BAB 9
***
"Aku tak mungkin cemburu hanya karena gadis menyebalkan itu bersama cowok lain."
-Langit
***
Bulan berjalan di koridor yang tidak terlalu ramai karena penghuninya ada yang ke kantin untuk mengisi perut, pinggir lapangan untuk nongkrong, dan perpustakaan untuk siswa-siswi yang rajin. Namun ada juga yang cuma berdiam diri di kelas karena mager kemana-mana, padahal bel istirahat sudah berbunyi beberapa menit yang lalu.
Cewek dengan rambut sebahu yang kini dikuncir kuda itu memasuki kelas XI IPA 3, kelasnya Langit. Ia tahu, cowok itu adalah yang paling mager dibandingkan ketiga sahabatnya.
Tampak Langit dengan gaya seperti biasanya, earphone yang tersumpal di kedua telinga, kepala yang bersandar di kepala kursi, serta mata yang terpejam menikmati lagu yang terputar di ponselnya.
Bulan duduk di depan Langit, mereka hanya terpisahkan oleh meja. Bulan meletakkan satu kotak bekal berwarna biru yang ia bawa untuk Langit di meja yang menjadi pemisah mereka itu.
"Langit?" Panggil Bulan. Langit diam karena tak mendengar.
Bulan mendengus kesal. Tangannya terulur pada juntaian kabel earphone putih milik Langit dan menariknya hingga terlepas. Langit membuka matanya dan menatap kesal cewek di depannya itu. Namun dibalas Bulan dengan kekehan.
"Bisa gak, sih, sehari aja gak ganggu gue?" Tanya Langit dengan menatap jengkel pada Bulan.
Langit melepas earphonenya dari ponsel. Lalu, memasukkan earphone itu ke dalam tas. Langit menatap Bulan sekilas, lalu pandangannya turun ke kotak bekal yang gadis itu letakkan tadi di meja.
Langit mengangkat kotak bekal itu. "Ini punya siapa?"
"Punya Lo. Tadi pagi gue buatin khusus buat Lo karena gue tau Lo orangnya mageran ke kantin." Ucap Bulan dengan bangga.
Langit mengangguk tipis, ia membuka tutup kotak bekal. Tampak nasi dan ayam goreng serta buah-buahan yang sudah di potong di dalamnya.
"Cobain, deh." Pinta Bulan. Langit menyendokkan nasi serta ayam goreng buatan Bulan dan menyupkannya ke mulut.
"Ini beneran Lo yang buat?" Tanya Langit tidak yakin.
Bulan mengangguk bangga. "Tentu. Khusus buat Lo, spesial soalnya buatnya pake cinta." Cewek itu terkekeh kecil.
"Enak." Komen Langit yang membuat Bulan mengulum senyum.
Kemudian, seolah ingat sesuatu, Bulan menepuk jidatnya. "Oh, iya!" Serunya. "Gue lupa bawa minuman buat Lo. Bentar, ya. Gue mau beli dulu."
Saat Bulan berdiri, Langit mencekal tangannya dan menyuruhnya untuk duduk kembali.
"Gak usah. Gue punya minum, kok." Cowok itu mengeluarkan botol minum warna hitam dari dalam tasnya dan meletakkan di meja.
Bulan menghela napas lega. "Baguslah."
Langit menyuapkan nasi ke mulutnya dengan Bulan yang terus memandanginya tanpa kedip. Langit yang sadar dipandangi seperti itu, lantas menegakkan punggungnya. Ia menatap Bulan dengan raut datar.
"Jangan pandangin gue kayak gitu, bisa?" Ucap Langit datar.
Bulan menggeleng. "Gak." Jawab Bulan santai. Ia lantas tersenyum melihat mata Langit yang menajam. "Makan aja, gue gak ganggu, kok."
Langit mendengus kesal. "Bekal Lo mana? Emang Lo gak makan?"
