Loading...
Logo TinLit
Read Story - LANGIT
MENU
About Us  

BAB 27

***

"Aku akan menunggumu seperti kau yang setia menungguku."

***

Mata sayu wanita itu menatap nanar pada langit-langit kamarnya yang berwarna putih. Entah apa yang ia pikirkan.

Kosong. 

Mungkin tepatnya, hampir kosong. Karena dalam pikirannya ada satu nama yang bersarang di sana. 

Erik. Sang suami tercinta.

"Kamu dimana, mas?" Tanya wanita bernama Anita itu dengan nelangsa. 

"Kamu kenapa gak pulang, mas?"

Lagi. 

Otak Anita sekarang tidak mengingat jika dia dan suaminya sudah resmi bercerai. Dia lupa akan kenyataan pahit yang menelan hidupnya.

Tiba-tiba saja air mata setetes demi setetes mengaliri pipinya yang sudah pucat dan menampilkan kerutan-kerutan halus. Tidak ada wajah wanita awet muda dengan make up tipis yang cantik. Tidak ada tatapan tajam dari mata beriris coklatnya. Hanya ada Anita yang sayu dan sendu dengan wajah yang terus teraliri air mata. 

Isak tangis pelan terdengar memenuhi ruangan berukuran 6 × 5 meter itu. Ia bangun dari tidurnya dan lekas memijat kepala yang terasa berdenyut-denyut. Ia meringis kecil. 

Anita membuka laci nakas di samping tempat tidur dengan tangan gemetaran. Wanita itu mengambil botol plastik kecil berisi pil obat. Ia menuangkan obat-obat itu ke tangan sebanyak mungkin, namun karena tangan yang semakin bergetar akhirnya saat ingin membawa masuk ke mulut malah terjatuh semua ke lantai. Ia tak memperdulikan lagi obat-obat itu.

Anita merasa tubuhnya sangat tidak enak, apalagi kepalanya terus berdenyut. Air mata terus mengaliri pipinya. Lirih pelan selalu terus keluar dari mulutnya.

"Erik, aku mau kamu."

Napas Anita terengah-engah dan sedikit tak karuan. "Erik..."

Anita beranjak dari kasur seraya memegangi kepalanya yang sakit. Dengan tangan gemetar ia mengambil kunci mobil yang terletak di meja riasnya.

"Aku harus ketemu kamu, Erik."

Ia berjalan tertatih-tatih keluar kamar. Saat membuka pintu, gelap menyambutnya. Tentu saja, hari sudah tengah malam. Bahkan, jam dinding di rumahnya sudah menunjukkan pukul setengah dua malam. 

Anita menuruni tangga dengan pelan sambil berpegangan pada pegangan tangga. Tangan yang lainnya setia memegangi kepala.

"Erik, aku akan menemui kamu." Ucapnya lirih. Ia terus berjalan dalam kegelapan.

Anita membuka pintu utama rumahnya tanpa takut akan menimbulkan suara. Langkahnya semakin melemah, namun tetap ia paksakan untuk menuju mobilnya yang terparkir di garasi.

Hingga wanita itu sampai di garasi, ia menghidupkan mobilnya dan menjalankannya entah kemana dengan keadaan fisik maupun mentalnya yang melemah luar biasa.

***

Drrtt... drrtt... drrtt...

Bunyi handphone Bulan yang terletak di nakas membuat gadis itu terpaksa membuka matanya. Ia melirik jendela kamar yang belum dibuka, yang berarti jam belum menunjukkan pukul 5 pagi.

Tangannya meraba-raba nakas berusaha mengambil handphonenya yang terus bergetar. Setelah mendapatkan handphone bersimbol apel digigit itu, Bulan pun mengangkat telpon tanpa melihat nama kontak penelpon.

"Halo?" Bukanya dengan suara serak khas bangun tidur.

"..."

"Ya, saya sendiri." Bulan menutup mulutnya dengan telapak tangannya ketika ia menguap tanda masih mengantuk. 

"..."

Dahinya seketika mengernyit kala nama seseorang disebut.

"Ya... A, apa?" Bulan melihat handphonenya memastikan siapa si penelpon ini. 

Seketika ia kaget, nama kontak yang menelpon adalah 'Ibu'.

"S, saya gak salah dengarkan? Iya, kan?!" Tanpa sadar Bulan membentak si penelpon. Dan air matanya tanpa aba-aba mengalir begitu saja ketika si penelpon itu menjawab dengan sedih. 

