BAB 30
***
"Pesanku cuma satu. Jangan lupa bahagia."
***
"Seberapa sayang kamu sama ibu kamu?" Tanya Langit tiba-tiba. Ia tidak lagi menggunakan panggilan gue-elo pada gadis di sampingnya ini. Awalnya ia merasa kaku, tapi sepertinya ia mulai terbiasa walau baru beberapa jam.
"Sekarang aku tanya, seberapa sayang kamu sama mama kamu?" Tanya Bulan balik tanpa menatap lawan bicaranya.
Bulan menyandarkan punggungnya di sofa, ia terus menatap Anita yang sedang tertidur nyenyak dengan posisi menyamping membelakangi Bulan. Gadis itu Tersenyum tipis kala mendengar dengkuran halus Anita.
"Aku sayang banget. Gak bisa ditunjukkan dengan kata-kata. Susah. Karena sayang aku ke mama terlalu besar." Jawab Langit lugas.
Bulan menyandarkan kepalanya diantara sandaran sofa dan bahu Langit. "Nah, sama dong." Bulan terkekeh kecil.
"Pernah gak, sih, kamu marah sama ibu kamu?" Tanya Langit lagi-lagi.
Bulan kembali tertawa. "Ada-ada, aja, kamu nanyanya."
"Jawab aja."
Bulan berdecak, namun tersenyum akhirnya. Ia pun menjawab pasti. "Enggak."
"Gak sekali pun aku pernah marah sama ibu." Lanjut Bulan. Ia tersenyum pahit menatap ibunya.
"Kenapa?"
"Karena dia ibu aku."
Mendengar jawaban Bulan, Langit pun mengusap-usap puncak kepala gadis itu. Kemudian, merangkul Bulan.
Tanpa disadari keduanya, wanita yang dikira sedang tertidur itu sebenarnya mendengarkan pembicaraan Bulan dengan Langit.
***
"Kamu jangan pernah sedih lagi, ya. Aku gak suka." Ucap Langit dengan nada datar untuk ke sekian kalinya.
Lalu, tiba-tiba saja Bulan tertawa dan membuat Langit heran. "Kenapa?" Tanya cowok itu sewot.
"Lucu, aja."
"Aneh, gak ada yang lucu sama sekali." Tukas Langit dengan wajah cemberutnya, yang menurut Bulan lucu sekali.
Bulan bangun dari senderannya dan meraih rambut Langit, lalu mengacak-acaknya."Setelah aku pikir-pikir, kamu makin hari makin lucu aja sama kalimat-kalimat lembut kayak gitu. Rasanya aku belum terbiasa."
Karena rentetan kalimat Bulan, wajah Langit mendadak kaku. Ia tertegun. Rasanya aku belum terbiasa.
Ia memandang Bulan dengan tatapan menyesal dan merasa bersalah.
Bulan menautkan alisnya karena bingung dengan ekspresi yang ditunjukkan Langit. "Ada apa?"
"Gak, gak kenapa-napa." Langit menggeleng pelan. Ia lalu mencubit pipi Bulan dengan gemas membuat gadis itu tertawa.
Pintu ruangan terbuka menampilkan Bi Sumi dengan membawa kresek putih yang di dalamnya terdapat seporsi bubur ayam.
"Ini Bibi bawain bubur. Tapi, cuma seporsi aja." Ucap Bi Sumi merasa bersalah. "Soalnya tadi bubur ayamnya habis dibeli orang."
"Iya, Bi. Gak papa." Sahut Bulan.
Gadis itu mempersilahkan Bi Sumi untuk membuka kresek itu dan menyiapkan bubur ayam yang sudah dibeli. Hingga Bi Sumi menaruh seporsi bubur ayam yang dari aromanya saja sudah tampak lezat di atas meja.
"Bi Sumi, udah makan?"
"Udah, Non." Jawab Bi Sumi seraya membuang bungkus plastik ke tempat sampah yang ada di pojok ruangan.
