Aku menyibukkan diri dengan melihat contact list yang ada di ponselku. Mencari beberapa nama teman atau kenalan di kampus yang mengambil jurusan teknik mesin. Cukup sulit sebenarnya, mengingat jurusan teknik mesin hanya terdapat segelintir kaum berjenis kelamin wanita. Sedangkan hampir semua temanku adalah wanita.
Ah, Ike!
Bagaimana aku bisa melupakan anak itu? Dia kan salah satu temanku yang sama-sama menjadi staf di salah satu organisasi kampus dahulu.
Aku mulai mengetikkan namanya di contact dan gagal kutemukan. Tak kehabisan akal, aku pun membuka aplikasi LINE kemudian membuka member di salah satu grup. Beruntung kontaknyanya ada di sana.
aninmahendra: Hai, Ke! Ini Anin, anak teknik industri angkatan 2013
tri_maurike: oh, iya Nin :) tumben, nih
aninmahendra: udah lama ya kita ga kontak2an
Mau nanya sesuatu nih, Ke… sibuk ga?
Mau gw telpon, males ngetik2. Lama. Hehe..
tri_maurike: telpon aja, lagi ga ada kerjaan jg
Sebelum menelponnya aku terdiam sejenak, menimbang-nimbang kembali keputusanku untuk menelponnya. Lebih tepatnya sih mencari alasan yang mendasari penyelidikanku mengenai laki-laki bernama Hamas itu. Tak lama berselang, sebuah ide terlintas di kepalaku. Aku segera menekan tombol telepon sebelum kembali kehilangan nyali.
Bismillah…
Setelah dua kali nada sambung, suara Ike terdengar di seberang. “Halo, Assalamu’alaikum,” sapanya.
“Wa’alaikumussalam. Hai, Ke!”
“Woi, Nin! Duileh… mau nanya apa lo?” Ike ini orang Jakarta asli yang punya sifat supel, dan blak-blakan. Jadi gak heran kalau dia selalu asyik sama siapapun, meskipun kepada teman yang udah lama gak ngobrol sama dia.
Aku memulai skenarioku. Ya Allah, maafin kalau aku bohong-bohong dikit. “Mau nanyain temen Abang gue. Kemarin tiba-tiba Abang gue keinget sama dia. Katanya sih anak mesin, sejurusan sama lo. Senior dua tahun di atas lo,” jelasku.
Kekehan Ike terdengar nyaring. Kenapa dia tertawa? Jangan-jangan dia tahu kalau aku berbohong!
“Siapa namanya? Kalau gak tenar sih gue gak jamin kenal ya,” guraunya.
Aku menggigit bibir bawahku, ada sedikit perasaan tidak nyaman ketika menanyakan lelaki ke orang lain. Ini pertama kalinya aku menjadi stalker. “Namanya Hamas, tahu gak?”
Hening sejenak, kemudian aku dapat mendengar suara desisan Ike. “Muhammad Hamas Saifullah?”
“Ya… mana gue tahu. Abang gue cuma bilang Hamas doang.”
“Iya, sih. Siapa lagi yang namanya Hamas anak teknik mesin angkatan 2010.” Ike membenarkan dugaannya. “Semua dosen, karyawan sama anak mesin seangkatan gue juga tahu dia siapa,” imbuhnya.
“Iya?! Dia setenar itu di jurusan lo?” Aku tidak sanggup menyembunyikan keterkejutanku. Bodoh!
Ike mengiyakan pertanyaanku. “Pemegang IPS sekaligus IPK tertinggi seangkatan dia, sering ikutan penelitian sama proyek dosen, sering ikutan lomba juga. Tiap spanduk prestasi ganti nih, nama dia kayanya selalu ada deh.”
Benarkah orang yang mengajakku ta’aruf adalah orang yang sehebat itu?
“Oh…” Hanya itu yang dapat keluar dari mulutku. Aku tidak tahu harus menanyakan apa lagi. Padahal tadi banyak sekali hal yang ingin kutanyakan, seharusnya aku mencatatnya.
“Lo mau tanya apaan Nin soal Kak Hamas?”
Aku berpikir sejenak, mencoba mengingat apa yang harus kutanyakan. “Ya… gue,” aku berdeham, “Ehhm, Abang gue penasaran gitu sama gimana kabar dia terus sama di kampus dia orang kaya gimana. Udah lama gak ketemu soalnya.”
Satu kebohongan akan mengantarkanmu ke kebohongan selanjutnya.
“Beneran lo gak tahu dia? Dia itu kepala departemen kajian strategis waktu kita jadi staf dulu.”
