung pun terjadi di antara kami berdua.
Sesampainya kita di kelas, aku menaruh tas lalu duduk di kursi. Setelah Davin menaruh tasnya, ia duduk di bangku Gita yang masih kosong.
“Nih ya, Na. Sebenernya gua juga pake kalung, kok.”
“Terus lo taro mana kalungnya?”
Davin mengeluarkan kalung dari dalam baju seragamnya.
“Dimasukin dalam baju, jadi gak keliatan dari luar.”
Kalung yang Davin pakai berbentuk salib. Menandakan Davin pasti Nonmuslim. Aku sedikit kaget melihat kalung Davin, jadi dia adalah Nonmuslim?
“Masukin aja biar gak ketauan.”
“Iya bawel.” jawabku seketika jutek.
“Ih, udah gua kasih tau juga. Makasih orang mah.”
“Makasih.” jawabku dengan nada sedikit tidak suka.
Aku pergi ke luar kelas dan berdiri di balkon koridor kelas. Menatap kosong ke arah tengah lapangan.
Jadi Davin nonmuslim? Oh.
Seketika semuanya mengubahku menjadi bad mood. Aku kembali masuk ke dalam kelas lalu mengambil ponselku untuk mengirim pesan kepada Dion karena hanya ia yang bisa membuat keadaan menjadi seperti semula.
“On, aku bete banget tau gak sii. Ah coba kamu di sini, ya.”
“Bete kenapa kamu?”
“Masa aku gak boleh pake kalung sama kakak kelas aku, kalung dari kamu.”
“Kok gitu? Senioritas ya?”
“Maybe.”
“Ya ampun, kamu main aja sama temen kamu biar gak bete.”
“Siapa, gak ada yang bisa diajak main, belum akrab.”
“Itu yang kemarin video call sama aku?”
“Davin? Gatau deh. Aku lagi bete juga sama dia.”
“Kamu lagi PMS ya? Kayaknya bete sama semua orang.”
“Enggak kok. Aku gak bete sama kamu, hehe.”
“Oalah, hehe. oh iya aku mau ngasih tau biar bete kamu ilang. Aku mau ke Hollywood, lusa siang dari jam 2 mungkin sampai jam 5-an.”
Hollywood? Itu adalah salah satu mimpiku sejak aku SD! Dion! Kamu adalah pengantarku untuk menggapai mimpi-mimpiku! Ah I love you so much, Dion.
“Wah, boleh banget tuh! Kamu emang bisa banget bikin bete aku ilangg. Siang-siang, video call yaa.”
“Siang di aku, malam di kamu An.”
“Oh iya... Jam berapa ya disini.”
“Maybe 3 hari kemudian jam 4 pagi sampai 7 pagi.”
“Hmm, berarti Sabtu ya? Aduh jam 4 lagi. Gimana ya, ya udah deh aku usahain nanti aku Line kamu kalo aku bangun.”
“Sipp.”
Lagi lagi tentang perbedaan waktu, hmm.
Beberapa menit kemudian, guru Agama Islam bernama Bu Fatimah masuk kelas. Saat pelajaran Agama Islam, yang nonmuslim biasanya keluar kelas untuk menerima pelajaran dari guru agamanya masing-masing di ruangan lain. Aku melihat ke arah Davin untuk memastikan. Namun, ia tidak keluar dari kelas. Aku sedikit heran dengannya, mengapa ia tidak keluar dari kelas? Sebenarnya apa agamanya? Apa aku harus bertanya kepadanya? Eh, tetapi aku kan sedang bete dengannya. Sudah lah, tidak ada manfaatnya juga bagiku. Mengapa aku penasaran ya?
Setelah pulang sekolah, aku pulang ke rumah. Aku menghampiri mama yang sedang duduk santai sambil menonton TV di ruang tamu. Aku bercerita tentang apa yang aku alami tentang Davin tadi.
