Sebulan kemudian, aku sedang menginjakkan kakiku di sekolah baruku. Ternyata, aku satu sekolah dengan teman dekatnya Dion dari kelas 7, yaitu Taufan atau biasa dipanggil Otar karena otaknya lemot dan datar. Awal mos, aku duduk di kursi paling pojok kanan. Aku duduk bersama seorang cowok yang berpenampilan manis, tinggi, putih. Yah lumayan ya, mungkin ia bisa mengingatkanku kepada Dion selama Dion tidak berada di sini. Aku mencoba menyapanya untuk mengetahui namanya.
“Hallo. Nama gue Diana, lo?”
“Gua Davin.” jawab Davin dengan jelas, singkat, dan padat.
Huft, sudah berusaha ramah malah dibalas jutek.
Aku mengirim kabar kepada Dion kalau aku sudah berada di sekolah baruku.
“On, aku baru masuk sekolah nih. Gak enak banget suasananya diem banget.”
“Mungkin karena masih baru kali. Apalagi nanti aku di sini haha, sama orang-orang bule.”
“Asik dongg.”
“Asik ga asik, sih. Takutnya aku gatau mereka ngomong apa atau aku salah ngomong haha.”
“Kamu kan udah jago bahasa Inggrisnya.”
“Tapi aku juga pasti banyak yang belum paham, An. Oiya sampe lupa, kamu SMA di mana deh?”
“Di 56, On. Kamu di mana?”
“Oalah bareng sama teman deket aku dong si Otar?”
“Iya bareng dia. By the way kamu di mana high school nya? Anjas, high school nih, haha.”
“Aku di Fairfax Senior High School, An.”
“Wih keren!”
“Haha biasa aja, ah. Eh, aku mau tidur dulu yap. Semangat awal MOS-nya hehe.”
“Hmm dasar. Oke have a nice dream, yah.”
“Yaaa.”
“Eh, satu lagi, An. “
“Apa tuh?”
“Aku gak mau liat kamu galau-galauan gara-gara aku, ya. Kita harus tetep semangat meskipun LDR ini menyakitkan.”
“Iya, Onn. Janji.”
Aku mengunci layar ponselku. Layar hitam memantulkan bayangan wajahku, berharap tiba-tiba ada bayangan wajah Dion di belakangku dan mengatakan bahwa semuanya hanyalah lelucon.
Aku bersandar di tembok dengan ekspresi sedih. Aku teringat saat awal MOS kelas 7. Aku sekelas dengan Dion. Sayangnya, saat itu aku belum ada perasaan dengannya. Ia duduk di barisan kedua dari pintu, wajahnya masih sangat polos dan belum mengerti apapun. Dion duduk dengan Otar, sampai kelulusanpun Otar selalu ada di samping Dion, tetapi sekarang tidak. Dion sudah pergi jauh, meninggalkan Otar, aku, dan keluarganya yang di Indonesia.
“Eh, kenapa lu?” teguran Davin yang sedang menatapku dengan heran.
“Lo mikir gak sih kalo pertama awal masuk itu pasti masih ada rasa-rasa pas SMP.”
“Haha iyalah, tapi ya udah lah udah SMA, udah beda. Suasana beda, lingkungan beda, temen-temen beda.”
“Nah! Itu tuh yang terakhir, temen-temen beda, especially doi.”
“Ya ilah, ya kali dah sekolah baru, temen-temen baru doi masih yang lama.”
“Ya mau doi baru atau lama kalo masih sayang gimana dong, kalo kangen gimana”
“Ya ketemuan dong.”
“Ya gimana kalo dianya di lu—“
Diana! Hampir saja orang lain tau. Ah, aku tidak ingin ada seorangpun yang tau tentang hal ini.
“Apanya gimana?”
“Hah? Gak papa. Oke maaf, lupain aja yang tadi.”
Davin memutar badannya ke posisi semula dengan ekspresi heran.
Lamunanku berlanjut, aku terus menatap layar ponselku, berharap ada pesan masuk dari Dion. Aku sangat ingin mengirim pesan kepadanya lagi, tetapi aku tau itu akan menganggu tidurnya.