Bulan pun mengangguk. Ia menatap Langit yang jua menatapnya. Mata mereka sejenak bertabrakan. Membuat pipi gadis itu merona. Langit pun menahan tawa.
Untuk menghindari kegugupannya, Bulan pun menawari Langit bubur ayam untuk dimakan bersama. Tapi, Langit menolak halus karena sebelum ke rumah sakit yang sudah jadi rutinitasnya ini, ia sudah makan di rumah makan sederhana.
Bulan pun menikmati bubur ayam itu sendiri. Sesekali Langit ganggu dengan mendorong kepala Bulan dengan pelan ketika sesendok bubur hampir mencapai mulutnya. Sehingga bubur ayam itu malah menabrak hidungnya.
Bulan berdecak kesal. Ia menatap sengit Langit dan dibalas dengan tatapan jenaka oleh cowok itu.
"Kamu, mah, nyebelin banget!"
Langit hanya tertawa kecil. Melihat Bulan seperti ini saja sudah membuatnya bahagia. Namun, entah kenapa Langit teringat tentang pembicaraanya dengan Dr. Anita. Dan raut wajah Langit membeku seketika. Sbelum disadari Bulan, ia pun mengusap-usap wajahnya dan menetralkan detak jantungnya.
Terdengar bunyi ketukan tiga kali dari luar. Bi Sumi pun berkenan untuk membukakan pintu. Tampak seorang Dokter wanita berhijab, yaitu Dr. Syarifah memasuki ruangan.
Melihat Anita yang tampak tertidur, Dr. Syarifah pun memelankan suaranya untuk berbicara karena ia tak ingin membuat pasien merasa terganggu.
"Saya punya kabar bahagia untuk kita semua." Mulai Dr. Syarifah dengan raut yang senang.
Dr. Syarifah melirik Bulan sekilas dan memberikan senyum penuh arti untuk gadis itu.
"Nyonya Anita sudah mendapatkan donor mata." Lanjut wanita berhijab itu seraya tersenyum.
Bi Sumi langsung menutup mulutnya terkejut, ia terharu sampai menitikkan air mata.
Langit juga membulatkan matanya yang berbinar dan menatap Bulan dengan tidak percaya. Bulan senang bukan main karena akhirnya Anita bisa melihat lagi seperti yang seharusnya.
"Ibu kamu akan melihat lagi Bulan?" Langit memastikan karena ia juga terkejut seperti Bi Sumi.
Raut wajahnya menampilkan senyuman bahagia, karena dengan Anita yang tidak lagi buta maka akan memberikan secercah kebahagiaan untuk gadisnya.
Kabar bahagia ini sungguh membuat Bulan bersyukur kepada Tuhan. Ia pun memeluk Langit dari samping yang dibalas oleh cowok itu dengan dekapan yang tak kalah erat.
"Akhirnya." Ucap Langit, ia mengusap bahu Bulan.
Bulan mendesah pelan dan mengangguk kecil. Sedikit banyaknya, ia sangat bahagia sampai menetes sebulir air mata. "Akhirnya."
***
Semua orang menunggu sabar dengan jantung berdebar. Langit, Bi Sumi, Dr. Syarifah, dan seorang perawat yang membuka lilitan perban di mata Anita setelah melakukan operasi.
Jika kalian bertanya dimana Bulan, maka jawabannya adalah ia sedang ada urusan dengan Dr. Sinta. Bulan lah yang menyuruh Langit untuk melihat keadaan Anita di ruangannya. Agar Langit bisa memberitahunya nanti.
Samar-samar Langit tersenyum melihat ibu dari gadisnya kembali memiliki penglihatan. Anita saat itu senang sekali ketika Bi Sumi memberitahu bahwa dia mendapat donor mata.
Saat mata Anita disuruh untuk membuka, wanita itu pun melakukannya dengan perlahan.
Anita mengerjap-ngerjapkan matanya berkali-kali. Lantas, senyuman di wajahnya mengembang sempurna.
"S, saya sudah bisa melihat?" Tanya Anita tidak percaya pad dirinya sendiri. Seolah ini mimpi. Ia merasa seakan-akan lama sekali tak merasakan indahnya wajah dunia.
