Read More >>"> The Difference (Chapter 1) - TinLit
Loading...
Logo TinLit
Read Story - The Difference
MENU
About Us  

Sekian lama, aku hanya bisa mengatakan sesuatu lewat salah satu media sosial di ponsel setipis kertas ini. Zaman memang sudah semakin modern, saking modernnya, sosialisasi hanya ada di dalam ponsel, bukan dunia nyata. Aku tidak bisa mengatakan apapun saat raga kami bertemu, rasanya perasaan aku dan dia hanya ada di dalam layar ponsel. Sangat dekat di ponsel, tetapi sangat jauh di dunia nyata. Bukan, bukan raga kami yang berjauhan, tetapi jiwa kami. Raga berada di sekolah yang sama, tetapi jiwa ada di alam yang berbeda.

Suatu hari saat kelas kosong, aku tersenyum seorang diri karena melihat layar kaca ini yang merupakan obrolanku dengan si “Dia”. Aisyah sebagai teman dekatku mengintip layar ponsel ini dengan wajah yang penasaran.

                “Ngapain pagi-pagi udah senyum sendiri? Pasti Dion ya?” ledeknya menunjukku.

                “Ih, Aisyah pengen tau aja deh.” senyuman malu terlihat di bibirku.

Aku memasukan ponselku ke dalam laci dengan segera.

                “Ya elah, Na. Udah 3 bulan kali lo chat terus sama dia tapi gak jadian-jadian.”

                “Ya emangnya kalo chat terus harus jadian?” bantahku dengan nada sedikit marah.

                “Ya iya sih….”

                “Dion itu orang yang tepat menurut gue. Mukanya? Lumayan banget. Otaknya? Cukup pinter, apalagi bahasa Inggrisnya. Alim? Lumayan kok. Cocok lah buat jadi imam haha.”

                “Aduh khayalannya tinggi banget sih, Mba. Haha.”

Walaupun aku tau, memilikinya adalah ketidakmungkinan yang selalu aku semogakan, tetapi apa salahnya memiliki keinginan? Toh, semua orang juga memiliki keinginan masing-masing.

Istirahat pertama, aku dan Aisyah pergi ke kantin. Mataku tertuju kepada seseorang yang memiliki jambul, putih, tinggi, hidung yang mancung yang sedang berdiri dan bersandar di tembok, menekukan satu kakinya di tembok dan meminum air dalam botol. Rasanya aku ingin menjadi botolnya, hahaha. Siapa lagi kalau bukan Dion. Mataku seperti gembok yang kehilangan kunci, tak bisa berpindah walaupun langkah ini sudah melewati bayangannya. Melewati seorang Dion seperti melewati kepala sekolah, ya mungkin memang dia akan menjadi kepala keluarga kita nanti, hahaha. Rasanya ada yang menahan jika kaki ini ingin berlari dan ada yang mendorong jika badan ini mengatakan untuk berhenti. Jadi serba salah dan kadang membuatku salah tingkah.

                “Diana.” sapa seseorang yang namanya selalu ada di dalam 17 rakaatku.

                “Ha- hai.” balas sapaku dengan gugup dan senyuman kecil.

Hanya sekedar sapa dengan nama, tetapi membuat jiwaku serasa di langit ke tujuh. Memang ya, media sosial hanya untuk pelengkap, hal pokoknya ya ini, bertemu, saling sapa dan ngobrol bareng. Walaupun aku dan dia belum pernah ngobrol bareng.

Bibir ini berusaha menahan senyum sampai aku masuk kelas. Di kelas, barulah pertunjukan sirkus muncul, tiba-tiba saja kakiku mengeluarkan per yang tak berhenti berloncat sambil tersenyum dan sedikit teriakan bahagia. Selalu seperti ini setiap aku lewat di sampingnya, di depannya, pokoknya papasan dengannya. Aku sangat berharap ini akan terus berlangsung. Sayangnya, itu tidak mungkin karena sebentar lagi kami lulus. Semoga kami tetap akrab walaupun tidak berada di satu atap gedung yang sama.

