BAB 17
***
"Aku baru sadar. Kamu lah yang dari dulu harusnya aku banggakan."
***
Langit duduk sendirian di sofa butut yang ada di rooftop dengan kepala menunduk dan jari-jari yang bertaut. Merasakan hembusan angin serta panas matahari yang mengenai kulit putihnya. Beberapa kali ia menarik napas dalam dan membuangnya dengan kasar.
Keisha?
Cewek itu sudah pergi sedari tadi berkat usiran Langit.
Langit terkekeh kecil, miris jika didengarkan lebih seksama.
"Bagaimana bisa gue suka sama tuh cewek?" Tanyanya pada diri sendiri.
Ia menyandarkan tubuhnya pada sandaran sofa dan menatap langit biru dengan mata menyipit akibat silau matahari.
"Langit yang bodoh." Lirihnya.
Sekian menit dengan posisi itu, ia membangunkan tubuhnya kembali duduk. Kemudian, tangannya merogoh saku celana dan mengeluarkan sebuah 'benda penenang' untuk pelampiasan sakit hatinya.
Langit mengambil sebatang rokok dari kotaknya dan menyulutnya. Ia mulai menghisap dalam dan menghembuskannya dengan nikmat seolah semua beban menguap semua.
Mata sayunya menatap lurus ke depan, segala pikirannya masih dipenuhi dengan nama Keisha.
Ia kembali mengarahkan rokok untuk dihisap, namun...
Terjatuh begitu saja.
Terjatuh karena seseorang sengaja menjatuhkannya. Langit menatap rokoknya yang baru ia hisap sekali itu remuk diinjak-injak oleh pemilik sepatu hitam dengan kaus kaki putih.
Langit menggeram, ia mendongak menatap si pelaku. Tatapannya semakin tajam.
"Bulan," Desisnya dingin. Lalu, kemudian membentak. "Ngapain Lo disini!?"
"Gak papa." Jawab cewek itu tenang. Bulan pun mendudukkan dirinya di sofa butut yang sama. Tepat di samping Langit dengan jarak yang cukup kentara.
Langit berdecak kesal. "Pergi Lo!" Usir Langit tanpa menatap Bulan.
"Lo pasti punya masalah, kan?"
"Jangan sok tau."
"Gue gak sok tau. Tapi, emang tau."
Langit menghembuskan napas kasar. "Lo ngapain di sini, sih?! Mending pergi aja sana!"
Bulan mengerucutkan bibirnya. Tapi, tidak beranjak pergi seperti yang diperintahkan Langit. Ia malah menyandarkan tubuhnya di sandaran sofa dengan santai.
Langit berdecak kesal. Dan menatap Bulan. Seketika raut wajahnya berubah.
"Lo," Ada jeda dari Langit, Bulan menatap Langit dengan bingung. Sedangkan, Langit menatap tas sekolah yang terletak di samping Bulan. "Habis darimana, bawa tas segala?"
Bulan mengarahkan matanya pada tas yang ada di sampingnya, "Habis dari olimpiade matematika tadi, di SMA sebelah. Soalnya lombanya di adakan di sana."
Langit mengangguk pelan.
"Lo," Langit melirik Bulan sekilas. Lalu, beralih menatap lurus lagi ke depan. Langit bertanya, "Gimana, susah nggak?"
Bulan tersenyum lebar dengan respon Langit. Tak pernah Bulan merasa bangga akan respon itu selama ini. Karena... dia tak pernah mendapatkan respon seperti itu. Langit seolah memberinya sebuah perhatian, padahal Langit hanya berbasa-basi saja.
Bulan memasang gestur berpikir dengan mengetuk-ngetukkan jarinya di dagu. "Lumayan, sih. Tapi, aku bisa jawab semua, kok.
"Baguslah." Tanpa sadar, sudut bibir Langit tertarik sedikit ke atas. Ia tidak tahu datang darimana perasaan ini. Perasaan bangga akan sesuatu, apalagi sesuatu itu datang dari cewek yang..., jujur saja, selalu ia sakiti.
"Kapan pengumuman pemenang?"
"Nanti. Gak tau kapan. Tapi, katanya gak lama, kok."
"Semoga menang, ya."
***
Note : Sengaja aku update pendek-pendek. Biar gak terlalu bosen dengan part yng panjang-panjang. Hehe.
Yahhh rada kecewa kalo sad ending gini , terharu aku tuuu
Comment on chapter EPILOG