BAB 2
***
"Menurut Bulan, hal yang paling nyaman dan membuatnya tentram adalah usapan dan pelukan kasih sayang dari seorang ibu."
***
Kesunyian yang mendekam di ruang makan membuat Bulan merasa dirinya ingin mati karena bosan.
Ini hari Minggu, hari libur sekolah maupun kantor. Hari dimana harusnya dihabiskan untuk bersenang-senang. Namun, berbeda dengan cewek yang sekarang berteman dengan dentingan sendok dan garpu. Ia sarapan sendirian di meja makan besar, hal itu membuat dia tidak bernafsu. Bulan hanya mengaduk-aduk nasi goreng buatan Bi Sumi--pembantu rumah tangga di keluarganya.
Bi Sumi masuk ke ruang makan sambil membawakan jus jeruk yang telah Bulan minta. "Ini, Non, jus jeruknya." Kata Bi Sumi seraya menyodorkan gelas berisi jus jeruk pada Bulan.
"Bi," Panggil Bulan. Bi Sumi menoleh dengan tatapan tanya.
"Ibu sama Ayah mana?"
"Gak tau, Non. Kerja kayaknya." Merasa majikan mudanya tidak bertanya apa-apa lagi, Bi Sumi pun undur diri.
"Weekend kok pada kerja. Duit gak bakal habis juga kalo gak kerja sehari." Gerutu Bulan. Ia menatap nasi goreng yang cuma ia makan sesuap saja. Sisanya habis teraduk sia-sia.
Ia menghempas sendok dan garpu ke piring sehingga menimbulkan dentingan nyaring. Sontak saja, Bi Sumi yang sedang mencuci piring langsung tersentak kaget seraya mengusap dada, tentunya tanpa sepengetahuan Bulan.
Bulan beranjak dari duduknya dan berjalan cepat menuju kamarnya.
Ia mengganti baju rumahan menjadi memakai celana trening, hoodie kesayangan, dan mencepol rambut menjadi kucir kuda serta memakai sneakers. Kemudian, ia berlari kecil menuju garasi untuk mengambil sepeda lipat.
Bulan mengayuh sepeda lipatnya keluar dari gerbang rumah, lalu menelusuri deretan rumah yang berbentuk sama di komplek perumahannya yang tidak bisa di bilang mewah, namun lebih ke minimalis elegan.
Ia terus mengayuh sampai melewati gerbang komplek perumahan dan keluar sampai ke jalan raya. Karena kehausan, Bulan singgah ke minimarket untuk membeli sebotol minuman dingin. Saat ia keluar dari minimarket, ia melihat seorang anak kecil sedang menikmati es krim di depan gerbang komplek perumahan sebelah.
Bulan mengambil sepedanya dan berinisiatif untuk menghampiri anak kecil laki-laki yang kelihatannya berumur lima tahunan.
"Hai, Dek!" Sapa Bulan dengan ramah.
"Hai, Kak!" Sahutnya cuek dengan terus menjilat-jilat es krimnya.
"Kenapa sendirian, aja? Kamu gak takut?" Tanya Bulan lagi. Ia turun dari sepedanya dan berjongkok untuk mensejajarkan tingginya dengan anak kecil itu.
Anak kecil itu membuang stik es krim yang mana es krimnya sudah tandas, kemudian mengalihkan pandangannya pada Bulan.
"Tadinya ama penjual es klim, tapi penjual es klimnya udah pelgi." Jelasnya dengan pengucapan yang cadel. "Emang takut apaan, Kak?" Tanyanya dengan mata bulat yang menatap Bulan bingung. Hal itu membuat anak kecil tersebut nampak lucu dan imut.
Bulan terkekeh kecil. "Anak kecil itu gak boleh sendiri, nanti di ambil orang." Jelas Bulan dengan kata-kata yang mudah dimengerti. "Kamu gak mau, kan, diambil sama orang jahat?"
Anak kecil itu menggeleng-gelengkan kepalanya dengan cepat. Raut wajahnya pun terlihat takut. "Gak mau, Kak."
"Ya sudah. Dari pada kamu sendiri di sini, mending Kakak antar kamu ke rumah. Mau?" Tawar Bulan seraya mengelus kepala anak kecil itu dengan sayang.
"Tapi, Kak, aku tadi sama Kakak a--"
"Bintang!" Panggil seseorang dengan suara bariton.
Lantas, Bulan dan anak kecil yang ternyata namanya Bintang menoleh ke si pemanggil. Mata Bulan membulat sempurna dan senyumnya merekah. Ia langsung berdiri.
"Kakak, kakak!" Panggil Bintang pada Bulan seraya menarik-narik tangan Bulan. Bulan pun menoleh pada Bintang yang tingginya cuma seperutnya.
