Loading...
Logo TinLit
Read Story - LANGIT
MENU
About Us  

BAB 7

***

"Lupakan sejenak, setidaknya sampai mampu bertahan."

***

Awan putih menggumpal menyembunyikan sang mentari yang malu-malu di baliknya. Pagi yang sejuk di pukul '06.15', terlihat dari kaca jendela mobil yang menampilkan kabut embun. 

Tak sia-sia Bulan bangun pagi sekali untuk pergi  ke sekolah,  keajaiban dunia sebenarnya karena ia bangun tidur tanpa dibangunkan oleh Bi Sumi.

Bulan sengaja ingin berangkat pagi karena ia ingin menghindari kemacetan. Dan ia sekarang tengah duduk di sisi kiri kursi penumpang belakang, menatap kabut embun pagi yang perlahan-lahan tergantikan polusi, sang mentari yang tadinya malu-malu sekarang mulai menampakkan diri, serta gedung-gedung pencakar langit yang menjulang tinggi.

Padahal Bi Sumi bersikeras menyuruh majikan mudanya itu untuk tetap istirahat di rumah sampai ia benar-benar pulih kesehatannya. Namun, bukan Bulan namanya jika tidak keras kepala. Terpaksa Bi Sumi mengijinkannya sekolah karena Bulan tetap kekeuh.

Gerbang SMA Pancasila sudah kelihatan di depan mata, supir pribadi Bulan menghentikan mobil tepat di depan gerbang itu. Bulan menggumamkan terima kasih pada supir pribadinya yang bernama Pak Kasim.

Kemudian, ia turun dari mobil seraya meluruskan lengan sweaternya yang tadi ia gulung sampai siku. Tadinya ia juga ingin menggunakan sarung tangan untuk melindungi lukanya, namun saat dilihat luka ditelapak tangannya sudah sedikit mengering dan Bulan tidak terlalu mempermasalahkan. Tapi, luka di pergelangan tangannya masih di perban dan Bulan tidak bisa jika tidak memakai sweater, ia tak ingin lukanya terlihat orang lain dan ia tampak menyedihkan.

Kondisi sekolah pagi ini masih sepi, hanya ada sekitar segelintir orang yang tampak di depan matanya termasuk satpam berkumis tebal dan penjaga sekolah yang berumur sekitar tiga puluhan, sisanya murid-murid rajin dan kena tugas piket. 

Bulan mengeratkan pergelangan tangannya seakan-akan orang lain akan melihatnya kapan saja, padahal sudah jelas pergelangannya tertutup sweater. 

Bulan berjalan pelan menuju kelasnya--XI IPA 1. Ia memasuki kelasnya, kosong. Tidak seorang pun di sana dan Bulan menikmati kesendiriannya. 

Sekitar beberapa menit kemudian, tiba-tiba seorang masuk ke kelasnya, ternyata Gibran, sang ketua kelas. Cowok itu menyadari ada orang selain dirinya dan matanya bertemu dengan mata Bulan sekian detik.

"Eh, Bulan! Lo udah dapet pesan dari--"

"Udah." Potong Bulan seraya membuka tasnya mengeluarkan buku matematika kelas sebelas untuk dipelajari sedikit-sedikit.

"Etdah! Lo itu sama Langit sama, ya?" Gibran meletakkan tasnya di bangkunya---sebaris dengan Bulan, berjarak lima kursi jauhnya. Gibran mencebik. "Sama-sama suka motong kalimat orang."

"Langit?" Bulan mengernyit. "Lo ada ngomong sama Langit?"

Gibran mengangguk, lalu mengambil sapu di pojok kelas, sepertinya ia kena tugas piket hari ini. "Kemarin gue dititipin pes--"

"Pesan sama Bu Rina buat ngasih tau gue kalo gue diikutin olimpiade matematika. Terus?"

Gibran menghela napas lelah, ia bahkan belum menyelesaikan kalimatnya tapi cewek yang duduk samping jendela itu sudah menyambung kalimatnya dengan tepat.