Yah, itulah aku. Nama asliku adalah Putri Diana Lestary Ayufatma. Siswa kelas 9 SMP yang sebentar lagi UN. Aku adalah tipikal cewek yang tomboy dan nyablak, tetapi semenjak aku suka dengan Dion, aku berubah menjadi cewek feminim yang suka menggerai rambut panjang yang hitam, memakai rok di luar sekolah, juga memakai baju yang memang girl style bukan sekadar kaos dan jeans. Papaku adalah orang yang taat beragama, sedangkan mamaku adalah orang yang realistis. Mama adalah ibu rumah tangga, sedangkan papa kerja sebagai karyawan swasta di suatu perusahaan. Aku adalah anak ketiga dari tiga bersaudara. Semua kakak perempuanku berhijab, hanya aku yang tidak berhijab di dalam keluarga. Aku pernah berjanji kepada keluarga dan teman-temanku, seandainya ada seorang cowok yang bukan keluargaku pernah mengajakku sholat dan menjadi imam, maka aku akan memakai hijab. Sayangnya, sampai sekarang belum ada, Dion masih menduduki rating paling atas yang aku inginkan untuk menjadi sosok imamku.

                Seperti kejadian tadi, aku sedang berhubungan dekat dengan seorang cowok yang ada di hatiku selama 10 bulan terakhir, tetapi kami baru dekat 3 bulan yang lalu. Sampai sekarang, hubungan kami hanya sebatas teman obrolan dan teman sapaan. Setidaknya, kami masih bisa saling sapa. Bersyukur punya penyemangat hidup seperti dia.

2 bulan kemudian, aku sudah melewati detik-detik menegangkan yang ditunggu-tunggu selama 3 tahun, UN. Usaha memang tidak akan mengkhianati hasil, cukup memuaskanlah. Hubunganku dengan Dion juga semakin dekat dan tingkat kebaperanku terus meningkat. Namun, sebulan sebelum UN  Dion sering tidak masuk. Aku sangat mengkhawatirkannya. Dion selalu beralasan izin, tetapi tidak memberitahu kemana ia izin.

Sehari setelah pengumuman nem UN, Dion mengajakku pergi ke sebuah mall. Di sana, kami sudah seperti pasangan yang sedang berpacaran, walaupun kenyataan memang lebih pahit bahwa kami tidak berpacaran. Lebih tepatnya seperti jemuran, entah kapan akan diangkat atau dilupakan dan ditinggalkan begitu saja. Setelah makan, kami pergi ke taman dan menduduki bangku taman yang melingkar. Pemandangan di sini sangat menggugah selera mata untuk melihatnya. Hijaunya rerumputan dan cerahnya sinar matahari seperti cerahnya wajah Dion yang duduk berhadapan denganku cukup membuat bibir ini tersenyum lebar.

“An, hari ini seneng ga?” pertanyaan yang keluar dari mulut seorang Dion.

Sekarang aku sudah bisa mengontrol kesaltinganku di depan Dion karena aku pikir salting malah membuatku semakin salah di matanya.

“Yap, seneng banget, On.” jawabku sumringah.

Aku? Tidak senang dengan hal ini? Mungkin aku harus periksa kesehatan jiwa.

“Mau SMA di mana?”

 “Pengennya sih di 8 hahaha tinggi banget, ya?”

“Haha semua orang punya impian kok.” senyuman Dion yang bertabur gula nan manis.

“Iya, kalo lo mau SMA di mana, On?”

“Gua mau ikut sama mama gua. Mulai nanti malem sampe tanggal 22 gua di Surabaya. Ya sekitar 1 minggu dari sekarang.”

Dion membenarkan posisi duduknya menjadi tegak, sepertinya Dion mulai serius.

“Oh, mama lo tinggal di Surabaya?” tanyaku.

Dion menarik napas dalam-dalam.

“Bukan, gua mau pamit sama keluarga gua yang di Surabaya. Gua mau ikut mama buat tinggal di Amerika.” ujar Dion menunduk sedih.

2 kalimat yang sama sekali tak masuk akal tiba-tiba keluar dari mulut Dion. Pupil mataku mulai membesar, ketidakpercayaan yang sangat besar muncul di otakku. Beribu pertanyaan berbaris di kepala siap untuk dipertanyakan. Jantung berdegup kencang seperti menandakan sesuatu yang tidak baik akan terjadi. Pikiran mulai buyar dan tidak bisa fokus.

                “Loh, kok lo gak pernah bilang kalo mama lo tinggal di Amerika?!”

                “Iya gimana ya, sebenernya gua gak mau cerita sama orang kecuali orang yang udah deket banget sama gua.”

