Jumat, 13 Juli 2012 11:35 AM
Koridor Sekolah
“Deandra Wibisono!!!”
“Keluar dari kelas ini atau saya tampar kamu!”
Kata-kata Viola, guru bahasa inggrisku yang kecentilan itu masih membising di telingaku hingga siang ini. Cih, tak sudi lagi aku memanggil dia “Ms. Viola” atau menganggapnya sebagai guruku.
Huff, what a damn day! Diusir dari kelas, diceramahi kepala sekolah, dipanggil guru BP… Can it be worse?!
Kenapa jadi begini? Aku ini sempurna; semua anak perempuan ingin jadi sepertiku, banyak anak laki-laki suka padaku. Aku kaya, cantik, pintar, baik, dan menyenangkan. Tapi kenapa aku tidak bahagia?
Aku terus melangkahkan kakiku menuju balkon sambil merenungkan semua masalah-masalahku. Yup…masalahku sangat banyak karena orang-orang brengsek di sekitarku! Tidak perlu jauh-jauh, orang-orang brengsek yang paling dekat denganku adalah keluargaku sendiri.
Orang tuaku, dari dulu memang jarang di rumah. Mereka sering ada urusan bisnis masing-masing di luar kota. Uang mereka memang banyak; aku pun tidak pernah ketinggalan untuk membeli gadget atau trend fashion terbaru berkat uang mereka. Tapi bukan cuma harta yang aku butuhkan. Aku ingin cerita pada mereka tentang betapa senangnya aku saat dapat nilai 99 di ujian fisika yang notabene pelajaran yang paling sulit untukku, betapa sedihnya aku ketika Ciko, hamster kesayanganku mati, dan betapa malunya aku ketika harus menjadi peserta lomba matematika mewakili sekolah ini dan kalah dengan angka telak. Mereka tidak pernah ada di dekatku di saat-saat penting hidupku.
Sekarang, mereka memang lebih sering ada di rumah tapi tidak satu hari pun terlewat tanpa ada pertengkaran. Aku seharusnya tidak perlu tahu apa yang mereka ributkan. Tapi keengganan mereka untuk bicara baik-baik dan bicara dengan “sensor” membuatku mengetahui semuanya bahkan walau aku berusaha untuk tidak mendengarnya.
Mereka telah sepakat untuk mengurus perceraian, tapi tidak pernah sepakat soal harta gono-gini. Exactly. All they care about is their money. Tidak pernah ada pembicaraan tentang hak asuhku dan kakakku, Amanda. Hey, parents! Have you ever spent a few minutes in your f***ing life to think about your daughters?!
Speaking about ‘daughters’, kakakku juga sama busuknya dengan orang tuaku! Kamarku selalu “dipinjam” olehnya untuk bercinta dengan pacarnya. Kamarku letaknya di depan, dekat dengan gerbang, berjendela besar tanpa teralis sehingga mudah bagi orang untuk keluar masuk menerobos jendela layaknya maling. Amanda sebenarnya punya kamar sendiri, letaknya di atas kamarku. Dia tidak mau kebiasaan hariannya terganggu, merokok, nyimeng, mendengarkan musik R&B dengan volume paling keras, apa yang dia katakan sebagai privasinya. Privasiku? persetan baginya!
Tiga kali seminggu, Amanda dan Sandro berbuat maksiat di kamarku. Sandro adalah pacar keempat yang dia ajak tidur. Sebelumnya ada Doni, Angga, dan seorang cowok yang sebenarnya aku tidak pernah mau lagi mengingatnya, Kenny, mantannya yang juga adalah mantanku. Wah, aku baru sadar, banyak juga yang udah “nyicipin” Amanda ya?!
Ketika orang tuaku “perang”, satu-satunya tempat aku bisa merasa tenang harusnya adalah kamarku. But guess what?! Ada prostitusi terselubung di kamarku. I’ve got nowhere to run, nowhere to hide. Aku bisa saja ke kamar Amanda dan menganggap tak terjadi apa-apa, tapi mengingat aroma tajam ganja dan tembakau yang menusuk hidung di kamar itu, rasanya aku tidak punya pilihan lain kecuali mendengar pertengakaran orang tuaku dan membayangkan apa yang sedang terjadi di kamarku. Sh*t!
Mungkin aku seharusnya minta uang sewa kamar setiap kali mereka mau bercinta. Hasilnya pasti lumayan daripada kakakku melacur untuk kehedonannya sendiri. Kalau uang sewa kamar itu aku kumpulkan sejak Amanda bercinta dengan pacar pertamanya, aku pasti sudah sekaya Mark Zuckerberg atau bahkan Bill Gates. Apalah itu, setidaknya aku sudah punya cukup uang cash untuk lari dari rumah terkutuk itu. Tidak seperti sekarang, semenjak orang tuaku kerap ribut, kartu kredit dan uang jajanku pun jadi korban, mereka berdua saling lempar tanggung jawab. Lucky for Amanda, sifat matrenya terfasilitasi oleh cowok-cowok kayanya yang bodoh.