"Terus... gue cari-cari alamat Lo dan gak ada yang tau. Tiba-tiba dia nongol kayak hantu di belakang gue." Jelas Gibran. "Eh, gue kaget, dong. Dia bilang kalo dia tau alamat Lo. Terus..."

Bulan berdecak kesal, penjelasan Gibran terlalu panjang padahal ia hanya minta intinya saja. Bulan menopang dagunya dengan siku yang bertumpu di meja.

"Terus... gue minta dia buat nyampein ke Elo. Yaudah, deh. Gue balik aja setelah nitip pesan sama dia." Akhiri Gibran.

Bulan mengangguk-angguk mengerti. "Oh..."

Gibran berdecak kesal, lantas Bulan menatap cowok itu dengan tatapan tanya.

"Kenapa, sih, setiap gue jelasin panjang kali lebar kali tinggi respon pendengar cuma bilang 'Oh...' aja?" Tampak Gibran mengerucutkan bibirnya seraya menyapu-nyapu dengan kesal. "Gue itu udah capek mulut, capek tenaga, capek napas buat jelasinnya!"

"Terus Lo mau gue bilang apa?" Tanya Bulan dengan alis yang naik turun.

Gibran menghentikan kegiatan menyapu asal-asalannya itu, lalu menatap Bulan seraya berpikir. "Gak tau juga gue." Katanya dengan polos.

"Nah, yaudah. Lo jangan ngambek-ngambek kayak cewek PMS, dong!" Tukas Bulan. 

Kini Gibran menghela napas berat. Ia cuma bisa diam karena ia kalah debat singkat dan melanjutkan menyapu asal-asalannya. Dasar! Jelmaan cewek PMS!

***

"Nanti ada dua guru yang membimbing kamu, termasuk saya." Ucap Bu Rina--guru pengajar matematika sekaligus wali kelasnya Bulan. "Tapi, ada baiknya kamu juga belajar mandiri. Perpustakaan kita lengkap, kamu bisa cari bank soal di sana. Wi-fi juga tersedia di sana, nanti ibu kasih tau passwordnya lewat sms aja."

Bulan mengangguk seraya tersenyum tipis. "Iya, Bu. Saya janji bakal berusaha buat ningkatin prestasi tahun lalu. Saya bakal usaha buat dapetin juara satu."

Bu Rina tersenyum ramah. "Baguslah kalau begitu. Saya percayakan semuanya sama kamu, Bulan. Baiklah kamu boleh keluar, maaf memotong waktu istirahat kamu."

Bulan mengangguk lagi, ia berdiri dari duduknya. "Saya pamit, Bu." Lalu, ia berbalik dan keluar dari ruang guru.

Kemudian, kakinya membawa ia menuju perpustakaan untuk meluncurkan aksinya bergelut dalam buku yang mengandung banyak angka. Ia sampai di perpustakaan. Sepi, kesan pertama yang dapat ia lihat di ruangan penuh buku ini.

Seperti biasa, jika sudah di perpustakaan Bulan pasti akan mengambil tempat duduk di samping jendela. Menghadap langsung ke halaman belakang sekolah yang hijau dan bersih.

Bulan meletakkan buku-buku yang sudah ia ambil di atas meja. Kemudian, Bulan membuka lembar demi lembar buku penuh angka itu. Ia mencoba memahami rumus, mencoba mengerjakan, menghafal, dan mempelajari. Saat sedang fokus, tiba-tiba kursi di depannya berderit.

Bulan mendongakkan kepalanya, tampak Langit menatapnya datar sama seperti biasanya.

"Kok lo di sini?" Tanya Bulan. Ia tidak bisa fokus kalau begini caranya, yang ada ia salah fokus karena wajah tampan Langit serta aroma maskulin yang khas merasuki hidungnya.

"Gue nguntitin lo."

"Hah?" Bulan tersentak dengan tiga kata yang keluar dari mulut  Langit. "Nguntitin gue? Ngapain?"

"Kan, lo pacar gue."

Bulan hampir tak percaya Langit mengatakan itu dengan santainya, bahkan Bulan saja lupa dengan fakta itu mengingat ketidakseriusan Langit padanya.