“Ma, masa temen aku pake kalung salib, berarti dia nonmuslim kan, ya? Tapi pas pelajaran agama harusnya yang nonmuslim pergi kan cari guru dan ruangan agamanya masing-masing. Tapi dia malah di kelas dan dengerin guru agama aku jelasin tentang materi Alquran.”
“Ya kalo soal agama itu sensitif, terserah dia mau taat yang mana.”
“Aku tanya aja kali ya.”
“Hush, kita gak boleh tanya agama ke orang. Apalagi yang baru dikenal. Gak sopan.”
“Tapi dia temen aku, Ma. Aku pengen tau aja, sih.”
“Emang kalo berteman harus tau agamanya? Terus kalo ternyata beda gimana? Berteman sama siapa aja, jangan rasis, gak papa beda-beda asal kita jangan sampai terpengaruh.”
“Oalah gitu.”
Jadi, aku harus mencari tau agama Davin tanpa harus bertanya ke dia. Sepertinya mudah.
Keesokan harinya, pelajaran pertama adalah sejarah, tetapi guru pengajar sejarah yaitu Pak Jalil tidak masuk karena izin. Jam pertama jadi free class. Aku jadi merindukan masa-masa saat tidak ada guru di kelas. Aku selalu bolak-balik ke kamar mandi hanya untuk melihat Dion di kelasnya. Mengapa sekarang tidak bisa.
Tak lama kemudian, Taufan atau yang biasa dipanggil Otar masuk ke kelasku sambil membawa selembar kertas. Semua mata memandang ke arah Otar. Otar berdiri di depan kelas dan membacakan isi dari selembar kertas itu.
“Ini tugas sejarah dari Pak Jalil. Suruh bikin presentasi bab 1. Bikin kelompok, satu kelompok 4 orang.”
“Dih, anaknya ya lu, Tar?” ledek Davin.
“Berisik lu, Pin. Kerjain gih sono.”
Oh, jadi Otar itu juga dekat dengan Davin. Hmm, dunia sempit yah. Eh, kalau dunia sempit pasti aku bisa jalan ke Amerika dan bertemu terus dengan Dion.
Otar keluar dari kelas. Davin langsung mendekatkan kursinya ke meja aku dan Gita.
“Kita berempat ya sama sebelah gua, Daffa.” ajakan Davin.
“Ngerjain tugasnya di rumah gue aja! Nanti abis ngerjain tugas ke mall, temenin gue nonton film terbaru yang udah gue incer-incer! Kalo gitu pagi aja ya jam 8.” ide Gita dengan antusias.
Padahal Sabtu pagi aku ada jadwal video call dengan Dion, Dion kan mau ke Hollywood....
“Ah jangan pagi plis. Eh, terserah deh kalo mau pagi, tapi gue telat ya.”
“Yah, Na. Ya udah deh siangan aja jam 10-an. Lo sama Davin ya, Davin kan udah hafal rumah gue.”
Davin hafal rumah Gita? Kok dia bisa hafal? Memangnya dia sering ke rumah Gita?
“Kenapa sama Davin sih, males.”
Davin langsung mendekatiku dan meledekku.
“Kenapa sih, males banget sama gua? Takut baper ya? Hahaha.”
“Ih, siapa juga yang mau baper sama cowok gak jelas kayak lo.”
“Oh gitu, oke liat aja nanti.”
Davin balik ke tempat duduknya sendiri.
Baper? Haha, maaf. Aku takkan bisa menduakan Dion.
Pada hari Sabtu pagi, aku tidak bisa tidur. Aku menunggu jam 4 pagi walaupun sekarang masih jam 1 malam. Aku tidak mau terlewatkan hanya karena aku ketiduran. Ternyata LDR itu susah ya. Kalau LDR-an tanpa perbedaan waktu sih masih baik-baik saja atau waktunya tidak berbeda jauh. Mengapa perbedaan waktu kami sangat jauh? Atau lebih tepatnya mengapa Dion memilih Amerika. Harus ada yang mengalah kalau mau chatting. Kalau bukan aku yang rela begadang, ya Dion yang harus begadang. Sebenarnya, Dion sayang atau tidak ya sama aku? Kalau ia sayang mengapa ia tega meninggalkanku sejauh dan selama ini. Aduh, kok tiba-tiba jadi tidak yakin sih sama Dion. Ayo semangat, An! Pasti Allah sudah memberikan jalan yang terbaik!