Seakan pertanyaan itu memiliki suplemen penyemangat, Bulan langsung menegakkan punggungnya dengan senyuman merekah Bulan bertanya dengan senang dan tak percaya. "Langit, Lo udah peduli sama gue?"
"Gak." Jawab Langit singkat seraya memotong ayam goreng dengan sendoknya. "Gue cuma tanya."
Luntur sudah senyuman itu dalam sekejap tak tersisa. Bulan menghembuskan napas kecewa.
"Lo gak makan?" Tanya Langit lagi yang dibalas Bulan dengan gelengan pelan.
Wajahnya muram karena efek kekecewaan yang masih ada. Ia tak banyak bicara dan menatap kosong kotak bekal yang ia bawakan untuk Langit. Ia selalu merutuki dirinya sendiri ketika kepedeannya keluar begitu saja tanpa terkontrol. Ia terlalu ge-er. Mana mungkin Langit peduli dengannya, rasanya mustahil.
"Olimpiade Lo gimana?" Tanya Langit untuk memancing Bulan bicara. Ia tidak terlalu suka cewek di depannya ini diam tanpa suara, sangat tak cocok dengan karakternya dan akan terlihat tidak nyaman jika melihatnya seperti itu.
Sontak, wajah muram itu berganti senang. Topik olimpiade matematika membuatnya semangat. Ia menatap Langit dan tersenyum lebar.
"Lancar, dong! Gue, kan, berambisi banget buat dapetin juara satu."
Langit mengangguk-angguk. "Lo gak mau rasain makanan buatan Lo sendiri?" Tanya Langit seraya menyodorkan kotak bekal itu. "Enak, loh."
Bulan menggeleng seraya tersenyum. "Gue gak nafsu makan."
Langit mengedikkan bahunya. "Yaudah, kalo gak mau." Cowok itu pun melanjutkan menyuap nasi yang tinggal setengah lagi.
"Langit?" Panggil Bulan.
Langit mendongak dan melempar tatapan tanya.
"Gue boleh nebeng Lo, gak, pulang nanti?" Tanya Bulan penuh harap.
Langit terdiam sejenak. "Gak bisa. Gue udah ada janji."
Bulan mengernyitkan keningnya. "Sama siapa?"
"Keisha."
Boom
Bagai gunung api yang meletus, perasaan Bulan sekarang hancur melebur. Menyangkut nama cewek yang menyandang status mantan Langit itu membuat Bulan tidak bisa berbuat apa-apa. Keisha dapat membuat Langit langsung menuruti keinginannya tanpa perjuangan sekalipun, sedangkan Bulan perlu bernegosiasi dahulu hingga mendapat kata 'ya'. Namun sekarang, ia tak bisa meminta lebih lagi pada Langit jika ia tak ingin kena semburan mulut pedas Langit. Ia memilih diam dan menghela napas kecewa.
"Oke." Ucap Bulan pelan. "Gak pa-pa."
"Ehm... gue mau ke perpustakaan dulu. Mau belajar buat olimpiade minggu depan." Kata Bulan lagi.
Langit mengangguk. "Ngomong-ngomong, makasih bekalnya. Enak."
Bulan tersenyum masam, itupun jika Langit sadar. Cewek itu berdiri dari duduknya. "Gue pergi dulu."
Ia meninggalkan Langit yang terlihat biasa saja. Tanpa beban dan rasa bersalah. Seolah Bulan sebagai pacarnya itu tidak memiliki hati yang bisa kapan saja hancur berkeping-keping.
***
Bulan duduk di tempat biasanya ketika di perpustakaan. Hanya ada beberapa orang di sana termasuk Bulan yang tengah berkutat dengan buku paket matematika.
Ia terus belajar tanpa memperdulikan sekitar, fokus sekali. Namun, tiba-tiba saja perutnya merasa mual seperti ada sesuatu yang berputar-putar di dalamnya.
Bulan mengelus-ngelus perutnya berusaha untuk mengurangi rasa mual yang melanda dan kembali menelusuri angka-angka yang tersusun dalam buku.