"Ah, ya." Ucap Bulan pelan seraya mengalihkan pandangannya pada buku di depannya. Dan ia bergumam pelan seraya mengulum senyum. "Gue bahkan lupa fakta itu, tapi dia inget."

Langit menatap Bulan dengan alis bertaut. "Lo bilang apa tadi?"

Bulan mengangkat kepalanya. "Eng--enggak Kok, enggak." Ia tertawa hambar, lalu kembali menelusuri angka di dalam bukunya.

"Soal semalem... jujur, gue emang pacarin lo karena gue mau nunjukin sama Keisha kalo gue udah move on. Gue gak mau terlihat menyedihkan depan dia." Ucap Langit santai sambil menyandarkan punggungnya di kursi.

Bulan diam, ia tak bersuara, namun tetap mendengarkan. Bahkan, gerakan matanya yang menelusuri angka pun ikut terhenti seketika.

"Tapi, soal dia ngerendahin lo itu... bukan bagian dari rencana gue buat lo terlihat rendah depan dia." Lanjut Langit. "Gue tau, Keisha sebenarnya baik. Dia hanya terpengaruh pergaulan teman-temannya."

Baik? Keisha baik? What the...?

Bulan mengangkat pandangan hingga matanya bertemu dengan mata Langit. "Lo sayang banget, ya, sama dia?"

"Banget."

"Masih cinta sampai sekarang?" Tanya Bulan sendu.

"Ya." Langit menatap mata Bulan yang penuh dengan luka di sana. Tapi, hati Langit terus mengelabuinya.

"Oh..." Bulan tersenyum paksa.

Bulan mengira dirinya telah berhasil menembus dinding es yang Langit bangun untuk menutupi dirinya. Tapi, perkiraannya ternyata salah. Langit di depannya ini masih sama dengan Langit yang Bulan kenal sejak awal. Dinding esnya masih kuat dan sulit diruntuhkan.

"Kalau lo sayang, kenapa kalian putus?"

Langit menatap Bulan sejenak, lalu mengalihkan pandangannya ke luar jendela. "Dia selingkuhin gue. Tapi, gue tau. Dia cuma dipengaruhi sama cowok selingkuhannya. Dia khilaf, dia gak sengaja melakukan kesalahan."

Bulan mengernyit aneh. Selingkuh, kok, gak sengaja. Emangnya ada, ya?

"By the way, Lo mau temenin gue beli komik?"

Wajah Bulan yang semula tanpa ekspresi kini langsung berubah ceria layaknya ditawarin mainan sama ayahnya. Bulan mengangguk senang tak lupa senyuman bahagia terlukis di wajahnya.

"Mau banget!" Serunya.

"Nanti pulang sekolah."

***

"LANGIT!"

"LANGITTT!!!" Teriakan cewek dengan sweater yang membalut tubuhnya semakin nyaring. Tatkala, membuat orang di sekitarnya menatap Bulan dengan raut tak suka.

Langit yang merasa dirinya terpanggil pun akhirnya menghentikan langkah. Ia membalik badan dan melihat Bulan dengan langkah larinya yang cukup cepat menghampiri Langit. 

Langit merenggut. "Bisa gak, sih, lo jangan teriak-teriak?! Lama-lama keluar nih congek gara-gara lo?!"

Yang dimarahi malah cengengesan. "Maaf. Tapi, jadikan?"

Langit mengerutkan keningnya heran. "Apaan?"

Bulan berdecak. "Beli komiknya, jadi, kan?"

Langit membulatkan mulutnya membentuk huruf 'O'. "Iya. Hampir lupa tadi."

"Untung ada gue." Bulan terkekeh. Sedangkan, disampingnya Langit memutar bola matanya malas.

Kemudian, mereka berdua berjalan menuju parkiran tanpa beriringan karena posisinya Bulan yang mengikuti Langit di belakang. Bulan cuma bisa menahan sesak di dadanya karena ketika Keisha bisa berjalan di samping Langit, maka Bulan hanya bisa berjalan di belakang seperti penguntit.

Saat sampai di parkiran, Bulan menatap sekitar dengan bingung.

"Mobil Lo mana?"

"Gue bawa motor." Kata Langit seraya menuju motor besar berwarna hitamnya. Bulan mengikuti di belakangnya.