Jadi, dia menganggapku sebagai orang yang sudah sangat dekat?

                “Yah, jadi... kita gak bakal ketemu lagi?”

                “Semoga kita bakal ketemu lagi. Lu tau kan sebelum UN gua sering banget gak masuk? Itu gua ngurusin visa, paspor dan semua urusan yang harus diurusin. Maaf ya, gak pernah ngasih tau.”

Dion terlihat sedih, akupun ikut sedih melihatnya. Pikiranku hanya tertuju kepada apa yang akan terjadi jika Dion tak lagi berada di dekatku. Sehari ia tidak masuk saja rasanya seperti kertas tanpa tulisan, tiada berarti. Apalagi ini, 3 tahunku akan menjadi kertas tanpa tulisan yang entah bagaimana caranya untuk menjadi berguna kembali. Ditambah lagi, Amerika adalah negara dengan imigran terbesar di dunia. Dion bisa saja berjumpa dengan siapapun di sana. Artinya, ia juga bisa jatuh hati kepada siapapun dan melupakan aku yang sudah menjadi debu di masa lampau.

                “Udahlah, An. Kita manfaatin waktu sebaik mungkin aja selama seminggu ini. Jangan lupa ya tanggal 23 Juli jam 10 udah di bandara ya, anterin gua.” 

Tangan Dion yang berada di atas tempat duduk berpindah ke pundakku. Aku sungguh bingung dengan perasaanku ini. Seharusnya aku sangat senang karena untuk pertama kalinya aku dirangkul oleh seseorang yang aku idam-idamkan selama ini. Namun, apakah ini rangkulan terakhir Dion untukku? Apakah aku takkan merasakan rangkulan ini lagi? Apa… Apa yang akan selanjutnya terjadi.

Awan hitam berjalan menggantikan awan putih yang menjadi payung teduh kami di bawah terik sinar matahari. Langit menjadi mulai mendung dan akan turun hujan layaknya perasaanku sekarang ini. Mungkin hari ini adalah hari terakhir aku dan Dion memandang langit yang sama.

                “Iya, On. Gue pasti dateng.”

Hanyalah penyesalan yang akan aku dapatkan jika aku tidak berdiri di bandara dan mengucapkan kata terakhir sebelum perbedaan-perbedaan itu memisahkan kami.

                “Sekarang gua anter lu pulang, ya. Udah mau ujan.”

Dion bangun dari duduknya lalu mengulurkan tangannya kepadaku. Aku menanggapi uluran tangan Dion lalu bangkit dari duduk. Kami berjalan menuju parkiran motor dengan tergesa-gesa. Dion takut air hujan ini membasahi tubuhku sebelum sampai rumah, sedangkan aku takut air mata ini membasahi pipiku sebelum sampai rumah.

Di perjalanan, aku dan Dion bagaikan orang asing yang baru kenal, awkward. Aku memberikan pandangan kosong ke kaca spion yang memantulkan wajah Dion yang manis itu. Lagi-lagi, air mata ini ingin menetes dengan beribu pertanyaan yang muncul. Kapan aku bisa seperti ini lagi bersamanya? Bagaimana cara aku bisa seperti ini lagi jika dunia kita sudah berbeda? Ataukah, siapa yang akan bisa memberikanku pengalaman seperti ini jika aku sudah lelah mengharapkan Dion yang tak kunjung kembali?

                Sesampainya di rumah, rintik-rintik hujan sudah mulai berguguran. Aku turun dari motor dan mengajak Dion untuk masuk ke dalam rumah sampai hujan mulai reda.

                “Dion, masuk dulu aja.” tawaranku hangat.

                “Gak usah. Gua buru-buru, An.” tolak Dion dengan senyuman.

                “Tapi ini gerimis, nanti sakit.”

                “Yah elah, santai aja. Udah ya, gua mau balik nih.”

                “Oh, ya udah deh.”

                “Thanks for today.” senyuman manis Dion sambil menatapku lembut.

Aku hanya diam terpaku menatap indah senyumnya meskipun rintik hujan ini semakin besar.

Aku masuk ke dalam rumah lalu berlari ke arah kamar dan tidak menghiraukan mama yang sedang duduk di ruang tamu. Aku menutup pintu kamar dengan keras lalu naik ke kasur. Misiku untuk membendung semua air mata tadi sudah selesai. Sekarang, aku ingin menumpahkan semuanya. Pertanyaan-pertanyaan tadi masih terngiang di kepalaku. Apakah Dion serius atau hanya berbohong?

