BAB 12
***
"Lelah, satu kata yang ada dalam benak Bulan. Rasanya ia akan melenyapkan diri karena sudah tak cukup kuat menanggung segala beban hidup."
***
Brukk
"Hah?" Bulan memekik ketika ayahnya ambruk tepat di hadapannya. Ia langsung berlutut dan mencoba membangunkan ayahnya.
"Yah, bangun!" Bulan menggoyang-goyangkan tubuh Erik, tapi pria itu tak bangun-bangun juga. "Yah! Ayah!"
Bulan menarik tangan ayahnya untuk berdiri dengan tenaga yang sebenarnya tak mampu untuk mengangkat tubuh pria dewasa itu. Ia mencoba memapah dengan susah payah, berjalan pelan menuju ruang tamu.
Kaki Erik terseret seiring Bulan melangkah. Hingga sampai di sofa ruang tamu, Bulan membaringkan tubuh ayahnya yang beraroma alkohol itu. Dan akhirnya ia bisa bernapas lega.
Namun, kelegaannya tidak berlangsung lama karena racauan dari ayahnya membuatnya tertegun.
"Dasar anak haram! Nyusahin orang tua!" Racau Erik bersuara serak dengan mata terpejam. Tangannya juga bergerak ke depan menunjuk-nunjuk angin. "Kalau bukan karna anak itu saya gak bakal nikahin jalang itu!"
Bulan bungkam, manatap Erik seraya menggigit bibir bawahnya.
"Yah..."
"Saya gak cinta sama jalang itu!"
"Kenapa harus saya yang nikahin dia! Saya gak sudi!"
Mata Bulan memanas, air matanya sudah terbendung diujung. Bulan luruh ke lantai menatap lebih dekat ayahnya yang terus meracau dengan mata terpejam. Ayahnya mabuk, memang susah sebenarnya untuk mempercayai deretan kalimat yang diucapkannya tadi. Tapi, jauh dalam hati, Bulan merasa sakit hati dengan kalimat-kalimat itu.
Faktanya, kalimat-kalimat dari orang mabuklah yang paling jujur dan Bulan tak bisa menyangkal lagi. Kalimat dari ayahnya yang menyatakan bahwa ia anak haram adalah sesuatu yang sangat menyakitkan dan menyesakkan.
"Ayah..." Air mata Bulan mengaliri pipinya yang mulus. Tetes demi tetes, hingga semakin deras.
"Pergi saja kau, jalang! Bawa anak harammu itu! Hahaha," Erik tertawa sumbang. "Jalang bodoh! Mau-mau saja kau bagi keperawananmu itu untukku! Walau saya juga sih yang maksa waktu itu, hahaha!
"Dasar bodoh! Bego! Coba aja saya berhasil kabur waktu itu, saya gak bakal temuin kamu lagi dan tanggung jawab sama kehamilan bodohmu itu! Hahaha, " Racau Erik dengan suara serak khas orang mabuk. "Dasar tolol!"
"Ayah!" Panggil Bulan nyaring seraya terisak. Ia mengusap kasar buliran air mata yang terus mengalir tanpa henti. "AYAH BANGUN!!! hiks...hiks... Ayah gak boleh ngomong gitu! Bangun, Yah!"
Ayahnya hanya terpejam, racauannya mulai berhenti. Namun, tawa sumbangnya malah keluar begitu saja. Seolah mengejek Bulan dalam heningnya malam.
"Anak haram dan si jalang, hahaha," Racaunya lagi.
"Ayah..."
"Erik!" Bulan menoleh ke sumber suara yang berasal dari belakangnya.
Tampak Anita turun dari tangga dengan tergesa-gesa. Wajahnya pun terlihat khawatir. Wanita itu berlari kecil sampai ruang tamu.
Anita mendorong kecil tubuh Bulan hingga ia bisa berlutut tepat di depan suaminya yang terbaring lemah di sofa.
Bulan berdiri dari duduknya. Menatap ibunya yang mulai mengelus rambut ayahnya dengan sayang. Bulan tahu, ibunya sangat mencintai ayahnya. Tapi, ayahnya ternyata tidak mencintainya. Dari binar mata Anita yang redup pun dapat Bulan lihat tatapan cintanya.
Bulan terus mengusap kasar air matanya yang turun mengaliri pipi. Ia mundur selangkah demi selangkah meninggalkan ruang tamu, lalu berbalik dan menaiki tangga dengan cepat. Hampir beberapa kali ia terpeleset, namun akhirnya ia bisa sampai di lantai dua.
Bulan terus menangis, matanya semakin sembab karena air mata yng terus mengalir tanpa ada jeda sedikitpun. Ia membuka pintu kamarnya dengan kasar, lalu menutupnya dengan membanting hingga menghasilkan bunyi nyaring.
Ia bersandar di pintu dan luruh hingga menyentuh lantai kamarnya yang dingin. Bulan mengacak-acak rambutnya dengan fustrasi. Mencakar wajahnya sendiri dengan kuku-kukunya hingga menghasilkan goresan-goresan putih yang perlahan memerah.