"Gue cuma bawa satu helm. Gimana dong?"

"Ya udah, gak pa-pa." Kata Bulan dengan senyumannya.

Kemudian, Langit mempersilahkan Bulan untuk naik ke atas motor besarnya. Namun, ia merasa ada sesuatu yang janggal. Ia menoleh ke belakangnya tepat Bulan berada.

"Lo merasa ada yang kurang, gak?"

Bulan berpikir dengan kening yang mengerut. "Apa, ya?" Kemudian, matanya turun ke pahanya sendiri yang mana roknya sedikit naik. Ia menyengir malu pada Langit.

"Ehm... Langit, gue boleh pinjem jaket Lo, nggak?"

Langit menatap Bulan dengan raut berpikir. "Ah, ya! Paha Lo sedikit terbuka. Gue baru inget Lo pake rok bukan pake celana." Ucap Langit tanpa menurunkan matanya ke paha Bulan. Karena ia bukan cowok mesum yang suka ngambil kesempatan. "Tapi, kenapa gak pake sweater Lo aja?"

"Anu... itu gue kedinginan, Lang." Ucap Bulan berusaha menyembunyikan raut gelagapannya.

"Hari gini kok kedinginan. Aneh Lo." Ucap Langit dengn raut datar. Kemudian, Langit melepas jaket jeans biru pudarnya dan memberikan pada Bulan tanpa banyak tanya lagi.

Bulan meletakkan jaket Langit menutupi pahanya. "Udah."

Langit menyalakan motornya, lalu memacu gas dengan kecepatan sedang melewati gerbang sekolah dan berakhir ke jalan raya untuk menuju toko buku.

***

Di toko buku yang tidak terlalu ramai ini membuat Langit dan Bulan lebih leluasa karena tidak harus berdesak-desakkan dengan orang yang juga ingin membeli Buku.

Langit dan Bulan mengambil jalur rak buku yang berbeda. Langit berada di rak yang berisi kumpulan komik, sedangkan Bulan berada di rak yang berisi kumpulan novel.

Bulan menyempatkan diri membaca novel yang mana sudah terbuka segel plastiknya hingga tak ingat jika ada orang lain yang membawanya ke sini.

"Lo gue tungguin dari tadi, ternyata di sini." Ucap Langit dari belakang Bulan membuat cewek itu berbalik dengan cengiran konyol.

"Maaf. Soalnya novelnya seru." Kata Bulan seraya terkekeh.

Langit menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah Bulan. "Lo kalo mau beli, ya, beli."

"Nggak deh. Eh, tapi Lo udah, kan?"

Langit mengangguk. "Udah. Yuk, keluar. Gue udah bayar soalnya."

Mereka berdua berjalan keluar dari toko buku. Panasnya cuaca hari ini membuat keringat Bulan bercucuran di pelipisnya.

Saat Langit sudah menaiki motornya, Bulan berdiri di samping Langit membuat cowok itu melemparkan tatapan : Ngapain Lo di situ? Mau gue tinggal?

Untungnya Bulan peka dengan raut wajah itu. Bulan menyengir seraya menggaruk tengkuknya. "Langit, ke kafe dulu, yuk? Gue haus."

Langit menghela napas berat. "Gue mau cepet pulang."

Raut wajah Bulan berubah menjadi murung. "Tapi, gue haus, Lang. Boleh, ya?" Tanyanya dengan penuh harap. Bulan menangkup kedua telapak tangannya di depan dada seraya memasang puppy eyes. "Pleaseeee!"

Langit menatap Bulan dengan ekspresi yang sulit diartikan. Cowok itu mendengus sebal. "Oke, oke."

Lantas raut murung cewek itu langsung berubah menjadi sumringah. Ia bersorak senang. "Yeay!!!"

 Ia cepat naik ke atas motor Langit sebelum Langit berubah pikiran dengan meninggalkannya di depan toko buku itu. Kemudian, barulah cowok itu menjalankan motornya.