Aku menggaruk kepala, merutuki diri sendiri yang tidak mampu menemukan clue mengenai orang yang bernama Hamas. “Ya, lo tahu kalau gue suka gak kenal sama orang yang gak pernah setim sama gue.”
“Lo kurang gaul sih! Anak-anak juga sering ngomongin dia, lo pikir kenapa waktu dulu setiap anak kastrat ngadain diskusi pasti banyak yang dateng?”
Aku menggumam. “Ya, karena kesadaran politik.”
Tak butuh waktu lama untuk mendapatkan bantahan dari Ike. “Salah! Karena anak-anak pada pengen lihat Kak Hamas.”
Wajahku langsung cengo seketika. Kalau begini, aku memang benar-benar fix dinobatkan jadi anak yang kurang gaul dan gak peka. “Seriusan lo?”
“Duileh, lo tinggal di planet mana sih, Nin?” sindir Ike yang kutanggapi dengan twa yang cukup garing dan hambar.
Merasa tidak mau kalah, aku kembali berkilah. “Ya kan gue gak suka gosip gitu.”
“Terus sekarang lo tahu gak dia kerja di mana?” tanyaku. Jujur, aku semakin penasaran dengan laki-laki ini.
“Di perusahaan mobil kayanya, gue lupa. Dulu sempet ditawarin jadi dosen, tapi dia bilang pengen kerja dulu.”
Aku memangguk-anggukkan kepala. “Dia anak baik-baik, kan? Dulu waktu kuliah sempet punya cewek, gak?” tanyaku dengan intonasi selirih mungkin.
“Duh… dia tuh alim banget. Wajahnya tuh menyejukkan gitu, berasa adem kalau habis ngeliat dia. Kalau adzan langsung sholat ke masjid, waktu dhuha pun sering kelihatan di musholla. Suami idaman banget, lah!” Suara tawa Ike kembali terdengar. Aku hanya mampu menanggapinya dengan kekehan kecil. Aku lebih penasaran dengan jawaban dari pertanyaan keduaku.
“Well, kalau masalah cewek kayanya dia nggak tertarik deh. Anak mesin kan kebanyakan cowok, dia ke mana-mana juga barengan sama anak-anak cowok. Palingan kalau ada tugas bareng atau apa gitu baru kelihatan bareng cewek,” lanjutnya.
Aku mengerjapkan mata beberapa kali, spechless. Nikmat Tuhan yang manakah yang tidak disukuri laki-laki bernama Hamas ini? Ganteng, pinter, alim. Laki-laki macam ini hanya tumbuh berkembang di dunia fiksi.
“Jangan-jangan dia punya fans club ya, Ke?” candaku.
“Mungkin kalau unofficial sih ada kali ya.” Aku kembali terkejut mendengar jawaban Ike. Jadi si Hamas ini juga jadi incaran para cewek-cewek? Ya Allah… tekanan batin kali ya kalau nanti jadi istrinya.
“Seriusan itu temen Abang lo? Minta kenalin sono!” ujar Ike.
Aku terbahak dengan nada sedikit getir. “Rese lo!”
“Lo nelpon gue hari Minggu pagi cuma buat nanyain Kak Hamas? Setelah kita gak pernah ketemuan selama lebih dari setahun, bahkan lo gak tanyain kabar gue dulu?”
Aku memukul kepalaku pelan, merutuki kebodohan. “Ya Allah, gue lupa! Apa kabar, Ke?”
“Basi lo!” ujarnya dengan nada pura-pura kesal.
Aku memutus sambungan telepon setelah menghabiskan beberapa belas menit untuk berbincang dan nostalgia dengan Ike. Perempuan dan obrolan mereka tak akan pernah usai jika tidak dibatasi.
Proposal itu tergeletak di meja, belum kusentuh sama sekali. Aku malu untuk membukanya. Terlebih lagi setelah apa yang Bang Reza lakukan padaku. Tapi masalah tidak akan selesai jika terus lari dari masalah.
Kuberanikan diri unntuk membuka lembar pertama kumpulan kertas itu. Membaca dengan seksama setiap halamannya, membandingkannya dengan karakter dan pribadiku, dan mengukur peluang kecocokan jika kelak kami hidup bersama?
Apakah aku bisa menjalin hidup bersama dengan pria semacam Hamas?
-T B C-
Semoga pada gak lupa sama cerita ini ya :)) Sesungguhnya diriku ingin update setiap hari, namun ternyata masih belum mampu :(
Happy reading and have a nice day ^^
Pake proposal donggg.... :""""
Comment on chapter [1] Todongan Keluarga