Tak lama kemudian, telpon dimatikan Bulan sepihak. Ia tak ingin mendengarkan lagi. Ia tak ingin dan tak mau mendengar kenyataan pahit yang lagi-lagi menimpa dirinya.

Dadanya sesak dengan tenggorokan yang kering. Ia rasanya tidak mampu berkata-kata. "Gak mungkin."

Bulan kembali menangis, ia duduk di lantai. Memeluk kakinya seraya menenggelamkan wajahnya pada lipatan tangan. "Cobaan apa lagi ini, Tuhan?" Lirihnya. Ia terus terisak-isak dan tak mampu menyembunyikan suara tangisnya yang menyayat telinga. 

Ia meremas rambutnya frustrasi dengan segala cobaan yang menimpa dirinya. "Kenapa?! Kenapa lagi-lagi begini?!"

Bulan menangis meraung-raung, memukul dadanya yang sangat sakit sekali. Dalam otaknya bertanya-tanya, ada apa dengan hidupnya? Apakah ia tak pantas untuk bahagia barang sekali saja?

Bulan merangkak menuju sebuah lemari kecil dan membukanya. Ia mengeluarkan sebotol minuman yang lama tak ia sentuh semenjak mengetahui ada penyakit yang dideritanya. Walaupun begitu, kali ini Bulan tak sanggup lagi menahan diri.

Ia mengambil gelas kecil yang juga terletak di sana. Bulan menuangkan minuman itu ke gelas kecil dengan tangan bergetar. Tanpa ragu Bulan menenggaknya dalam satu kali tegukan. 

Rasa terbakar memenuhi kerongkongannya. Bulan mengerang kecil merasakan sensasi yang menurutnya menenangkan itu.

Belum cukup satu kali tegukan, Bulan kembali menuangkan minuman itu ke gelas dan menenggaknya lagi.

Bulan tidak berhenti, ia terus menangis meratapi keadaan yang terus menyiksanya. Ia minum minuman beralkohol itu terus, tak peduli dengan perutnya yang sudah terasa tidak nyaman. Kepalanya berdenyut kencang. 

Bulan terus menangis meraung-raung, efek alkohol itu tak menghilangkan sedikitpun bebannya. Ia lelah. Ia ingin cepat mengangkat sedikit saja ingatannya tentang kabar ibunya, tapi ia tidak bisa. 

Jujur, Bulan frustrasi luar biasa dengan keadaan ibunya. Tapi, ia tak mampu ke sana dengan keadaan lemah seperti ini sehingga ia melampiaskan dengan minuman yang mungkin bisa sedikit saja menenangkannya, namun apa daya. Segalanya terasa cuma-cuma bagi Bulan.

Ia merasa dirinya sudah depresi.

Tiba-tiba pintu terbuka dan muncul figur wanita paruh baya berdaster, yaitu Bi Sumi. Wajah cemas terpampangnya nyata. Ia mendekati Bulan yang terus menangis, dengan panik ia langsung menjauhkan gelas serta botol whiskey sejauh mungkin dari Bulan.

"Balikin, Bi!"

"Astaghfirullah, Non Bulan. Sadar, Non." Bi Sumi mencoba membawa Bulan berdiri dan kembali berbaring di kasur. Tapi, tenaganya tiduk kuat. 

"Kenapa, Non?" Tanya Bi Sumu cemas dan khawatir. Wanita itu menitikkan air matanya tanpa sadar. Ikut sedih dengan keadaan majikan mudanya. "Kenapa lagi, Non?"

"Ibu, bi..." Bulan menangis, ia memukul-mukul dadanya sendiri yang langsung dengan sigap Bi Sumi memegangi tangannya agar tidak melakukan itu terus.

"Nyonya, kenapa, Non?"

"Ibu, Bi." Bulan terisak-isak. Ia menggelengkan kepalanya kuat. Tanganya yang lain meraih rambut dan menariknya kuat. "Ibu kecelakaan..."

"Ya Allah, "Ucap Bi Sumi pelan. Ia terkejut luar biasa. Matanya yang sudah meneteskan air mata kembali lagi meneteskannya bahkan lebih deras. "Sekarang, Nyonya dimana?" 

Bulan menggeleng kuat, ia menangis luar biasa. Bi Sumi sudah kewalahan dengan kondisi Bulan. Kemudian, mata wanita itu menangkap handphone Bulan yanh tergeletak  di lantai kamar Bulan. Handphone itu menampilkan pop-up pesan dari nama kontak 'Ibu'.