“Astaga nih anak yak, galau mulu dah.” teguran Davin lagi.
“Apa sih, gue lagi bingung tau.”
Davin mendekatiku sambil ikut menatap layar ponselku.
“Liatin apa coba?”
“Ah, lo gak ngerti, ih.” jawabku sedikit kesal.
“Ya jelasin kalo gua gak ngerti.”
“Nanti aja deh, kita kan baru kenal.”
“Ya ampun emang kenapa coba?”
“Gak papa sih, udah lah nanti aja, ya. Kalo abis MOS kita sekelas lagi baru lo gue kasih tau.”
“Janji lu ya, awas aja sampe gak ngasih tau.” Davin menunjukku dengan jari telunjuknya.
“Iye, bawel.”
Aku pikir kami takkan sekelas lagi.
Seminggu kemudian, MOS sudah selesai. Sekarang penentuan kelas tetap setelah MOS. Bu Kiza sebagai wali kelas IPA 4 masuk kelas sambil membawa selembar kertas yang mencurigakan. Kertas itu adalah kertas pembagian kelas, aku berharap tidak sekelas lagi dengan Davin atau rahasiaku akan terbongkar.
“Anak-anak, ibu akan membacakan kelas tetap. Tapi ibu hanya membacakan anak-anak kelas IPA 4 yang tetap ada di IPA 4. Siap ya. Abi Anzhala, Acha Erlita, Bayu Ghani, Muhammad Deril, M. Davin, Nurulita Sari, Putri Diana L. A., dan Yolia Rahman. Udah, itu anak IPA 4 yang tetap di IPA 4.”
Well… Aku satu kelas lagi dengan Davin….
“Haha, kita sekelas lagi. Udah janji kan ngasih tau?” Davin tertawa licik.
Aku harus mengalihkan pembicaraan sampai dia lupa.
“Ih, nanti deh. Gue mau cari tempat duduk dulu.”
“Gua tunggu nanti istirahat ya, awas aja.”
Setelah aku mendapatkan tempat duduk bersama anak perempuan bernama Gita, ternyata Davin duduk di belakang mejaku dan Gita bersama cowok yang bernama Daffa. Gita hanya menaruh tas sebentar lalu pergi lagi. Tak lama kemudian, bangku Gita diisi oleh seorang makhluk dari bangku lain yang bernama Davin.
“Ayo, apa ayo?”
Aduh, dia masih saja penasaran.
“Aduh, sekarang jam berapa?” tanyaku gelisah.
Davin melihat jam di dinding kelas.
“Jam 10.15 kenapa?”
Aku mengeluarkan ponsel dari tasku dan berpikir sejenak.
“Hmm, udah tidur belum, ya?”
Kalo di sini jam 10.15, berarti di sana jam 20.15 kemarin.
“Siapa yang tidur? Cowok lu bolos jam segini tidur?”
“Enak aja, bentar, ya. Daripada lo bawel, mending gue Line dia dulu, oke?”
Aku mencoba mengirim pesan kepada Dion, semoga aku tidak menganggu waktu istirahatnya.
“On, udah tidur?”
Dan ternyata masih dibalas.
“Belum, kan masih jam 8. Aku tidur jam 9 sampe jam 10.”
“Bisa video call ga? Pertama kali sih kita video call, hehe.”
“Bukannya kamu lagi sekolah?”
“Iya, tapi ada yang kepo sama kamu nih. Bisa kan?”
“Oh, bisa kok. Kamu call duluan aja.”
Aku menekan tombol berbentuk video recorder. Jantungku serasa habis lari, perasaanku tak tenang sehingga membuatku gelisah. Ini adalah pertama kalinya aku melakukan panggilan video dengan cowok yang merupakan orang yang aku suka. Dion mengangkat teleponnya, aku melihat Dion dan suasana kamarnya yang sedang malam. Seketika kelopak mataku sedikit menutup untuk menampung mataku yang sedang berkaca-kaca ini. Aku sangat merindukannya, akhirnya aku bisa melihatnya lagi, meskipun hanya dari layar kaca yang tidak bisa kusentuh dirinya. Aku sangat beruntung lahir di zaman modern ini, semua serba canggih. Bahkan orang yang jauhnya bermil-mil dari lokasiku sekarang masih bisa kulihat meskipun bukan nyata.