Tiba-tiba terdengar suara decitan pintu kamarku yang mulai terbuka, ternyata itu mama. Mama melihat ke arahku, ekspresi wajahnya berubah menjadi panik dan segera berlari ke pojokan kasur menghampiriku.

                “Kamu kenapa, Na?”

Mama langsung merangkulku erat dengan ekspresi wajah yang panik dan membujukku untuk cerita.

Dari dulu, aku menganggap mama sudah seperti teman curhat. Kami saling terbuka soal kehidupan sehari-hari, mama sudah sangat tau tentang Dion karena hampir setiap hari aku bercerita ke mama tentang Dion. Ya walaupun mama belum pernah bertemu dengan Dion, tetapi mama tau kalau Dion itu anak baik, jadi ia mendukungku bersama Dion. Meskipun aku juga tak tau apa yang harus didukung karena jadian pun belum.

                “Ma—ma—ta- tadikan aku jalan sama Dion. Terus dia bilang ini terakhir kita ketemuan.” ceritaku dengan nada terbata-bata.

                “Innalillahi. Gimana kejadiannya, Na?”

Mama mengelus dadanya dan berpikir bahwa Dion ‘pergi’ ke lain alam.

                “Ih, mama! Dia bukan meninggal! Dia cuma pergi jauh, jauh banget.”

                “Kemana?”

                “Amerika.”

Rasanya kata ‘Amerika’ mulai mendarah daging, ketika aku menyebut atau mendengarnya, aku merasa ada yang sedang memotong bawang di depan mataku.

                “Innalillahi, jauh banget, Na. Kapan dia berangkat?”

                “Minggu depan, aku boleh kan anterin dia ke bandara?”

Mataku memandang mata mama dengan penuh harapan bahwa ia akan menjawab “Iya”.

                “Boleh aja sih, tapi siapa yang anter, sayang?”

Mama mengelus rambutku yang terurai dan lepek terkena rintik hujan tadi.

                “Papa kerja ya? Ya udah, nanti aku pikirin lagi.”

“Oke, jangan nangis lagi ya.”

Mama mengecup keningku yang membuatku kembali tersenyum.

Setelah mama keluar kamar dan menutup pintu kamar, aku segera mengambil ponselku di atas laci lalu mengirim pesan kepada Dion.

“On, kata mama gue ke bandaranya naik apa ya?”

Beberapa menit kemudian, Dion membalas pesannya.

“Naik taksi aja, An. Nanti ongkosnya gua bayarin.”

“Hah? Gak enak ah, haha. Lagipula gue gak berani sendiri.”

“Ajak temen lo dong aduh, sayang.”

HAH?

APA?!

SAYANG?!

Dionnnn!!!

Entah mengapa semua perasaan sedih tadi hilang seketika hanya karena 1 kata bermakna ganda yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

“Kok gak dijawab? Jangan baper, An. HAHA.”

HAHA kok tau sih….

“Lah, siapa yang baper coba. HAHA.”

“Ya udah nanti gue ajak Aisyah, deh.”

“Oke, see u later ya J.”

“Yapp.”

Aku menaruh ponselku di kasur dan menatap layar kaca ini dengan tatapan kosong. Apa yang harus aku lakukan seminggu ini sebelum Dion pergi? Bertemu setiap hari? Tetapi bagaimana caranya? Sekarang dia di Surabaya. Chatting? Sudah biasa.

Aku terus berpikir sambil sesekali melihat ke arah jendela kamarku yang besar sambil melihat rintik hujan yang berjatuhan di jalan.

Beberapa menit kemudian, ide cemerlangku tiba-tiba muncul.

                “Yay! Gue punya ide! Gue mau bikin sesuatu yang spesial yang bakal dia kenang kalo dia udah di Amrik! Gue mau buat scrapbook!”

Aku mulai menulis apa saja yang aku butuhkan untuk membuat scrapbook. Sesekali aku melihat di internet apa yang aku butuhkan dan bagaimana cara membuatnya.