Bulan membentur-benturkan kepalanya ke pintu berkali-kali dengan keras. Tak peduli sesakit apapun, yang terpenting bisa menggantikan sakit di hatinya.
"AKHHHHHHH!!!" Bulan berteriak disertai isak tangis yang semakin menjadi-jadi. Meluapkan segala emosi yan berkecamuk dalam dadanya.
Bulan bangkit menuju kasurnya, mengambil sprei serta selimut yng tersusun rapi lalu mengacaknya. Bulan memgambil bantal serta gulingnya lalu melemparkan ke sembarang arah.
Bulan berjalan cepat menuju meja riasnya yanh mana terdapat bedak, parfum, serta beberapa barang-barang cewek lainnya. Ia menyapu habis semua barang itu dengan dua tangannya hingga barang-barang itu berjatuhan ke lantai.
Bulan menatap pantulan dirinya di cermin rias tepat di hadapannya. Kondisi berantakan dirinya sendiri dapat ia lihat. Mata sembab dengan air mata yang mengalir, pipi penuh goresan-goresan akibat cakarannya, serta rambut yang acak-acakkan.
"LO CUMA ANAK HARAM, BULAN!!!" Tunjuk Bulan pada pantulan dirinya. "GAK ADA YANG NERIMA KEHADIRAN LO DI DUNIA!!! TERMASUK ORANG TUA LO!!!"
"DASAR ANAK HARAM GAK GUNA!!!" Bulan langsung menonjok cermin rias di depannya hingga retak dan pecah. Buku-buku jarinya yang memutih karena kepalan kuat sekarang bersimbah darah segar.
Bulan marah sekali. Ia menangis sekencang-kencangnya, tak peduli apakah ada orang lain yang akan mendengarnya atau tidak. Ia menutup wajahnya dengan tangan yang penuh darah, merasakan aliran hangat dari air mata.
Bulan kembali luruh ke lantai dingin. Tangannya yanb semula menutupi wajahnya beralih ke kepalanya dan mencengkram kuat. Rambutnya serasa mau lepas dari tempatnya, ia kembali berteriak, "AKHHHHHH!!!" Bulan terus menangis kencang. Matanya memejam. "Gue mau mati! Gue gak sanggup hidup di dunia kayak gini!"
Bulan terus mencengkram rambutnya sekeras mungkin. Ia terus menciptakan rasa sakit yang lebih menyakitkan dari rasa sakitnya di dada. Ia lelah menanggung beban hidup seperti ini.
Bulan membuka matanya perlahan. Indra penglihatannya itu menangkap serpihan kaca cermin riasnya tadi di lantai. Ia mengambilnya dengan cepat.
Bulan meneguk saliva kasar, napasnya tak beraturan. Perlahan ia mengarahkan serpihan kaca tajam itu ke pergelangan tangan tepat ke nadi.
Prangg
Serpihan kaca itu terlempar sebelum melukai pergelangannya. Bulan tahu siapa yang menghentikan aksinya itu. Ia menatap si pelaku dengan geram. "KENAPA BI SUMI HARUS KE SINI??! KENAPA??!"
Bi Sumi menangis melihat keadaan majikan mudanya itu dalam kondisi berantakan dan berdarah. Ia langsung memeluk tubuh Bulan yang terduduk di lantai itu.
"LEPASIN!!!" Bulan memberontak, namun tubuhnya yang entah kenapa melemah itu tak mampu melepaskan dirinya.
"Cukup, Non. Jangan nyakitin diri sendiri." Ucap Bi Sumi. Air mata wanita paruh baya itu terus mengalir. Ia semakin mengeratkan pelukannya.
"Lepasin, Bi." Bulan menangis sesenggukan. "Aku udah lelah, Bi. Aku lelah."
"Ada Bibi, Non. Bibi sayang sama Non Bulan." Ucap Bi Sumi menenangkan. Baju daster wanita itu sudah basah karena air mata Bulan.
"Bi, aku anak haram. Aku anak yang gak diharapin sama ibu dan ayah." Suara Bulan sangat serak karena terus menangis dan berteriak. Ia melepas pelukannya dari Bi Sumi. Bulan dapat melihat tatapan khawatir dari pembantunya itu.
"Di dunia ini gak ada yang namanya anak haram, Non." Ucap Bi Sumi dengan lembut. Ia menangkup wajah Bulan dan menghapus bulir air mata yang menggantung di ujung mata serta bercak darah. "Semua anak lahir dengan keadaan yang suci. Pokoknya, Non Bulan gak boleh ngelakuin yang kayak tadi. Bibi gak bisa bayangin kalau Bibi sampe kehilangan seseorang yang udah dianggap sebagai anak."
Bulan hanya diam. Setetes air mata kembali mengaliri pipinya, tapi ia mengusapnya denan kasar. Ia memeluk Bi Sumi lagi yang dibalas oleh wanita itu.
"Pokoknya Non Bulan harus janji sama Bi Sumi, jangan ngelakuin hal itu lagi." Ucap Bi Sumi seraya mengeratkan pelukannya.
Bulan cuma diam tanpa suara, tidak menjawab apapun.
***
Yahhh rada kecewa kalo sad ending gini , terharu aku tuuu
Comment on chapter EPILOG