ARANKA (1)
Penerangan yang minim dengan cahaya kelap-kelip, bersama dengan para wanita berpakaian minim yang meliuk-liukkan tubuhnya mengikuti dentuman musik yang memekakkan telinga, menjadi pemandangan yang lumrah di tempat ini. Seorang pria duduk santai di sofa terpojok, ditemani segelas alkohol yang harganya mencapai jutaan rupiah, menikmati keadaan di sekelilingnya. Semua orang di tempat itu mengenalnya, sebab dia adalah Aland Aranka. Generasi ketiga keluarga konglomerat Aranka, pemilik banyak perusahaan ternama yang diwariskan secara turun temurun. Tak heran nama Aranka sangat berpengaruh. Dengan kekuasaan dan harta yang dia miliki, ditambah parasnya yang menyerupai seorang dewa Yunani, semua orang tunduk padanya hanya dengan jentikkan jari.
"What's up, bro?" Sapa seorang pria bertubuh tinggi sambil menepuk pundak Aland. Lengannya digelayuti seorang gadis yang memakai make up tebal untuk menutupi umurnya yang masih terlalu muda untuk berada di klub tersebut.
Aland hanya melihat sekilas lalu tersenyum tipis. Pria tersebut hanya mendengus kesal melihat sikap dingin Aland yang tidak pernah berubah.
"Masih sama saja ya... Kalo gitu have fun ya, gue cabut dulu," Pria tersebut menepuk pelan punggung Aland lagi. Aland hanya menanggapi dengan acungan jempol sambil pria tersebut berlalu, menggiring gadis di lengannya menuju meja bar.
Aland kembali membuang muka. Ia kemudian meneguk habis sisa minuman di gelasnya, mengambil jaket hitam yang tergeletak di sofa, dan melangkah keluar dari tempat itu. Inilah salah satu kebiasaan Aland, pergi ke klub malam, memesan segelas alkohol yang harganya selangit, lalu hanya duduk dan minum tanpa melakukan apapun. Jika dia sudah bosan, barulah dia pulang.
.
Ketika mobil sport merah mengkilap milik Aland masuk ke dalam sebuah pekarangan mansion, para pelayan sudah berjajar rapi untuk menyambutnya. Sebenarnya Aland benci dengan semua ini. Ketika kebanyakan anak pulang ke rumah disambut oleh ibunda tercinta, dia malah disambut oleh barisan pelayan. Aland hanya menanggapi mereka dengan tatapan dingin dan acuh. Para pelayan sudah terbiasa dengan sikap dingin tuan mudanya. Mereka hanya bisa menghela nafas dalam diam berharap ada keajaiban yang bisa mengubah sikapnya. Apalah daya mereka hanyalah seorang pelayan.
Aland menapaki anak tangga satu per satu. Dia berhenti sejenak di depan kamar berpintu putih yang berada tepat di depan kamarnya. Seketika raut wajahnya berubah sendu, tidak ada tatapan dingin dan menusuk yang biasa ia tampilkan. Aland membuka pintu putih itu secara perlahan. Tampak seorang wanita paruh baya berpakaian putih sedang duduk di depan jendela kaca dengan tatapan kosong. Terlihat bahwa di masa mudanya, dia adalah wanita yang sangat cantik. Tetapi kecantikan tersebut tampak memudar. Bukan oleh umur, namun oleh suatu hal yang lain.
Melihat pemandangan di hadapannya mengurungkan niat Aland untuk melangkah masuk. Ia menutup kembali pintu itu tanpa sepatah kata, kemudian memasuki kamarnya sendiri. Wajahnya memerah, menahan emosi yang bercampur aduk.
.
Aland menatap langit malam dari balkon kamarnya. Rahangnya mengeras, tangannya mengepal. Sampai pada akhirnya, air mata meluncur bebas dari matanya. Isakannya menyayat hati siapapun yang mendengarnya.
"Bunda..." Lirih Aland disela-sela isak tangisnya, mengeluarkan semua emosi yang dipendamnya. Sungguh berbeda Aland di luar sana dengan Aland yang sedang meyendiri di kamar. Ia memang tampak kuat dan penuh kuasa, namun pada kenyataannya ia sendiri merasa lemah, tak berdaya.
.
"Selamat pagi, Tuan Muda. Sarapannya sudah siap," Sapa seorang pelayan ketika melihat Aland turun dari tangga lantai atas. Aland tampak santai dengan kaos berwarna putih yang memperlihatkan tubuhnya yang atletis. Melihat jam tangan yang melingkar di tangannya, langkahnya mulai terburu-buru.
"Saya sedang tidak ingin. Siapkan saja sarapan untuk Bunda, pastikan semua sesuai dengan keinginan dia," Tegas Aland.
Pelayan itu pun mengangguk mengiyakan perintah Aland. Aland pun melangkah keluar mansion dan masuk ke dalam mobil yang terpakir di pekarangan rumah. Aland tidak pernah menggunakan supir, dia lebih suka menyetir sendiri ke mana pun dia pergi. Dengan begitu, ia merasa lebih bebas.