Aku menyalakan ponselku dan mengirim pesan kepada Dion.
“On, aku gak bisa tidur nih, kamu lagi ngapain?”
“Hallo, An. Aku lagi perjalanan mau ke Hollywood nih. Kenapa kamu gak bisa tidur?”
“Gak tau nih.”
“Biasanya kalo gak bisa tidur ada yang mimpiin kamu lohh, hayo siapa.”
“Haha gatau deh, kamu kali.”
“Aku kan lagi gak tidur, gimana caranya mimpi.”
Haha malu deh.
“Oiya, haha. Ya udah lah, kamu temenin aku begadang aja ya. Aku gak bisa tidur lagi nih.”
“Of course, An.”
“Video call yuk! Eh, tapi aku masih muka bantal nih.”
“Ayo! Gak papa kali. Nanti kalo kita udah gede aku juga bakal liat muka bantal kamu setiap hari.”
“Hah? maksudnya gimana On?”
“Ayo gimana”
Aku berpikir keras tentang apa yang dimaksud Dion.
“OHHHH!! HAHHA! Aku tauu, maksudnya karena pas gede kita bakalan nikah terus sekamar jadi kamu bakal tiap hari liat muka bantal aku, HAHA.”
“Ahahha, nah itu dapet.”
HAHA Dion! Aku serasa sedang berbaring di atas awan dan melihatmu dari sini sedang tersenyum sambil memegang ponsel.
Kami melakukan panggilan video sampai jam 2 pagi.
Saat kami sedang asyik menelpon dengan panggilan video, tiba-tiba Dion mematikan panggilan videonya.
“An, maaf banget. aku masih pake kartu SIM Indonesia jadi rooming dan kuota aku hampir habis. Jadi aku matiin video call-nya.”
“Yah, nanti pas kamu ke Hollywood gimana?”
“Aku minjem handphone mama aku dulu deh, aku minta ID kamu, An.”
“Gak papa, nih?”
“Yeah, why not?”
“Ok, ID-nya PdianaLA.”
“LA apa tuh di belakang nama kamu? Los Angeles? Haha.”
“Paham, On yang di Los Angeles mah.”
“Haha bercanda, oke. Nanti aku pinjem hp mama aku terus aku ganti SIM Card sini.”
“Iya, On. Aku baru mau bilang. Paket kuota, pulsa dan alat elektronik itu penting banget buat orang yang lagi LDR karena hanya itu yang bisa bikin komunikasi kita tetap nyambung. Jadi, sebisa mungkin pulsa dan kuota jangan sampe abis.”
“Iya. Kalo aku udah ganti SIM Card sini, udah sebulan full unlimited jadi gak akan abis.”
“Hmm, oke deh. Jadi sekarang kita gimana? Aku tunggu kamu sampai Hollywood atau gimana?”
“If you are sleepy, you can sleep. I will call you, when I arrive.”
“On, bahasa Inggris aku gak terlalu bagus loh, jangan sering-sering pake bahasa Inggris ah, haha.”
“Aku ajarin. Kamu harus bisa, bahkan lebih dari aku. Kan kamu mau nyusul aku ke Amrik.”
“Haha duh, On. Kamu sih enak tinggal belajar bahasa Inggris bisa ke Amerika. Lah aku mah apa sih, sekedar bisa bahasa Inggris tanpa punya uang yang cukup ke Amrik mah gak akan bisa, On.”
“Bisa kok, banyak scholarship.”
“Tapi otak aku gak pinter.”
