Suara batuk yang samar-samar membuatku membuka mata, lalu kutolehkan kepalaku untuk mencari dari mana suara batuk itu berasal.
Kulihat seorang laki-laki mengenakan baju bertuliskan nama ‘Dyvan’ disertai angka 18 berdiri di depan meja belajarku, sambil mengorek laci yang ada disana entah sedang mencari apa.
“Dyvan...”
Laki-laki itu membalikkan badannya, lalu menatapku dengan tatapannya yang terlihat sangat tak bersemangat.
“Kau sedang cari apa?” Tanyaku sembari beranjak dari kasur, kemudian mengambil ikat rambut yang tergeletak di atas nakas.
“Maaf membuatmu terbangun, Karl. Aku sedang mencari kunci mobil. Apa kau melihatnya?”
Aku melirik jam kecil yang berada di samping lampu tidur di atas nakas, dan jam itu menunjukkan pukul delapan kurang lima belas menit waktu setempat.
Lomba Dyvan dimulai pukul delapan dan sampai saat ini ia belum pergi karena mencari kunci mobil yang telah aku sembunyikan tadi malam.
Sial. Aku bahkan belum membersihkan diri dan bersiap-siap.
Kubuka resleting tas sekolahku untuk mengambil kotak pensil yang ada di dalamnya, lalu kukorek isi kotak pensil itu sampai mendapatkan sebuah kunci yang telah Dyvan cari entah sejak kapan.
“Dyvan. Ini kunci mobilmu. Maaf—“
“Karlee? Kau menyembunyikannya dariku?!”
Aku menggeleng, gugup entah harus menjawab apa, “tid— tidak— tidak Dyvan. Aku hanya—“
“Kau bercanda, Karl. Aku sudah mencarinya kemana-mana dan ternyata, kau yang menyembunyikannya.” Dyvan merampas kunci tersebut dari tanganku, lalu ia berjalan keluar kamar dengan air muka yang terlihat kesal.
Aku mengambil ponsel dan dompetku yang tergeletak di atas meja belajar, lalu mematikan pendingin ruangan juga menutup pintu kamar sebelum akhirnya menyusul Dyvan ke parkiran.
“Aku tak berniat menyembunyikan kunci itu, Van. Aku hanya ingin ikut untuk menontonmu berlomba.”
Dyvan berhenti melangkah lalu mendengus, kemudian ia berbalik badan untuk menatapku yang mengejarnya dari belakang. “Siapa yang jaga rumah kalau kau ikut?”
Aku mendengus, kesal. “Memangnya, siapa yang akan menjagamu kalau aku tak ikut? Toh, rumah ini sudah biasa kita tinggal, tak akan terjadi apa-apa. Percayalah.”
Dyvan ingin masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi kemudi, tetapi aku lebih dulu menahannya. Membuat laki-laki itu bingung dengan apa yang sedang kulakukan.
“Aku saja yang mengemudi. Kau kan sedang sakit. Bisa-bisa kita kecelakaan karena dirimu yang tak dapat konsentrasi.” Ujarku, membuatnya memutar kedua bola mata lalu berjalan memutar untuk duduk di kursi penumpang.
Dengan sandal tidur dan piyama bergambar karakter minion aku masuk ke dalam mobil, lalu menjalankannya menuju gedung olahraga tempat Dyvan bertanding.
*****
“Doakan aku ya.”
Aku mengangguk, lalu menepuk pundaknya sebelum ia berjalan mendekati anggota team dan pelatih basket sekolah yang telah bersiap di tepi lapangan.
Kulihat seorang laki-laki datang bersama seorang perempuan di belakangnya, bersamaan dengan Gabriel yang baru saja kembali dari kamar kecil dan langsung berdiri di samping kiriku.
“Sekolah kita sudah main?”
Aku menoleh ke kiri, dan tak melihat kalau mulut Gabriel bergerak untuk menandakan bahwa ia berbicara kepadaku.
“Gab, apa kau tadi berkata sesuatu kepadaku?”
Gabriel yang tadinya sedang asik menatap lapangan basket menoleh kearahku, lalu ia mengerutkan kening sembari menggeleng pelan dengan mata yang menyipit. “Tidak ada. Aku tak mengatakan apapun.” Jawabnya. Setelah mengatakan itu, ekspresi wajahnya berubah menjadi menyeramkan dan ia tiba-tiba berkata, “Hayu, ada sesuatu ya yang berbisik di telingamu. Jangan-jangan...”
Seseorang di sebelah kananku tertawa, membuatku menoleh dan menatapnya —juga perempuan di kanannya, dengan tatapan heran akan apa yang sedang mereka tertawakan.
“Aku yang berbicara padamu, Karlee. Bukan Gabriel.”
Wajahku mendadak memanas, merasa malu dan bahagia dalam waktu bersamaan.