Ironisnya, di saat kakakku membuka kakinya dengan sukarela, aku harus berjuang keras mempertahankan keperawananku. Robby, mantan baruku, bukan orang pertama yang memaksaku menyerahkan kesucianku dan aku yakin, dia bukan yang terakhir. Sebelum Robby, ada Akbar, anak SMA yang ganteng dan popular, dan ah, nama ini lagi... Kenny. Tidak ada yang lebih baik, Kenny memutuskanku karena tidak berhasil mengajakku bercinta di suatu malam minggu, dan brengseknya, di malam itu juga dia memutuskanku dan langsung jadian dengan Amanda, Cih!
Akbar juga tak kalah brengsek! Lima menit setelah aku resmi jadi pacarnya, dia mulai “menjelajah”. Damn…I’m not your whore, As***e!
“Jangan kurang ajar ya, Kak Akbar! Kalau kakak berani pegang-pegang aku lagi, aku teriak!”
“Ada masalah apa sih, Dea? Katanya kamu sayang sama aku. Kalau memang sayang, kamu harusnya ga keberatan donk.”
Apa rasa sayang itu harus ditunjukkan dengan memberikan keperawananku? Kalau aku mau, apa orang itu benar-benar tulus sayang padaku? Kalau masih sayang, kenapa status Akbar sekarang adalah ‘mantan’? Jadi kalau aku tidak memberikan keperawanan sebelum menikah, tidak akan adakah orang yang sayang padaku? Ataukah memang tidak ada orang yang sayang padaku?
Kurasa tidak ada! Aku tidak yakin orang tuaku pun peduli padaku. Kakakku cuma memikirkan kepuasannya sendiri. Teman-teman di sekolah cuma ada di saat senang. Kalau aku sedang susah, semua hilang…seperti sekarang! Guru-guru, huff, awalnya kupikir mereka lebih baik tapi ternyata sama saja!
Ms. Anne, tipe kepala sekolah pada umumnya; tidak mau tahu soal kepribadianku dan masalahku. Ya sudahlah, aku juga tidak pernah dekat dengannya. Mr. Zain, awalnya kupikir dia bisa membantuku menyelesaikan masalah tapi justru malah menambah masalah. Dia malah menyalah-nyalahkanku dan bersembunyi di balik ilmu psikologi yang dia dewakan, terlalu teoritis. Malesin banget! Ms. Viola, is a definite backstabber. Aku menyesal pernah akrab dengan dia! Tidak dewasa, manja, genit! Kenapa perempuan murahan seperti dia bisa diterima menjadi guru di sini? Berani-beraninya dia memarahiku sampai hampir menamparku, padahal justru dialah yang bersalah, seenaknya memeluk laki-laki yang kusuka!
Edmund, yang dulunya kusuka, paling tidak sampai tadi malam, sekarang jadi yang paling kubenci. Dia harapan terakhirku, orang terakhir untuk aku bisa mencurahkan isi hatiku. Tapi semua omongannya palsu! Dia berjanji untuk selalu ada di dekatku. Tapi mana dia sekarang? Mana??? Seharian ini dia malah bermesraan di kantor guru dengan Viola! A**hole! Brengsek kalian semua!!!
“Gosh, Kenapa hidupku bisa jadi begitu tidak berarti?” Air mataku pun berderai deras. Tidak ada yang memerhatikan pencapaianku… Tidak ada yang peduli padaku… Tidak ada yang sayang padaku… Jadi untuk apa lagi aku hidup?
Ya, tidak ada gunanya lagi aku hidup. Beberapa bulan terakhir, aku merasakan adanya pembengkakan berwarna pucat di leherku. Aku sengaja menyimpan rasa sakit ini sendirian. Aku takut kalau sampai teman-teman tahu, mereka pasti akan ilfil dan menjauhiku layaknya orang yang paling hina. Menurut informasi yang kudapat di internet, kemungkinan besar aku menderita gejala kanker getah bening. Walaupun masih stadium awal, tetap saja kanker! Tetap saja nantinya aku mati, kan?
Dengan susah payah, aku memanjat ke atas balkon sekolah. Aku bisa merasakan angin bertiup ke seluruh tubuhku. Berada dua puluh lima meter dari atas tanah dengan belaian angin yang sepoi membuatku serasa terbang ke surga. Aku bisa melihat orang-orang dan mobil-mobil lebih kecil dariku, mungkin inilah rasanya menjadi “orang besar”. Tiba-tiba, aku merasa tenang…ketenangan yang luar biasa.