Tapi, mualnya semakin menjadi-jadi. Ia merasa mau muntah sekarang juga. Bulan berdiri dari duduknya seraya menutup mulutnya seolah menahan sesuatu yang akan segera keluar dari mulutnya.
Bulan tidak tahan lagi, ia berlari meninggalkan bukunya, beberapa orang di perpustakaan menatapnya heran. Ia tak peduli sama sekali dengan tatapan itu. Ia keluar dari perpustakaan dan berlari secepatnya menuju toilet khusus putri dengan tangan kanan menutup mulut dan tangan kiri memegang perut.
Ia berlari sampai tak sengaja menabrak beberapa siswa maupun siswi yang berpapasan dengannya. Bahkan, ia tak sengaja menabrak bahu Dami yang berjalan seorang diri.
"Eh, Bulan? Lo kenapa!?" Dami setengah berteriak pada Bulan yang sama sekali tak menoleh ke arahnya.
Bulan terus berlari hingga memasuki toilet putri, ia langsung memuntahkan isi perutnya di wastafel.
"Huek...huek..." Bulan menghela napasnya. Lalu, menatap pantulan dirinya di cermin yang terpasang di atas wastafel.
Wajahnya pucat pasi, rambutnya berantakan. Ia menyisihkan helaian rambut yang menempel di wajahnya ke belakang telinga. Kemudian, rasa mual itu kembali dan Bulan langsung menunduk dengan kedua tangan bersangga di kedua sisi wastafel untuk memuntahkan isi perutnya lagi.
"Huek...huek..." Napas Bulan tak beraturan, ia tersengal-sengal. Ia membasuh wajahnya dengan air untuk menyegarkan diri.
Bulan menyandarkan tubuhnya ke dinding, ia memegang kepalanya yang berdenyut-denyut karena pusing. Bulan tidak tahu sama sekali ada apa dengan dirinya?
***
Bel pulang berbunyi yang merupakan surga dunia bagi seluruh murid. Tapi, tidak untuk Bulan. Ia malah menyukai sekolah, karena dengan sekolah ia bisa melupakan sejenak saja masalah yang akan ia tanggung di rumah.
Bulan berjalan sendiri di koridor, wajahnya sudah lebih segar daripada tadi, senyumnya pun kembali.
Tiba-tiba seseorang menarik tasnya dari belakang membuat langkah Bulan termundur dan belakang kepalanya menabrak sesuatu yang kokoh.
"Aw!" Ringis Bulan. Bulan berbalik dan mendongak. Tampak tubuh Langit menjulang tinggi di hadapannya menatapnya datar. Bulan mundur beberapa langkah.
Ia menatap Langit dengan senyuman mengembang.
"Hai, Langit!" Sapanya ceria sambil memainkan tali tas sekolahnya yang menjuntai di kiri dan kanan.
Langit tak menjawab, ia meraih tangan Bulan dan membawanya berjalan menuju parkiran hingga sampai di mobilnya.
Bulan bingung, ia menatap Langit dengan heran. "Kok, ke sini?" Tanyanya. "Gue, kan, harus ke halte depan buat nunggu ayah atau ibu."
Langit tak menjawab. Ia malah membuka pintu mobil dan mendorong tubuh Bulan hingga cewek itu duduk sempurna di kursi penumpang. Bulan sangat bingung ia menatap Langit berlari kecil ke sisi pengemudi. Sampai ia membuka pintu mobil dan masuk ke dalamnya.
Bulan langsung mencecarnya dengan pertanyaan beruntun. "Kok, gue masuk mobil Lo? Bukannya Lo pulang sama Keisha? Keishanya mana? Kok, gak ada? Gue, kan, harusnya ke halte dep--"
"Diam." Ucap Langit dingin. Ia memegang stir dan menatap lurus ke depan.
Bulan bungkam dan tak mengeluarkan suara sedikitpun.
"Lo kenapa tadi?" Mulai Langit tanpa menatap Bulan.
"Apanya?"
