Begitu terbangun Rayyan mengecek handphone-nya. Ada chat dari Yara. Setelah membacanya Rayyan jadi ingat kalo dia belum membalas chat dari Mettasha.
Rayyan duduk sambil menyandar sofa, melihat sekelilingnya. Rumah masih sepi menandakan kalo Yara belum pulang. Matanya melihat ke jam dinding di atas televisi layar datar yang terpasang di dinding, pukul 20:40.
“Maaf aku ketiduran tadi. Terserah aja waktunya kapan. Yang penting gak mengganggu waktumu.”
Send!
Belum ada semenit handphone Rayyan kembali bergetar. Chat balasan dari Mettasha.
“Kalo gitu 2 hari lagi kita ketemuan. Di Lekker yang di Asia-Afrika, jam 4 sore.”
Rayyan mengetik “Ok...” lalu mengetik “selamat malam” tapi dihapus, mengetik “good night” kembali dihapus, mengetik “sweet dream” tapi dihapus lagi. Mengetik lagi...
Send!
Mettasha masih menunggu balasan Rayyan. Tak ada satu menit handphonenya yang digenggam berbunyi. Open...
“Ok”
Setelah membacanya Mettasha rebahan di ranjang. Dia merasa hari ini berjalan pelan, membosankan. Namun chattnya dengan Rayyan telah membuat hari ini menjadi happy ending karena menumbuhkan harapan baru baginya.
Mettasha jadi flashback, kembali mengingat masa-masa bersama Rayyan 8-7 tahun yang lalu. Seorang adik kelas yang begitu mencintainya, mau melakukan apapun demi membuat Mettasha merasa dipedulikan, merasa dimiliki dan dibutuhkan. Rayyan mampu membuat hari-hari Mettasha jadi indah. Masa akhir SMA yang berwarna. Hubungannya dengan Rayyan berlanjut hingga Mettasha kuliah sedangkan Rayyan duduk di bangku SMA kelas 12. Namun semuanya terhenti ketika... Ya, Mettasha masih saja menyalahkan diri sendiri. Selebihnya dia masih bingung dengan diri Rayyan. Bisa jadi apa yang dibicarakan dengan Desi benar. Pertemuan sebelum reuni antara Mettasha, Desi, dan juga Wildan. Pertemuan yang bisa dibilang rahasia.
Kening Mettasha berkerut mengingat obrolan sore itu.
# # #
Pukul 9 lebih 10 menit. Setelah mengecek jam di handphonenya pandangan Yara tertuju pada lelaki bertinggi badan 173cm yang sedang berdiri membayar makanan yang sudah mereka habiskan.
Punggung yang pernah Yara peluk saat naik motornya dahulu. Pandangan mata Yara pindah ke kepala Wildan. Kepala itu, yang dulu pernah dijambak Yara saking kesalnya ke Wildan yang dulu sangat menyebalkan. Lelaki yang pernah dia peluk sambil nangis-nangis, sedangkan bahunya dengan iklas udah buat lap ingus Yara karena gak mau ditinggalin sama Wildan.
Yara jadi tersenyum sendiri. “Beda Wildan sama Rayyan apa ya?” Tiba-tiba fikiran Yara ke sana. Wildan bukan cowok yang doyan ngomong, walaupun gak sependiam Rayyan. Wildan juga bahkan gak pernah punya pacar di SMA selain sama Yara. Yang pasti Wildan gak brengsek kayak Rayyan saat di SMA sih. “Trus... apa ya?”
“Dorr! Hayoo... mikirin apa?”
Sambil tersenyum Wildan yang tiba-tiba sudah berdiri di samping Yara menepuk pelan pundak Yara.
“Ehh! Enggak, cuma lagi mikir aja kalo kata orang kan laki-laki itu sama. Tapi lu sama Rayyan beda kok.”
“Oh... Kirain mikir apaan. Mungkin kecenderungan cowo’ itu rata-rata sama, tapi gak berarti semua cowo’ itu sama.”
“Hihi... Iya juga sih ya. Eh! Kita sambil ngobrol sambil pulang yuk! Udah malam. Pengen nonton drama Korea sih.” Sambil tersenyum lebar Yara beranjak dari duduknya.
“Masih suka nonton drama?”
Wildan dan Yara berjalan bersisian di samping Yara. Mereka berjalan meninggalkan cafe sambil tetap mengobrol.
“Iya donk... buat refreshing aja, tapi beneran jadi susah mau berhentinya. Hehe...”
Di pelataran cafe Wildan langsung mengambil helm dan menyodorkannya ke Yara.