"Kakak, kenalin ini Kak Langit." Jelas Bintang seraya menunjuk Langit yang ekspresinya sedikit terkejut dengan adanya Bulan. "Oh, iya! Aku belum tau nama Kakak siapa?"
Bulan kembali berjongkok untuk menghadap Bintang. "Nama kakak adalah Bulan. Kamu bisa manggil Kak Bulan."
Bintang mengangguk, ia menatap Langit yang sekarang memandang Bulan dengan tak suka. "Kak Langit!" Panggil Bintang.
Langit menoleh, ekspresi kesalnya langsung berubah lembut ketika berhadapan dengan Bintang. "Iya, kenapa?"
"Kak Bulan teman balu aku. Aku mau ajak Kak Bulan ke lumah, boleh, ya, Kak?"
Langit menggeleng pelan. "Jangan, Bintang. Dia sibuk. Jadi, gak bisa."
Ekspresi Bintang berubah menjadi cemberut, mulut mungilnya maju beberapa inchi. Ia menatap Bulan dengan mata berkaca-kaca.
"Kak Bulan, sibuk?" Tanya Bintang dengan nada bergetar seperti mau menangis. "Padahal aku mau main sama Kak Bulan di lumah."
Bulan menatap Bintang bingung. Ia sangat ingin ke rumah Langit karena ini adalah kesempatan emas baginya bisa ke rumah Langit, namun di lain sisi, ia tidak bisa karena ekspresi Langit yang terlihat tak suka. Bahkan, jawaban Langit yang mengatakan Bulan ada kesibukan pada Bintang jelas adalah kebohongan belaka.
Bulan menggaruk tengkuknya yang tidak gatal. Ia menatap Langit dan Bintang secara bergantian. "Kayaknya..." Bulan menjeda seraya berpikir apa yang harus di jawab pada anak lelaki itu. Ia juga melirik Langit sekilas. "Kak Bulan gak bisa, deh."
Bibir Bintang semakin bergetar dan air matanya yang terbendung di ujung mata mulai mengaliri pipi tembemnya. "Kak Langit sama Kak Bulan jahat! Padahal, aku mau main sekalanggg!" Pekiknya dengan menangis tersedu-sedu.
Bulan mengernyit heran dan bingung, begitu juga dengan Langit.
"Eh, Bintang, Bintang jangan nangis, ya!" Ucap Langit yang terlihat sedikit panik berurusan dengan anak kecil. "Nanti Kak Langit beliin es krim yang banyak, deh. Mau, gak?"
"Iya, nanti Kak Langit beliin Bintang es krim yang banyak, terus sama gulali juga. Atau nanti minta Kak Langit bawa ke timezone, gimana?" Tawar Bulan meyakinkan.
Lantas Langit menatap Bulan dengan jengkel karena seenaknya memberi tawaran yang sebenarnya tak ingin sama sekali ia tawarkan pada Bintang. Ia menyayangi dompetnya dan tak ingin uangnya habis hanya karena membelikan segala yang disebutkan Bulan tadi.
Namun, rupanya usaha Bulan berhasil.
"Beneran?" Tanya Bintang dengan tangisan yang mulai berhenti.
Bulan mengangguk mantap dengan senyuman merekah, sementara Langit mengangguk enggan.
Bintang melirik Bulan dan Langit secara bergantian. Lalu, terdiam sekian detik. "TAPI, AKU MAU MAIN SAMA KAK BULAN SEKALANG!" Pekiknya dengan nyaring serta tangisannya semakin menjadi-jadi membuat beberapa orang yang lewat melirik mereka aneh. "Kalo gak mau, nanti aku aduin sama mama!"
Langit menghela napas berat, ternyata tawaran Bulan tidak berhasil membuat Bintang berhenti menangis. "Iya, deh, iya." Ucapnya enggan dan melirik Bulan sekilas.
Bintang langsung berhenti menangis dan tersenyum lebar, namun ada sedikit jejak air mata yang mengering di kulitnya yang mulus. Sedangkan, Bulan tersenyum penuh arti.
***
Mereka bertiga--Langit, Bulan, dan Bintang--berjalan beriringan menuju rumah Langit dan Bintang, dengan Bulan yang menuntun sepeda lipatnya. Komplek perumahan tempat tinggal Langit tidak jauh berbeda dengan komplek perumahan tempat tinggal Bulan, hanya saja rumah-rumah di sini lebih besar.
Setelah sekitar sepuluh menit berjalan dengan Bintang yang terus berceloteh pada Bulan dan Langit yang hanya bisa diam melihat tingkah adiknya, akhirnya mereka sampai di kediaman Langit dan Bintang.