"Tadi pas Lo lari-larian di koridor, Dami bilang Lo pucet banget. Kenapa?" Desak Langit. Ia terdiam sejenak, sempat tertegun kenapa ia terkesan begitu peduli dengan cewek di sampingnya ini.
"Oh... itu anu, mual tadi." Ucap Bulan seraya menyelipkan helaian rambut ke belakang telinga.
"Mual?" Bulan mengangguk.
Langit mendengus. "Makanya, tadi kan Lo udah gue suruh makan." Lagi, Langit bertanya-tanya dalam dirinya kenapa ia tampak khawatir. Ia menyembunyikan raut wajahnya yang heran dengan dirinya sendiri dengan raut datar seperti biasanya.
"Kan, gue gak nafsu makan tadi."
"Terserah. Yang penting sekarang itu pulang." Ucap Langit, lalu menyalakan mobilnya.
"Keisha mana?" Tanya Bulan lagi. "Bukannya Lo pulang sama Keisha? Katanya udah janji."
"Dia gue suruh pulang sendiri." Kata Langit, cowok itu menjalankan mobilnya dengan kecepatan sedang. "Itu karena Lo yang sakit."
Bulan terdiam.
"Kenapa, sih, Lo harus sakit?" Tanya Langit kesal, ia menatap lurus ke depan. "Kan, gue gak bisa jalan sama Keisha jadinya."
Bulan menoleh cepat, ia menatap Langit dari samping. "Lo mau jalan sama Keisha?"
Langit bergumam mengiyakan. Tidak ada gunanya menyangkal. Toh, cewek yang berstatus pacarnya ini juga sudah tahu jika ia mencintai cewek lain.
"Kenapa?" Tanya Bulan menatap Langit dengan sendu. "Kenapa Lo lebih milih dia dibanding gue?"
Langit melirik Bulan sekilas, ia malah bertanya balik. "Kenapa emangnya? Hidup gue juga, kan?"
"Lo gak berhak ngatur." Ucap Langit datar.
Bulan merasakan bagaimana rasanya pacar yang dianggap antara ada dan tiada. Langit selalu saja begitu dan dia tak pernah bisa tidak memaafkan. Hatinya seolah langsung luluh hanya dengam melihat wajahnya. Kadang... ia juga lelah kalo begini terus.
"Lo sebenarnya lebih milih gue atau Keisha, Lang?" Tanya Bulan tanpa menatap Langit yang langsung menoleh cepat padanya.
Langit menatap cewek di sampingnya itu jengkel, untung saja lampu lalu lintas di depan berwarna merah. Jika tidak, apa jadinya jika seorang marah-marah di dalam mobil yang sedang melaju.
"Lo ngapain nanya-nanya kayak gitu!?"
"Setiap gue ingin sesuatu Lo pasti nunda-nunda, marah-marah. Kalo ke Keisha... kesannya beda, gituh." Ucap Bulan santai seakan-akan jawaban yang ia ucapkan sama sekali tidak membuat hatinya sakit. "Gue sih cuma nanya aja. Antara pacar sama mantan, lo lebih milih siapa?"
Lampu di depan kembali berubah hijau, Langit menjalankan mobilnya lagi. Kali ini ia tampak marah dan kesal, terlihat dari raut wajahnya.
"Lo ngomong apa, sih? Kesal gue sama Lo!" Wajah Langit semakin memerah.
Bulan diam, ia menatap ke arah luar jendela mobil. Teriknya matahari membuat suasana semakin terasa panas padahal mereka berdua berada di dalam mobil yang ber-AC. Mungkin karena aura kemarahan Langit dan kemuraman Bulan yang bercampur jadi satu di dalamnya. Atau mungkin karena faktor lain, tapi yang ia rasakan keringat mengucuri pelipisnya.
Bulan berkata dengan pelan menjawab pertanyaan Langit. "Gue cuma nanya, Lang."