“Refreshing penting, gak apa kok. Gue juga pernah nonton film action mereka, kualitas cerita maupun efek yang dipakai udah lumayan keren. Gak kalah dari Hollywood.” Wildan tetap mengobrol dengan Yara, sementara dia sibuk nyiapin motornya buat bersiap ninggalin pelataran cafe. Yara bergegas naik ke atas motor.
Kepala Wildan nengok ke belakang, ke Yara. “Udah siap, neng?”
“Udah.”
Yara yang masih canggung habis makan bareng mantan bingung mau pegangan di mana? “Aneh!” Gumamnya. “Tadi pas berangkat gue terserah aja mau pegangan ke Wildan.”
“Mana tangan lu?” Telapak tangan kiri Wildan menengadah ke Yara.
“Mau ngapain?” Kata Yara sambil menyodorkan tangan kirinya.
“Pegangannya di sini” Wildan mengarahkan tangan kiri Yara ke pinggang kiri Wildan. “Jangan dipundak kayak tadi pas berangkat...”.
Yara hanya terdiam ngedengerin Wildan ngomong. Dia lagi mikir “Emang gue tadi pegang pundak gitu??”, namun telinga Yara masih menyimak baik ucapan Wildan. “... kayak ke tukang ojek.” lalu Wildan memutar kembali tubuhnya, bergegas menstarter motornya, melajukan motor meninggalkan pelataran cafe.
Diperjalanan pulang Yara mendekatkan kepalanya ke telinga Wildan. Berbicara dengan keras agar didengan Wildan. “Lu beda sama Rayyan.”
“Bedanya?” Tanya Wildan singkat. “Lu asyik kalo diajak ngobrol, gak kayak Rayyan yang dari kami sewaktu kecil pertama kali ketemu dia hobi banget diam.”
Wildan tersenyum, dia merasa tersanjung mendengar ungkapan Yara.
“Sampe sering bikin bingung saking diamnya.”
Senyum di wajah Wildan langsung memudar.
“Misalnya?”
Motor berhenti, lampu merah di kawasan perempatan Tegalega.
“Misalnya nih! Kalo dia sakit pasti diam aja, maksudnya diam gak mau bilang ke orang rumah. Justru yang gak penting kayak misal mau nerima cewek-cewek yang nembak dia baru deh ngomong, maksa lagi pengen dijawab.”
“Oh...”
Cuma “Oh” yang keluar dari bibir Wildan. Sambil serius melihat arah lampu lalu lintas ingatan Wildan kembali berkelebat saat bertemu dengan Desi dan Mettasha beberapa hari sebelum reunian.
# # #
Desi dan Dodi berada di taksi online. Keduanya, maupun pak sopir, hening. Hanya ada suara sepasang lelaki DJ radio yang sibuk siaran dengan obrolannya yang menurut ketiga orang di dalam mobil tersebut terasa gak penting. Cuma buat ngisi telinga aja, gak sampai ke otak.
“Des.”
Desi Cuma ngelirik Dodi yang ada di sebelahnya.
“Lu udah tau kan kalo lusa gue balik ke SG.”
Mata Desi tetap tertuju ke depan, tanpa bergeming dari Duduknya bibir Desi akhirnya bergerak.
“Lu tadi udah bilang.”
“Oh gitu ya? Sorry gue lupa.”
Desi kepikiran, pengen ngomong ke Dodi tapi dari dulu bibir si Dodi ember. Entar kalo rencana dia bocor sebelum berhasil mati mendadaklah Desi. Bicara tentang permusuhan, dari awal Desi ketemu Yara belum pernah tuh mereka musuhan. Tapi Desi yakin banget kalo obrolan di pertemuan rahasia antara dirinya dengan Mettasha dan Wildan akan berbuntut panjang.
Desi hanya menghela nafas kasar.
“Kenapa Des? Lu gak sakit kan”
Lagi-lagi Desi Cuma melirik Dodi, Cuma kali ini lebih tajam.
“Lu mau beli cincin tapi ada rencana gak buat ketemu sama nyonya dan tuan Wijayanto?”
Sambil tersenyum Desi menatap Dodi yang tiba-tiba menegang.
“Mmm... gue... gue... pikirin lagi nanti.”