Di tatapnya satu persatu wajah orang yang ada di ruangan ini, senyuman lega mengembang diwajah mereka.
"Bagaimana?" Tanya Dr. Syarifah seraya mendekat pada brankar Anita.
"Agak buram." Dr. Syarifah hanya tersenyum tipis memaklumi.
"Itu wajar saja. Nanti akan kembali jelas seperti semula." Jawab wanita berhijab itu.
Memang sedikit buram karena baru saja menggunakan matanya setelah berminggu-minggu ia merasakan kegelapan.
Namun, ada yang aneh. Ia tak melihat wajah itu. Anita menatap ke sekeliling ruangan dengan bingung. Entah kenapa, setelah hari-hari yang ia lalui di rumah sakit ini. Ia selalu merasakan kehadiran orang itu. Lalu, perasaan apa ini? Anita merasa kecewa?
"Dimana anak itu?" Tanya Anita pada orang-orang yang ada di sana.
"Maksud Tante, Bulan?" Langit angkat bicara. Ia menatap penuh harap.
Anita berdeham pelan. "Iya."
"Dia lagi ada urusan dengan Dokter Sinta, Tante." Ujar Langit. Dari nada bicaranya, ia merasa sepertu ada yang salah dengan jawabannya sendiri. Namun, ia mencoba menyangkal kejanggalan di hati.
Mendengar jawaban Langit seperti itu, tanpa mereka sadari raut wajah Dr. Syarifah mendadak beku. Tangannya bergetar karena jantung yang terus berdetak kencang. Ia takut dengan kalimat yang akan ia lontarkan nanti.
Dr. Syarifah menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan. Lalu, handphone di saku jas dokternya bergetar. Ia pun pamit undur diri untuk mengangkat telpon.
Setelah Dr. Syarifah keluar yang juga diikuti oleh perawat-perawat. Bi Sumi langsung mendekati Anita dan tak henti-hentinya tersenyum.
"Selamat, Nyonya." Ucap Bi Sumi yang dibalas oleh Anita dengan anggukan singkat.
Lalu, Langit juga ikut mengucapkan selamat. Walau tidak terlalu akrab, tapi Langit merasa harus.
Tak lama kemudian, pintu ruangan kembali diketuk. Bi Sumi pun membukakannya. Masuklah dua orang dokter wanita. Mereka saling berpandangan sebelum akhirnya memberikan dua amplop putih.
Satu untuk Langit dan satunya lagi untuk Anita. Mereka bertiga--Langit, Anita, dan Bi Sumi--merasa bingung.
Anita yang heran pun langsung membuka amplop berisi selembar kertas di dalamnya. Saat itu juga ia menutupkan mulutnya dengan tangan dengan mata yang tiba-tiba membendung genangan air. Melihat itu tentu hati Langit merasa semakin tidak enak. Ia pun langsung pergi tanpa berpamitan meninggalkan orang-orang yang ada di sana.
"Kenapa?! Kenapa kamu ninggalin ibu saat ibu sudah mulai sayang sama kamu, Bulan?!" Teriak Anita seraya meremas kertas. Ia memukul-mukul dadanya yang sesak dan sakit.
Anita menangis meraung-raung. Air matanya membanjiri pipi berkerutn halus itu. "Ibu belum sempat memeluk kamu dengan hangat, Nak! Bagaimana ibu tanpa kamu, Bulan?"
Melihat Anita mengamuk lagi, membuat Dr. Sinta dan Dr. Syarifah cepat menenangkan wanita itu. Bi Sumi tak kuasa menahan tangisnya karena kabar mengejutkan dari Bulan.
"Ibu minta maaf." Lirih Anita.
Anita menggeleng-gelengkan kepalanya dengann tangis penyesalan yang terus menerus tak berhenti. Karena surat itu berisi ...
30 November 2018
- Ditempat
Assalamualaikum, Ibu.
Bulan sayang ibu. Hehe. Bulan gak tau harus mulai mana. Bulan juga gak jago merangkai kata-kata. Karena intinya anak ibu ini sangat menyayangimu.