"Ngapain Lo nanya-nanya kayak gitu? Ngapain juga sih lo nyuruh milih yang kayak gituan. Lo pikir lo itu siapa, hah?!" Bentaknya. "Lo cuma orang yang kebetulan gue mau aja jadi pacar Lo! Lo cuma orang yang kebetulan beruntung!"
"Kalo Lo gak suka sama gue. Kenapa gak di putusin aja?" Nada suara Bulan melemah. Matanya pun memanas. Jujur, ia merasa tak rela bertanya seperti itu. Ia belum siap melepas Langit. "Kalo gue... gue gak bakal ngucapin kata putus kalo itu yang lo tunggu."
"Karena... gue udah terlanjur terlalu sayang sama Lo." Cicit Bulan lagi.
Langit semakin mencengkram kuat stir kemudinya. Napasnya menderu karena amarah yang tertahan. Cewek itu benar-benar membuatnya tak tahan berada dalam satu mobil bersama. Kata-kata yang diucapkan Bulan terasa memojokkannya karena ia terlihat seperti cowok brengsek.
Langit menepikan mobilnya ke bahu jalan dan berhenti. Sontak Bulan menatap Langit dengan bingung. "Kok, berhenti?"
"Turun." Ucap Langit tanpa menatap Bulan yang kali ini terkejut bukan main.
"Lang, Lo gila?"
"Turun, Bulan."
"Tapi--"
"Gue bilang turun, ya turun! Lo gak punya kuping, hah?!" Bentak Langit.
Bulan menatap Langit kecewa, ia meneguk salivanya kasar. Bulan lekas melepas sabuk pengaman, memasang tas sekolah yang tadi ia pangku.
Bulan membuka pintu mobil, lalu berucap pelan, "Makasih tumpangannya."
Bulan turun dari mobil dan menutup pintu mobil itu. Tanpa menunggu apa-apa lagi, Langit menjalankan mobilnya meninggalkan Bulan yang termenung. Cewek itu menghela napas kecewa. Kecewa dengan dirinya sendiri kenapa harus menyukai cowok seperti Langit.
Lalu lalang keramaian jalan raya menjadi latar tempatnya hari ini, jarak rumahnya masih cukup jauh jika ditempuh dengan jalan kaki.
Bulan berjalan pelan melewati deretan kios, toko, serta warung pinggir jalan. Ia berjalan sendirian, ia juga lupa bawa uang. Benar-benar hari yang menjengkelkan.
Bulan merasa dirinya sangat kelelahan padahal baru berjalan sekitar tujuh menitan, wajahnya berubah pucat pasi, tungkainya pun lemas. Ia merasa tak mampu menopang berat badannya lagi. Langkahnya berubah sangat pelan.
Entah mengapa, Bulan merasa akhir-akhir ini dirinya sering kelelahan padahal tidak melakukan pekerjaan berat. Mungkin karena nutrisi makanan Bulan yang kurang tercukupi atau apapun itu, Bulan tidak tahu.
Ia melihat tempat teduh di bawah pohon yang tidak terlalu besar di pinggir jalan, ia menghampiri pohon itu dan bersandar di batangnya. Bulan menunduk menumpu kedua tangannya di lutut, ia mengatur napasnya yang tersengal-sengal bagai habis berlari.
Setelah sekian menit terdiam, ia mencoba untuk kembali melanjutkan langkahnya. Baru beberapa langkah dari tempatnya tadi, ia kembali merasa dirinya tak mampu berjalan lagi. Rasanya ia mau ambruk.
Bulan mengusap keringat yang membanjiri pelipisnya dikarenakan cuaca yang sangat terik. Matahari terasa berada di atas kepala. Belum lagi asap-asap kendaraan yang membuat dirinya sedikit sesak napas.
Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara kendaraan mendekat.
"Itu pasti Langit." Gumam Bulan senang.
Ia menegakkan tubuhnya dan berbalik, tapi bukan Langit yang datang. Bulan sangat kecewa. Ia terlau berharap lebih, sudah tahu jika Langit sedang marah padanya. Rasanya mustahil jika cowok itu kembali dan menawarkan tumpangan pulang.