“Jangan gitu lah, kalau kamu udah niat pasti bisa.”
“Hmm, ya udah deh aku tidur dulu aja ya. Bye, don’t forget to call me.”
“Of course.”
Aku menaruh ponselku di bawah bantal, lalu aku lanjut tidur.
2 jam kemudian, aku mengambil ponselku dari bawah bantal. Ternyata ada pesan masuk, aku segera bangun dan mengecek pesan masuk itu. Ternyata itu pesan masuk dari Daffa.
“An, maaf banget pagi-pagi udah ngeline. Davin tanya alamat rumah lo.”
Kok dia memanggilku dengan sebutan ‘An’ ?
“Jl. Awir no. 24.”
“Warna rumahnya?”
“Kuning.”
“Oh oke.”
Seseorang menambahkanku teman di Line username-nya PollieSA78. Aku menerimanya, tiba-tiba muncul panggilan video darinya.
“Hallo, Anaa.”
Ternyata itu Dion.
“Hallo, Ion.”
Dion menghadapkan kameranya ke Hollywood Hills. Aku langsung histeris melihatnya, aku sangat kagum melihat indahnya perbukitan yang aku idam-idamkan untuk menginjakkan kaki di sana. Aku membayangkan berada di sana bersama Dion dan berfoto bersama di atas sana.
“Dion! Astaga! I want to go there very much!”
“Calm Ana, I will bring you here, someday.”
“Dion ya ampun. Aku excited banget! Aku speechless bingung mau ngomong apa.”
“Kamu gak usah ngomong apa-apa, kamu nikmatin aja apa yang aku liatin ke kamu.”
“I’m so lucky to be yours.”
“I’m so lucky too.”
Dion memperlihatkan pemadangan di Hollywood Hills yang membuatku hampir menitihkan air mata. Aku sangat ingin ke sana, tetapi suasana di sana sangat ramai, jadi Dion harus ikut berdesakan demi memperlihatkan pemandangan kepadaku. Aku jadi berpikir bahwa Dion memang benar-benar serius denganku.
“Di sana rame banget ya?”
“Menurut aku sih sepi, soalnya gak ada kamu haha.”
“Dion I’m serious.”
“Yeah, that’s so crowded right here.”
“Kok di aku tetep bisa keliatan semua?”
“Ya, aku jinjit-jinjit ini, haha.”
“Dion....”
Aku terharu melihat perjuangan Dion. Dion memang benar-benar menyayangiku. Baru kali ini aku merasakan sangat disayang oleh seseorang yang aku sayang juga selain keluargaku.
“Why are you crying, Diana?”
“Do you love me?”
“Of course, Diana. Why?”
“Nothing. Aku cuma terharu aja liat kamu desek-desekan dan jinjit-jinjit gitu cuma buat liatin ke aku.”
“Haha no problem. Diana. Oh iya, I’m so sorry I can’t visit the Hollywood Hall of Fame because my mom is bored right here. Maybe next time, ok?”
“Yeah, thank you so much Dion.”
“Yap, you’re wellcome.”
Dion mematikan panggilan videonya.
Mataku mulai membengkak, hidungku memerah, tetapi bibirku tersenyum lebar. Walaupun panggilan videonya sudah berakhir, tetapi air mata ini belum juga berakhir. Dion memang sangat menyayangiku, aku tidak boleh mengecewakannya meksipun pernah terbelit dipikiranku untuk seperti itu. Aku kembali tidur sampai sinar matahari menembus kaca kamarku. Mama membangunkanku dengan nada sedikit kesal.
“Eh, kamu kok baru bangun jam segini? Kamu gak sholat subuh yah!” omelan mama.
“Ehm, i... iya, Ma. Maaf aku ketiduran.”
“Minta maaf jangan sama mama! Sama Allah, sana kamu mandi terus sholat taubat!”
“Iya, Ma.”
Aku segera bangun dari tempat tidur, meskipun mata belum sepenuhnya terbuka.