Walau ragu, tapi Bi Sumi tetap mengambil dan membaca pesan itu. Pesan itu berisi nama rumah sakit dimana Anita dilarikan karena kecelakaan yang menimpanya. Kecelakaan yang terjadi karena ia mengenderai mobil di atas rata-rata tanpa kesadaran penuh dan dalam keadaan depresi.

Bi Sumi mengambil handphonenya--bukan smartphone--yang senantiasa berasa di saku dasternya. Ia melirik Bulan dengan sedih, lalu kembali menatap handphone nya dan mengirim pesan kepada orang yang selalu ada saat diperlukan dan dibutuhkan. Orang itu adalah Langit.

***

Derap langkah cepat berada di lorong rumah sakit yang masih sepi karena hari masih pagi. Beberapa perawat mendorong brankar yang diatasnya terbaring lemah seorang gadis pucat dengan kulit kekuning-kuningan. Termasuk Langit yang juga ikut mendorong brankar itu.

Hingha sampai di pintu UGD, seorang perawat berkata. "Maaf tunggu di luar." Lalu, masuk ke dalam ruangan dan menutup pintu begitu saja meninggalkan Langit yang mendengus keras.

Langit berjalan gontai dan duduk di kursi tunggu. Ia menunduk dan meremas rambutnya. Sedangkan, matanya memejam.

Untung, untung saja ia cepat dan datang lebih cepat saat itu. Jika tidak, ia tidak tau bagaiman nasib Bulan yang sudah penuh dengan muntahannya sendiri serta fisik yang sungguh melemah. Langit menggeram marah karena melihat botol dan gelas bekas Bulan mengonsumsi minuman keras diletakkan di atas meja. Lagi-lagi gadis itu melakukan hal yang membuatnya nyawanya bahaya.

Langit menatap ke arah pintu UGD, berharap dokter membawa kabar yang baik. Detak jantung Langit sudah tak karuan sejak tadi. Ia khawatir, cemas, takut dan panik.

Tiba-tiba saja sebuah suara anak kecil memanggilnya. "Kak Langit!" Panggil anak itu dengan langkah kecil yang cepat. 

Langit lekas menoleh dan menemukan adiknya bersama Angkasa datang menghampirinya. Bintang cepat memeluk Langit, bahkan adiknya saja tau jika Langit butuh penenang.

"Kak Bulan sakit?" Tanya bocah kecil itu. 

Langit melirik pada Angkasa yang menatapnya dengan datar dan paham akan arti tatapan Langit. 

"Dia nanya, gue jawab. Lagian gue gak bisa bohong, nyatanya dia selalu tau kalo lo sering pergi ke rumah Bulan buat jenguk cewek itu." Jelas Angkasa.

Langit menghela napas pelan. Ia menatap bintang. Lalu, menjawab pelan, "Iya."

Bibir bintang menekuk ke bawah, matanya berair. "Bintang kangen kak Bulan." Ucapnya yang membuat Langit bingung harus bagaimana.

"Kak Bulan udah lama gak ke lumah. Bintang kangen." Ucapnya lagi, kali ini air matanya mengaliri pipi tembem yang mulus.

Langit memeluk Bintang dengan penuh kasih sayang, ia berbisik pelan di telinga anak lelaki itu. "Kak Bulan pasti sembuh."

Bintang melepas pelukan itu, lalu menatap Langit dengan mata beningnya. "Kapan?"

Langit terdiam, ia kembali melirik Angkasa yang mengedikkan bahu tanda ia tak tau juga harus apa. 

Langit tersenyum pahit yang tentu saja tidak disadari oleh Bintang. "Kita tunggu saja, ya."

Bintang mengangguk yang membuat rambut berponinya bergoyang. Langit tersenyum lagi, ia mengelus kepala Bintang dengan penuh perasaan. Sungguh sejak tadi dadanya sudah sesak dan ingin melampiaskannya dengan apapun, tapi ia sadar ia tak bisa melakukannya.

Langit hanya bisa diam, menunggu dengan sabar. Entah ia menyadarinya atau tidak, matanya sudah berair dan memerah sedari tadi.

***

Kasian, Langitnya pengen nangis huhuhu

 

Tags: twm18

How do you feel about this chapter?