***

Langit dan Bulan memasuki kafe sederhana yang tidak terlalu luas namun nyaman dengan tema alam. Langit dan Bulan memilih duduk di area outdoor agar bisa melihat lalu lalang keramaian di sore hari.

Terlebih lagi Bulan, ia seakan ingin menghentikan waktu sekarang juga agar bisa berlama-lama dengan pujaan hatinya. Pujaan hatinya yang bernama Langit---Zerion Langit Adhyaksa.

Langit yang selalu bisa membuat ia melupakan segala sakit hati walaupun terkadang sumber sakit hati itu ada di cowok itu.

Langit yang selalu membuatnya mudah memaafkan segala apa yang dilakukan cowok itu padanya.

Langit yang selalu membuatnya bisa bertahan walaupun terus di sakiti perlahan lewat perkataan.

"Lo mau pesan apa?" Tanya Bulan pada Langit dengan senyumannya yang tidak luntur sedari tadi.

"Samain Lo aja." Ucap cowok itu tanpa mengalihkan pandangannya dari ponsel.

Bulan kemudian memanggil pelayan dan memesan jus mangga untuknya dan Langit.

"Langit--"

Tring... tring... tring...

Nada dering telpon yang berasal dari ponsel cowok itu berbunyi. Bulan dapat melihat perubahan raut wajah Langit saat cowok itu melihat nama penelpon.

Bulan bertanya-tanya siapa kira-kira yang menelpon Langit sehingga menimbulkan perubahan ekspresi dari cowok itu.

Langit mengangkat telponnya dengan sedikit ragu.

"Halo."

"....."

"Lo kenapa?"

"......"

"Emang pacar Lo gak ada? Kok, malah ke gue?" Ucap Langit, namun Bulan dapat mendengar perubahan nada suara dari Langit. Saat awal terlihat ketus, namun sekarang berbeda. Seolah ada rasa senang di dalamnya.

"....."

"Iya. Gue bakal ke sana. Tunggu, aja. Lo jangan kemana-mana." Langit menutup ponselnya bertepatan dua jus mangga yang datang dibawakan oleh seorang pelayan.

Bulan menggumamkan terima kasih pada pelayan itu, lalu menatap Langit dengan raut heran. "Siapa tadi yang nelpon?" Tanya Bulan, ia melihat Langit memakai jaketnya dengan tergesa-gesa.

Langit memandang Bulan seolah ia baru ingat jika sedang bersama seseorang. Kemudian, cowok itu mengeluarkan dompetnya dan mengambil uang. Ia meletakkannya di depan Bulan. 

"Maaf, Bulan. Gue gak bisa nemenin Lo lebih lama.  Ini uang buat Lo pulang sendiri sekaligus bayar dua jus ini. Lo juga gak pa-pa habisin jus punya gue." Ucap Langit seraya beranjak dari duduknya.

"Langit, Lo mau kemana?" Ucap Bulan tak rela. 

"Gue mau jemput Keisha di mall. Dia gak bisa pulang."

"Tapi, kan, dia punya pacar dan kenapa harus Lo yang jemput dia dari sekian banyak orang?" Ucap Bulan jengkel.

Langit menatap Bulan dengan raut yang juga sama jengkelnya. "Dia udah putus sama pacarnya. Dan kenapa harus gue? Karna dia cuma ingat gue."

"Tapi--"

"Bulan, Lo jangan manja, deh! Lo bisa naik taksi pakai duit gue tadi. Jangan pakai ojek, soalnya Lo pake rok pendek, gue gak suka." Kata Langit, lalu berjalan menuju motornya yang terparkir tak jauh dari posisi mereka tadi.

Bulan menatap kepergian Langit dengan raut sendu. Pandangannya teralih pada dua jus mangga yang masih utuh dan selembar uang seratus ribu.

"Ternyata gue ada karena pemeran utama yang sedang pergi. Ketika pemeran utama itu kembali, gue gak diperlukan lagi." Gumamnya pada diri sendiri. 

Bulan tersenyum getir seraya memegang dadanya. Dan melirih, "Sakit."

Tidak lama kemudian, muncul notifikasi sms masuk.

Langit : Kalo udh smpe rumah, sms gw. 

Langit : Langsung plg ke rumah.

