Dyvan menggerakkan sepasang kelopak matanya keatas, membuat kedua mata itu terbuka secara perlahan-lahan.
Aku berdiri, lalu mengambil segelas air mineral untuk meminumkan air tersebut kepada Dyvan.
Setelah meneguk air, Dyvan memegang kepalanya, sambil mengerutkan kening dengan kedua mata yang tertutup.
“Kau kenapa?” Tanyaku sedikit panik.
Dyvan mendengus, lalu sedikit menggelengkan kepalanya entah sedang melakukan apa.
“Kepalaku sakit sekali, Karlee.” Jawabnya, membuatku memencet tombol merah secepat yang kubisa, berharap perawat segera datang untuk memeriksa kondisi terkini Dyvan.
Dyvan memegang pergelangan tanganku, lalu ia menoleh ke kanan kiri sebelum akhirnya kembali menatapku sembari berkata, “Ini pukul berapa?”
Kulihat jam tanganku, dan jarum panjang di jam itu menunjuk ke angka sebelas dengan jarum pendek di angka dua. “Pukul dua.” Jawabku.
“Kukira telah sore.”
Aku terkekeh, lalu menggeleng. “Tidak. Ini telah malam.” Ucapku.
“Kau serius?”
Kuanggukkan kepalaku, menandakan bahwa aku tak berbohong atas apa yang telah aku katakan kepadanya.
Seorang perawat dan seorang dokter masuk ke dalam ruangan kami, lalu mereka memeriksa Dyvan yang terus-terusan memijat sendiri kepalanya.
“Kapan dia sadar?” Tanya wanita berumur sekitar 35 tahun, yang mengenakan almamater putih dengan sebuah stetoskop di lehernya.
“Baru saja dok. Pukul dua kurang lima menit.”
Dokter itu mengangguk, sedangkan perawat di sebelahnya mencatat sesuatu di buku yang ia bawa.
“Sakit kepala ini memang akibat dari sakitnya. Ia terlalu kelelahan dan daya tahan tubuhnya menurun, ia jadi lebih mudah terjangkit berbagai macam penyakit. Ya, dan inilah akhirnya. Demam, sakit kepala, dan mual mungkin sudah biasa. Nanti, akan saya beri obat untuk diminum ya.”
Aku mengangguk, lalu menunjukkan senyum kecil kepada dokter itu.
“Berapa lama saya harus dirawat, dokter?”
Dokter wanita itu bergumam, lalu ia menaikkan bahunya seakan menjawab ‘tidak tahu’. “Ya itu tergantung secepat apa tubuh kamu bereaksi. Semakin cepat kamu sembuh, semakin cepat—“
“Bisa tidak kalau rawat jalan saja? Saya harus mempersiapkan materi olimpiade Matematika saya.”
“Dyvan!” Tegurku, membuat Dyvan menoleh dan mengerutkan keningnya.
“Apa?”
“Kau harus dirawat!”
Dyvan memutar kedua bola matanya, lalu berdecak sambil menatapku dengan tatapan yang seakan berkata kalau ia sedang memberontak. “Kau tak tahu betapa sulitnya menyiapkan materi olimpiade itu, bodoh!” Ujarnya.
Aku ikut berdecak. “Memang tak tahu, dan aku tak mau tahu tentang hal itu. Aku cuma tak ingin kau mati hanya karena sebuah olimpiade, bodoh!”
“Aku tak akan mati, bodoh!”
“Kau bisa mati jika tak dirawat, bodoh!”
Dyvan mendengus pelan, “Heh, bodoh. Aku malah bisa mati bunuh diri kalau tak ikut olimpiade ini. Ini olimpiadeku tingkat provinsi dan aku akan menginjak tingkat nasional untuk yang kedua kalinya! Kau ini bagaimana?! Kau tak tahu saja bagaimana rasanya—“
“Memang tak tahu!” Bentakku. “Untuk apa kau memenangkan itu semua hah? Untuk apa?! Etalase rumah kita sudah penuh dengan piala dan piagam olimpiade matematika, olimpiade fisika, dan lomba basketmu juga penghargaan lain yang kau terima. Apa itu masih kurang, hah?”