                Keesokan harinya adalah hari Sabtu, aku meminta kakak keduaku, yaitu Ka Elva untuk menemaniku ke mall untuk membeli alat dan bahan scrapbook. Aku dan Ka Elva mengunjungi suatu toko yang menjual pernak-pernik. Semua barang-barang di sana sangat membuat mataku terpana dan menggodaku untuk membeli mereka semua, tetapi aku harus ingat tujuanku datang ke sini adalah untuk Dion.

Setelah semua barang dibeli, aku tak sabar untuk segera pulang ke rumah. Aku ingin menantang seberapa kemampuanku untuk berkreativitas sekaligus mencurahkan isi hati yang telah lama terpendam. Sesampainya di rumah, aku mengeluarkan semua barang-barang yang telah aku beli. Aku mulai menyusunnya seperti pada konsep yang sudah dibuat.

Setelah scrapbook-nya sudah dibuat, sekarang saatnya membuat isi dari scrapbook-nya. Mungkin ini yang agak sulit. Aku harus menggali dalam-dalam tentang aku dan Dion. Dari pertama kami bertemu, lalu pertama kali ada perasaan dengannya, pertama kali kami dekat bahkan sampai obrolan kami di media sosial juga foto-foto Dion yang aku ambil secara diam-diam dari ponsel teman-temannya. Lalu, aku juga membuat satu video yang menurutku sangat penting. Di dalam video itu, aku merekam diriku sendiri sambil  mengungkapkan semua isi hati yang sedari dulu belum berhasil terungkap, aku mengatakan...

                “Hallo, Dion. Apa kabar? Masih inget gue kan? Semoga lo setel video ini berulang-ulang ya, hahaha. Mungkin saat ini, gue lagi kangen banget sama lo. Pengen banget ketemu sama lo, tapi gue rasa semuanya gak akan mungkin. Gue pengen tanya, kenapa sih lo jauh banget di sana? Perbedaan waktu kita juga jauh banget. Kalo lo juga kangen sama gue, bisa kali kita video call-an bareng hehe ngarep banget ya gue, haha. Intinya, gue mau bilang makasih atas 1 tahun udah bikin gue suka sama lo dan makasih banget juga atas 5 bulan kedekatan kita. Semoga jarak dan waktu gak membuat hubungan kita renggang ya. Lo rajin sholat di sana ya, jangan tinggalin sholat. Tadinya seminggu ini gue mau manfaatin waktunya buat kita bikin kenangan kita sendiri. Gue pengen banget ketemuan mulu sama lo, tapi lo di Surabaya. Ya udah lah, kalopun kita emang bukan jodoh dan sebenernya pacar pun bukan, yang penting kita temenan yah, ok! Gue mau bilang ini karena gue tau kita gak akan ketemu lagi. Gue sayang sama lo. Oke bye, hati-hati ya di sana.”

Entah berapa kali aku gagal mengambil rekaman itu. Air mataku tidak bisa diajak kerja sama. Ia selalu menetes sebelum aku melanjutkan perkataanku. Andaikan Dion tau, aku mengalami masa sesedih ini saat ia bilang akan meninggalkanku, meskipun aku bukanlah seseorang yang penting baginya.

Aku menenangkan diriku sejenak sambil menonton acara TV dengan berbalut selimut hangat di atas kasurku. Apa kau tau apa yang aku tonton? Aku menonton acara televisi tentang pengetahuan Amerika. Ya, aku akan mendalami segala sesuatu tentang Amerika karena itulah yang akan membuatku mengerti keadaan di mana Dion tinggal. Aku juga akan belajar bahasa Inggris lebih dalam agar aku bisa menyusulnya atau setidaknya mengobrol dengannya. Dion memberitahu bahwa ia akan tinggal di Los Angeles, California. Dan… ya, yang aku tau Los Angeles adalah kota dengan biaya hidup termahal kedua setelah New York City dengan biaya hidup sekitar 20 juta/bulan.

                “Sip banget.”

Harapanku untuk menyusulnya pupus begitu saja saat aku melihat angka-angka sebanyak itu. Dion, mengapa kamu tiba-tiba pergi ke sana? Apakah aku harus menghilangkan visamu agar kamu tidak jadi ke sana? Haha, aku takkan sejahat itu. Aku mendukung apapun yang kamu lakukan asal itu baik untukmu. Aku tau, meskipun kita terpisah berpuluh-puluh ribu kilometer, doaku tetap sampai kepadamu karena Tuhan maha adil.

How do you feel about this chapter?