Ibu kalo udah baca surat ini berarti ibu udah bisa melihat, dong. Selamat untuk ibuku tercinta:)
Bulan gak mau panjang-panjang, Bulan takut ibu bosan. Bulan cuma mau pesan, Jaga mata Bulan baik-baik, ya. Bulan emang gak bisa bikin ibu bangga dengan segudang prestasi atau jadi anak yang ibu inginkan. Satu-satunya yang bisa Bulan lakukan adalah mendonorkan kedua mata ini buat ibu. Karena cuma dengan ini Bulan bisa jadi bagian dalam hidup ibu:)
Terima kasih sudah melahirkan Bulan ke dunia dan mengenal seorang ibu terkuat bernama Anita Mariana:)
Salam untuk Ibuku Tercinta
Rembulan Alisia Putri
***
Di tempat lain, Langit duduk di bangku taman yang pernah ia dan Bulan duduki waktu itu. Sambil memegang erat surat dan handphonenya di kedua tangannya.
Jantungnya berdebar kencang. Kegelisahan dalam hatinya semakin menjadi-jadi kala handphone tak juga ada notif pesan ataupun telpon dari gadis itu. Ia sudah lama menunggu.
Akhirnya tangan Langit bergerak membuka amplop yang berisi selembar kertas.
Hati Langit sakit kala membaca tulisan 'Untuk Zerion Langit Adhyaksa dari Rembulan Alisia Putri' yang tertulis di amplopnya. Lalu, Langit pun mulai membaca deretan kalimat yang tertulis rapi di kertas itu.
Hai, Langit
"Hai, juga." Ucap Langit pelan. Dadanya menyesak hanya karena dua kata pembuka itu.
Bagaimana kabar kamu, baik?
"Ya."
Maaf karena aku gak sempet pamit. Aku takut kamu marah sama aku.
"Gue sekarang marah. Bahkan, benci." Kata Langit lagi menjawab isi surat itu. "Benci sama diri gue sendiri."
Kalo kamu baca, berarti aku udah gak di samping kamu. Aku jadi sedih sekarang.
"Gue lebih sedih." Tanpa Langit sadari, mata cowok itu sudah memerah dan berkaca-kaca.
Aku melakukan ini bukan tanpa alasan. Aku melakukan ini karena aku tau hidup aku udah gak lama lagi. Apalagi setelah aku mendengar pembicaraan kamu sama dokter Sinta tentang pengobatan paliatif itu. Hehe, maaf aku sempet nguping.
Langit memijat pangkal hidungnya. Rasanya sudah tak sanggup lagi membaca kalimat-kalimat Bulan. Tapi, ia juga tak mampu menahan untuk tidak membaca.
Aku suka sama kamu. Aku cinta kamu. Aku sayang kamu. Maaf, deh, aku lebay. Haha. Tapi, jujur kamu adalah anugerah terindah yang Tuhan perlihatkan sama aku. Aku bersyukur sekali.
Aku udah lelah, Langit. Lelah dengan kehidupan aku. Aku juga lelah menahan sakit ini. Sehingga agar hidupku lebih berguna, aku pun mendonorkan mataku untuk ibuku sendiri. Aku juga meminta Dr. Syarifah menyembunyikan ini waktu itu. Maaf.
"Lo bodoh." Lirih Langit.
Nanti kalo jenguk aku, jangan lupa bawain bunga matahari, ya. Hehe.
Maaf, deh. Aku banyak ngomong kayanya.
"Lo minta maaf mulu. Dan lo emang banyak ngomong dari dulu." Desis Langit ketus seolah kertas itu adalah Bulan.
Terima kasih kamu udah baca. Semoga kamu bahagia:)
Salam terhangat sehangat cinta kita, hehe.
Rembulan Alisia Putri.
Saat itu juga, untuk pertama kalinya Langit menangis karena seorang gadis.
***
Yahhh rada kecewa kalo sad ending gini , terharu aku tuuu
Comment on chapter EPILOG