Seorang cowok menggunakan motor besar seperti punya Langit, namun motor ini berwarna merah. Cowok itu menggunakan helm fullface yang mana kaca helm hitam menutupi wajahnya. Cowok itu juga menggunakan jaket bomber warna navy.
Bulan mengernyit, ia merasa tak kenal dengan orang itu. Bulan menjauh beberapa langkah. Merasa waspada, bisa saja kan orang itu adalah penjahat.
"Bulan!" Panggil cowok itu.
Bulan mengernyit, cowok itu sepertinya mengenal dirinya. Cowok itu membuka helmnya dan tampak wajah seseorang yang ternyata ia kenali juga.
"Miko?"
Cowok tampan itu menyengir. "Hai!" Sapanya dengan gaya yang tengil seperti biasanya.
Bulan hanya membalas dengan senyuman.
"Kok, Lo jalan kaki?" Tanya Miko dengan heran. Alisnya yang tebal tampak menyatu.
Bulan menggaruk tengkuknya karena tidak tau mau menjawab apa. Tak mungkin kan ia menjawab :
"Gue ditinggal sama Langit karena dia marah- marah disuruh milih antara gue atau Keisha."
Jadi, Bulan hanya diam saja. Enggan menjawab. Dan untungnya Miko peka dengan ekspresinya yang tampak tak nyaman ditanya-tanya seperti itu.
"Ah, gak penting, sih." Samber cowok itu yang membuat Bulan bisa bernapas lega karena Miko tidak menanyakan lebih lanjut. "Gue nyamperin Lo karena gue mau nawarin Lo pulang."
Cowok itu menampilkan senyum tengil. "Mau, gak?" Tawarnya. "Soalnya, gue liat Lo pucet sama nampak lelah banget kayak orang habis nguli, hehe."
Bulan mengangguk cepat seraya tersenyum lega. "Mau banget."
Bulan bersyukur Tuhan memberikan pertolongan padanya di saat ia sudah tidak mampu lagi berjalan lebih lanjut karena kelelahan. Ia bersyukur Miko datang di waktu yang tepat. Dengan begini ia tak harus memaksakan diri untuk terus berjalan kaki.
Miko mempersilahkan Bulan naik ke atas motornya. Ia juga memberikan Bulan jaketnya untuk menutupi paha Bulan. Kemudian, barulah motornya melaju dengan kecepatan sedang menuju pulang.
***
Dari kejauhan, sekitar lima belas meter di belakang Bulan dan Miko bertemu. Ada mobil hitam dengan Langit di dalamnya yang mengawasi.
Rahang Langit mengeras, mulutnya terkatup rapat dengan mata yang menatap tajam ke objek di depannya. Cengkramannya pada stir semakin menguat.
Langit merasa... ada sesuatu yang mau meledak di dadanya melihat Bulan yang sekarang naik ke atas motor Miko. Kemudian, Miko menjalankan motornya dan Langit yakin cowok itu akan mengantarkan Bulan pulang.
Awalnya Langit memang meninggalkan Bulan, namun ia berbalik arah karena rasa bersalah yang hinggap. Dan saat ia sudah berada di belakang Bulan, sebuah motor besar berwarna merah menyalipnya tadi dan berhenti di samping Bulan. Langit tahu cowok itu adalah Miko. Langit memutuskan untuk berhenti dengan jarak yang cukup jauh agar tidak di sadari cewek itu.
Tapi, rasa marahnya malah semakin menambah melihat Bulan dengan Miko terpaut jarak yang sangat dekat. Ia merutuki dirinya sendiri tentang rasa ini, tak mungkin ia cemburu, kan?
Langit meremas rambutnya hingga acak-acakan. Ia berdecak seraya menggeram kesal. "ADA APA, SIH, SAMA GUE?!"
***
Yahhh rada kecewa kalo sad ending gini , terharu aku tuuu
Comment on chapter EPILOG