***

Bulan pulang tepat pukul delapan malam. Dan sekarang dirinya telah berdiri tepat depan pintu rumahnya sendiri. Ia memeluk dirinya sendiri karena hawa yang dingin padahal ia sudah menggunakan sweater.

Bulan ingin masuk, namun entah mengapa hatinya ragu. 

Soal di kafe tadi, ia hanya meneguk setengah gelas jus mangga miliknya, lalu pergi. Namun, ia tak langsung pulang ke rumah seperti yang Langit suruh karena ia tahu Langit seperti itu hanya untuk menjaga imej sebagai pacar, bukan sebagai orang yang peduli padanya.

Jika kalian ingin tahu Bulan kemana?

Maka, jawabannya ia pun tidak tahu. Karena Bulan berjalan-jalan tak tentu arah hingga ia lelah dan memutuskan untuk pulang ke rumah.

Ia juga tidak menggunakan uang yang Langit berikan padanya, ia juga punya uang sendiri. Uang itu akan kembalikan besok pagi saat di sekolah.

Bulan meraih knop pintu dan memasuki rumah seutuhnya. Lantas, suara menggelegar datang dari ruang tamu. Bulan terkejut bukan main. 

Bulan meliht raut wajah Erik yang menatapnya dengan marah.

"DARIMANA SAJA KAMU?!" Teriak Erik dengan nyaring.

"Dari--"

"PULANG MALEM, MASIH PAKE BAJU SEKOLAH. GAK MALU KAMU, HAH?!"

Bulan menunduk dalam.

"SAMA SIAPA KAMU?! SAMA LAKI-LAKI?!"

"Ng--"

"Dasar gadis murahan!" Desis Erik yang membuat Bulan mendongak menatap Ayahnya dengan sakit hati. Perkataan Erik sangat menyakitkan dan menusuk ke hatinya. Dia bukan gadis murahan dan dia tak suka Ayahnya menyebutnya seperti itu.

"Aku bukan gadis murahan!" Balas Bulan dengan mata merah namun tanpa air mata yang mengaliri pipinya.

"KALO BUKAN GADIS MURAHAN APA? PULANG SEKOLAH BUKANNYA PULANG KE RUMAH MALAH KELUYURAN?!"

"Aku tadi--"

"Kamu sama saja dengan Ibumu itu! Suka sekali pulang malam! Tapi, menuduh saya yang tidak-tidak!" Ucap Erik dengan rahang mengeras. "Sama-sama pela--"

"JANGAN BAWA-BAWA IBU!"

Erik yang diteriaki seperti itu merasa amarahnya tersentil detik itu juga dan langsung menghampiri Bulan dan...

Plakk

Satu tamparan mendarat mulus di pipi kiri Bulan membuat rasa perih yang tak tertahankan. Kepalanya yang tertoleh kesamping terasa sakit sekali. Ia menatap Erik dengan air mata yang siap mengalir di pipi mulusnya. 

Kemudian, berlari menaiki lantai dua sambil memegang pipinya yang memerah akibat tamparan keras. 

Bulan membuka pintu kamarnya, lalu masuk dan menguncinya. Ia bersender di pintu dan luruh merosot ke lantai dengan kedua tangan yang menutupi wajah.

Air mata mengalir dengan deras sekarang. Bulan kemudian memegangi dadanya seolah menahan agar tidak ada kepingan hati yang terlepas dari tempatnya. Ia sakit hati, Ayahnya menyebutnya gadis murahan. Anak gadis mana yang tidak marah jika disebut Ayahnya sendiri seperti itu?

Ayahnya sudah keterlaluan padanya, ia sangat marah. Tentu saja. Tapi, ia tak bisa membencinya. Rasa sayangnya mengalahkan segalanya.

Ia menengadah menatap langit-langit kamar, lalu memejamkan matanya seolah menahan segala rasa sakit di hatinya. Namun, ia tak mampu. 

Ia melepas sweater di badannya dan melemparnya ke sembarang arah. Tampak luka di pergelangan tangannya yang berbalut perban. Entah dorongan dari mana, Bulan menekan luka di pergelangan tangannya secara perlahan lalu semakin kuat. 

