Aku Mayor, bukan pangkat melainkan nama. Aku seorang kakak dari adik satu-satunya, Risa. Adikku yang kusayang, ditinggal mati orang tua kami dalam keadaan menderita leukimia. Aku bekerja di rumah makan sebagai pelayan dan hasil dari pekerjaanku sudah jelas untuk membiayainya. Kami tinggal di lingkungan yang ramah. Tetanggaku, iya, dia yang tinggal di depan rumahku itu, selalu menatap heran ke arah rumahku. Tepatnya, menatap heran diriku. Aku wangi, rapih, tampan, dan bersih. Apa yang salah?
"Risa, bangun yuk! Abang udah buatkan makanan untuk Risa," kataku mebangunkannya halus.
"Abang, Risa gak mau makan. Risa mau ketemu ayah dan ibu, Bang," kata Risa sambil menangis.
"Mereka sudah pergi ke surga, Risa. Sekarang, Risa harus sembuh supaya ayah dan ibu tenang di sana."
"Tapi, Risa gak tenang di sini, Bang!" kata Risa yang kemudian ku peluk. Disaat seperti ini karena kebetulan kamar Risa berhadapan dengan rumah tetangga di depanku, dia, lagi-lagi melihatku heran.
Setelah Risa makan beberapa suap, aku menelpon saudaraku untuk berkunjung ke rumah menjaga Risa. Saudaraku ini selalu menangis ketika sampai rumahku, "Kerja yang semangat ya, Le! Bude yang akan jaga Risa," katanya sembari ada tangis dipipinya. Mungkin, ia sedih melihat keadaan Risa atau mungkin ia sedih melihat aku harus banting tulang mencukupi kebutuhan rumah. Entahlah, yang jelas hati dia lembut.
Ada banyak orang yang harus ku layani di rumah makan ini. Dari meja satu sampai meja seratus, dari yang datang sendiri sampai yang datang bersama kawan seangkatan, dan dari yang muda sampai yang tua. Melelahkan memang, namun, ini demi kebutuhan rumah dan Risa. Oh ya, terkadang jika aku membutuhkan tambahan, aku pergi ke dapur untuk membantu mencuci piring di sana. Walau hanya ditambah Rp 50.000,- itu sudah cukup untuk uang jajanku sendiri.
"Mas, dipanggil Pak Bos di atas," kata temanku.
"Iya, makasih ya, Mas."
Aku langsung menaiki tangga. Kira-kira ada apa ia memanggilku? Kenaikan gaji? Mau memberi THR? Atau mau memecatku? Ah, sudahlah, ku temui saja dia.
"Permisi pak, bapak memanggil saya tadi?" sambil membuka sedikit pintu.
"Iya benar, silahkan masuk," katanya mempersilahkan. "Gimana kabarmu?"
"Alhamdulillah, Pak, masih semangat bekerja untuk pengobatan Risa." Sebenarnya bos ku ini sangat kenal keluargaku termasuk Risa.
"Risa? Oh, hahaha, iya, Risa ya, hahaha," katanya sambil tertawa yang kurasa itu dibuat-buat.
"Ada apa ya, Pak?"
"Oh, tidak, bukan apa-apa. Bapak hanya khawatir saja denganmu. Masih belum berubah pikiran, Yo?" Sebelumnya dia menawarkanku untuk tinggal di rumahnya dan menjadi penerus rumah makan ini karena beliau sendiri tidak mempunyai keturunan.
"Beri waktu saya seminggu lagi, Pak. Saya harus benar-benar mempertimbangkan keadaan Risa."
"Baiklah, bapak akan tunggu. Bapak akan dengan sabar menunggu sampai kamu sadar." katanya sambil tersenyum.
Sudah pukul sembilan malam, waktunya aku berkemas untuk pulang. Rindu Risa. Sesampainya di rumah, aku melihat saudaraku duduk bersama Risa di ruang tamu sembari menonton televisi.
"Assalamualaikum," kataku
"Waalaikumsalam," saudaraku menjawab. Risa diam.
"Risa, abang pulang nih. Risa gak seneng?" kataku menghampirinya.
Tidak ada jawaban.
"Risa kenapa, Bude?" kutanya padanya, kutatap matanya, ia manahan tangis.
"Ha? Aduh, bude juga gak tau, Le." sembari mengusap pipinya karena air matanya jatuh.
Aku hanya bisa menatap Risa.
"Bude mau pulang? Mau aku antar?" kataku menawarkan.
"Gak usah, Le, bude bisa pulang sendiri. Bude pulang ya, Le. Assalamualaikum." Katanya langsung bergegas.