“Hai, Dionn.”
Dion melihat ke Davin dengan ekspresi bingung.
“Hallo, itu siapa samping kamu?”
“Itu temen aku, namanya Davin. Davin say hello to him please.”
Davin bingung melihat tempat Dion yang sudah gelap.
“Kok itu gelap? Itu di mana?”
“Oh, jadi kamu mau ngasih tau dia aku di mana, An?”
“Ya, abisan dianya kepo sih, nyebelin, hehe. Gak papa kan?”
“Oh, gak papa kok. Hello Davin, I’m in Los Angeles now.”
“Hah? Beneran? Pantes malem. Ngapain di sana?”
“Actually, I study in here, but my mom lives in here. So, I live in here.”
“Aduh gue gak ngerti Inggris, plis. Ya udah lah, jadi ini penyebab Diana galau liatin handphonenya mulu haha.”
Davin….
“Haha, please don’t trust him. Oke, thanks for your time, Dion. We should video call again later.”
“Oke, babe. See ya.”
Aku mematikan panggilan videoku bersama Dion. Kepalaku mulai berasap dan siap membakar omongan Davin tadi.
“Aduh ampun, Mba, ampun. Lagipula sama pacar gak papa kali galau-galauan.”
“Gak usah sok tau, lo gak tau apa-apa tentang hubungan gue.”
“Iya deh, maaf.”
“Oh iya, jangan kasih tau siapapun tentang ini. Kalo ada yang tau, gue salahin lo!”
“Iye.”
Pokoknya aku tidak ingin berurusan dengan si curut ini. Sampai ada yang tau apalagi tau kalau aku sering galau gara-gara Dion, hmm awas saja. Namun, mungkin kalau Davin tidak menyuruhku untuk menelpon Dion, aku tidak pernah sanggup untuk menelponya. Thanks Vin, meskipun kamu menyebalkan.
Istirahat kedua, aku dan Gita turun ke mushola untuk sholat zuhur. Setelah kami selesai sholat, Gita mengajakku untuk pergi ke kantin. Ketikat kami melewati kantin, aku melihat Davin lagi duduk manis sambil minum es teh dan memakan mie di meja kantin.
“Yeu dasar, parah nih gak sholat.” ledekku sambil berjalan.
Davin hanya melihatku sambil mengunyah makanannya.
Saat kami melewati tempat duduk kelas 12, di sana banyak anak kelas 12 yang sedang makan. Aku dan Gita melewati mereka dengan sopan, tetapi tanpa kuduga mereka tiba-tiba menyindir seseorang di antara kami berdua.
“Bukannya anak kelas 10 gak boleh pake kalung ya di sekolah?”
“Pengen dikata apa sih? Alay”
Jadi mereka menyindirku? Maaf maksudnya apa ya? Aku tidak akan mencopot kalung ini meskipun kalian akan melabrakku. Guru saja tidak melarangnya, mengapa kalian melarangnya? Apakah derajat kalian lebih tinggi dari guru? Memangnya kalian siapa?
Kami terus berjalan dan tidak memperdulikannya. Gita sering melihat ke arahku dan bermaksud untuk memberitahuku jika mereka sedang menyindirku.
Di kelas, aku menaruh mukena di kolong meja lalu duduk di kursiku seperti biasa tanpa memperdulikan masalah yang tadi di kantin. Aku takkan melepas kalung ini, jiwaku dan kalung ini sudah saling melengkapi, sudah nyaman memakai kalung ini. Bukan nyaman dengan kalungnya, tetapi nyaman dengan orang yang memberikan kalung ini. Hanya ini pemberian Dion sebelum dia ke Amerika, aku harus menghargai dan menjaga pemberian Dion.