"Argh!" Ia meringis, namun tetap bertahan dalam posisinya yang terduduk di lantai kamar yang dingin dan bersender di pintu serta tangan yang tetap menekan luka.

Luka yang belum kering itu mengeluarkan darah menjalari perban yang semakin basah. 

Bulan sangat menikmati sensasi sakit dan perih di tangannya, setidaknya menggantikan sakit yang menggrogoti hatinya. 

Ia terus meringis tertahan, air matanya semakin mengalir deras. Kakinya seolah menerjang-nerjang angin karena tangannya yang sangat sakit sekali. Napasnya tersengal-sengal bak sehabis berlari. Matanya pun ikut bereaksi, sebentar terpejam sebentar terbuka.

Namun, seketika ia sadar. Ia menatap pergelangan tangan penuh darah sampai ke lantai. Napas semakin Bulan tak beraturan, ia tak mau seperti ini.Ia tak mau kecanduan dengan hal ini. Ia tak mau nanti dirinya menderita self injury. 

Bulan kembali menangis dengan dada yang terus menyesak. Ia lelah dengn keadaan seperti ini. "GUE GAK MAU KAYAK GINI!!!" Teriaknya penuh emosi. "KENAPA GUE HARUS TERLAHIR DENGAN KELUARGA HANCUR!!!"

Dasar gadis murahan!

Dasar gadis murahan!

Bulan meremas rambutnya kuat-kuat, air matanya tak berhenti mengalir. Tiga kata dari ayahnya tak berhenti memenuhi kepalanya. Berputar-putar mengelilingi pikirannya tanpa henti.

Dasar gadis murahan!

Dasar gadis murahan!

"GUE BUKAN GADIS MURAHAN!!!" Teriaknya dengan lelah bercampur isak tangis. "KELUAR DARI KEPALA GUE!!!"

Tok... tok... tok...

Ketukan di pintu kamarnya terdengar beserta panggilan-panggilan dari Bi Sumi. Tapi, Bulan tak menghiraukannya dan terus terisak.

Tok...tok...tok...

Ketukannya semakin menjadi-jadi dan lebih berupa gedoran di pintu. Suara Bi Sumi juga semakin keras memanggilnya.

"Non Bulan, jangan lakuin macem-macem, Non!!" Bujuk Bi Sumi. "Keluar, Non!!"

"PERGI!!!"

"Non!!!"

"GUE BILANG PERGI!!!" Bulan kembali berteriak. Kepalanya semakin ia remas dengan kuat, tak peduli apakah kepalanya akan luka atau tidak.

Bulan kemudian berdiri dari duduknya tanpa memperdulikan panggilan-panggilan dari Bi Sumi lagi.

Ia melangkah menuju lemari berwarna hitam yang ada di samping lemari pakaiannya. Darah bercucuran di lantai ketika ia berjalan. 

Bulan membuka lemari hitam itu dan mengeluarkan sebotol whiskey juga gelas kecilnya. Sekarang yang ia lakukan adalah menuang minuman keras itu ke dalam gelas kecil.

Bulan meneguk langsung hingga perasaan panas dan terbakar membuat dirinya terbuai untuk terus melakukannya agar ia bisa melupakan sejenak masalahnya. Agar esok hari ia bisa merasakan seolah segalanya... tidak pernah terjadi.

***

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 0 0 1 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • Tataniiiiii

    Yahhh rada kecewa kalo sad ending gini , terharu aku tuuu

    Comment on chapter EPILOG
  • dreamon31

    Hai...aku suka sama nama Langit. Aku juga punya judul cerita yang sama - LANGIT - , mampir juga di ceritaku yaa...