Ingin sekali aku menertawakan diriku yang bodoh ini, tetapi malah senyum bahagia yang keluar dari bibirku, yang dimana senyum itu malah membuat rasa maluku bertambah tiga kali lipat dari sebelumnya.
“Sudah lama disini, Karlee?”
“Hah?” Aku menatapnya, lalu menggeleng untuk menjawab perkataan laki-laki itu. “Tidak kok, tidak lama. Baru saja.” Jawabku, membuat ia mangut-mangut seakan berkata ‘oh’.
“Kau sendiri, Zion. Sedang apa kau disini? Kau kan anak klub sepak bola, bukan klub basket.”
Zion tersenyum kecil, lalu ia mengarahkan dagunya ke belakang, menunjuk Tamara yang matanya jelalatan menjelajahi seluruh penjuru gedung entah mencari apa ataupun siapa.
“Aku hanya menemani Tamara. Katanya, dia ingin sekali menonton sekolah kita bertanding basket. Lagipula, apa tak boleh seorang pemain sepak bola menyaksikan sebuah pertandingan basket?”
Aku menggeleng cepat, membuatnya tertawa seakan aku terlihat bodoh sekali saat ini. “Tidak bukan begitu. Maksudku—“
“Iya aku hanya bercanda.” Ujarnya. Dengan senyum manis yang terpampang jelas di wajah tampannya. “Hm, Karlee. Apa kau tak mandi dahulu sebelum pergi kesini?”
Kutatap pakaianku dari atas sampai bawah, lalu aku kembali menatapnya sembari menggeleng menandakan kalau aku memang tak mandi sebelum pergi ke tempat ini.
“Ya, setidaknya kau harus ganti baju dan ganti sandal dulu sebelum kesini. Piyama dan sandal tidur minionmu itu terlalu menarik perhatian.” Ucapnya.
Aku bergumam, memikirkan suatu hal bodoh yang dengan bodoh juga tiba-tiba aku katakan padanya, “Jadi, kau tertarik padaku?”
Zion tertawa, membuat Tamara yang tadinya sibuk sendiri menjadi heran dengan kekasihnya yang mungkin baru ia sadari terus-terusan tertawa sejak tadi. “Kau ini lucu sekali, Karlee.”
Aku tertunduk malu, dan dengan bodohnya berkata, “Terima kasih.” Yang membuat Zion tertawa lagi dan lagi.
“Omong-omong, kau suka minion?”
Aku mengangguk, lalu mengeluarkan ponselku dari dalam saku celana untuk menunjukkan benda itu kepadanya.
“Case ponselku pun berbentuk karakter minion. Mereka sangat lucu.” Ujarku, yang dijawab dengan sebuah anggukan kepala oleh Zion.
“Adikku juga menyukai minion. Dia punya banyak sekali stuff minion di kamarnya. Ada yang ia dapatkan dari Universal Studio beberapa tahun lalu, dan ada juga yang ia costum sendiri.”
Aku spontan menganga tanpa sadar, membayangkan betapa indahnya barang-barang milik adik Zion itu.
Aku hanya punya dua stuff dari Universal Studio, dan itupun hadiah dari Dyvan setelah ia berlibur ke Universal Studio Singapore beberapa tahun lalu.
“Kau mau tidak bertemu dengan adikku?”
Aku menatap Zion, lalu mengangguk tanpa pikir panjang.
Tak kusangka Zion sebaik ini. Aku kenal dengannya, tetapi kami tak sering berkomunikasi.
Dia terlalu sibuk dengan para penggemarnya, dan akupun selalu punya kesibukan tersendiri dengan kesunyian hidupku.
“Baiklah, Karlee. Aku akan menanyakan hal itu kepada adikku terlebih dahulu. Kau, masih punya kontak lineku yang lama kan?”
Aku hanya menjawabnya dengan anggukan, padahal ingin sekali rasanya aku berteriak dan mengatakan kepadanya bahwa, ‘BAHKAN KONTAKMU AKU JADIKAN KONTAK FAVORIT, WALAU KITA TAK PERNAH BERKOMUNIKASI’
Gabriel menyentuh pundakku, berkata kalau pertandingan sudah dimulai.
Aku melihat Dyvan berlari sambil menggiring bola menuju ring, membuat rambutnya terayun-ayun dengan santai dan membuat laki-laki itu terlihat sangat tampan — dari kejauhan.
*****
“KARLEE, TEAM DYVAN MENANG!!!”
Aku berloncat girang bersama Gabriel di tepi lapangan, lalu kami berputar dan secara tak sengaja, aku melihat Tamara memeluk Zion begitu erat dengan senyuman bahagia yang terpancar dari wajah gadis itu.
“Karlee!”
Aku menoleh ke sumber suara, lalu melihat seorang laki-laki dari team Dyvan berlari ke arahku dengan teburu-buru.
“Dyvan pingsan di lapangan!” Ucapnya.
*****