Langit dan Bintang memasuki rumah mereka. Namun, Langit merasa ada yang janggal. Ia menoleh ke belakang, tepat Bulan berada.
Langit mendengus kesal. "Lo kenapa diam di situ? Gak mau masuk?" Tanyanya ketus.
Bulan tersenyum kikuk seraya menggaruk belakang telingannya. "Emang di bolehin?"
Langit memutar bola matanya malas. "Gak usah, kalo gak mau." Lalu, Langit melanjutkan langkahnya meninggalkan Bulan.
"Eh, mau kok!" Serunya, tanpa menunggu apa-apa lagi, Bulan melangkah mengikuti Langit.
Saat ia menginjakkan kakinya di rumah Langit, ia melihat Langit langsung menaiki anak tangga, menuju lantai dua, mungkin ke kamarnya. Dan Bulan juga melihat Bintang menarik-narik tangan seorang wanita berumur sekitar empat puluh tahunan yang Bulan pastikan adalah ibu dari Langit dan Bintang juga Angkasa.
"Mama, mama, ini Kak bulan, Ma!" Kata Bintang dengan semangat dan masih menarik ibunya hingga mendekat dengan Bulan yang tersenyum kikuk.
"Oh, ini namanya Kak Bulan." Ucap wanita itu seraya tersenyum ramah. "Cantik, ya. Pantas, aja, Bintang langsung antusias sama kamu. Baru masuk rumah langsung cerita sama tante, katanya ketemu kakak cantik pas makan es krim." Wanita itu terkekeh kecil seraya mengusap-usap kepala Bintang dengan sayang.
Hal kecil itu menarik perhatian Bulan, ia tak pernah diperlakukan ibunya seperti itu dan dadanya sedikit sesak melihatnya.
Bulan hanya mengangguk pelan dan masih dengan senyuman yang jika diperhatikan lebih teliti, maka akan lebih jelas jika Bulan sedang tersenyum hampa.
"Dari pada kamu diam, aja, mending bantuin tante masak di dapur buat makan siang. Mau, gak?" Tawar wanita itu sambil tersenyum harap.
"Mau, Tante."
"Oh, iya. Panggil aja tante Melati." Bulan mengangguk lagi.
Kemudian, Melati pun merangkul bahu Bulan menuju dapur. Rasa hangat menjalar ke seluruh tubuhnya, nyaman sekali.
***
Sendok dan garpu yang beradu menghasilkan dentingan. Meja makan besar sangat ramai dengan kehadiran Angkasa yang baru bangun dari tidurnya. Bahkan, Melati sempat memarahinya karena bangun tidur terlalu kesiangan. Bulan yang melihat itu hanya bisa menahan tawa.
Mereka makan siang tanpa Bram--ayah dari Angkasa, Langit, dan Bintang. Kata Melati, suaminya sedang sibuk bekerja dan akan pulang saat malam hari.
Bulan duduk tepat di depan Langit dan di samping Bintang. Sedangkan Melati, wanita itu duduk tanpa menghadap siapapun alias duduk di ujung meja makan.
Bulan sesekali melirik Langit yang tampak menikmati sup ayamnya. Tidak tahu saja, jika sup ayam itu buatan Bulan. Bulan tidak bisa membayangkan jika saja Langit tahu akan hal itu.
Melati menyisihkan piringnya ke samping karena makanannya sudah habis. Ia menatap Bulan. "Bulan, kamu sekolah dimana?"
"Kan, Angkasa udah bilang kalo Bulan satu sekolah sama kita." Sahut Angkasa, ia meneguk air putihnya.
"Oh, iya. Mama lupa." Wanita itu terkekeh. Kemudian, kembali menatap Bulan. "Berarti kamu kenal, dong, sama dua anak nakal ini?"
Angkasa langsung melemparkan tatapan protes karena disebut anak nakal. Sedangkan Langit, ia hanya diam sambil memainkan ponselnya di tangan. Ia sudah selesai dengan makanannya.
Bulan terkekeh kecil. "Iya, Tante."
"Kelas berapa?"
"Kelas sebelas.
"Kamu seangkatan sama Langit, dong."
Bulan hanya tersenyum dan mengangguk. Ia melirik lagi pada Langit. Cowok itu tak bereaksi apa-apa. Yang ia lihat sekarang, cowok itu berdiri dari duduknya.
"Ma, aku mau ke kamar dulu." Melati mengangguk mengiyakan.
Karena semua makanan sudah di habiskan, Melati memanggil pembantu rumah tangga mereka untuk membersihkan meja makan.
Melati kembali menatap Bulan. "Kamu jangan pulang dulu, ya? Soalnya tante mau bincang-bincang sama kamu. Dari dulu tante mau anak cewek. Eh, yang keluar malah dua cowok ini sama si Langit." Jelasnya seraya melirik Angkasa dan Bintang seraya tersenyum kecil.