Sampai di kampus, Aland memarkir mobilnya di parkiran khusus untuknya. Ia berjalan santai di koridor kampus seperti biasa tanpa menghiraukan semua tatapan yang dilontarkan untuknya. Ada yang menatapnya dengan kagum, sinis, bahkan takut.
"Kak Aland, tunggu dong!" Teriak seorang gadis saat melihat Aland berjalan di depannya. Aland menghentikan langkahnya sambil menghela nafas pelan.
"Kak Aland kok gak jemput Thalita sih?" Rajuk gadis yang bernama Thalita itu pada Aland.
"Iya, maaf kak Aland kira kamu udah berangkat, soalnya kak Aland kesiangan." Jelas Aland kepada Thalita, sambil mengusap rambut cokelat kemerahan milik Thalita dengan lembut.
Gadis di hadapan Aland adalah orang yang berarti baginya, salah satu dari sedikit orang yang dicintainya. Tidak heran jika ia berubah ketika berhadapan dengan gadis ini. Karena dia adalah cinta pertama, juga terakhirnya, ia berharap.
"Bukannya kak Aland udah mengirim supir buat jemput kamu?" Sambung Aland lagi.
"Aku maunya Kak Aland yang jemput! Kan aku cintanya Kak Aland, bukan pak supir,"
Aland terkekeh kecil mendengar ucapan Thalita, lalu mencubit pipinya dengan gemas.
"Ihh sakit tau!" Rengek Thalita sambil mengusap pipinya sendiri.
Aland hanya kembali terkekeh lalu merangkul pundaknya.
"Ya udah sekarang kak Aland anterin ke kelas kamu deh..." Aland menggiring Thalita yang hanya mendengus kesal mendengar tawanya.
Setelah mengantarkan Thalita ke kelasnya, Aland memilih untuk pergi ke rooftop kampus. Rooftop kampus memang tempat favorit Aland untuk menghindari jam kuliah. Jarang mengikuti pelajaran bukan berarti nilai Aland berada di bawah rata-rata, justru Aland merupakan mahasiswa terbaik di kampusnya, tidak menampik kecerdasan turun temurun keluarga Aranka. Karena kecerdasannya ini Aland hanya mengambil kelas saat dia ingin saja, selain faktor dia adalah anak pemilik kampus. Sisanya ia menitip catatan dengan teman-temannya, yang ia tentu akan pelajari di rumah.
"Bolos lagi?" Sahut suara di belakang Aland. Pemiliknya ialah temannya yang bernama Kelvin.
Aland hanya mengedikkan bahunya acuh. Kelvin menghampiri Aland dan berdiri di sampingnya, ikut menatap pemandangan kota Jakarta yang disuguhkan dari tempat mereka berdiri. Kelvin menarik nafas panjang sebelum akhirnya memulai pembicaraan.
"Lan, kita kan udah lama temenan.. gue tau banget apa yang terjadi sama lo..." Mendengar kalimat yang diucapkan Kelvin membuat Aland menatapnya serius. Itu berhasil membuat Kelvin ragu untuk berbicara lagi.
"Kalo lo mau bahas soal itu, maaf, gue ga minat Vin." Balas Aland datar, lalu membuang pandangannya dari Kelvin.
"Gue bukan ngebahas itu Lan... Gue gak mau buka luka lama. Yang pengen gue bahas adalah sikap lo. Sikap lo yang berubah sejak kejadian itu, sikap lo yang membuat gue lupa kalo lo adalah Aland Aranka, sahabat gue," Ucap Kelvin. Ia menepuk pelan punggung Aland sebelum akhirnya pergi meninggalkan Aland. Mendengar apa yang diucapkan Kelvin, air muka Aland berubah.
Selang beberapa menit, suara langkah kaki kembali terdengar. Aland tidak mengalihkan tatapannya dari pemandangan kota di depan nya, sampai akhirnya suara lembut yang sangat ia kenal membuatnya menoleh.
"Sama seperti Kak Kelvin, aku juga tidak kenal Kak Aland yang sekarang setelah kejadian dua tahun lalu," Ucap Thalita sambil berjalan menghampiri Aland tanpa menatap Aland sama sekali. Namun Aland menatapnya dengan lembut.
"Apa perlakuan kakak selama ini belum meyakinkan Thalita?" Tanya Aland tanpa mengalihkan tatapannya dari wajah cantik gadis itu.
"Aku tau kakak seperti itu hanya untuk menutupi kesedihan kakak..." Jawab Thalita yang masih enggan untuk menatap Aland. Aland terdiam mendengar kata-kata yang terlontar dari gadis yang berdiri disampingnya ini. Jauh di dalam hatinya, ia membenarkan ucapan Thalita.
"Inilah aku sekarang Thalita, suka atau tidak inilah kenyataannya." Aland berkata dengan datar dan kembali menatap ke depan.
Mereka berdua terdiam. Tidak ada yang berusaha membuka percakapan lagi. Mereka membiarkan desiran angin membelai lembut wajah mereka, menerbangkan segala pikiran yang menumpuk di benak masing-masing, walaupun hanya sesaat.