Baru kali ini Galih merasakan gugup ketika berhadapan dengan Papanya. Apalagi saat ini ia hanya berdua di ruang kerja Papanya dengan pintu tertutup dan pembicaraan serius antar pria. Lelaki yang masih berstatus sebagai mahasiswa semester dua itu bahkan tidak berani mengangkat kepalanya. Dibiarkan kedua tangannya meremas pelan lutut yang tak henti bergetar.
“Jujur sama Papa! Kamu menghamili pacarmu?”
Bambang –Papa Galih- segera curiga ketika Galih dengan tiba-tiba meminta restu untuk menikahi pacarnya. Pria itu tidak habis pikir dengan jalan pikir anak sulungnya itu. Di saat lelaki sebayanya masih menikmati kebebasan, anaknya malah memilih untuk terikat dengan anak gadis orang lain.
Galih hanya mampu menghela napas mendengar pertanyaan Papanya. Nikah muda memang identik dengan married by accident. Tapi selama ia berpacaran, hal yang paling intim mereka lakukan sebatas mencium kening dan pipi.
“Kia gak hamil, Pa. Galih juga gak pernah melakukan hal-hal yang menyebabkan Kia hamil,” ucapnya dengan tegas.
Bambang memijat pelipisnya, pusing mulai mendera kepalanya. Bisa saja ini pertanda bahwa hipertensinya kambuh lagi. “Papa masih gak paham alasan kamu meminta ijin untuk menikahi Kia.”
“Galih pacaran dengan Kia sejak SMP, Pa. Kami sudah empat tahun berpacaran. Galih gak mau pacaran lebih lama lagi, Galih ingin benar-benar bertanggung jawab kepada Kia sebagai suaminya.”
Kisah percintaan Galih dan Kia seperti pasangan remaja lainnya. Bertemu di sekolah – timbul benih-benih cinta – berpacaran. Kia adalah adik kelas Galih, umur mereka hanya selisih satu tahun. Hubungan mereka bisa dikatakan cukup langgeng bahkan menjadi salah satu relationship goals versi alumni sekolah keduanya.
“Kamu masih sembilan belas tahun kalau kamu lupa.” Bambang mengingatkan Galih mengenai keputusannya menikahi Kia.
Galih merapatkan bibir dan juga kedua lututnya. “Sembilan belas tahun sudah legal menikah di Indonesia, Pa.”
Bambang hanya bisa geleng-geleng kepala mendengar bantahan anak sulungnya. “Kia yang memaksa kamu menikahi gadis itu?”
Galih sontak mengangkat kepalanya. “Ini murni keputusan Galih, Pa. Malah Galih yang meyakinkan Kia untuk menikah dengan Galih.”
“Terus dia mau-mau aja nikah sama kamu?”
Galih mengangguk.
Sebenarnya Kia juga tidak kalah kaget ketika Galih meminta gadis itu untuk menjadi istrinya. Pasalnya selama ini Kia tidak pernah berpikiran sejauh itu. Ia hanya merasa hubungannya dengan Galih seperti hubungan asmara remaja kebanyakan. Awalnya gadis itu menolak sebelum ia dihadapkan oleh Galih pada dua pilihan. Putus atau menikah.
“Kamu mau kasih dia makan apa? Kamu sanggup bayar biaya kuliah dia? Sudah kamu pikirkan itu?”
Rentetan pertanyaan dari Bambang sukses membuat Galih terenyak. Meskipun ia sudah memikirkan apa yang ditanyakan oleh Papanya tetapi jika ditanya dengan tatap muka begini Galih juga sedikit ciut untuk menjawabnya.
“Sudah, Pa. Galih akan kerja keras untuk memenuhi kebutuhan Galih dan Kia,” jawab Galih setelah berusaha menelan segumpal ludah yang tiba-tiba tersangkut di tenggorokannya.
“Kamu sudah berapa lama memikirkan keputusanmu?”
“Tiga bulan terakhir, Pa.”
Bambang kembali memijat pelipisnya. Galih memang keras kepala seperti dirinya. Sedikit mustahil untuk meredam atau bahkan menentang keinginan Galih. Apalagi selama ini Galih menjadi anak baik yang selalu menuruti dan mendengarkan nasihatnya. Bambang ragu kali ini Galih mau untuk menunda keputusannya untuk menikahi kekasihnya.
“Papa kasih waktu seminggu lagi untuk berpikir. Menikah itu tidak hanya senang-senang melakukan segala hal berdua, nikah itu gak melulu enak Gal,” putus Bambang.
Sebelum beranjak dari kursi kerjanya, Bambang kembali menatap tajam kepada anaknya. “Sebagai pertimbangan, jika kamu memang benar-benar tetap ingin menikah, syarat dari Papa ada dua. Pertama, kamu harus tetap menyelesaikan kuliahmu. Kedua, Papa akan melepas tanggung jawab sepenuhnya terutama dalam hal finansial. Asal kamu tahu, salah satu kewajiban suami adalah memenuhi nafkah keluarga.”
Bahu Galih yang semula tegang langsung merosot ketika Bambang keluar dari ruangannya. Ada rasa lega juga berat di dalam dadanya. Kepalanya berputar memikirkan segala konsekuensi yang harus ia hadapi ketika mengambil keputusan untuk menikahi Kia. Galih menyandarkan kepalanya di bahu sofa, sejenak memjamkan kepalanya berharap ia dapat melewati segalanya.
***
Halo!
Cerita baru sudah resmi dirilis! Semoga waktu pengerjaannya gak selama cerita yang sebelumnya.
Aku bawa cerita mengenai nikah muda tetapi bukan nikah muda yang menye-menye dan isinya seneng-seneng aja atau isinya melulu tentang cemburu-cemburuan. Di cerita ini aku mencoba menghadirkan esensi menikah, kewajiban suami dan istri, juga hal-hal lainnya. Iya, aku memang belum menikah. Tapi harapannya lewat cerita ini aku bisa menggambarkan kemantapan menikah versiku.
Untuk soundtrack cerita ini adalah Forever Survivor milik Far East Movement.
Pasuruan, 10 Juni 2018
Hai @reik
Comment on chapter [1] Bu, Aku Mau MenikahAku gatau kenapa chapternya bisa kosong, padahal statusnya terpublish dan di draftnya ada isinya :(
Maaf atas ketidaknyamanannya, barusan aku publish ulang dan setelah aku cek isinya udah ada.
Happy reading :)