Bulan tertawa kecil, lalu berdiri mengikuti Melati. Wanita itu berjalan beriringan dengan Bulan menuju area kolam renang di halaman belakang. Sedangkan, Angkasa dan Bintang menuju ruang keluarga, entah apa yang akan mereka lakukan.
Saat sampai di area kolam renang, Melati duduk di kursi santai diikuti Bulan yang duduk di sampingnya.
"Tante pengen banget punya anak cewek kayak kamu." Katanya lagi seraya mengelus rambut Bulan. Sekali lagi, Bulan merasakan ketenangan yang mendalam. Ia tersenyum tulus pada Melati. "Padahal, tante baru kenal sama Kamu. Entah mengapa, ada sesuatu yang bikin tante itu suka sama kamu."
Bulan tersenyum tipis.
"Rumah Kamu di mana, Bulan?" Tanya Melati.
"Di komplek sebelah, Tante." Melati mengangguk-angguk.
"Ketemu sama Bintang tadi gimana caranya?"
"Tadi, kan, aku jalan-jalan, Tante. Terus, aku liat anak kecil lagi makan es krim sendiri di depan gerbang komplek. Ya udah, aku samperin." Jelas Bulan. "Aku takutnya kalo anak kecil sendirian itu di culik sama orang jahat."
"Emangnya Langit kemana?" Tanya Melati dengn dahi yang berkerut.
"Gak tau, Tante. "Jawab Bulan.
Melati menggeleng-gelengkan kepalanya. "Benar-benar, tuh, anak."
"Ya sudah. Tante berterima kasih banget sama kamu, Bulan." Katanya seraya mengelus pundak Bulan dengan sayang. Bulan mengangguk dan tersenyum tulus.
Jika elusan lembut dari Melati saja sudah bisa membuatnya nyaman, apalagi elusan dari ibunya sendiri. Namun, sekali lagi ia ingat bahwa ia hidup dalam harapan semu.
Bulan tersenyum hampa.
***
Bulan mengayuh sepeda lipatnya hingga ke garasi dan meletakkannya di sana. Tidak terasa, waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Sangat lama sekali rupanya Bulan berada di rumah Langit karena keasikan.
Senyuman bahagia tidak luntur sedari tadi, efek kekeluargaan masih terasa di benaknya.
Ia langsung membuka pintu karena ia tahy Bi Sumi tidak akan mengunci rumahnya jika Bulan belum pulang.
Baru saja menginjakkan kaki di rumah. Ia sudah bisa mendengar teriakan demi teriakan bersahutan dari ruang tamu. Lantas, senyuman kebahagiaan yang tadi terlukis indah di wajahnya langsung luntur tak tersisa.
"KAMU SELALU NUDUH AKU YANG MACAM-MACAM!" Teriak Erik pada Anita. "SUDAH AKU BILANG, KAN, ITU BUKAN AKU!"
"KAMU SALAH MAKANYA KAMU GAK NGAKU!" Balas Anita tak mau kalah. "HATI AKU HANCUR, MAS! KAMU KETERLALUAN!"
Bulan menatap nanar ke arah ruang tamu, dua objek yang menjadi tontonannya sekarang tengah berteriak satu sama lain. Ibu dan ayahnya yang masih dengan pakaian kerjanya. Tampak berantakan, rambut mereka pun acak-acakkan.
"KAMU YANG KETERLALUAN!" Teriak Erik. "KAMU EGOIS! KAMU TER..."
Bulan tak mendengar lagi lanjutan kalimat yang dilontarkan ayahnya. Ia memilih menutup telinga. Bahkan, kedua orang tuanya tidak merasakan adanya kehadiran Bulan di sana. Hati Bulan lebih hancur melihat pertengkaran yang terus terjadi setiap hari, ia merasa tak sanggup untuk berada lebih lama lagi di sana.
Bulan berlari menaiki tangga menuju kamarnya di lantai dua. Kemudian, ia menguncinya agar tidak ada yang masuk dan mengganggunya.
Jika sudah seperti ini, kebiasaan buruk Bulan kembali. Ia mengambil sebotol whiskey di lemari penyimpanan khusus yang terletak rapi di kamarnya.
Bulan menuangkan minuman keras itu ke dalam gelas kecil dan meneguknya. Rasa terbakar menjalari tubuhnya. Bulan meneguk lagi, ia pusing. Namun, tetap memaksakan untuk meminum lagi.
Dengan begitu rasa sakit hati tadi akan hilang berganti rasa yang berbeda.
Bulan merasa damai sekarang.
***
Yahhh rada kecewa kalo sad ending gini , terharu aku tuuu
Comment on chapter EPILOG