Desi kembali menatap ke depan. Sambil diam Desi makin yakin lebih baik dia gak cerita ke Dodi. Sementara keringat dingin Dodi mendadak bermunculan di kening gara-gara pertanyaan Desi barusan. Dodi berfikir kalo kali ini dia harus dewasa buat ngambil tindakan yang terbaik. Karena ini menyangkut masa depannya, walaupun dia sebenarnya takut salah langkah. Setiap lelaki yang baik pasti akan berhadapan dengan fase seperti ini di hidupnya, dan Dodi masih mengumpulkan keberanian buat melakukan tindakan secara nyata mewujudkan apa yang diinginkan Desi karena hal itu memanglah yang seharusnya dilakukan. (Maafin Thornya ribett beudd!)
Dodi mengambil handphone di saku jaket lalu bergegas mengetik.
Send!
Mau gimanapun rupanya Rayyan memang sahabat Dodi, tempatnya curhat dari SMA hingga kini bahkan.
# # #
Rayyan melipat sajadahnya ke hanger. Sambil membawa handphonenya dia ke luar kamar, menuruni anak-anak tangga. Langkahnya terhenti di ruang tamu, di depan rak-rak besar penuh buku. Setelah mengambil beberapa buku Rayyan menuju sofa lalu meletakkan buku-buku di atas meja. Langkah Rayyan kembali menjauhi ruang tamu, kini menuju kulkas di dekat dapur bersih, lebih tepatnya di dekat pintu belakang rumah. Rayyan menyibak gorden melihat ke luar rumah. Benar saja Rayyan lupa mengangkat jemuran. Rayyan membuka pintu. Angin berhembus kencang, sepertinya akan turun hujan. Rayyan bergegas mengangkat jemuran, lalu dimasukkan ke keranjang baju khusus hasil cucian kering. Setelah mengunci pintu Rayyan membuka kulkas mengambil minuman ringan favoritenya. Sebelum menutup pintu kulkas pandangan Rayyan sempat tertumbuk ke wadah jus yang tadi siang Rayyan buat. Otaknya langsung memunculkan sosok Yara. “Belum pulang”, fikir Rayyan. Sebelumnya Yara gak pernah keluar malam kecuali ditemani Desi, walaupun lebih sering ditemani Rayyan.
Sambil membawa keranjang baju yang penuh ke ruang tamu Rayyan melirik ke jam dinding, pukul 21:35. Rayyan yang mau membaca buku mendadak malah jadi ngelipat baju-baju. Melipat baju yang habis dijemur kering memang tugas Rayyan, sedangkan mencuci dan menjemur adalah tugas Yara. Beres-beres rumah juga bagiannya Yara, kecuali weekend pasti itu jadi tugas Rayyan.
Rayyan menumpahkan isi keranjang ke sofa. Sambil bersila kaki di sofa Rayyan mulai membalik lalu melipat baju-baju. Baru beberapa menit Rayyan merasa suasana terlalu sepi. Dia beranjak dari duduk, mengambil remote tv, lalu menyetel salah satu stasiun tv yang sedang menyiarkan produk-produk dapur terbaru. Rayyan suka menonton hal seperti ini karena dia bisa melihat kecanggihan alat-alat masak masa kini.
Rayyan kembali ke sofa, membuka kaleng softdrinknya lalu kembali duduk ke posisi awal. Setelah minum dia letakkan kaleng di ujung meja. Sambil menonton dia kembali melipat baju-baju dengan rapi. Tak lupa baju yang sudah dilipat langsung Rayyan masukkan ke keranjang yang kini sudah berdiri di atas meja.
Dari arah pintu tiba-tiba terdengar ketukan. Kepala Rayyan bergerak-gerak berusaha melihat siapa yang ada di depan rumah, sosoknya terlihat di depan dinding kaca. Lampu depan yang redup membuat Rayyan kesusahan melihat siapa yang kira-kira datang. Belum sempat pantat Rayyan terangkat dari sofa orang di luar membuka pintu rumah yang memang tidak dikunci. Rayyan langsung melihat ke arah pintu.
“Yara pulang!”
Rayyan yang baru saja tersenyum ke arah Yara mendadak senyumnya menghilang melihat orang lain yang kini berada di depan pintu bersama Yara.
“Hayuk, masuk dulu. Jas hujannya ada di garasi. Eray...”
Wildan mencopot sepatunya, sedangkan Yara bergegas menuju Rayyan yang masih duduk.
“Ray, Wildan mau minjam jas hujan. Di luar udah mulai gerimis. Punya gue ukurannya pasti gak muat, lagian warnanya kan pink. Gak cocok banget buat Wildan. Pinjemin punya lu boleh ya?!”
Belum sempat Rayyan menjawab tangannya sudah ditarik paksa sama Yara.
