BAB 19
***
"Aku hanya orang yang menyedihkan dan kebetulan lahir."
***
Huekkk huekkk
Suara muntahan itu kembali terdengar dari toilet putri, tepatnya di bilik kedua dalam toilet itu.
Suara terengah-engah bak sehabis lari menyertainya. Di bilik itu, Bulan sedang mengeluarkan isi perutnya. Makanan yang ia makan bersama Langit tadi mungkin sudah habis tak tersisa.
Sungguh malang nasib perut Bulan yang kini kembali kosong tak terisi.
"Gue kenapa, sih?!" Erang Bulan seraya mengelap mulutnya. "Gue gak ngerti apa yang terjadi? Gue kok ngerasa--huekkk!"
"Arghh!!!" Erangnya lagi.
Bulan membuka keran air dan membasuh wajahnya. Mengusap keringat dingin yang membasahi jidatnya. Setelah itu, Bulan mengambil tisu yang selalu ia bawa kemana-mana dan mengeringkan wajahnya dengan tisu itu. Lalu, ia mengambil lip gloss untuk menyamarkan bibirnya yang pucat.
"Ah, bodo amat, lah." Kesal Bulan sendiri. Ia memperbaiki letak rambutnya. "Bentar lagi masuk. Yang ada gue telat masuk kelas."
Bulan menatap pantulan dirinya sekali lagi. Kemudian, bergegas keluar dari bilik toilet.
Saat ia keluar, tiba-tiba saja matanya bertemu dengan mata seseorang yang menurutnya paling menyebalkan. Mata itu milik Keisha.
"Kenapa, Lo?" Tanya Keisha sewot. "Muntah-muntah?"
Bulan hanya diam, ia memutar bola matanya malas. Bulan pun melangkahkan kakinya untuk meninggalkan Keisha. Tapi, langkahnya terhenti karena tangan Keisha bertengger di bahunya. Yang lebih mengejutkan lagi, Keisha mengucapkan kalimat yang membuat Bulan naik darah dengan gigi bergemeletuk.
"Gue curiga. Akhir-akhir ini lo kelihatan aneh. Lemes dan muntah-muntah gak jelas." Ucap Keisha. "Apa jangan-jangan..."
"Lo hamil."
***
Hari-hari berlalu seperti biasanya. Tidak ada yang berubah, Bulan masih berusaha membuat Langit luluh padanya. Tapi, masih saja seperti sebelum-sebelumnya.
Kali ini, Bulan menghampiri Langit ke kelas dengan sebungkus coklat batang yang tadi ia beli di kantin. Bulan berpikir, mungkin Langit akan lebih baik jika makan coklat. Karena tahu sendiri, kan, kalau semenjak Keisha mematahkan hatinya lagi. Langit semakin dingin dan terlihat murung sendiri. Padahal teman-temannya sudah berusaha untuk menghibur, hanya saja Langit tetap diam.
"Langit!" Panggil Bulan seraya mengibas-ngibaskan telapak tangannya di depan wajah Langit yang melamun.
"Eh," Langit tersentak dan langsunh menatap Bulan dengan datar. "Ngapain, Lo?"
Bulan tersenyum manis. Ia tidak menjawab. Gadis itu menarik kursi terdekat dan membawanya ke dekat Langit. Ia kemudian menyodorkan coklat yang ia beli tadi pada Langit.
"Apaan nih?" Tanya Langit dengan alis mengerut.
"Coklat."
"Maksudnya apa?"
Bulan tersenyum. Ia mengedikkan kedua bahunya. "Makan aja, biar kamu merasa lebih baik. Soalnya aku lihat, kamu makin ke sini, makin murung."
"Gak." Kata Langit datar.
Bulan menghela napas sabar, namun masih dengan senyuman tulus menghiasi wajahnya. Ia menarik kembali coklat itu dan membuka bungkusnya.
Bulan mematahkan sedikit, lalu tangannya terulur untuk menyuapi cowok keras kepala di depannya ini. "Makan."
"Apaan sih?" Tolak Langit. "Gue gak suka."
Bulan tetap kekeuh, bahkan tangan dengan sepotong coklat semakin mendekat di bibir tipis Langit. Tak tanggung-tanggung Bulan mendorong bibir Langit yang terkatup rapat dengan potongan coklat itu sehingga mulut Langit celemotan.
Mata Langit membelalak. Bukannya Bulan takut, ia malah tertawa terbahak-bahak. Karena menurutnya wajah Langit sangat lucu sekali.
"Hahaha!" Tawa Bulan seraya menunjuk-nunjuk wajah Langit. "Kamu lucu, Lang. Hahaha!"
"Lo," Wajah Langit berubah ketika lidahnya tak sengaja mengenai bibirnya yang terkena coklat. "Manis."
"Hah!" Tawa Bulan berhenti. Ia menatap Langit dengan mengerjap-ngerjapkan matanya. "Kamu bilang apa tadi?"
"Hah!" Langit mengatup bibirnya. Ia baru menyadari sesuatu. "Ah, maksud gue coklatnya manis."
Bulan terdiam. Ia kemudian menampilkan senyuman, senyum yang tak bisa dimaknai apa itu. Hanya saja ada sedikit sesak di hati gadis itu.
"Oh." Bulan tertawa kecil. "Iyalah, namanya juga coklat, ya, manis lah."
Hampir aja kegeeran, batin Bulan.
"Mana coklatnya lagi?" Tanya Langit yang sepertinya merasa bahwa ia memang merasa lebih baik dengan coklat. Rasa manis kepahit-pahitan membuat hatinya nyaman. "Gue mau semua."
Bulan tertawa kecil lagi. Ia pun memberikan semua coklat ditangannya pada Langit.
"Mulutnya dibersihin dulu. Hehe."
"Berisik."
***
Yahhh rada kecewa kalo sad ending gini , terharu aku tuuu
Comment on chapter EPILOG