“Kau bertanya untuk apa?”
Aku mengangguk, “Ya! Untuk apa?!”
“Untuk membuat diriku dan dirimu bahagia, Karlee! Aku bisa membuat diriku bahagia dan kau—“
“Dan aku sebagai penonton dirimu yang sedang berbahagia? Iya?”
Dyvan kembali mendengus, “Aku selalu berbagi apa yang aku punya kepadamu. Termasuk kebahagiaanku kan? Jadi—“
“Aku, tak, mengizinkan, dirimu, keluar dari rumah sakit ini sebelum waktunya!” Ujarku penuh penekanan, sembari berlari keluar dari ruang rawat Dyvan.
Mengapa ia begitu keras kepala!
Aku hanya ingin dia sembuh, itu saja!
Sepenting apa sih, olimpiade itu sampai ia harus membangkang.
Aku yang tak pernah menjadi juara kelas saja tak peduli dengan olimpiade itu.
Dia yang sudah kelewat sering menang olimpiade, masih saja merasa kurang?!
Dasar orang pintar.
Aku duduk di taman rumah sakit yang amat sangat sepi, lalu kubuka ponselku untuk menelpon Bunda Dyvan dan mengatakan kepadanya bahwa Dyvan telah sadarkan diri.
Setelah telepon itu tersambung, terdengar suara Bunda Dyvan yang lemah. Sepertinya ia terbangun dari tidur karena aku telepon malam buta seperti ini.
“Selamat malam. Ada apa, sayang? Bagaimana keadaan Dyvan?” Terdengar suara Bunda Dyvan dari seberang telepon itu, membuatku sedikit merasa lebih tenang dari sebelumnya.
“Malam, Bunda. Sebelumnya, maaf Karlee menelpon malam-malam seperti ini.”
“Iya tak apa. Kau sedang apa sekarang?”
“Um, sedang duduk di taman Bunda. Nyari angin segar.”
“Malam-malam seperti ini?”
Aku mengangguk, walaupun sebenarnya tahu kalau anggukan itu tak dapat terlihat oleh Bunda Dyvan. “Iya, Bunda. Oh iya, Dyvan sudah sadar beberapa menit yang lalu. Kata dokter, dia kelelahan. Daya tahan tubuhnya menurun dan ia harus dirawat di rumah sakit beberapa hari kedepan.” Ucapku, membuat Bunda Dyvan mendengus hingga terdengar di sambungan telepon.
“Pasti gara-gara olimpiade ya, Karlee? Atau basket?”
Aku tersenyum kecil, “Dua-duanya, Bunda. Dyvan memang sedang sibuk sekali belakangan ini.”
“Oh... memang lah anak itu. Susah sekali diberitahu. Selalu membangkang. Dia tak dilarang, ikut olimpiade ataupun lomba basket, sama sekali tidak. Itu kan hal positif. Tetapi, dia harus mengerti waktu istirahat.”
“Iya Bunda.” Jawabku. “Tadi saja Dyvan membangkang tak ingin dirawat dirumah sakit. Katanya, ia mau menyiapkan materi olimpiade matematikanya untuk perlombaan tingkat provinsi.”
“Provinsi?”
“Iya Bunda, Dyvan sih berkata begitu tadi.” Ucapku memastikan. “Tetapi Karlee tak mengizinkan, Bunda. Soalnya kondisi Dyvan sangat lemah dan Karlee rasa ia butuh istirahat yang cukup.”
“Hm,” Bunda Dyvan bergumam. “Kau jaga ya si Dyvan, Karlee. Jangan biarkan dia pulang kerumah sebelum dapat izin dari dokter. Masalah uang rumah sakit nanti bunda transfer ke kamu saja. Biar kamu yang mengurus, bisa kan?”
“Bisa, Bunda. Hm, salam untuk Mama Papa Karlee ya, Bunda. Salam buat Ayah Dyvan juga.”
“Iya sayang.”
“Yasudah kalau begitu, Karlee tutup dulu ya teleponnya. Sampai nanti Bun—“
“AAA!!!” Teriakku kaget, ketika seseorang menyentuh pundakku dari belakang. Membuat ponselku jatuh ke rumput taman dengan posisi terbalik.