“Iya... iya. Ambil kunci dulu.”
Rayyan bergegas mengambil kunci di lemari kayu pendek yang memanjang di bawah televisi
“Ray.” Sapa Wildan yang masih berdiri di belakang sofa panjang.
“Dan... Duduk, aku ambil dulu.”
Rayyan melewati Wildan sambil bergegas menuju garasi, sedangkan Yara ke kamar naruh tas lalu ngibrit ke toilet kebelet buang air kecil.
Wildan duduk di sofa kecil yang menyamping di dekat sofa panjang dimana baju-baju masih berserakan. Sambil duduk mata Wildan mengedar ke seluruh ruang tamu. Dari pintu depan rumah, lemari-lemari buku, sampai ke sofa di mana baju-baju berserakan. Sekilas saja Wildan tau Rayyan lagi ngapain: ngelipat baju hasil cucian. Lalu matanya tertuju ke televisi. Tiba-tiba di otaknya terbersit “Rayyan, aktifitas, dan hobinya”, mungin itu judul yang terbaik. Mata Wildan kembali memindai apapun yang ada di depannya. Baju Rayyan dan Yara yang jadi satu. Dari kemeja Rayyan, baju-baju yara, kaos kaki, kolor, tanktop laki-laki, bahkan bra dan ‘cd’ pun ada.
Wildan langsung nengok ke belakang, karena baru saja ada suara bantingan pintu. Rupanya Yara yang barusan nutup pintu kamarnya. Dengan tubuhnya yang kecil dengan sekuat tenaga berlari ke arah sofa.
“ERAYYY! Udah gila kali ya ada tamu malah baju gak diamanin dulu gini!”
Yara yang baru selesai pakai jurus telapak bayangan masukin semua baju ke keranjang baju. Kalian nanya gimana sama Wildan? Pipi dia langsung memanas, berharap semoga Yara gak nyadar kalo Wildan habis ngabsen komposisi baju dari yang iya-iya sampe yang enggak-enggak.
“Santai, Ra. Gue bukan maling. Mmm... baju lu aman. Hehe...”
Wildan yang sedang tersenyum dipaksakan berusaha membuat suasana gak aneh. Yara melihat ke arah Wildan. Suasana mendadak awkward. Ya malu dan gak enak ke Wildan, ya marah ke Rayyan juga, campur aduk.
Sambil membawa tas berisi jas hujan Rayyan menuju ruang tamu.
“Tadi manggil kenapa Ra?”
Rayyan biasa aja melihat Yara yang mematung.
“Nih!” Rayyan menyodorkan tas jas hujan ke Wildan.
“Makasih, nanti gue balikin. Ra, pulang dulu ya. Gak usah dipikirin, gak apa kok.” Wildan tersenyum lalu melangkah menuju pintu. Rayyan yang melihat Yara hanya geleng-geleng aja. “Cowo’nya pulang gak dianterin malah berdiri bengong.”, begitu yang ada di kepala Rayyan.
“Eray!”
“Apaan?”
Rayyan membalas tatapan Yara yang udah kayak tatapan ikan mati. Gak bertenaga, gak fokus.
“Lu gila...”
Tatapan mata Yara tetap sama, hanya bibirnya aja yang bergerak gak bertenaga. Dibalas kening Rayyan yang berkerut menunggu kalimat Yara selanjutnya karena gak ngerti maksud Yara.
“Itu...”
Telunjuk Yara tertuju ke keranjang penuh baju. Mata Rayyan mengikuti arah telunjuk Yara.
“Wildan... tadi... lihat... semua...”
Mata Rayyan tambah fokus aja lihat apa yang ditunjuk Yara.
“Huh!”
Rayyan bergumam kecil. Sambil masih berdiri kini Rayyan mematung. Mengerti apa yang Yara maksud. Sementara Rayyan dan Yara sama-sama melihat antara bra Yara dan kolor Rayyan yang menyembul paling atas diantara baju-baju lain di keranjang baju.
Dunia Yara serasa runtuh, sementara Rayyan bingung musti ngomong apa.
“Jangan marah, Ra... Rumah udah sepi aja gak ada kamu, apalagi kalo marah,”
Bersambung...
Whutt?!! Rayyan Pratama... Bisa-bisanya anda berfikir kayak gitu disaat Yara malah berfikir hidup segan mati sungkan tea.
Next chapter semoga bisa update secepatnya...
@mugi.wahyudi Wuhuuu,,, Makasih buat pujiannya. Lanjutin nih menyebalkannya. :D
Comment on chapter Ide Gila