0 1 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • Tataniiiiii

    Yahhh rada kecewa kalo sad ending gini , terharu aku tuuu

    Comment on chapter EPILOG
  • dreamon31

    Hai...aku suka sama nama Langit. Aku juga punya judul cerita yang sama - LANGIT - , mampir juga di ceritaku yaa...

    Comment on chapter PROLOG
Similar Tags
Dinding Kardus
9795      2616     3     
Inspirational
Kalian tau rasanya hidup di dalam rumah yang terbuat dari susunan kardus? Dengan ukuran tak lebih dari 3 x 3 meter. Kalian tau rasanya makan ikan asin yang sudah basi? Jika belum, mari kuceritakan.
Black Lady the Violinist
15800      2810     3     
Fantasy
Violinist, profesi yang semua orang tahu tidak mungkin bisa digulati seorang bocah kampung umur 13 tahun asal Sleman yang bernama Kenan Grace. Jangankan berpikir bisa bermain di atas panggung sebagai profesional, menyenggol violin saja mustarab bisa terjadi. Impian kecil Kenan baru kesampaian ketika suatu sore seorang violinist blasteran Inggris yang memainkan alunan biola dari dalam toko musi...
Nothing Like Us
35929      4517     51     
Romance
Siapa yang akan mengira jika ada seorang gadis polos dengan lantangnya menyatakan perasaan cinta kepada sang Guru? Hal yang wajar, mungkin. Namun, bagi lelaki yang berstatus sebagai pengajar itu, semuanya sangat tidak wajar. Alih-alih mempertahankan perasaan terhadap guru tersebut, ada seseorang yang berniat merebut hatinya. Sampai pada akhirnya, terdapat dua orang sedang merencanakan s...
ALVINO
4570      2026     3     
Fan Fiction
"Karena gue itu hangat, lo itu dingin. Makanya gue nemenin lo, karena pasti lo butuh kehangatan'kan?" ucap Aretta sambil menaik turunkan alisnya. Cowo dingin yang menatap matanya masih memasang muka datar, hingga satu detik kemudian. Dia tersenyum.
Jalan-jalan ke Majapahit
4623      1418     8     
Fantasy
Shinta berusaha belajar Sejarah Majapahit untuk ulangan minggu depan. Dia yang merasa dirinya pikun, berusaha melakukan berbagai macam cara untuk mempelajari buku sejarahnya, tapi hasilnya nihil. Hingga akhirnya dia menemukan sebuah website KUNJUNGAN KE MAJAPAHIT yang malah membawanya menyebrangi dimensi waktu ke masa awal mula berdirinya Kerajaan Majapahit. Apa yang akan terjadi pada Shinta? ...
THE HISTORY OF PIPERALES
2089      813     2     
Fantasy
Kinan, seorang gadis tujuh belas tahun, terkejut ketika ia melihat gambar aneh pada pergelangan tangan kirinya. Mirip sebuah tato namun lebih menakutkan daripada tato. Ia mencoba menyembunyikan tato itu dari penglihatan kakaknya selama ia mencari tahu asal usul tato itu lewat sahabatnya, Brandon. Penelusurannya itu membuat Kinan bertemu dengan manusia bermuka datar bernama Pradipta. Walaupun begi...
Zo'r : The Teenagers
14114      2811     58     
Science Fiction
Book One of Zo'r The Series Book Two = Zo'r : The Scientist 7 orang remaja di belahan dunia yang berbeda-beda. Bagaimana jadinya jika mereka ternyata adalah satu? Satu sebagai kelinci percobaan dan ... mesin penghancur dunia. Zo'r : The Teenagers FelitaS3 | 5 Juni - 2 September 2018
Returned Flawed
273      220     0     
Romance
Discover a world in the perspective of a brokenhearted girl, whose world turned gray and took a turn for the worst, as she battles her heart and her will to end things. Will life prevails, or death wins the match.
Ręver
7202      1959     1     
Fan Fiction
You're invited to: Maison de rve Maison de rve Rumah mimpi. Semua orang punya impian, tetapi tidak semua orang berusaha untuk menggapainya. Di sini, adalah tempat yang berisi orang-orang yang punya banyak mimpi. Yang tidak hanya berangan tanpa bergerak. Di sini, kamu boleh menangis, kamu boleh terjatuh, tapi kamu tidak boleh diam. Karena diam berarti kalah. Kalah karena sudah melepas mi...
Sampai Nanti
495      275     1     
Short Story
Ada dua alasan insan dipertemukan, membersamai atau hanya memberikan materi