“Kau siapa?!” Teriak orang yang mengagetkanku tadi.
Aku berbalik badan, lalu menatap dirinya yang juga menatapku dengan matanya yang menyipit.
“Karlee?”
“Zion?”
Aku mendengus sambil mengelus dada, kemudian mengambil ponselku yang terbalik sebelum memeriksa kondisi ponsel itu juga kondisi case minionku.
Zion duduk di sampingku, lalu ia tertawa kecil entah sedang menertawakan apa.
Mungkin menertawakanku.
“Maaf, Karlee. Tadi aku pikir kau setan.”
Aku mendengus, menyalipkan rambut ke belakang telinga lalu menatapnya dan berkata, “Mana ada setan ditempat seperti ini.”
Zion menautkan kedua keningnya, “Bagaimana bisa tak ada? Kita ini berada di rumah sakit, Karlee. Dimana banyak sekali orang menghembuskan nafas terakhirnya di tempat ini. Ini juga sudah pukul dua dini hari. Jam-jam rawan, dimana para kuntilanak berambut panjang terurai sepertimu berkeliaran.” Ucapnya.
“Oh, jadi aku seperti kuntilanak.”
“Ya, begitulah.” Jawabnya sembari tertawa, membuatku diam-diam tertawa juga ketika melihat dirinya.
“Omong-omong kau ini sedang apa?” Tanya Zion dengan pertanyaan yang sama dengan pertanyaan di otakku.
“Aku, menemani Dyvan. Dia kan pingsan setelah bermain basket tadi. Dia sudah sakit tetapi tetap memaksakan diri mengikuti pertandingan. Ya, beginilah akhirnya.”
Kulihat Zion mengangguk, lalu ia membuka tutup kepala dari jaket yang sedang dikenakannya.
“Kau sendiri?”
“Aku?” Zion menunjuk dirinya, dan aku mengangguk.
“Aku diminta mengantarkan ponsel mama aku yang tertinggal dirumah tadi.”
Aku mengerutkan kening, “Mama kamu, dirawat juga?”
Zion menggeleng. “Tidak, ia dokter disini dan kebetulan lagi jaga malam.”
“Oh.” Aku mengangguk, sambil mencerna fakta bahwa dokter yang tadi datang ke ruangan Dyvan adalah Mama Zion.
“Kau belum mandi juga, Karlee?”
Kutatap piyama dan sandal tidur minionku, lalu kembali menatap Zion sambil menyengir, “Hehe, belum. Tak sempat. Tak ada yang menunggu Dyvan tadi saat ia pingsan.” Jawabku.
“Gabriel?”
Aku bergumam, “Gabriel harus ke pabrik pusat Rosserie Textile. Mengantar mamanya untuk memeriksa kain dengan motif dan bahan baru yang mereka import. Katanya sih kain itu akan mulai diperdagangkan di jalur perdagangan dunia.”
“Wah, hebat juga produksi kain keluarga Gabriel. Oh iya, kembali ke masalah tadi, kau harus tetap mandi Karlee. Tubuhmu tak boleh kotor.”
Aku mendengus pasrah. “Iya aku akan pulang besok pagi.”
“Kalau kau ingin mandi sekarang bisa kok.”
Aku mengerutkan kening, menatap Zion yang baru saja melontarkan, leluconnya?
“Kau bercanda?” Tanyaku.
Zion menggeleng, “Tidak. Aku serius.” Jawabnya.
“Apa?! Aku tak ingin mandi di rumah sakit ini apalagi di tengah malam, Zion. Kau bercanda. Lagipula aku tak bawa baju ganti dan—“
“Bukan di rumah sakit, Karlee. Tapi dirumahku. Dirumah ada adikku dan kau bisa meminjam baju miliknya. Dia hanya berbeda dua tahun dengan kita. Jadi, bajunya pasti muat denganmu.”
Aku terdiam, mempertimbangkan perkataan yang Zion lontarkan.
“Rumahku berada seratus meter dari rumah sakit ini. Tak jauh.” Ujarnya masih mencoba membuatku setuju.
*****