“Di surga tidak akan ada masalah, bukan?! Tuhan, aku siap bertemu dengan-Mu sekarang.”
Keinginanku sudah sangat bulat untuk mengakhiri masalahku, mengakhiri hidupku. Aku pun mendorong tubuhku. Selamat tinggal, dunia! Selamat tinggal masalah-masalah!
Dan memang benar! Semua masalahku serasa terangkat satu per satu ketika aku merasakan sensasi melayang di atas angin…
BRAAAAAAAAAAAAKKKKK….!!!!!!!!!!!!!!
Aku mendarat di atas sebuah kap mobil sedan putih dengan keras. Sesaat aku tidak bisa merasakan apapun, bahkan badanku tidak terasa sakit sama sekali, semua terasa berat menempel di kap mobil yang kutimpa, namun beberapa detik kemudian badanku terasa sangat remuk, sangat sakit sampai aku tidak bisa bergerak sama sekali. Aku merasakan lututku membengkok ke arah yang berlawanan dan kakiku tersayat pecahan kaca disana-sini.
Nafasku terhenti, tenggorokanku tercekat, ada sesuatu yang menyumbatnya. Tiap detik aku mencoba bernafas yang kurasakan justru rasa sesak luar biasa di leher dan dadaku. Mulutku membuka dan menutup mencoba mendapatkan se-mililiter udara, tapi sepertinya semua sia-sia.
Bukan! Bukan ini yang aku harapkan, bukan ini yang aku inginkan. Aku hanya ingin masalahku selesai. Aku tidak mau merasakan sakit seperti ini. Kalau aku memang harus mati, matilah dengan tenang, bukan sakit seperti ini!
Aku bahkan tidak bisa mengangkat kepalaku, semua seperti berputar dengan kecepatan tinggi. Satu-satunya yang bisa kulakukan sekarang adalah mencoba membuka mataku. Dengan menahan rasa sakit yang luar biasa, aku berhasil membuka sebelah mataku. Semua pudar, blur, tidak ada yang jelas... Tapi, tunggu! Apa itu? Mataku terpatri di sebuah spanduk besar, beberapa office boy yang baru saja memasangnya menghalangi pandanganku, beberapa dari mereka menghampiriku dan yang lainnya berusaha mencari bantuan. Aku terpekik lemah ketika sudut pandangku terhadap spanduk itu terbuka.
SELAMAT KEPADA DEANDRA WIBISONO YANG TERPILIH MENJADI
SISWI TELADAN SMP MUTIARA JAYA
Apa?!?!?! Aku, siswi teladan? Predikat yang selama ini aku impikan. Predikat yang aku harapkan bisa memperbaiki semuanya dan membuka mata orang tua, guru dan teman-temanku bahwa aku pantas mendapat perhatian mereka.
Pandanganku memudar lagi, air mata dan darah kurasakan mengalir deras dari satu-satunya indera yang bisa kugerakkan ini. Aku tahu ini belum terlambat, belum waktunya bagiku untuk menyesal, aku masih bisa berusaha. Aku berteriak sejadi-jadinya, meminta tolong, tapi suaraku tercekat dan mulutku hanya melirihkan kata tolong dengan lemah. Aku merasa semakin lemah. Jangankan untuk mengeluarkan suara, untuk membuka mulut pun rasanya mustahil bagiku sekarang.
Tapi aku masih bisa melihat Ms. Anne dan beberapa office boy datang menghampiriku. Ms. Anne tampak meneteskan air mata. Rupanya mobilnyalah yang aku timpa hingga remuk ini. Tapi dia tidak memedulikan mobilnya sedikitpun, tangisannya itu untukku. Dia mengkhawatirkan aku.
“Hey..! Panggil ambulans, panggil polisi, panggil siapa saja! Dea... Kamu kenapa, Dea?”
Aku merasakan Ms. Anne mencoba menyeka darah yang keluar dari kepala dan mulutku. Ternyata dia sayang padaku! Badanku yang masih setengah menelungkup pun diraba olehnya. Rasanya badanku semakin sakit dan semakin remuk, tapi dalam kabur aku bisa melihat semua orang yang mengelilingiku. Mr. Zain, Ms. Viola, dan Mr. Edmund-ku.
Mereka semua menangis; bahkan Ms. Viola menangis dengan histeris. Dan aku tidak pernah melihat Mr. Edmund sesedih itu, dia berlutut sambil memegang kakiku. Mereka semua menangis karenaku... Mereka semua peduli padaku... Mereka semua sayang padaku...
Aku tidak mau mati sekarang…! Sudah terlambat untuk kembali ke balkon! Andai aku bisa mengulang waktu kembali…
Sekarang aku tidak kuat untuk menahan mataku tetap terbuka. Suara tangisan guru-guruku tersayang pun semakin menghilang berganti desing di telingaku dan semuanya gelap, sangat gelap!