    Comment on chapter PROLOG
Similar Tags
If...Someone
1840      779     4     
Romance
Cinta selalu benar, Tempatnya saja yang salah.
Reach Our Time
10723      2494     5     
Romance
Pertemuan dengan seseorang, membuka jalan baru dalam sebuah pilihan. Terus bertemu dengannya yang menjadi pengubah lajunya kehidupan. Atau hanya sebuah bayangan sekelebat yang tiada makna. Itu adalah pilihan, mau meneruskan hubungan atau tidak. Tergantung, dengan siapa kita bertemu dan berinteraksi. Begitupun hubungan Adiyasa dan Raisha yang bertemu secara tak sengaja di kereta. Raisha, gadis...
Journey to Survive in a Zombie Apocalypse
1358      662     1     
Action
Ardhika Dharmawangsa, 15 tahun. Suatu hari, sebuah wabah telah mengambil kehidupannya sebagai anak SMP biasa. Bersama Fajar Latiful Habib, Enggar Rizki Sanjaya, Fitria Ramadhani, dan Rangga Zeinurohman, mereka berlima berusaha bertahan dari kematian yang ada dimana-mana. Copyright 2016 by IKadekSyra Sebenarnya bingung ini cerita sudut pandangnya apa ya? Auk ah karena udah telan...
Forestee
482      340     4     
Fantasy
Ini adalah pertemuan tentang kupu-kupu tersesat dan serigala yang mencari ketenangan. Keduanya menemukan kekuatan terpendam yang sama berbahaya bagi kaum mereka.
Cowok Cantik
13948      2166     2     
Romance
Apa yang akan kau lakukan jika kau: seorang laki-laki, dianugerahi wajah yang sangat cantik dan memiliki seorang ibu dari kalangan fujoshi? Apa kau akan pasrah saja ketika ditanya pacarmu laki-laki atau perempuan? Kuingatkan, jangan meniruku! Ini adalah kisahku dua tahun lalu. Ketika seorang laki-laki mengaku cinta padaku, dan menyebarkannya ke siswa lain dengan memuat surat cintanya di Mading...
Weak
251      202     1     
Romance
Entah sejak kapan, hal seromantis apapun kadang terasa hambar. Perasaan berdebar yang kurasakan saat pertama kali Dio menggenggam tanganku perlahan berkurang. Aku tidak tahu letak masalahnya, tapi semua hanya tidak sama lagi. Kalau pada akhirnya orang-orang berusaha untuk membuatku menjauh darinya, apa yang harus kulakukan?
Tepian Rasa
1380      687     3     
Fan Fiction
Mencintai seseorang yang salah itu sakit!! Namun, bisa apa aku yang sudah tenggelam oleh dunia dan perhatiannya? Jika engkau menyukai dia, mengapa engkau memberikan perhatian lebih padaku? Bisakah aku berhenti merasakan sakit yang begitu dalam? Jika mencintaimu sesakit ini. Ingin aku memutar waktu agar aku tak pernah memulainya bahkan mengenalmu pun tak perlu..
you're my special moments
2736      1097     5     
Romance
sebenarnya untuk apa aku bertahan? hal yang aku sukai sudah tidak bisa aku lakukan lagi. semuanya sudah menghilang secara perlahan. jadi, untuk apa aku bertahan? -Meriana Lauw- tidak bisakah aku menjadi alasanmu bertahan? aku bukan mereka yang pergi meninggalkanmu. jadi bertahanlah, aku mohon, -Rheiga Arsenio-
Rasa yang Membisu?
2222      1002     4     
Romance
Menceritakan 4 orang sahabatnya yang memiliki karakter yang beda. Kisah cerita mereka terus terukir di dalam benak mereka walaupun mereka mengalami permasalahan satu sama lain. Terutama kisah cerita dimana salah satu dari mereka memiliki perasaan terhadap temannya yang membuat dirinya menjadi lebih baik dan bangga menjadi dirinya sendiri. Pertemanan menjadikan alasan Ayu untuk ragu apakah pera...
The Red Eyes
23510      3663     4     
Fantasy
Nicholas Lincoln adalah anak yang lari dari kenyataan. Dia merasa dirinya cacat, dia gagal melindungi orang tuanya, dan dia takut mati. Suatu hari, ia ditugaskan oleh organisasinya, Konfederasi Mata Merah, untuk menyelidiki kasus sebuah perkumpulan misterius yang berkaitan dengan keterlibatan Jessica Raymond sebagai gadis yang harus disadarkan pola pikirnya oleh Nick. Nick dan Ferus Jones, sau...