"Waalaikumsalam," kataku
Pelan-pelan kudekati Risa.
"Risa, besok kita jalan-jalan yuk! Abang kan besok libur kerjanya."
"Tadi, Risa liat ayah dan ibu di kamar. Risa mau ikut mereka, Bang. Risa kangen!" Katanya sembari menangis.
"Risa, abang juga kangen mereka. Tapi kita harus hidup dan kerja keras supaya mereka gak khawatir di sana." Sambil ku usap tangis dipipinya.
Setelah itu, Risa mereda. Ku bawa ia ke kamarnya, kemudian, ia tertidur. Adik kecilku Risa, sangat malang nasibnya. Dia selalu rindu orang tua kami, aku juga sebenarnya rindu tapi, Risa lebih rindu. Sudah ku putuskan untuk mengajak Risa jalan-jalan agar rindunya perlahan mereda.
Pagi pun datang. Aku keluar dari kamarku menuju dapur. Haus. Ternyata tidur butuh tenaga juga ya. Setelah dari dapur, tentu saja aku menuju kamar Risa. Belum sempat ku buka pintunya, ku lihat ia duduk di teras rumah.
"Abang sudah bangun ya?" Katanya yang mendengar langkahku menujunya.
"Iya. Risa tumben banget di sini, kenapa?"
"Risa abis nganter ayah sama ibu pulang, soalnya tadi mereka ke sini tapi, abang masih tidur."
Aku hanya tersenyum, "Nanti kita jalan-jalan ya, Risa," sembari ku belai rambutnya. Bisa kau tebak, tetanggaku lagi-lagi melirik ke arahku.
Pukul sepuluh, aku mengajak Risa ke taman. Mengapa taman? Karena di sini sejuk, aku mau Risa merasa sejuk di sini tanpa terus terbebani kepergian ayah dan ibu kami.
"Abang, waktu ayah dan ibu ke rumah tadi, Risa seneng banget. Mereka bilang Risa sebentar lagi bisa ikut mereka." Risa memulai.
"Abang sendiri dong di sini? Risa tega?" Kataku menanggapi khayalan Risa.
"Abang, dari pada abang membiayai Risa, lebih baik abang cukupkan kebutuhan abang sendiri."
"Nanti Risa gak sembuh-sembuh dong kalau abang yang ngurusin diri abang sendiri."
"Risa sudah lama sembuhnya, Abang."
"Kalau gitu, abang sudah lama juga memikirkan diri abang sendiri." Ucapku sambil senyum tapi, Risa seakan menghiraukan. Adik kecilku ini banyak sekali khayalannya dan karena khayalan itu ia semakin pintar mengutarakan sesuatu. Ah! Abang akan jaga Risa sampai waktu yang gak bisa ditentuin.
Kami pulang. Risa langsung menuju kamarnya sedangkan aku, aku duduk di teras untuk rehat sebentar dari banyak hal yang harus ku pikirkan. Besok aku harus bekerja kembali dan besok juga, Risa harus check up.
Setelah adzan subuh itu, aku bergegas mengambil air wudhu, sembahyang. Setelah itu, aku bersiap-siap untuk berangkat kerja. Tak lupa aku mendatangi kamar Risa untuk melihatnya, kemudian ku kecup keningnya. Lalu, ku telpon saudaraku untuk menjaga Risa seperti biasa.
Aku keluar seiringan dengan tetanggaku yang juga keluar. Dia menyapaku.
"Pagi, Mas!" Katanya memulai
"Pagi," kataku dengan senyuman.
"Mas, mau berangkat kerja ya?" Ia bertanya.
"Iya, ada apa?"
"Mas ikut saya dulu yuk sebentar," katanya mengajak.
aku ragu...
"Sebentar saja, Mas."
Kemudian, aku mengiyakan ajakannya. Entah karena tidak enak menolak ajakannya atau karena waktuku masih agak senggang untuk berangkat kerja, aku mau.
Sepanjang jalan tidak ada percakapan diantara kami. Kami terus berjalan yang aku sendiri entah mau di bawa ke mana. Beberapa menit kemudian, kami sampai. Ini makam. Makam ini sungguh tidak asing bagiku. Tetanggaku berjalan seperti menuntunku ke suatu tempat. Di sini, dia menunjukkan makam ayah dan ibuku yang sudah mati. Aku tidak bodoh, mereka memang sudah mati beberapa bulan yang lalu, kenapa dia menuntunku ke sini? Kemudian, kami berjalan kembali dan di sini, makam Risa, adikku.