0 1 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Melodi Sendu di Malam Kelabu
478      310     4     
Inspirational
Malam pernah merebutmu dariku Ketika aku tak hentinya menunggumu Dengan kekhawatiranku yang mengganggu Kamu tetap saja pergi berlalu Hujan pernah menghadirkanmu kepadaku Melindungiku dengan nada yang tak sendu Menari-nari diiringi tarian syahdu Dipenuhi sejuta rindu yang beradu
Rindu
377      272     2     
Romance
Ketika rindu mengetuk hatimu, tapi yang dirindukan membuat bingung dirimu.
Mysterious Call
453      295     2     
Short Story
Ratusan pangilan asing terus masuk ke ponsel Alexa. Kecurigaannya berlabuh pada keisengan Vivian cewek populer yang jadi sahabatnya. Dia tidak sadar yang dihadapinya jauh lebih gelap. Penjahat yang telah membunuh teman dekat di masa lalunya kini kembali mengincar nyawanya.
Cinta Aja Nggak Cukup!
4810      1544     8     
Romance
Pernah denger soal 'Triangular theory of love' milik Robert Sternberg? The one that mentions consummate love are built upon three aspects: intimacy, passion, and commitment? No? Biar gue sederhanakan: Ini cerita tentang gue--Earlene--dan Gian dalam berusaha mewujudkan sebuah 'consummate love' (padahal waktu jalaninnya aja nggak tau ada istilah semacam itu!). Apa sih 'consummate love'? Penting...
Love is Possible
123      115     0     
Romance
Pancaroka Divyan Atmajaya, cowok angkuh, tak taat aturan, suka membangkang. Hobinya membuat Alisya kesal. Cukup untuk menggambarkan sosok yang satu ini. Rayleight Daryan Atmajaya, sosok tampan yang merupakan anak tengah yang paling penurut, pintar, dan sosok kakak yang baik untuk adik kembarnya. Ryansa Alisya Atmajaya, tuan putri satu ini hidupnya sangat sempurna melebihi hidup dua kakaknya. Su...
Vandersil : Pembalasan Yang Tertunda
350      253     1     
Short Story
Ketika cinta telah membutakan seseorang hingga hatinya telah tertutup oleh kegelapan dan kebencian. Hanya karena ia tidak bisa mengikhlaskan seseorang yang amat ia sayangi, tetapi orang itu tidak membalas seperti yang diharapkannya, dan menganggapnya sebatas sahabat. Kehadiran orang baru di pertemanan mereka membuat dirinya berubah. Hingga mautlah yang memutuskan, akan seperti apa akhirnya. Ap...
Bismillah.. Ta\'aruf
779      482     0     
Short Story
Hidup tanpa pacaran.. sepenggal kalimat yang menggetarkan nurani dan menyadarkan rasa yang terbelenggu dalam satu alasan cinta yang tidak pasti.. Ta\'aruf solusi yang dia tawarkan untuk menyatukan dua hati yang dimabuk sayang demi mewujudkan ikatan halal demi meraih surga-Nya.
Cinderella Celdam
1670      565     4     
Romance
Gimana jadinya kalau celana dalam kamu tercecer di lantai kantor dan ditemukan seorang cowok? - Cinderella Celdam, a romance comedy
Haruskah Ku Mati
33843      5323     65     
Romance
Ini adalah kisah nyata perjalanan cintaku. Sejak kecil aku mengenal lelaki itu. Nama lelaki itu Aim. Tubuhnya tinggi, kurus, kulitnya putih dan wajahnya tampan. Dia sudah menjadi temanku sejak kecil. Diam-diam ternyata dia menyukaiku. Berawal dari cinta masa kecil yang terbawa sampai kami dewasa. Lelaki yang awalnya terlihat pendiam, kaku, gak punya banyak teman, dan cuek. Ternyata seiring berjal...
Last Hour of Spring
1451      756     56     
Romance
Kim Hae-Jin, pemuda introvert yang memiliki trauma masa lalu dengan keluarganya tidak sengaja bertemu dengan Song Yoo-Jung, gadis jenius yang berkepribadian sama sepertinya. Tapi ada yang aneh dengan gadis itu. Gadis itu mengidap penyakit yang tak biasa, ALS. Anehnya lagi, ia bertindak seperti orang sehat lainnya. Bahkan gadis itu tidak seperti orang sakit dan memiliki daya juang yang tinggi.